SANCAnews.id – Kenaikan BBM subsidi di saat masyarakat sedang
terpuruk akibat badai Covid-19 tentut tidak dapat diterima dengan alasan
apapun. Tidak mudah bagi masyarakat untuk bangkit dari hantaman badai pandemi
yang lamanya hampir 3 tahun melanda.
Begitu kata Ketua Umum PP Hima
Persis Ilham Nurhidayatullah menanggapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
subsidi. Pernyatan ini dibuat bersama dengan Ketua Umum PP Himi Persis Anisa
Nurhakim dan Ketua Umum PP IPPI Luthfi Anbar Fauziah, Minggu (4/9).
“Sejatinya, perjuangan untuk pulih oleh
masyarakat bawah harus disokong penuh pemerintah. Namun, dinaikkannya harga
pertalite dan solar menjadi kabar buruk di bulan kemerdekaan kemarin,”
tegasnya.
Kenaikan BBM, sambungnya akan
membuat inflasi. Sebab, BBM digunakan oleh hampir seluruh sektor. Sehingga,
inflasi akibat kenaikan BBM Subsidi menurut data BPS dapat menyentuh pada angka
17,11 persen.
Kenaikan harga BBM pun akan
berdampak pada biaya transportasi logistik. Diperkirakan, harga bahan pangan
dan kebutuhan pokok masyarakat lainnya akan berdampak naik sampai 30 persen
dari harga normal. Hal ini tentu berdampak pada daya beli rumah tangga.
“Efek domino akibat harga BBM
naik juga berdampak pada naiknya suku bunga yang menurut BI diperkirakan sampai
pada 4,2 persen,” sambung Ilham.
Menurutnya, gelontoran Rp 20
triliun lebih untuk BLT BBM Subsidi yang disalurkan kepada rakyat miskin bukan
solusi dalam mengatasi dampak kenaikan harga BBM. Daya beli masyarakat yang
semakin menurun dapat mengakibatkan kelompok ekonomi menengah akan downgrade
menjadi kelompok miskin baru.
Bantuan Subsidi Upah (BSU) per
pekerja sebesar Rp 600 ribu juga bukan solusi dalam mengatasi dampak kenaikan
BBM. Sebab, BSU hanya mengatasi masalah dalam jangka pendek. BSU juga tidak
sampai menyentuh pada pekerja informal yang tidak terdaftar di BPJS
Ketenagakerjaan yang menurut data BPS mencapai 78,14 juta orang.
“Petani kecil, nelayan
tradisional, buruh, pelajar dan mahasiswa yang sedang menuntut ilmu serta
masyarakat umum adalah korban langsung dari kebijakan ini. Inflasi akibat
kenaikan harga BBM juga berdampak pada sektor pendidikan formal dan non-formal.
Pertumbuhan angka kemiskinan pada akhirnya akan berdampak pada jumlah generasi
muda bangsa yang harus putus sekolah,” lanjutnya.
Selain itu, Ilham turut menyoroti
laporan APBN. Di mana sepanjang bulan Januari sampai bulan Juli 2022 serapan
subsidi energi baru sampai pada Rp 88,7 triliun. Sementara, APBN sedang surplus
Rp 106,1 triliun atau 0,57 persen dari PDB yang di periode Bulan Juli 2022.
Lebih dari itu, dia mengurai
bahwa subsidi untuk solar yang beredar di pasar, 89 persen dinikmati oleh dunia
usaha. Sehingga, hanya 11 persen dari keseluruhan kuota subsidi yang dinikmati
masyarakat menengah ke bawah. Adapun untuk jenis BBM penugasan jenis Pertalite
subsidinya dinikmati oleh 86 persen kalangan mampu.
Maka, hanya 14 persen dari
keseluruhan subsidi solar yang dipakai oleh masyarakat. Kebocoran BBM
Bersubsidi jenis solar pada pertambangan dan lainnya harus ditertibkan. Hal ini
tentu akan dapat menghemat subsidi dan APBN tanpa harus mencekik bangsa.
“Atas alasan itu, Kami menyatakan
sikap menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi, meminta
pemerintah melakukan perbaikan sistem distribusi BBM subsidi, dan mendesak
pemerintah untuk menstabilkan harga bahan pokok di pasaran,” tegasnya. (rmol)