Latest Post



SANCAnews.id – Nama Direktur Utama (Dirut) PT Taspen, Antonius S. Kokasih mulai diperbincangkan usai disebut-sebut oleh Kamaruddin Simanjuntak, kuasa hukum keluarga Brigadir J.

 

Dalam hal ini, video Antonius S. Kokasih yang dilabrak oleh istrinya sendiri viral di media sosial.

 

Di Twitter beredar video Antonius yang berkali-kali diteriaki peremuan yang diduga istrinya usai digrebek bersama perempuan.

 

“Enggak tau malu! PT Taspen enggak tau malu lu! Br*ngs*k, peliharaan orang juga. Malu-maluin lu!” teriak sang istri sambil dekati Antonius.

 

“Lu gak tau malu! Tinggalin keluarga demi perempuan peliharaan!” tambah si perempuan sambil memukuli Antonius.

 

“iya.. ya.. eh aku enggak boleh pulang, mana kuncinya enggak bisa masuk,” jawab Antonius.

 

“Siapa mau terima laki-laki seperti kamu! Pejabat enggak tau malu! Pelihara perempuan. Saya istri sahnya, ditinggal,” teriak sang istri.

 

Video berdurasi 2 menit 11 detik itu sontak mengundang berbagai respons dari warganet.

 

"Padahal lebih cantik istrinya banget tuh," komentar warganet.

 

"Enggak punya akhlak nih bener-bener," tambah warganet lain.

 

"PT Taspen salah satu Perusahaan BUMN dikelola oleh orang tukang main perempuan bisa habis uang pesiunan orang," imbuh lainnya.

 

"Abis ngabisin uang pensiunan orang, ngadu ke Menkeu biar uang pensiun PNS diapus aja karena beratin negara," tulis warganet di kolom komentar.

 

"Ancur banget pejabat rejim ini," timpal lainnya.

 

Sebelumnya Kamaruddin menyebut nama-nama Dirut PT Taspen yang terkiat dengan persiapan dana capres dan main perempuan. Akibat pernyataan Kamaruddin, nama Antonius Kokasih menjadi perhatian publik.

 

"Dalam rangka mempersiapkan capres 2024, seorang Dirut BUMN, mengelola Rp300 triliun. Nama (perusahaannya) PT Taspen, saya buka aja saya ga suka pake etik-etik an," ucap Kamaruddin dalam sebuah wawancara yang videonya viral di sosial media.

 

"Dia punya wanita-wanita (simpanan), yang dititipi uang dengan cara uang yang Rp300 T diinvestasikan lalu ada cashback, cashback-nya diinvestasikan atas nama perempuan-perempuan ini, yang tidak dinikahi secara resmi hanya secara ghoib," tambahnya. (suara)





SANCAnews.id – Kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J) yang melibatkan Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo sebagai tersangka berdampak pada proses pengajuan kasasi kasus unlawfull killing enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI).

 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus pembunuhan enam Laskar FPI, Zet Tadung Allo mengatakan, berkas perkara untuk proses kasasi perkara unlawfull killing tersebut, baru dilimpahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), ke Mahkamah Agung (MA) setelah gembar-gembor kasus Sambo, mencuat ke publik.

 

Padahal, dikatakan Tadung, memori kasasi dari JPU atas kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pembunuhan enam anggota Laskar FPI tersebut, resmi diajukan ke PN Jaksel, sejak Selasa 22 Maret 2022 lalu.

 

Akan tetapi, dikatakan Todung, PN Jaksel, baru memproses administrasi kasasi ke MA atas kasus tersebut, pada 29 Juli 2022 atau lima bulan setelah JPU resmi mengajukan kasasi.

 

“Kita belum menerima hasil kasasi karena PN Jaksel baru mengirimkan berkas kasasi perkara itu (unlawfull killing) setelah ada kasus Sambo ribut-ribut ini,” ujar Todung kepada Republika, Sabtu (27/8).

 

Pun, kata Todung, PN Jaksel baru memberitakan kepada tim JPU, proses kasasi tersebut, baru disorongkan berkasnya ke MA, pada awal-awal Agustus 2022. “Jadi, kita (JPU) pertanyakan juga kenapa itu lama sekali. Dan kenapa setelah ada kasus Sambo ini, PN (Jaksel) baru memberikan (berkas kasasi) ke MA,” ujar Todung.

