Latest Post


SANCAnews.id – Berita Acara Pemeriksaan atau BAP Ferdy Sambo yang sempat dilihat Tempo mengungkap soal penghapusan rekaman kamera keamanan di sekitar rumah dinasnya. Sambo sempat mengancam bawahannya yang sempat melihat rekaman tersebut untuk tutup mulut.

 

Dalam BAP itu Sambo awalnya mengaku memerintahkan mantan Kepala Biro Paminal Brigjen Hendra Kurniawan untuk mengamankan kamera keamanan atau CCTV (Close Circuit Television) di sekitar rumah dinasnya di Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Perintah itu diberikan Sambo ketika Hendra hadir di lokasi pembunuhan Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat.

 

Keterlibatan Hendra bermula ketika dia mendapatkan telepon dari Sambo yang memintanya untuk datang ke Duren Tiga. Hendra sedang memancing di kawasan Pantai Indah Kapuk saat itu.

 

"Kasus nih, ajudan tembak-tembakan, satu meninggal," kata Sambo kepada Hendra melalui hubungan telepon.

 

Mendapatkan perintah itu, Hendra langsung meluncur ke Duren Tiga. Sesampainya di sana, Sambo menceritakan skenario palsu kematian Brigadir J yang telah dia persiapkan kepada Hendra. Sambo menceritakan bahwa Brigadir J tewas setelah terlibat tembak menembak dengan Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Brigadir J juga disebut melakukan pelecehan seksual kepada istri Sambo, Putri Candrawathi. Kepala Biro Provos Polri, Brigjen Benny Ali, pun ikut mendengarkan cerita itu bersama Hendra.

 

Perintah untuk mengamankan CCTV

Kepada penyidik, Sambo awalnya mengaku memerintahkan dua bawahannya itu untuk melakukan penyidikan kematian Brigadir J sesuai dengan prosedur. Dia meminta mereka untuk mengamankan alat bukti berupa pistol, CCTV serta saksi-saksi, yaitu: Bharada E, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf ke kantor Propam Mabes Polri.

 

Penyidik pun membacakan keterangan mantan Wakaden B Biropaminal Polri, AKBP Arif Rachman Arifin kepada Sambo. Dalam keterangannya, Arif menyatakan sempat melaporkan hasil pengecekan CCTV itu bersama Hendra pada 13 Juli 2022. Rekaman CCTV disebut yang tidak sesuai dengan cerita Sambo.

 

Sambo pun sempat menyatakan, "Tidak seperti itu, masa kamu tidak percaya sama saya."

 

Jenderal bintang dua itu juga sempat menanyakan siapa saja yang sudah melihat rekaman tersebut. Arif menjawab bahwa rekaman itu dilihatnya bersama Kompol Chuk Putranto, Kompol Baiquni Wibowo dan AKBP Ridwan.

 

Setelah itu, Sambo sempat meminta mereka untuk bungkam sembari menanyakan dimana rekaman itu disimpan.

 

"Kalau bocor berarti kalian berempat yang bocorin dan disimpan dimana video tersebut," kata Sambo.

 

Arif pun menjawab bahwa rekaman itu berada di laptop dan flashdisk Baiquni. Sambo lantas memerintahkan Arif untuk menghapus semua rekaman tersebut.

 

Sambo membenarkan cerita Arif tersebut, namun dia menyatakan Hendra Kurniawan tak mengetahui isi dari rekaman CCTV itu.

 

Polisi sempat menyatakan tak ada rekaman CCTV di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo. Awalnya, mereka menyatakan bahwa dekoder kamera pengawasan itu rusak karena tersambar petir. Belakangan diketahui bahwa rekaman CCTV itu diambil tanpa melalui prosedur yang benar.

 

Akibat masalah, Brigjen Hendra Kurniawan dan Brigjen Benny Ali beserta bawahannya ikut terseret. Mereka dinilai melakukan obstrucion of justice atau menghalang-halangi penegakan hukum. Ferdy Sambo juga menyeret puluhan anggota polisi lainnya seperti Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto dan para bawahannya dalam kasus ini.

 

Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo menolak berkomentar soal isi BAP Ferdy Sambo tersebut. Dia menyatakan hal itu masuk ke ranah hukum. Pengacara keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, pun tak mau berkomentar soal ini. (tempo)


SANCAnews.id – Berita Acara Pemeriksaan atau BAP Ferdy Sambo dan Hendra Kurniawan menguak soal arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kapolri sempat bertemu dengan Ferdy, Hendra dan Benny Ali pada malam  setelah kejadian pembunuhan Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat.

