Latest Post


SANCAnews.id Anggota Komisi Hukum DPR Nasir Djamil menanggapi penangkapan Kapolda Sumatera Barat yang baru dimutasi menjadi Kapolda Jawa Timur Irjen Teddy Minahasa. Teddy dinyatakan sebagai terduga pelanggar dalam kasus narkoba .

 

Menurut Nasir, kondisi ini mesti segera diatasi. Jika tidak, kata dia, soliditas institusi Polri bakal terancam. Adapun jika Teddy terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum, maka moralitas polisi disebut Nasir seperti orang terjun bebas tanpa parasut. "Apa yang terjadi ini juga semakin menyulitkan Polri mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusinya," kata Nasir saat dihubungi, Jumat, 14 Oktober 2022.

 

Nasir menyebut sudah menjadi rahasia umum bahwa bahwa barang bukti narkoba sering diolah dan dijual kembali oleh oknum penegak hukum. Karenanya, Nasir mengatakan Komisi Hukum DPR membentuk Panitia Kerja (panja) Barang Bukti ihwal penangkapan sabu-sabu dan barang lainnya.

 

"Itu sebabnya Komisi III DPR RI juga telah lama membentuk Panja Barang Bukti terkait penangkapan sabu-sabu dan barang lainnya. Kami menduga, apa yang dimusnahkan dalam kegiatan seremonial, kadang hanya sedikit,” ujar dia.

 

Nasir berharap kasus ini bisa diusut hingga ke akarnya. Menurutnya, Polri mesti bisa menjawab apakah Teddy turut menerima aliran dana hingga motif di balik diamnya Teddy saat mengetahui barang bukti narkoba dikurangi dan diselundupkan.

 

"Apakah Irjen Pol TM menerima aliran dana dari barbuk narkoba yang dikurangi dan diseludupkan itu? Apakah TM mengetahui soal dikurangi dan diseludupkan barbuk berupa narkoba itu? Mengapa TM diam saja ketika barbuk narkoba itu dikurangi dan diseludupkan?" ujar Nasir.

 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut Teddy Minahasa dinyatakan sebagai terduga pelanggar dalam kasus narkoba. Teddy, kata Sigit, sudah dipindahkan ke tempat khusus. "Saat ini Irjen TM dinyatakan sebagai terduga pelanggar dan sudah dilakukan penempatan khusus," kata Listyo dalam keterangannya di Mabes Polri, Jumat, 14 Oktober 2022. (tempo)


 

SANCAnews.id – Inilah profil Freddy Budiman, pengedar narkoba yang telah dieksekusi mati pada tahun 2016 silam. Sosok Freddy Budiman kembali viral setelah Irjen Teddy Minahasa ditetapkan sebagai tersangka kasus narkoba.

 

Irjen Teddy Minahasa mengatur barang bukti sabu sebesar 5 kg untuk kemudian dijual. Pengungkapan kasus narkoba yang menjerat Irjen Teddy Minahasa membuat masyarakat mengingat pengakuan almarhum Freddy Budiman.

 

Dikutip dari Tribunnews, melalui KontraS, Freddy Budiman mengaku menggelontorkan dana miliaran Rupiah ke polisi dan BNN.

 

Bahkan Teddy mengaku duduk bersama Jenderal dan diberi fasilitas oleh mobil TNI. Hal ini yang membuat Irjen Teddy Minahasa disangkutkan dengan pernyataan Freddy Budiman. Nama Freddy Budiman lantas trending di media sosial Twitter.

 

Lantas siapa sosok Freddy Budiman? 

Freddy Budiman merupakan pria kelahiran Surabaya, pada 18 Juli 1977. Freddy Budiman meninggal setelah dieksekusi mati pada 29 Juli 2016 di usia 39 tahun. Freddy dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

 

Dikutip dari Kompas.com, Freddy berulang kali terjerat pengedaran narkoba. Berkali-kali pula Freddy mendekam di penjara karena kasus yang sama. Namun hukuman tersebut tak membuat Freddy jera. Dia juga disebut mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi.

 

Masih dari Kompas.com, Freddy Budiman pertama kali terjerat narkoba di Maret 2009. Kala itu, polisi menggeledah kediaman Freddy di Apartemen Surya, Cengkareng, Jakarta Baret, ditemukan 500 gram sabu. Saat itu, dia divonis 3 tahun dan 4 bulan.

 

Tak lama bebas, di tahun 2011 Freddy kembali ditangkap karena kasus yang sama. Dia ditangkap di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat.