 

Todung tak mau berspekulasi tentang apapun, apakah mencuatnya kasus Sambo, berkelindan dengan proses hukum berjalan terkait perkara pembunuhan enam Laskar FPI tersebut.

 

Tetapi, Todung mencermati desakan publik, pun pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang menyampaikan wacana penyidikan baru kasus KM 50 tersebut. Meskipun dikatakan Todung, penyidikan baru kasus unlawfull killing tersebut, membutuhkan bukti baru, atau novum jika dilakukan penyidikan ulang.

 

“Kalau penyidikan baru itu bisa saja. Tetapi, itu menjadi kewenangan penyidikan (Polri), jika ada ditemukan, atau ada yang mengajukan bukti-bukti baru,” ujar Todung.

 

“Dan itu (penyidikan ulang) dilakukan setelah kasus ini (yang sedang berjalan) inkrah dulu,” sambung Todung.

 

Namun begitu, dikatakan Todung, tanpa adanya novum, ataupun bukti-bukti baru, penyidikan baru kasus tersebut, dapat dilakukan melalui perintah hakim MA yang dituangkan dalam putusan kasasi yang sedang berjalan sekarang ini.

 

Meskipun begitu, menurut Todung, paling penting saat ini, dari putusan kasasi itu nantinya, diharapkan dia, dapat mengubah putusan majelis hakim PN Jaksel yang melepas dua terdakwa Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorella, dari jeratan hukuman.

 

Padahal, dikatakan Todung, dalam putusan tingkat pertama, majelis hakim menyatakan dua terdakwa anggota Resmob Polda Metro Jaya itu, bersalah melakukan pembunuhan enam Laskar FPI.

 

“Jadi sesuai dengan kasasi dari yang kami (JPU) lakukan, meminta agar hakim di Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa perkara ini, mengubah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan memberikan hukuman pidana terhadap dua terdakwa (Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorella) yang sudah terbukti bersalah, melakukan pembunuhan, tetapi tidak dipidana, dan tidak diberikan hukuman, dan dilepas,” kata Todung.

 

Dalam kasus pembunuhan di luar proses hukum, atau unlawfull killing terhadap enam anggota Laskar FPI 2020, dua terdakwa, anggota Resmob Polda Metro Jaya, dituntut oleh hakim 6 tahun penjara.

 

JPU menggunakan Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana sebagai dasar sangkaan. Namun dalam putusan PN Jaksel, Jumat (18/3) lalu, majelis hakim menyatakan, perbuatan Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorella melakukan pembunuhan tersebut, atas dasar terpaksa dan pembelaan diri.

 

Karena itu, menurut hakim PN Jaksel, dua anggota Polda Metro Jaya itu, tak dapat dijatuhi hukuman pidana. “Menyatakan bahwa kepada terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena ada alasan pembenar dan pemaaf,” begitu petikan putusan PN Jaksel, yang dibacakan Ketua Majelsi Hakim, Arif Nuryanta, Jumat (18/3) lalu.

 

Atas putusan tersebut, hakim memerintahkan dua terdakwa tersebut, dilepas. “Melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum. Dan memulihkan hak-hak terdakwa dan kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya,” begitu ujar hakim.

 

Namun, pada Rabu (24/8) kemarin, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, di hadapan Komisi III DPR RI, membuka wacana untuk mengungkap kembali, dan bersedia membuka penyidikan baru, demi fakta-fakta hukum, dan kebenaran atas kasus pembunuhan di KM 50 Tol Cikampek itu.

 

Pernyataan dari Jenderal Sigit tersebut, sebagai respons dari publik, pun sejumlah anggota DPR, yang mengaitkan peran Irjen Sambo dalam penyidikan kasus pembunuhan enam anggota Laskar FPI tersebut.

 

“Apabila ada novum baru, tentunya kami akan memprosesnya,” begitu kata Jenderal Sigit.

 

Namun, Kapolri juga mengatakan, tim penyidikannya, masih menunggu hasil resmi dari MA, terkait proses kasasi kasus KM 50 tersebut. “Terhadap kasus KM 50 ini, memang masih berproses di pengadilan. Memang sudah ada keputusan, dan kita melihat juga bahwa jaksa saat ini, sedang mengajukan kasasi atas kasus tersebut,” ujar Jenderal Sigit menambahkan.

