Latest Post


 

SANCAnews.id – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mensyukuri warga eks Kampung Bukit Duri, Jakarta Selatan telah memiliki hunian baru di kampung susun. Dia menyebut selesai sudah penantian warga Kampung Bukit Duri yang dulu menjadi korban gusuran di era kepemimpinan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

 

"Hari ini tuntas sudah penantian warga Bukit Duri," kata dia di Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung Eks. Bukit Duri, Jakarta Timur, Kamis, 25 Agustus 2022.

 

Kampung susun yang dibangun di lahan seluas 4 ribu meter persegi ini telah siap dihuni. Beberapa warga Bukit Duri telah menempati rumah susun itu. Satu unit berukuran 36 meter persegi dengan ketinggian plafon mencapai 4,3 meter.

 

Anies menuturkan pembangunan Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung Eks. Bukit Duri dimulai pada 7 Oktober 2021. Proses pengerjaan, tutur dia, membutuhkan waktu selama 10 bulan.

 

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini mengenang kembali memorinya ketika bertemu dengan salah satu warga korban gusuran Bukit Duri, Saidah, kira-kira akhir 2017. Waktu itu Saidah menitipkan selendangnya ke Anies.

 

Setelah kejadian itu, Anies bersama dengan perwakilan warga Bukit Duri berkomunikasi dengan intensif untuk membahas pembangunan kembali hunian yang tergusur. "Janji yang diungkapkan, hari ini dituntaskan," ucap dia.

 

Anies bersyukur janjinya dituntaskan satu per satu. Menurut dia, membangun rumah memang membutuhkan proses panjang. Dia pun berpesan agar warga eks Kampung Bukit Duri menjaga kebersamaan, guyub, dan hidup bersama di  Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung Eks. Bukit Duri.

 

Ahok tak pedulikan kecaman Komnas HAM 

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan tetap menjalankan penertiban kawasan permukiman di Bukit Duri, Jakarta Selatan, meski rencana tersebut sempat menuai kecaman dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) lantaran diduga menyalahi aturan. "Surat peringatan dua sudah, tinggal tunggu surat peringatan tiga," katanya di Balai Kota Jakarta, Jumat, 9 September 2016.

 

Kemarin, Komnas HAM meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan penggusuran di kawasan Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan. Penghentian tersebut dilakukan sampai gugatan warga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghasilkan putusan tetap.

 

Sebelumnya warga Kelurahan Bukit Duri mengajukan gugatan melalui mekanisme perwakilan kelompok atau class action. Gugatan yang telah diterima Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut kini sedang bergulir. Gugatan tersebut terdaftar dalam perkara perdata nomor 262/ Pdt.G/2016 PN.JKT.PST tertanggal 10 Mei 2016.

 

Ahok menilai alasan ia tetap melanjutkan penertiban ini adalah gugatan yang diterima tersebut bukanlah sebuah kemenangan bagi warga Kelurahan Bukit Duri. "Sekarang saya mau tanya, Komnas HAM melarang, ini kan proyek pusat normalisasi ada tahun anggarannya," katanya.

 

Ahok mengatakan sudah berkali-kali normalisasi di beberapa sungai batal. Padahal, setiap kali banjir, masyarakat selalu saja menyalahkan pemerintah. "Ini sudah berapa puluh tahun sih tiap mau normalisasi batal? Giliran banjir, orang marah," tuturnya.

 

Bukan hanya itu, Ahok menantang Komnas HAM tidak sekadar menyalahkan, tapi juga harus memberikan solusi. Ahok mengatakan selama ini Komnas HAM selalu beralasan penggusuran yang dilakukan pemerintah melanggar HAM. "Saya tanya, rumah kamu kebanjiran, harta kamu habis kadang korban nyawa, itu melanggar HAM Anda enggak? Melanggar juga kan. Jadi jangan cuma bilang, enggak. Bagi saya, itu sederhana," katanya. (tempo)


 

SANCAnews.id – Kapolda Metro Jaya, Fadil Imran, saat ini turut jadi perbincangan publik lantaran diduga terlibat dalam skenario Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan berencana Brigadir J.

 

Terkait hal itu, ahli Hukum dari LQ Indonesia Lawfirm, Alvin Lim, secara tegas meminta Kapolda Metro Jaya, Fadil Imran untuk mundur dari jabatannya.

 

Hal tersebut diungkapkan Alvin Lim dalam perbincangannya di kanal YouTube Refly Harun pada 23 Agustus 2022.

 

Alvin Lim membeberkan bahwa Irjen Fadil Imran diduga sudah mengetahui skenario yang dibuat oleh Ferdy Sambo sejak awal.

 

Ia berpendapat bahwa berdasarkan dari segi normatif hukum, aturan sudah jelas, apabila ada pidana lapor ke polisi, maka pihak polisi tersebut wajib olah TKP secara langsung.

 

"Nah, ketika lapor itu seharusnya wajib langsung olah TKP pasang police line. itu tidak dilakukan. Tidak dilakukan proses hukum acara yang benar ketika itu terjadi," jelas Alvin Lim.

