Latest Post



SANCAnews.id – Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) babak belur. Lemabaga negara sebagai pengawas tugas-tugas kepolisian dan memberikan masukan kepada Presiden ini dituding ikut menyebarkan berita bohong terkait skenario tembak menembak di awal terkuaknya kematian Brigadir J pada 8 Juli 2022 silam.

 

Dalam beberapa video yang beredar, Ketua Harian Kompolnas Irjen. Pol. (Purn.)Benny Mamoto mengatakan bahwa tidak ada kejanggalan dalam kasus Brigadir J.

 

Bahkan dia juga menceritakan terjadinya pelecehan seksual dan membenarkan adanya tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E.

 

Seperti dikutip akun TikTok Lapak Berita, Benny Mamoto dinilai terlalu dini mengatakan bahwa  tidak terjadi apa-apa sudah menyatakan tidak ada kejanggalan dalam kasus penembakan ini. Padahal, saat itu satu republik mulai netizen hingga petinggi negara melihat jelas kejanggalan di kasus ini.

 

Segera Ungkap Motif Pembunuhan Sesungguhnya!

Beragam spekulasi dan tudingan pun diarahkan ke Benny Mamoto. Dia diduga turut menjadi bagian dari pembuat skenario tembak menembak seperti pada awal kasus ini terkuak.

 

Bahkan Kompolnas terkesan jadi Humas atau juru bicara Kapolres Jaksel. Ironisnya belakangan Kapolres Jaksel Kombes Budhi Herdi Susianto pun dicopot dari jabatannya dan dimutasi.

 

Benny Mamoto berkilah bahwa pernyataannya itu terlontar setelah terjadi perdebatan di publik. Di antaranya soal adanya jari dipotong.

 

"Kami datang ke Polres Jaksel. Kebetulan Kapolres selesai rilis dan kami ditemui Kapolres dan Kasatreskrim, kami tanyakan ada jari yang dipotong, jawab kapolres tidak ada, ini fotonya," kata Benny.

 

Bahkan, Benny Mamoto juga mengaku sudah menanyakan soal olah TKP dan dijelaskan Kapolres proses olah TKP tersebut.

 

"Setelah ramainya di media saya berusaha, karena tugas Kompolnas untuk mengamati kasus-kasus yang menonjol. Kami datangi Kapolres dan menanyakan penanganan kasusnya dan rekonstruksinya bagaimana, siapa  yang diundang dari pelapor, sampai akhirnya kami tanyakan sudah clear...sudah clear, tidak ada masalah," paparnya meniru ucapan Kapolres Jaksel saat itu.

 

Benny membenarkan bahwa ia turun langsung ke Polres Jaksel dan penyidik karena banyaknya silang informasi hingga banyak spekulasi  di masyarakat.

 

"Peran Kompolnas terbatas, tidak seperti Komnas HAM. Komnas HAM punya wewenang penyelidikan," kilah Benny.

 

Benny menegaskan bahwa posisi Kompolnas adalah netral. Soal terkesan membela bekas Kapolres Jaksel, Benny menegaskan bahwa pihaknya hanya bisa klarifikasi.

 

"Kami hanya bisa klarifikasi, soal jawabannya kemudian bohong, dimutasi dan dinonaktifkan, masa' kita nggak bisa percaya sama aparat?" cetusnya.

 

Untuk membuktikan dirinya netral, Benny mengungkapkan bahwa ia sudah mendatangi keluarga korban Brigadir J di Jambi.

 

"Wujud saya netral, saya mendengar keluh kesah keluarganya. Termasuk kemudian kalau ada risiko saya mengutip (pernyataan Kapolres) ini (kebohongan cerita) itu risiko saya," tutupnya. (poskota)

 



SANCAnews.id – Kamaruddin Simanjuntak, kuasa hukum Brigadir J angkat bicara soal pengakuan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo terkait dugaan pelecehan terhadap Putri Candrawathi.

 

Menurutnya, pernyataan Ferdy Sambo adalah sandiwara.

 

Sebab Brigadir J masih sempat mengawal Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo saat perjalanan pulang dari Magelang menuju Jakarta.

 

"Bohong itu. Kalau istrimu sudah dilecehkan di Magelang, kamu sebagai Kadiv Propam mungkin gak kamu kasih istrimu dikawal orang yang sudah melecehkan balik ke Jakarta," kata Kamaruddin kepada wartawan, Jumat (12/8/2022).

 

Menurutnya, Ferdy Sambo mulai mencari-cari alasan dengan menutupi kebohongan dengan kebohogan. Dirinya khawatir, cara yang dilakukan Ferdy Sambo justru akan membuat institusi Polri menjadi malu.