 

Keterkaitan antara Irjen Sambo dengan pembantaian di KM 50 tersebut, lantaran perannya sebagai Kadiv Propam, saat Dirtipidum Bareskrim Polri 2021, melakukan penyidikan kasus pembunuhan enam Laskar FPI itu.

 

Irjen Sambo, sebagai Kadiv Propam pada saat itu, masuk ke dalam fungsi pengawasan, dan analisa pengungkapan kasus tersebut, lantaran para pelaku, dan tersangka pembunuhan dalam kasus itu, adalah para anggota Polri dari Polda Metro Jaya.

 

Irjen Sambo, menerjunkan 30 personel Propam, untuk memeriksa anggota-anggota kepolisian yang terlibat dalam aksi pengejaran, sampai pada eksekusi para anggota Laskar FPI tersebut.

 

Akan tetapi, pemeriksaan oleh Div Propam saat itu, tak ditemukan adanya kesalahan prosedur  penggunaan senjata api, dan proses penindakan yang dilakukan para anggota Polda Metro Jaya terhadap para pengawal Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab tersebut.

 

Namun begitu, saat ini, peran Irjen Sambo dalam kasus Laskar FPI tersebut, belakangan dinilai tak bisa dipercaya. Karena saat ini, Irjen Sambo, adalah sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap ajudannya sendiri, yakni Brigadir J.

 

Bahkan dalam statusnya sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J tersebut, Irjen Sambo mengakui sebagai dalang rekayasa palsu, dan pembuatan skenario palsu, agar kematian Brigadir J tak terungkap. Pun, dalam pengakuannya, Irjen Sambo mengatakan, sebagai otak dari penghambatan proses penyidikan, agar kasus kematian Brigadir J tak terungkap.

 

Dari pemeriksaan oleh Inspektorat Khusus (Irsus), Irjen Sambo, dinyatakan melakukan pelanggaran etik, karena melakukan menjadi tersangka pembunuhan berencana, dan obstruction of justice atas perusakan barang bukti, dan manipulasi kronologis kematian Brigadir J.

 

Atas semua tuduhannya itu, pada Kamis (25/8) sidang Komisi Etik dan Profesi Polri (KEPP) memutuskan untuk memecat Irjen Sambo dari keanggotaan kepolisian. Akan tetapi, pemecatan tersebut belum dapat dieksekusi, lantaran Irjen Sambo mengajukan banding.

 

Sementara terkait statusnya sebagai tersangka pembunuhan, ia dijerat dengan sangkaan Pasal 340 subsider 338 KUH Pidana, juncto Pasla 55, dan Pasal 56 KUH Pidana, dengan ancaman hukuman pidana mati, atau penjara seumur hidup, atau minimal 20 tahun.

 

Saat ini, Irjen Sambo masih mendekam di dalam sel tahanan di Mako Brimob, menunggu pemecatan, dan nasib hukumnya di pengadilan. (republika)


SANCAnews.id – Skenario awal kasus pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo dengan kasus kematian 6 laskar FPI dinilai mirip-mirip.

 

Atas alasan itu, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Fadli Zon menunggu keadilan bagi keluarga korban peristiwa KM 50.

 

Hal itu disampaikan Fadli Zon dalam tulisannya di akun Twitternya @fadlizon sembari melampirkan sebuah link berita terkait pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menyinggung soal novum di kasus KM 50 serta pernyataan dari kuasa hukum laskar FPI.

 

"Menunggu keadilan bagi keluarga korban KM 50," ujar Fadli seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Minggu siang (28/8).

 

"Skenario awalnya mirip, CCTV rusak, terjadi tembak-menembak, jenazah korban ditembak jarak dekat dan seterusnya dan seterusnya. Kapolri singgung soal novum di kasus KM 50, kuasa hukum laskar FPI ungkap adanya motif politik," kata Fadli. (*)


SANCAnews.id – Eks penyidik senior KPK, Novel Baswedan, hakulyakin bahwa konsorsium 303 atau yang sering disebut komplotan mafia judi online benar adanya di tubuh Polri. Pernyataan Novel ini memberi kejutan besar tentang besarnya kejahatan yang tertutupi di internal kepolisian.

 

Novel bahkan tak hanya melihat mafia judi itu sebagaimana yang diisukan saat ini. Ia menggambarkan bahwa kejahatan di balik yang terlihat sekarang jauh lebih besar, begitu juga ia menegaskan bahwa hal ini merupakan korupsi yang terjadi di institusi penegak hukum.