 

Dalam dua BAP yang sempat dilihat Tempo tersebut, Hendra dan Benny menyatakan bertemu dengan Kapolri pada Jumat malam, 8 Juli 2022.  Mereka menyatakan mendapat perintah untuk bertemu Kapolri setelah dihubungi Kakorspripim Kapolri Kombes Dedi Murti. Saat itu, Benny dan Hendra sedang berada di di kantornya.

 

Sebelum bertemu dengan Kapolri, Benny dan Hendra mengaku sempat bertemu dengan Sambo di rumah dinasnya yang juga menjadi lokasi tewasnya Yosua. Keduanya mendengarkan cerita palsu dari Sambo bahwa Yosua tewas akibat aksi tembak menembak dengan Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu.

 

Dalam perjalanan menuju ruangan Kapolri, keduanya juga mengaku berpapasan dengan Sambo di lantai 1 Kantor Biro Provost Polri. Mereka memberitahukan panggilan dari Listyo Sigit tersebut.

 

"Oiya, jelaskan saja, nanti saya menghadap juga," kata Sambo menanggapi Hendra dan Benny.

 

Arahan Kapolri soal kematian Brigadir J 

Hendra dan Benny kemudian melaporkan cerita yang mereka dengar dari Sambo itu kepada Kapolri. Listyo Sigit pun memberikan arahan agar kasus ini ditangani sesuai prosedur dan mengabaikan bahwa peristiwa ini terjadi di rumah dinas Kadivpropam Polri.

 

Usai pertemuan itu, Hendra dan Benny kemudian kembali ke kantornya sementara Sambo bertemu dengan Kapolri.

 

Sambo pun sempat kembali ke Kantor Biro Provos Polri usai menemui Kapolri. Di sana dia berbicara dengan Bharada E, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf. Ketiganya diamankan di sana atas perintah Sambo.

 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan pemaparan saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 24 Agustus 2022. Rapat tersebut membahas kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo terhadap Brigadir Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. TEMPO/M Taufan Rengganis

 

Setelah itu, Sambo menceritakan kepada Hendra dan Benny soal pertemuannya dengan Kapolri. Dia menyatakan bahwa Listyo Sigit sempat menanyakan apakah dirinya ikut terlibat menembak Yosua.

 

"Siap Tidak Jenderal. Kalau saya nembak kenapa harus di dalam rumah? Pasti saya selesaikan di luar. Kalau saya yang nembak bisa peccah itu kepalanya karena senjata pegangan saya kaliber 45," kata Sambo kepada Hendra dan Benny menirukan jawabannya kepada Kapolri.

 

Perintah Kapolri agar kasus itu ditangani sesuai prosedur tampaknya tak diindahkan oleh Hendra dan Benny. Buktinya, mereka terlibat dalam sejumlah upaya menghalangi penyidikan. Misalnya soal mengawal pemeriksaan saksi-saksi oleh penyidik Polres Jakarta Selatan agar dilakukan di Biro Paminal.

 

Brigjen Hendra Kurniawan sempat menyatakan bahwa hal itu dia lakukan atas perintah Sambo. Dia mengaku mendapatkan telepon dari Sambo pada Sabtu pagi, 9 Juli 2022.

 

"Bro, untuk pemeriksaan saksi-saksi oleh penyidik Selatan di tempat Bro aja ya. Biar tidak gaduh karena ini menyangkut Mbak-mu, masalah pelecehan," kata Hendra menirukan perintah Sambo.

 

Sambo juga disebut meminta agar Bharada E cs tak lagi di tahan. Permintaan itu dilontarkan Sambo usai penyidik Biro Paminal Polri melakukan rekonstruksi di rumah dinasnya di Komplek Polri Duren Tiga.

 

Brigjen Benny Ali mengaku sempat menolak permintaan Sambo itu karena kasus ini masih disidik oleh Polres Jakarta Selatan. Akan tetapi mereka tak berdaya dengan desakan Sambo.

 

"Alasannya, Ibu Putri ingin bertemu karena sudah menyelamatkan nyawanya," kata Benny dalam BAP Ferdy Sambo dan Hendra Kurniawan.

 

Setelah itu, Hendra juga terlibat dalam penghilangan alat bukti rekaman CCTV di sekitar rumah Duren Tiga. Sambo memerintahkan Hendra untuk mengamankan CCTV tersebut.