 

Polisi menemukan barang bukti berupa 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan pembuat ekstasi. Kepemilikan dan peredaran barang haram tersebut melibatkan anggota Polri, Bripka BA, Kompol WS, AKP M, dan AKM AM. Atas perbuatannya, Freddy kemudian divonis sembilan tahun penjara.

 

Baru setahun mendekam di balik jeruji besi LP Cipinang, Freddy kembali berurusan dengan aparat penegak hukum atas kasus peredaran narkoba. Freddy diketahui masih bisa mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi.

 

Dia terbukti bisa mengorganisasi penyelundupan 1.412.476 butir ekstasi dari China pada Mei 2012. Kasus penyelundupan ekstasi dari China itu merupakan kasus terbesar dalam 10 tahun terakhir di Indonesia.

 

Atas perbuatannya, Freddy kemudian divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 15 Juli 2013.

 

Tak sampai di sana, Freddy ternyata memiliki fasilitas khusus. Freddy dikabarkan telah menjalin hubungan dengan model majalah pria dewasa, Anggita Sari.

 

Freddy kemudian terlibat bilik asmara di LP Narkotika di Cipinang Jakarta Timur. Bilik asmara itu digunakan Freddy dan kekasihnya, Vanny Rossyane, untuk menikmati narkoba dan berhubungan seksual. Selain itu, Freddy juga mendapat fasilitas Wartel untuk menghubungi jaringannya di Belanda.

 

"Kalau di lapas itu ada wartelsus, wartel khusus pemasyarakatan. Itu saya pakai untuk komunikasi. Jadi, selama ini saya berbincang itu lewat wartel di sana," kata Freddy, dikutip dari Kompas.com.

 

Dijelaskan Freddy, ia dipungut biaya untuk menggunakan fasilitas telekomunikasi di lapas itu. Berkat fasilitas tersebut, Freddy mengaku dapat berkomunikasi dengan timnya di berbagai lapas seperti di LP Cipinang dan Salemba. Dia bahkan bisa menghubungi jaringannya di Belanda.

 

"Saya komunikasi seperlunya saja dengan pekerja saya, sama yang di Belanda aja," ucap Freddy.

 

"(Hubungi anak buah di lapas) pakai wartel. Bisa kok," lanjutnya.

 

Kalapas Cipinang yang kala itu dijabat Thurman Hutapea pun harus dicopot dari jabatannya karena kasus bilik asmara Freddy.

 

Sejak vonis mati di tahun 2013, Freddy juga memutuskan terlibat jaringan bisnis internasional setelah menjalani 1,5 tahun isolasi.

 

Karena masih menunggu waktu pasti eksekusi matinya, Freddy memutuskan menerima penawaran sindikatnya karena butuh uang demi keluarganya.

 

"Dengan adanya eksekusi (mati) gelombang 1, gelombang 2 membuat saya ya mungkin ketakutan. Tapi bukan takut pada eksekusinya," ujar Freddy.

 

Selain itu, Freddy mengaku tertarik terlibat lagi karena mengetahui ia akan mengedarkan narkoba baru. Freddy kemudian dieksekusi mati pada 29 Juli 2016 sekitar pukul 20.00 WIB di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Jenazah Freddy Budiman lalu dimakamkan di Surabaya, Jawa Timur. Sebelum dieksekuis, Freddy Budiman nampak telah berubah, ia mengaku telah bertobat.

 

Dikutip dari situs kejari-jakbar.go.id, Freddy Budiman mengaku telah bertaubat dan meminta maaf pada seluruh masyarakat Indonesia, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BNN, hingga MA.

 

Menurut pengakuan sang anak, Freddy Budiman juga meminta untuk diizinkan sholat Isya dulu sebelum dieksekusi mati. KontraS Ungkap Pengakuan Freddy Budiman Beri Uang Miliaran pada BNN dan Mabes Polri

 

Dikutip dari Tribunnews.com, pada tahun 2016 silam, Koordinator KontraS, Haris Azhar dalam pesan singkatnya menceritakan bagaimana tereksekusi mati, Freddy Budiman pernah mengungkapkan dirinya memberi sejumlah uang kepada BNN sebagai 'Uang Setor' bisnis narkobanya.

 

"Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri," ujar Fredi kepada Harris sebelum dieksekusi.

 

"Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang dua, di mana si jenderal duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun,” cerita Haris soal pernyataan Freddy, Jakarta, Jumat (29/7/2016).