 

“Bahwa ada dugaan terkait kelompok tertentu yang mengendalikan perjudian atau narkoba, maka itu bagian korupsi di tubuh penegak hukum. Saya yakin itu hanya fenomena gunung es yang di bawahnya jauh akan lebih besar,” kata Novel dalam sebuah diskusi daring baru-baru ini.

 

Isu keberadaan Konsorsium 303 diduga menjadi ‘beking judi online hingga narkoba’ yang menyeret banyak perwira Polri.

 

Novel meyakini permasalahan semacam itu tidak hanya terjadi di kepolisian, namun juga di institusi penegakan hukum lainnya.

 

Menurutnya, apabila penegakan hukum bermasalah maka bukan hanya soal ketidakadilan saja yang terjadi. Tetapi juga perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).

 

"Perlindungan terhadap hak asasi manusia juga tentu akan banyak bermasalah di sana,” katanya.

 

Oleh karena itu, ia mendorong agar dilakukan upaya dalam memberantas korupsi di lingkungan penegak hukum.

 

“Ini menjadi salah satu pilihan dan penting untuk disuarakan,” pungkasnya.

 

Konsorsium 303 yang diduganya terafiliasi dengan kepolisian itu ditengarai melindungi perjudian. Dalam grafis diagram pohon konsorsium yang tersebar di media sosial, Sambo berada di pucuk kepemimpinan. Bagan konsorsium itu juga memaparkan banyaknya perwira Polri yang terlibat.(poskota)


SANCAnews.id – Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut dua dugaan alasan Polri hingga kini belum menahan istri mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo, Putri Candrawathi yang telah berstatus tersangka dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J alias Nopryansah Yosua Hutabarat.

 

ISSES menyebut salah satu dugaannya, karena Ferdy Sambo diduga masih memiliki pengaruh kuat di internal Polri.

 

"Ada beberapa dugaan mengapa polisi tak menahan PC (Putri). Pertama, empati pada seorang perempuan, mantan Bhayangkari. Kedua, pengaruh FS (Ferdy Sambo) masih kuat di internal sehingga banyak yang masih enggan untuk menahan istrinya," kata Bambang kepada wartawan, Minggu (28/8/2022).

 

Bambang menilai, keputusan Polri tak menahan Putri akan menimbulkan rasa prihatin di tengah-tengah masyarakat. Sebab secara tidak langsung ada kesan bahwa Polri kesulitan untuk menerapkan asas persamaan hukum atau equality before the law terhadap istri perwira tinggi tersebut.

 

"Langkah polisi untuk tidak menahan tersangka ini tentu membuat kita perihatin. Menerapkan equality before the law ternyata masih sulit dilakukan Polisi," katanya.

 

Di sisi lain, hal ini menurutnya juga berbanding terbalik dengan komitmen Polri untuk mengembalikan kepercayaan publik. Apalagi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah mengakui bahwa kasus ini berpengaruh terhadap menurunnya angka kepercayaan publik kepada Polri.

 

"Kalau seperti ini terus bagaimana kepercayaan masyarakat pada kepolisian bisa cepat kembali?," ujar Bambang.

 

"Pertimbangan-pertimbangan emosial, seperti empati pada seorang perempuan dengan anak 1,5 tahun dan lain-lain tentunya harus dikesampingkan lebih dulu untuk menjamin rasa keadilan masyarakat yang terluka dengan dugaan rencana pembunuhan yang ditersangkakan," imbuhnya.

 

Diperiksa 12 Jam 

Pada Jumat (26/8/2022) pekan kemarin, penyidik tim khusus bentukan Kapolri telah memeriksa Putri sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Ini merupakan momen pertama istri Ferdy Sambo tersebut diperiksa sebagai tersangka. Pemeriksaan berlangsung selama 12 jam. Mulai dari pukul 10.57 WIB hingga 23.00 WIB.

 

Penyidik rencananya akan kembali memeriksa Putri pada Rabu (31/8/2022). Dia akan dikonfrontir dengan empat tersangka lainnya, yakni Ferdy Sambo, Bharada E alias Richard Eliezer, Brigadir RR alias Ricky Rizal, dan Kuat Maruf alias KM. (suara)

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.