 

Pada 13 Juli, Wakaden B Biropaminal Polri, AKBP Arif Rachman Arifin, mengaku sempat melaporkan hasil pengecekan terhadap CCTV tersebut. Arif mengaku dia ditemani Hendra saat itu. Arif dan Hendra melaporkan bahwa dia menemukan ketidaksesuaian antara cerita Sambo dengan rekaman CCTV.

 

"Tidak seperti itu, masa kamu tidak percaya sama saya," kata Sambo menanggapi laporan tersebut.

 

Sambo kemudian menanyakan siapa saja yang sudah melihat rekaman itu dan dimana rekaman itu berada. Arif pun menjawab bahwa rekaman itu dilihatnya bersama dengan Kompol Chuk Putranto, Kompol Baiquni Wibowo dan AKBP Ridwan. Sambo pun mengancam keempat bawahannya itu untuk tutup mulut dan meminta agar rekaman itu dihapus.

 

"Kalau bocor berarti kalian berempat yang bocorin," kata Sambo.

 

Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo menolak berkomentar soal isi BAP Ferdy Sambo tersebut. Dia menyatakan hal itu masuk ke ranah hukum. Pengacara keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, pun tak mau berkomentar soal ini. (tempo)


 

SANCAnews.id – Habib Bahar bin Smith bebas dari Rumah Tahanan (Rutan) Polda Jabar, Kamis dini hari (1/9).

 

Bahar bin Smith disambut pihak keluarga dan langsung menuju Pondok Pesantren Tajjul Allawiyin, Kabupaten Bogor.

 

"Habib keluar dari rutan Polda Jabar jam 3 pagi. (Habib) langsung ke Tajul (Allawiyin), pesantren, kediaman beliau. Kondisi beliau sehat, bugar," ujar kuasa hukum Bahar bin Smith, Ichwanuddin Tuankotta diberitakan Kantor Berita RMOLJabar.

 

Bahar bin Smith belum memberi keterangan kapan dirinya akan kembali mulai berceramah.

 

"Beliau ingin fokus dengan keluarga," tutur Ichwanuddin.

 

Sementara itu dikonfirmasi terpisah, Kasi Intel Kejari Bale Bandung, Andrie Dwi Subianto mengatakan, dibebaskannya Bahar usai adanya penetapan putusan hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Pihak jaksa melakukan eksekusi atas putusan itu.

 

"Ya sudah bebas murni. Karena kan 7 bulan ya (putusan hakim PT Bandung), sudah pas hari ini," kata Andrie.

 

Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung memperberat hukuman habib Bahar bin Smith menjadi tujuh bulan penjara. Namun, hakim meminta agar Bahar dikeluarkan dari tahanan.

 

Hal itu sebagaimana putusan hakim PT Bandung yang diketuai oleh Untung Widarto dan dua anggota Majelis Elly Endang dan Robert Siahaan.

 

Sebagaimana dikutip dari laman Mahkamah Agung (MA) pada Rabu (31/8/2022), PT Bandung menerima banding jaksa atas vonis 6 bulan 15 hari Bahar.

 

Vonis hakim PT Bandung lebih besar ketimbang vonis hakim PN Bandung yang sebelumnya memvonis Bahar dengan hukuman 6 bulan 15 hari.

 

Dalam putusannya, hakim PT Bandung menilai Bahar bersalah menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau tidak lengkap.

 

Vonis itu dikurangkan dari masa penahanan yang telah dijalani. Hakim juga meminta agar Bahar dibebaskan dari penjara.

 

"Memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan rumah tahanan negara," kata hakim. (rmol)



SANCAnews.id – Rekonstruksi pembunuhan Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat di dua rumah Ferdy Sambo, di Jalan Saguling III dan Komplek Polri Duren Tiga, telah digelar pada Selasa kemarin, 30 Agustus 2022. Sebanyak 74 adegan diperagakan dalam rekonstruksi tersebut.


Rekonstruksi itu memeragakan adegan mulai dari yang terjadi di rumah Sambo di Magelang, Jawa Tengah, hingga ekseksusi Brigadir J di rumah Duren Tiga.


Salah satu adegan yang diperagakan adalah ketika eksekusi Yosua di rumah dinas Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. 


Dalam rekonstruksi kemarin, Yosua disebut sempat setengah berlutut untuk memohon di hadapan Bharada E yang menodongnya dengan pistol. Yosua ditodong Richard di lantai satu, tepatnya antara depan tangga dan kamar mandi dekat ruang tamu. Dalam adegan tersebut tidak hadir tersangka lain. Ketidakhadiran tersangka lain karena adanya perbedaan keterangan antara tersangka. 


