SANCAnews.id – Skenario dugaan kekerasan seksual atau pemerkosaan
yang dilakukan oleh Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J terhadap istri
Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi (PC), diragukan kebenarannya oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Keraguan itu disampaikan langsung
oleh Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi, menanggapi adanya pengakuan PC yang
mendapatkan kekerasan seksual oleh Brigadir J.
"Ya kalau kami meragukan
kalau terjadi kekerasan seksual, Yosua kepada Ibu PC," ujar Edwin kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (5/9).
Edwin lantas membeberkan beberapa
hal yang membuat dirinya ragu telah terjadi dugaan kekerasan seksual yang
dilakukan oleh Brigadir J kepada PC.
Pertama, kata Edwin, peristiwa
dugaan kekerasan seksual terjadi di Magelang yang merupakan rumah milik PC dan
Sambo. Sehingga, rumah tersebut dalam penguasaan PC, bukan Brigadir J.
Kedua, kekerasan seksual biasanya
dilakukan oleh pelaku yang lebih dominan dibandingkan korban. Padahal, dalam
dugaan yang dituduhkan ini, Brigadir J merupakan ajudan, sedangkan PC merupakan
istri dari Sambo yang saat itu menjabat Kadiv Propam Polri atau Jenderal
Bintang Dua.
"Ya, artinya agak sulit
diterima," tegas Edwin.
Selain itu, dalam aksi kekerasan
seksual semacam pemerkosaan atau pencabulan, para pelakunya selalu memastikan
tidak ada saksi. Akan tetapi, dalam hal dugaan peristiwa yang terjadi di Magelang
tersebut terdapat banyak orang.
"Jadi, mudahlah buat PC
untuk mencegah peristiwa itu, atau setidaknya tidak aman buat Yosua untuk
melakukan aksi itu," terang Edwin.
Lebih lanjut, menurut Edwin,
dalam rekonstruksi terlihat dan tergambarkan keanehan. Di mana, Edwin mengaku
aneh jika benar ada kekerasan seksual di Magelang, PC masih menanyakan
keberadaan Brigadir J kepada RR.
"Dia menanyakan, kalau kita
sebut misalnya dalam konteks skenarionya, kok masih ada pertanyaan dari korban
tentang pelaku? Dan juga tergambar dalam rekonstruksi, Yosua masih menghadap PC
di kamarnya di Magelang itu. Artinya kok bisa masih bisa bertemu dengan pelaku?
Ini peristiwa luar biasa loh buat perempuan," jelas Edwin.
Lalu, PC dan Brigadir J masih
berada satu rumah di Magelang satu hari sebelum terjadi pembunuhan. Padahal,
rumah tersebut merupakan rumah PC. Sehingga, seharusnya PC bisa dan punya kuasa
untuk mengusir Brigadir J jika memang benar telah terjadi kekerasan seksual.
Bahkan, Brigadir J juga masih
bersama dengan PC dalam satu rombongan perjalanan dari Magelang ke Jakarta.
"Yang kedelapan, saya tahan
untuk diinformasikan, karena tidak mau mendahului penyidik," ucapnya.
Hal lain yang meragukan
terjadinya kekerasan seksual itu adalah, PC dan Brigadir J bagaikan Ibu dan
Anak. Apalagi, banyak beredar foto-foto bagaimana kedekatan Brigadir J dengan
keluar Sambo.
Kemudian, Brigadir J merupakan
ajudan yang diberikan kepercayaan mengurus keuangan, logistik, dan keperluan
ajudan lainnya. Terakhir, Brigadir J bukanlah orang baru. Brigadir J sudah lama
bersama PC dan Sambo.
"Dan lagi kan, Yosua itu ADC
merangkap driver pribadinya Ibu PC. Jadi, dari fakta-fakta itu, sulit untuk
memahami dugaan terjadinya kekerasan seksual. Kalau konteksnya adalah kekerasan
seksual, itu kan artinya serangan atau paksaan dari pelaku kepada korban,"
terang Edwin.
"Saya lebih sependapat
dengan diksi yang digunakan oleh Kapolri. Diksi Kapolri itu ketika di RDP
dengan Komisi III ada dugaan asusila. Dugaan asusila itu jauh lebih netral.
Betul, betul (suka sama suka)," tuturnya.
"Tapi kalau pakai diksi
kekerasan seksual, itu artinya paksaan, serangan. Nah paksaan dan serangan itu,
kok kayanya enggak tergambar dari hubungan antara PC dan Yosua, seperti tadi
yang saya sebutkan," ucap Edwin menutup. *