Latest Post


 

SANCAnews.id – Bripka Ricky Rizal (RR) tak seberuntung Bharada E. Ia yang diketahui tak punya peran signifikan dalam pembunuhan Brigadir J tapi diancam hukuman mati.

 

Bripka RR juga diketahui tak memiliki pendamping hukum yang vokal menyuarakan hak-haknya sebagai tersangka. Padahal, ia diancam dengan pasal yang sama dengan Ferdy Sambo, yakni pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

 

Jika RR ikut merencanakan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, belum jelas juga apakah itu atas inisiatif pribadi atau atas hanya menjalankan perintah atasan, sebagaimana Bharada E yang terpaksa melakukan kejahatan atas suruhan FS. Mengingat posisi Bripka RR sama seperti  Bharada E, mereka ajudan yang loyal terhadap perintah atasan.

 

Sayang RR tak punya pengacara yang vokal seperti Bharada E. Tidak ada suara pembelaannya yang dikutip media massa dan ia adalah tersangka paling jarang disorot ketimbang tersangka lain.

 

Satu-satunya suara yang membela adalah jerit orang tuanya sendiri, Masitoh, di tempat tinggalnya yang sederhana di Desa Kuntili, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas. RR sudah kehilangan ayahnya sejak lama.

 

Masitoh tak menyangka anaknya yang penurut bakal terjerat kasus pembunuhan berencana. Kades Kuntili Salamun  ikut membela. Sayang ia bukan pengacara. Sehingga suaranya hanya bisa tersampai lewat media massa.

 

Salamun mengenal RR sebagai pemuda yang baik. Karenanya, masyarakat tak percaya RR ikut melakukan pembunuhan berencana terhadap temannya sendiri.

 

“Anaknya baik, dari desa baik, masyarakat gak percaya,” katanya.

 

Ia meyakini, jika pun Bripka RR ikut berbuat sesuatu dalam peristiwa pembunuhan itu, yang dilakukannya semata adalah suruhan pimpinan, dalam hal ini Ferdy Sambo.

 

Sebagai seorang prajurit, RR pastinya dia akan loyal menuruti perintah atasannya. Karena itu, sebagai Kades, ia akan membela warganya itu untuk memeroleh keadilan.  Keluarga pun meminta Presiden Jokowi memberikan keadilan kepada Bripka RR yang ikut terseret dalam kasus pembunuhan berencana ini.

 

“Prajurit pasti disuruh mau. Saya selaku Kades akan membela, maunya keluarga bagaimana, minta tolong bapak Presiden,” katanya. (poskota)



SANCAnews.id – Pengamat hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar mengungkapkan keputusan penyidik untuk tidak menahan Putri Candrawathi adalah tindakan diskriminatif. Sesuai dengan aturan, menurut dia, Putri mestinya dikurung karena dikhawatirkan bisa merusak barang bukti atau kabur.

 

Dosen dari Universitas Trisakti ini juga menilai dengan tidak ditahannya Putri dengan alasan kemanusiaan, juga memperburuk citra kepolisian yang terkesan dengan tidak adil kepada tersangka perempuan yang lain.

 

"Dengan tidak ditahannya PC, Kepolisian sudah bersikap diskriminatif terhadap tersangka perempuan lainnya," kata Abdul Fickar saat dihubungi Jumat 2 September 2022.

 

Putri yang menjadi tersangka atas Pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman minimal 20 tahun penjara, sama seperti tersangka kasus pembunuhan Brigadir J lainnya,  sudah sepatutnya mendapat penahanan. Menurut Fickar, seorang tersangka dengan hukuman penjara 5 tahun ke atas semestinya sudah bisa langsung ditahan.

 

"Seseorang dapat ditahan itu syaratnya adalah ancaman pidananya 5 tahun ke atas, dikhawatirkan melarikan diri dan mengulangi perbuatannya serta dikhawatirkan menghilangkan atau merusak barang bukti," ujarnya.