 

Menurutnya, pemimpin yang baik seharusnya datang ke lokasi TKP saat terjadi ada tindak pidana untuk mengungkap kasus tersebut.

 

Bahkan, Alvin Lim mengatakan bahwa kasus pembunuhan berencana Brigadir J adalah kasus super luar biasa.

 

Pertama, karena pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati. Kedua, pembunuhan berencana Brigadir J terjadi di rumah seorang jenderal.

 

Alvin Lim juga menegaskan bahwa dua hal itu sudah seharusnya sebagai Kapolda untuk turun melihat langsung kasus yang sebenarnya terjadi.

 

"Terlepas ini mau Fadil Imran atau siapa, kapolda yang hebat yang baik dan benar adalah dia akan langsung terjun ke lapangan. Dia mau tahu seberapa besar demiss-nya, penyebabnya apa, kerugiannya apa, siapa pelakunya kira-kira karena dia juga pasti harus mengerti antisipasi media pasti akan viral," ungkap Alvin Lim.

 

Menurutnya, kalau kasus besar seperti pembunuhan berencana Brigadir J terjadi di luar negeri, maka polisi yang terseret namanya sudah pasti mengundurkan diri.

 

"Ini kalau di luar negeri di Jepang atau di Amerika, yang mana etiknya sudah tinggi, itu Kapolda-nya pasti sudah langsung resign. Itu karena punya etik yang tinggi," jelas Alvin Lim.

 

"Seharusnya dia mundur. Kalau di Indonesia kagak ada kayak begitu mundur. Kapolri harus tegas cut Fadil Imran," sambungnya.

 

Selain itu, Alvin Lim juga mengatakan Kapolda Metro Jaya Fadil Imran tidak memiliki prestasi dalam menindak kasus pidana.

 

Alvin Lim pun mencontohkan salah satu kasus yang dinilai tidak berjalan sesuai dengan hukum.

 

"Investasi bodong itu satupun nggak ada yang jalan di Polda Metro Jaya pak. Mahkota 7,5 triliun satupun nggak ada yang jalan," ungkap Alvin Lim.

 

"Nah, ini loh maksud saya, jadi pas masih dalam penanganan kasus pidana kalau menurut saya pak Fadil Imran itu nggak ada prestasinya," kata Alvin Lim.

 

Merespons analisis Alvin Lim, Refly Harun pun kemudian menimpali bahwa posisi Fadil Imran sangat kuat.

 

Hal itu dibuktikan dari pernyataan Kabid Humas yang tidak membenarkan ketika ada spekulasi yang menyatakan Fadil Imran diperiksa.

 

"Kesannya, seolah-olah terkesan kok Kapolda kuat banget ya. Bukan soal suka atau tidak suka. Kita bicara sesuatu pada tempatnya lah. kasusnya luar biasa, tapi dia tetap saja di situ," jelas Refly Harun.

 

Selain itu, Alvin Lim pun mengatakan bahwa dari sisi politik, di dalam kepolisian dibagi dari beberapa faksi.

 

Menurutnya, selain Kapolri dan Ferdy Sambo ada dua raja kecil, yaitu Fadil Imran dan Nico Afinta yang sekarang menjabat Kapolda Jatim.

 

Oleh sebab itu, Alvin Lim menegaskan bahwa Kapolri Listyo Sigit Prabowo belum tentu berani karena dua orang tersebut adalah 'Kapolri-Kapolri' kecil secara politik. (storiloka)


 

SANCAnews.id – Eks Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte buka suara perihal isu yang mengatakan bahwa dirinya ingin menempati sel yang sama dengan Eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Saat ini dia ditahan di Rutan Bareskrim Polri.

 

Ia membantah soal keinginan satu sel dengan Sambo tersebut, sebagaimana isu yang sempat beredar luas di media sosial. Dia merasa tak pernah menyampaikan itu.

 

Hanya saja, Napoleon mengaku tak keberatan jika nantinya harus berbagi sel dengan Sambo. Napoleon bahkan mengaku siap untuk merawat Sambo.

 

Hal itu disampaikan Napoleon usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di kasus penganiayaan terhadap Muhammad Kace di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

 

”Kapan saya pernah ngomong itu ah. Bukan saya [yang] menentukan untuk satu sel yang itu, ya masa saya bisa tolak. Kalau ya terpaksa satu sel ya saya openi [rawat] dengan baik,” ujar Napoleon, Kamis (25/8).

 

Ketimbang satu sel dengan Sambo, Napoleon berharap dirinya dapat berada di sel yang sama dengan sosok pendeta Saifuddin, atau Saifuddin Ibrahim alias Abraham Ben Moses.

 

Hal itu ia ungkapkan lantaran ia mendengar informasi bahwa visa yang dimiliki Saifuddin masa berlakunya kini sudah habis, sehingga mengharuskannya untuk memperpanjang itu atau kembali ke Indonesia.

 

Nama Saifuddin menuai sorotan beberapa waktu lalu. Penyebabnya adalah pernyataannya yang kontroversial karena meminta Menteri Agama Gus Yaqut menghapus 300 ayat Al-Quran yang dinilainya memicu hidup intoleran.