 

Harris melanjutkan bahwa BNN juga pernah diberitahu mengenai keberadaan pabrik narkoba yang berada di Cina oleh Freddy, namun petugas BNN tidak dapat melakukan apapun dan akhirnya kembali ke Indonesia.

 

Dari keuntungan penjualan, Freddy mengatakan dapat membagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu, termasuk Mabes Polri untuk mengamankan bisnis narkobanya.

 

Haris mengakui ada yang tidak benar saat mengunjungi Freddy Budiman di Lapas Nusakambangan pada 2014 lalu karena tidak ada satupun Closed Circuit Television (CCTV) di dalam penjara Freddy.

 

"Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman  sebagai penjahat kelas “kakap”  justru harus diawasi secara ketat?" katanya.

 

Hingga pada akhirnya, Freddy mengungkapkan bahwa dirinya hanya sebagai pihak yang selalu diperas oleh penegak hukum meski tetap 'diamankan' dalam melakukan bisnis narkoba.

 

Mendengar hal tersebut, Kapolri pada saat itu, Tito Karnavian menilai pengakuan Freddy Budiman hanya untuk menunda eksekusinya.

 

"‎Yang beredar di viral itu informasi tidak jelas, ada disebut Polisi ada BNN. Ini formasi, kalau bukti itu harus jelas ada namanya siapa. Jadi yang di viral itu informasi bukan kesaksian. Kalau kesaksian itu ada yang melihat, mendengar dan mengetahui. Kalau ini kan dia hanya menerima informasi," ujar Tito Karnavian. (tribunnews)


 

SANCAnews.id – Meski reshuffle kabinet merupakan hak prerogatif seorang presiden, namun jika dilakukan tanpa alasan yang jelas dan logika yang terukur akan memunculkan antipati dari masyarakat.

 

Demikian disampaikan pengamat politik dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr Bakhrul Khair Amal, terkait mencuatnya kembali wacana reshuffle menteri pascadeklarasi calon presiden yang dilakukan oleh Partai Nasdem.

 

Dalam wacana reshuffle kali ini, menteri dari Nasdem memang diprediksi yang akan kena geser oleh Jokowi.

 

“Presiden Joko Widodo bisa dicap sebagai pemimpin yang tidak berjiwa besar,” katanya kepada Kantor Berita Politik RMOLSumut, Jumat (14/10).

 

Tidak hanya itu, menurut Bakhrul, PDI Perjuangan juga akan terimbas ketika reshuffle tersebut benar-benar terjadi.

 

Sebab, dalam beberapa waktu belakangan ini PDIP merupakan partai yang paling sering menyoroti dan mengkritik Nasdem atas keputusan mereka mendeklarasikan Anies Baswedan menjadi bakal calon presiden 2024.

 

“Hak prerogatif itu memang bisa jadi alasan. Namun masyarakat juga tahu jika Presiden Joko Widodo adalah kader PDI Perjuangan yang bagi mereka diistilahkan sebagai petugas partai,” tuturnya.

 

Dalam persoalan politik, lanjut Bakhrul, apa yang dilakukan oleh Nasdem merupakan hal yang sangat wajar. Hal ini bahkan tidak dapat diartikan sebagai bentuk pelanggaran kesepakatan politis antarsesama partai politik yang ‘mendudukkan’ Joko Widodo sebagai presiden.

 

Artinya, keputusan mereka untuk mendeklarasikan calon presiden lebih awal dari partai lain tidak dapat disebut sebagai sebuah pelanggaran perjanjian politis.

 

“Karena Nasdem sesungguhnya sudah menunjukkan kerjasama yang baik mulai dari periode pertama Joko Widodo dan juga periode kedua. Lantas apakah ketika mengumumkan calon presiden mereka itu dianggap sebagai wanprestasi dalam koalisi selama dua periode? Saya kira tidak tepat,” paparnya.

 

Karena itu, wacana yang dikembangkan ke arah isu reshuffle menteri dari Nasdem sebaiknya dihentikan saja. Sebab, hal ini justru akan kontraproduktif dengan upaya untuk mendiskreditkan Nasdem jelang Pemilu 2024.

 

“Justru Nasdem bisa mendapat simpati, karena menjadi pihak yang teraniaya karena hal yang secara politis tidak melanggar aturan apapun, justru mereka didepak dari pemerintahan lewat reshuffle,” demikian Bakhrul Khair Amal. (rmol)


 

SANCAnews.id – Presiden Joko Widodo disarankan tokoh reformasi, Amien Rais, untuk bersikap gentle dalam menghadapi laporan dugaan ijazah palsu yang dilayangkan Bambang Tri Mulyono ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

 

Hal tersebut disampaikan Amien Rais melalui sebuah video berdurasi 6.30 menit di kanal Youtubenya pada Kamis kemarin (13/10).