 

Namun, Fickar mengukapkan untuk penerapannya semua sepenuhnya adalah kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim pada proses selanjutnya.

 

"Penerapannya sepenuhnya kewenangan penyidik/ penuntut umum atau hakim sesuai tingkat prosesnya," tambahnya.

 

Fickar mengimbau Kepolisian agar egera menahan istri Mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo tersebut agar dapat memberikan keadilan kepada masyarakat. Pelaku tindak pidana berat yaitu pembunuhan berencana yang disangkakan kepada Putri semestinya sudah membuatnya bisa segera dikurung.

 

"Berdasarkan rasa keadilan dalam masyarakat, dan umumnya kasus yang pernah ada, maka seharusnya sangkaan pasal 340 KUHP itu ditahan karena tindak pidananya berat," ucapnya.

 

Sebelumnya, Kuasa hukum Putri Candrawathi, Arman Hanis mengungkapkan bahwa permohonan kliennya tidak menjalani penahanan dikabulkan oleh penyidik. Putri menjalani pemeriksaan lanjutan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir J pada Rabu 31 Agustus 2022.

 

"Ya (tidak ditahan)," kata Arman kepada wartawan saat di Gedung Bareskrim Polri, Rabu malam 31 Agustus 2022.

 

Arman menambahkan tidak ditahannya Putri sesuai dengan pasal 31 ayat 1 KUHAP. Dia menyatakan penyidik menggunakan alasan kemanusiaan karena Putri masih mempunyai anak kecil dan kondisinya tidak stabil.

 

Polisi menetapkan Putri Candrawathi sebagai tersangka kelima dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Empat tersangka lainnya yang sudah ditahan adalah Irjen Ferdy Sambo, Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf. (tempo)


SANCAnews.id – Komnas HAM telah membuat pernyataan rekomendasi bahwa tidak ada tindak pidana kekerasan dan penganiayaan terhadap Brigadir J sebelum pembunuhan di Duren Tiga.

 

Pembunuhan berencana Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan telah menjadi perhatian publik.

 

Dari beberapa penanganan kasus ini, telah dilakukan atau disampaikan kepada publik terkait hasil autopsi ulang Brigadir J, yang mendapat kecaman.

 

Lalu rekonstruksi atau reka ulang peristiwa terjadinya pembunuhan Brigadir J, mulai dari Magelang sampai di Duren Tiga, yang juga mendapat kritikan.

 

Setelah dua proses ini dibuka di depan publik, Komnas HAM pun juga ikut menyampaikan terkait pembunuhan Brigadir melalui pernyataan rekomendasi.

 

Pernyataan rekomendasi tersebut juga telah diberikan kepada pihak penyidik yakni Timsus Polri yang diketuai oleh Irwasum Polri Komjen Pol Agung Budi Maryoto.

 

Salah satu poin rekomendasi yang disoroti publik adalah soal tidak ditemukannya tindak pidana kekerasan atau penganiayaan terhadap Brigadir J.

 

Kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, pernyataan rekomendasi ini berdasarkan hasil autopsi baik yang pertama dan yang kedua.

 

"Kedua, rekomendasi Komnas HAM menyimpulkan tidak ada tindak pidana kekerasan penganiayaan," ujar Taufan di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis, 1 September 2022.

 

Pernyataan rekomendasi Komnas HAM ditanggapi secara tegas oleh Eks Kabareskrim Polri Komjen Pol (Purn) Susno Duadji.

 

Susno menegaskan, terkait poin tidak ditemukannya tindak pidana kekerasan dan penganiayaan terhadap Brigadir J, Komnas HAM telah melewati level penyidik.

 

Pernyataan rekomendasi ini sama saja, menurut Susno, telah mendahului tim penyidik sebagai penegak hukum yang berlaku.

 

Susno mempertanyakan apa saja penyelidikan yang telah dilakukan Komnas HAM. Jika hanya berdasarkan keterangan dokter hal ini akan menjadi kegaduhan.