 

”Kalau Saifuddin Ibrahim iya memang saya tunggu dan saya siapkan martabak pakai telur. Karena saya dengar besok hari Jumat dia akan diperiksa di Custom US karena visanya sudah habis. Mudah-mudahan bisa dipulangkan ke sini lah,” kata Napoleon.

 

Saat ini, Sambo tengah ditempatkan secara khusus di Mako Brimob Kelapa Dua Depok. Dia ditempatkan selama 30 hari.

 

Semula, Sambo ditempatkan di Mako Brimob untuk diperiksa terkait dugaan pelanggaran etik kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Saat ini sidang etik tersebut tengah digelar.

 

Secara paralel, terkait peristiwa kematian Brigadir Yosua, ia sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dia dijerat bersama empat orang lainnya, atas dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua. (kumparan)


 

SANCAnews.id – Dua politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Komisi III DPR RI yakni Adang Darajatun dan Habib Abu Bakar Al Habsyi kompak mempertanyakan kasus penembakan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di Kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 2020 silam.

 

Hal ini disampaikan dua politisi PKS itu saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Rabu (24/8/2022) kemarin. Rapat itu digelar bareng Kapolri Listyo Sigit Prabowo terkait kasus pembunuhan Brigadir J atau Yosua Hutabarat yang didalangi oleh Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.

 

"Misteri KM 50 lebih hebat dari peristiwa pembunuhan Yosua. Penanganan Polisi dalam dua kasus tersebut ada benang merahnya, dengan penghilangan barang bukti, seperti CCTV rusak dan lokasi dihilangkan bahkan sekarang dibeko (diratakan-red)," kata Adang Darajatun.

 

Tidak hanya itu kesamaan lain yang nampak dalam dua kasus pembunuhan ini lanjut Adang Darajatun adalah munculnya sebuah mobil mencurigakan  yang dalam kasus pembunuhan Brigadir J, dimana mobil yang sama disebut-sebut juga dipakai dalam kasus KM 50. Adang Darajatun tidak menyebut secara terperinci jenis kendaraan yang ia maksud.

 

"Rumornya mobil KM50 terindikasi ada pada peristiwa penembakan Brigadir J," ujar Adang Darajatun.

 

Sementara itu, Habib Abu Bakar Al Habsyi menilai cara penanganan kasus KM 50 oleh Polisi mirip dengan pembunuhan Brigadir J.

 

"KM 50 gimana ceritanya, jangan-jangan sama, jangan-jangan...," kata Habib Abu Bakar.

 

Dalam kesempatan itu Habib Abu Bakar juga meminta Presiden Joko Widodo ikut memberikan perhatian pada kasus KM50 sebagaimana Jokowi memberi perhatian pada kasus pembunuhan Brigadir J.

 

"Kasus penanganannya hampir sama, CCTV dihilangkan dan sebagainya," tambahnya.

 

Dalam penjelasannya Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan bahwa kasus KM 50 memasuki tahap kasasi.  Namun apabila ada novum baru Kapolri berjanji akan buka kembali.

 

"Apabila ada novum baru tentu Polri akan membuka kembali," janji Kapolri. (populis)



SANCAnews.id – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengaku mendapat surat pengunduran diri Ferdy Sambo, tersangka kasus dugaan pembunuhan Brigadir J alias Yosua Hutabarat. 

 

Menanggapi hal tersebut, kuasa hukum Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak meminta Kapolri Listyo Sigit Prabowo tidak perlu menerima surat pengunduran diri Ferdy Sambo. 

 

Menurutnya, surat pengunduran diri itu hanya sebuah taktik Ferdy Sambo agar dianggap sebagai personel yang perlu dihormati.  "Saya rasa taktik Ferdy Sambo supaya dia menjadi orang terhormat.

 

Saya minta kepada Kapolri agar jangan disetujui itu," ujap Kamaruddin Simanjuntak seusai dihubungi, Kamis (25/8/2022).  Dia menejelaskan proses sidang kode etik Ferdy Sambo agar bisa berjalan semestinya dengan hasil yang terlihat jelas. 

 

Sebab, dia mengatakan Ferdy Sambo tidak layak menjadi seorang anggota polisi karena telah merencanakan pembunuhan kepada bawahannya.  "Saya rasa jika sudah ditetapkan sebagai tersangka, Ferdy Sambo lebih layak dipecat secara Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH)," jelasnya. 

 

Selain itu, Kamaruddin mengungkapkan alasan Ferdy Sambo seharudnya dipecat secara PDTH ialah karena berusaha berbohong kepada semua pihak.  Dengan demikian, dia mengaku tidak setuju jika Kapolri menerima dan mengabulkan surat pengunduran diri tersebut. 

 

"Semua orang ditipu sama Ferdy Sambo ini, Kapolri, Komnas HAM, Kompolnas, Pemerintah, bahkan publik juha kena prank. Jadi, dia layak mendapatkan hukuman pemecatan di Polri," imbuhnya. (tvone)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.