Cerita versi Ferdy Sambo

Dalam Berita Acara Pemeriksaan Ferdy Sambo yang dilihat Tempo, kejadian itu memang berbeda. Ferdy mengaku saat itu bersama Bharada E dan Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf menanyakan soal peristiwa di Magelang kepada Yosua. 


"Kenapa kamu tega berbuat kurang ajar ke ibu?" kata Ferdy menirukan pertanyaannya kepada Yosua saat itu.


Dia pun menyatakan bahwa Yosua membalas pertanyaannya itu dengan nada menantang. "Tega apa komandan?" kata Ferdy menirukan pernyataan Yosua. 


Kemudian Ferdy membalasnya lagi dengan mengatakan, "Kamu kurang ajar sama ibu." Yosua kembali membalas, "Kurang ajar apa komandan?"


Merasa Yosua tak mau mengakui perbuatannya dan menantang dirinya, Ferdy Sambo pun mengeluarkan perintah kepada Richard. 


"Hajar Chard," kata Ferdy kepada penyidik yang memeriksanya. 


Menurut Ferdy, Richard kemudian melepaskan tembakan dari jarak sekitar 2 meter sebanyak lima kali. 


"Kejadian terebut disaksikan oleh Bripka Ricky dan Kuat," kata Ferdy. 


Cerita versi Ferdy Sambo ini berbeda juga dengan keterangan yang pernah disampaikan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada publik. Kapolri sempat menyatakan bahwa fakta yang ditemukan tim khusus bentukannya adalah Bharada E menembak Yosua atas perintah Ferdy. (merdeka)



SANCAnews.id – Sidang ketiga teduga teroris yang terdiri dari tiga ustaz diantaranya Ust Farid Ahmad Okbah, Ust Zein An Najah dan Ust Anung mendapatkan kecaman dari kuasa hukum.

 

Pasalnya menjelang persidangan yang digelar di Pengadilan Tinggi Jakarta Timur pada Rabu 31 Agustus 2022, pihak pengadilan melarang kuasa hukum untuk memasuki ruangan sidang.

 

Karena kuasa hukum 3 ustaz dilarang masuk ruangan sidang, tersangka jalani sidang tanpa pengacara. Hal ini seperti yang terjadi di sidang pertama yang dilakukan pada 16 Agustus 2022 lalu.

 

Azam Khan salah seorang kuasa hukum dari 3 ustaz terduga teroris mengungkapkan bahwa mereka diundang dari legalitas hukum resmi untuk mendampingi ust. Farid Ahmad, ust. Zein An Najah dan ust. Anung.

 

“Dalam sidang ini harusnya terbuka untuk umum dan semua harusnya bisa melihat jalannya sidang ini, tapi apa kami tim pengacara tidak bisa masuk ke dalam,” protes Azam.

 

Masih dengan Azam, semua sebagai pengacara yang resmi seharusnya bisa mendampingi kliennya.

 

Kemarin janjinya hakim hanya membatasi sebanyak 35 pengunjung dan untuk pengacara selagi masih bisa masuk diperbolehkan.

 

“Kami ini dibatasi dengan cara yang tidak berkeadilan, saya datang kesini untuk mencari kebenaran. Belum tentu klien kami itu bersalah, kami ini semua dianggap teroris atau seperti apa,” papar Azam.

 

Azam juga menjelaskan bahwa pelarangan tersebut masih belum diketahui alasannya.

 

“Kami tidak mengerti, ada apa ini sampai kami tidak boleh masuk ke dalam, kami ini mencari keadilan bukan dibatasi,” ujarnya.

 

Menurut Azam, maskipun ruang sidang tidak mencukupi kapasitas tapi kami tim pengacara rela berdiri sampai berjam-jam untuk mencari keadilan.

 

“Pada pasal 5 kita semua sama di mata penegak hukum seperti jaksa, kepolisian, hakim ataupun pengacara, harusnya semua sama dimata hukum tidak boleh ada intervensi dan membeda-bedakan kami siapa,” lanjutnya.

 

Masih dengan Azam, kami sebagai pengacara merasa tidak di hormati dengan jalannya sidang ini, karena kami semua tidak boleh masuk dan mendampingi klien kami di dalam. Seharusnya wajib mendampingi proses jalannya sidang dan sampai pemutusan hukuman.

 

“Kalo dibatasi seperti ini ada hal yang tidak beres kami harusnya wajib mendampingi klien saya,” ujarnya.  (disway)

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.