 

"Termasuk satu poin lagi, tidak ada penganiayaan, tidak ada... apa dia sudah menyelidik, apa dia sudah tahu visum, biarlah penyidik yang menyimpulkan, lukanya berapa, luka visumnya bagaimana, baru disimpulkan.

 

"Oh, disimpulkan oleh dokter, berarti dokternya yang ngawur, dokter yang buat visum itu tidak sampai pada perbuatan pidananya," simpul Susno saat dimintai tanggapan dalam program televisi Apa Kabar Indonesia Malam TVOne, yang diunggah ke YouTube pada 1 September 2022.

 

Susno menyebut, penyelidikan dari keterangan dokter bukan hanya sekadar melihat jumlah luka dan akibat dari adanya luka-luka tersebut.

 

"Dia hanya melihat, lukanya berapa, akibat apa dan sebagainya. Dan termasuk ingin... jadi yang ingin saya garis bawahi di sini supaya masyarakat jangan gaduh," sambung Susno.

 

Tak berhenti sampai di situ, Susno juga menilai Komnas HAM terlalu sering membuat pernyataan yang bukan porsinya.

 

"Komnas HAM tolonglah, nggak usah terlalu banyak ngomonglah. Nggak usah banyak ngomong yang bukan porsinya dia sampai masuk ke ranah penyidikan," tegas Susno.

 

Katanya, terkait dugaan kekerasan dan penganiayan yang dilaporkan kuasa hukum keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, biar tim penyidik yang memberi kesimpulan.

 

"Itu ranahnya Polri, menyidik tindak pidana yang tidak ada pelanggaran HAM beratnya, itu ranahnya Polri.

 

"Tapi kalau memang ada pelanggaran HAM berat, silakan ditake over sesuai dengan Undang-undangan tentang HAM, prosedur hukum dan acaranya ada gitu," terang Susno.

 

Langkah Komnas HAM dalam pernyataan rekomendasi yang disampaikan pada Kamis, 1 September 2022 kemarin disebut hanya membuat kebingungan di tengah publik.

 

Ia mengkritisi, Komnas HAM jangan hanya mengamati saja seperti penonton sepakbola.

 

"Nggak begini. Kalau semua penyidikan Polri dicampuri, orang bingung, yang didengar itu hasilnya Polri sudah bekerja keras, sesuai dengan standar hukum pembuktian atau hasilnya Komnas HAM yang ngamati kayak penonton bola lalu dimuat?" jelas Susno lagi.

 

Sebab hal itu, kata Susno, Komnas HAM tak memiliki fasilitas forensik untuk melakukan penyelidikan secara mendalam terkait kasus pembunuhan Brigadir J.

 

"Komnas HAM tidak punya laboratorium forensik, Komnas HAM tidak punya laboratorium digital, Komnas HAM tidak pernah meminta visum, loh kok sudah menyimpulkan begitu," lanjut Susno.

 

Susno menduga, Komnas HAM hanya membacakan BAP dari penyidik, lalu membuat kesimpulan terkait pernyataan rekomendasinya.

 

"Bahkan sampai menyampaikan konstruksi peristiwa, hebat bener? Kenapa dia menyimpulkan. Kemudian sudah sampai... begitu, apakah dia hanya membacakan BAP penyidik, kalau dia membacakan BAP penyidik, berarti dia Divhumasnya Polri.

 

Sejauh ini, Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto Cs belum menyampaikan hasil penyelidikan terkait dugaan kekerasan dan penganiayaan Brigadir J dan dugaan pelecehan seksual Putri Candrawathi di Magelang.

 

Susno meminta, jangan sampai pernyataan rekomendasi Komnas HAM menjadi kegaduhan di tengah publik.

 

"Polri saja tidak pernah mengumumkan ini, sampai dia jadi... tolonglah, apalagi kita lembaga-lembaga resmi jangan membuat kegaduhan. (disway)


 

SANCAnews.id – Diketahui, Ferdy Sambo telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan ajudannya, Brigadir J.