 

"Saya ingin sedikit memberikan masukan atau urung rembuk," ujar Amien Rais dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (14/10).

 

Pendiri Partai Ummat ini khawatir, persoalan dugaan ijazah palsu Jokowi ini nantinya malah semakin menimbulkan kegaduhan.

 

"Ini sudah sangat intens sekarang ini, gugatan saudara Bambang Tri terhadap ijazah SD, SMP, SMA yang dimiliki Pak Jokowi itu diduga keras Ijazah Palsu," sambungnya.

 

Maka dari itu, Amien Rais menyarankan Jokowi untuk mengambil cara sederhana untuk meredam persoalan ijazah palsu yang mengemuka sejak pekan lalu.

 

"Saya ada cara yang amat simple, sederhana, dan dalam tempo yang sangat singkat," ucapnya.

 

"Jadi Pak Jokowi tidak usah terlalu tahan harga diri sebagai presiden jadi rakyat biasa. Datangi nanti 18 Oktober ke PN Jakpus. Kemudian bawa ijazah SD, SMP, SMA-nya Pak Jokowi untuk mematahkan gugatan Bambang Tri," sambung mantan Ketua MPR RI ini.

 

Dalam video tersebut, Amien Rais bahkan mencontohkan cara yang dia sarankan tersebut, agar Jokowi bisa melakukan hal yang sama.

 

"Misalnya, ada yang menuduh Amien Rais ijazah SD, SMP, SMA-nya palsu. Maka tinggal menunjukkan, saya akan datang, saya tunjukkan ini loh ijazah SD Muhammadiyah saya," demikian Amien Rais. (rmol)



SANCAnews.id – Ijazah sarjana Jokowi masih menimbulkan sejumlah polemik di berbagai kalangan. Banyak yang menuntut keaslian dari ijazah tersebut karena berbagai spekulasi yang terus timbul.

 

Seperti perihal nama Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menandatangani ijazah tersebut. Ternyata adanya data yang tampak tidak sinkron dari UGM.

 

Pasalnya, Prof. Achmad Sumitro Purwodipero disebut-sebut sebagai Dekan Fakultas Kehutanan yang menjabat selama tiga periode berturut-turut sejak tahun 1977 sampai dengan tahun 1988.

 

Sementara itu, Jokowi sendiri lulus di tahun 1985 yang masih berada di rentang periode kepemimpinan Prof. Achmad Sumitro, tetapi yang menandatangani ijazahnya justru Prof. Soenardi Prawirohatmodjo.

 

Buntut pertanyaan ini rupanya terdengar sampai ke dalam internal dan pihak redaksi yang menulis artikel mengenai Prof. Achmad Sumitro.

 

Sebagai bentuk pelurusan masalah, pihak redaksi pun segera memberikan ralat demi menghentikan spekulasi yang tak berujung.

 

“Di paragraf terakhir alinea ke-2 tertulis 'Dalam karirnya pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Kehutanan UGM selama tiga periode berturut turut, 1977-1988'. Yang benar 'Dalam karirnya pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Kehutanan UGM periode 1978-1979, 1980-1981, 1988-1991 dan 1991-1994',” tulis pihak redaksi di laman ugm.ac.id.

 

Pihak redaksi juga menyebutkan bahwa ralat sengaja dilakukan untuk meluruskan kekeliruan yang disebabkan oleh berita tersebut.

 

Tampaknya perubahan yang dilakukan oleh pihak redaksi UGM tak membuat warganet selesai menyudutkan Jokowi. Perubahan data itu justru membuat warganet semakin yakin adanya keikutsertaan Jokowi di dalam masalah tersebut.

 

“Menyesuaikan ijasah jokowi sampe sejarah jabatan sekelas professor direvisi,” tulis akun @val***.

 

“Kejahatan Masif, Sistematis & Terstruktur itu menakutkan banyak pihak demi menutupi ketakutannya akan nilai kejujuran,” tulis akun @ebb***.

 

“Hanya demi sebuah boneka cungkring universitas yg begitu ternama sampai rela bertindak sebodoh dan serendah itu. Miriis,” tulis akun @mc***. (kontenjatim)



SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.