 

Namun kini, mantan Kadiv Propam Polri itu juga kembali ditetapkan sebagai tersangka kasus obstruction of justice dalam kasus yang menjeratnya.

 

Tak hanya sendiri, ada enam orang lainnya yang juga ditetapkan tersangka.

 

Kabar itu dibenarkan oleh Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo pada Kamis (1/9/2022).

 

Ketujuh tersangka tersebut di antaranya:

 

1. Ferdy Sambo

 

2. AKBP Arif Rahman Arifin selaku Wakadaen B Biropaminal Divisi Propam Polri.

 

3. Kompol Chuk Putranto selaku PS Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri.

 

4. Kompol Baiquni Wibowo selaku PS Kasubbagriksa Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri

 

5. Brigjen Hendra Kurniawan selaku Karopaminal Divisi Propam Polri.

 

6. Kombes Agus Nurpatria selaku Kaden A Biropaminal Divisi Propam Polri

 

7. AKP Irfan Widyanto selaku mantan Kasubnit I Subdit III Dittipidum Bareskrim Polri.

 

"Ini sampai dengan malam ini sudah 7 orang, IJP FS (Ferdy Sambo), BJP HK, KBP ANP, AKBP AR, KP BW, KP CP, dan AKP IW," kata Dedi saat dikonfirmasi awak media, Kamis (1/9/2022).

 

Dedi menyatakan, saat ini Komite Kode Etik Polri telah menggelar sidang etik untuk seluruh anggota Polri yang ditetapkan tersangka.

 

Bahkan, sidang etiknya telah digelar mulai Kamis (1/9).

 

"Sidang diselenggarakan oleh Wabprof Polri hari ini dengan terduga pelanggar CP terkait pelanggaran Kode Etik," ucap Dedi.

 

Kendati demikian, Dedi belum dapat menjabarkan secara detail proses sidang etik yang tengah bergulir untuk para tersangka Obstruction of Justice.

 

"Ya sudah masuk ranah sidik dan secara paralel untuk sidang KKEP juga jalan," kata dia.

 

Sementara Kejaksaan Agung juga telah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap enam tersangka kecuali Ferdy Sambo. (tribunnews)


SANCAnews.id – Putri Chandrawathi tak ditahan Polri. Alasannya Putri memiliki anak yang masih balita. Komnas Perempuan menyikapi hal tersebut, agar perempuan lain yang memiliki balita, sedang menyusui, atau hamil juga diperlakukan sama.

 

"Kemudian sampai saat ini dia tidak ditahan karena alasan yang berkembang di media, dia memiliki balita. Maka ketiga hal ini haruslah dijadikan standar oleh kepolisian di dalam menangani menangani kasus-kasus perempuan lainnya," beber Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.

 

Siti Aminah menyampaikan itu dalam jumpa pers di Komnas HAM, Jakarta, Kamis (1/9).

 

"Komnas Perempuan baik dimuat oleh media atau tidak, ketika ada perempuan yang sedang memiliki hak maternitas seperti sedang hamil, menyusui, memiliki balita, Komnas Perempuan selalu merekomendasikan untuk tidak dilakukan penahanan," tegas Siti Aminah.

 

Ke depan, Siti Aminah berharap Polri memiliki standar dalam penanganan kasus perempuan yang sedang hamil, menyusui, dan juga memiliki balita.

 

"Maka itu tidak boleh terjadi ke depannya. Kepolisian harus memiliki standar kapan seorang perempuan itu boleh dilakukan penahanan. Penahanan berbasis Rutan itu adalah pilihan terakhir," tegasnya.

 

Sama seperti halnya pada Putri, Siti Aminah menyebut, Putri adalah korban dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Magelang. Putri mendapatkan sejumlah hak mulai dari psikolog hingga bantuan hukum.

 

"Saat ibu P, baik menjadi korban atau pelaku, mendapatkan haknya mendapatkan pendampingan psikolog, ia diberikan haknya dan akses bantuan hukum," beber Siti Aminah. (kumparan)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.