 

"Jadi Kadiv Propam ini menggali kebohongan untuk menutup kebohongan. Yang ada nanti institusi Polri jadi malu. Tidak ada orang yang menyerahkan istrinya untuk dikawal orang yang telah melecehkan istrinya kecuali Ferdy Sambo. Itu ndak masuk akal. Anak SD saja bisa mencerna," ungkapnya.

 

"Pertama katanya dilecehkannya itu di rumah dinas di Jakarta, maka dilaporkan ke Jaksel (Polres Jakarta Selatan). Sekarang jadi bergeser ke Magelang. Ini mabuk tanpa minum," sambungnya.

 

Di sisi lain, Kamaruddin mempertanyakan jika memang ada kasus pelecehan seksual maka seharusnya Ferdy Sambo langsung melaporkan kasus itu saat di Magelang.

 

"Kenapa dia bikin laporan di Jakarta Selatan kalau kejadiannya di Magelang. Kenapa dia tidak perintahkan Kabid Propamnya untuk menangkap Yosua waktu di Jawa Tengah sana. Tapi malah istrinya dikawal dengan baik dan tidak masalah sampai Jakarta, itu ngawur itu," pungkasnya.

 

Sementara itu, Samuel Hutabarat, ayah Brigadir J heran dan kecewa. Samuel menyebutnya sebagai sandiwara baru.

 

"Jadi mohon kiranya apa yang sebenarnya terjadi itu yang kami tanyakan ke tim penyidik Polri," ucapnya Kamis (12/8/2022).

 

Samuel mengatakan pertama kali kasus ini diangkat katanya lokasi pembunuhan Brigadir J ada di rumah dinas Ferdy Sambo di kawasan Duren III Jakarta pada Jumat (8/7/2022) lalu.

 

"Sekarang udah pindah lagi (lokasinya) di Magelang," ucap Samuel Hutabarat.

 

Dirinya berharap agar fakta yang benar diungkapkan, dan tidak berubah-ubah. Samuel yang menyaksikan secara langsung konferensi pers Polri tersebut tetap tidak percaya terhadap tuduhan pelecehan tersebut.

 

"Saya rasa apa yang diutarakan tadi, apa mungkin Yosua bisa berbuat begitu, sedangkan di Magelang kan bukan berdua, ada juga yang lain," ucapnya.

 

Diberitakan sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Jayadi mengungkap alasan atau motif pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J, yang dilakukan Irjen Ferdy Sambo sebagai dalang dari kematian Brigadir J.

 

Dalam keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), kata Andi, Sambo marah lantaran mendapat laporan dari sang istri, Putri Chandrawathi.

 

“Tersangka FS mengatakan bahwa dirinya menjadi marah dan emosi setelah mendapat laporan dari istrinya PC,” kata Brigjen Andi Rian Jayadi dalam konferensi pers di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, Kamis (11/8/2022).

 

“Yang mengalami tindakan yang melukai harkat dan martabat keluarga yang terjadi di Magelang yang dilakukan almarhum Yoshua,” ujarnya menambahkan.

 

Adapun atas emosi Sambo itu, lanjut dia, Sambo lantas memanggil tersangka RR dan RE untuk melakukan rencana pembunuhan tersebut.

 

“FS memanggil tersangka RR dan tersangka RE untuk melakukan rencana pembunuhan terhadap almarhum Yoshua,” ucap Andi.

 

Kendati demikian, tindakkan melukai harkat dan martabat yang diduga dilakukan oleh Brigadir J tersebut tidak dirinci

 

Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan penjelasan secara rinci akan diungkap dalam persidangan nantinya.

 

“Secara spesifik ini hasil pemeriksaan dari tersangka FS. Untuk nanti menjadi jelas tentunya nanti dalam persidangan akan dibuka semunya,” ujarnya.

 

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengumumkan Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka baru pembunuhan pada Brigadir Yosua. Ferdy Sambo dikenakan 340 340 subsider pasal 338 juncto pasal 55 dan 56 KUHP.

 

Pada kasus meninggalnya Brigadir Yosua, ada 4 tersangka yang sudah ditetapkan polisi. Keempatnya Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, Bripka Ricky, Kuwat M, dan Ferdy Sambo.

 

Keempatnya memiliki peran yang berbeda pada kasus hilangnyavnyawa Brigadir Yosua Hutabarat. Irjen Ferdy Sambo mempunyai peranan penting dalam kasus tewasnya Brigadir Yosua.

 

Hal itu diungkapkan Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto. Kabareskrim menjelaskan, Bharada E berperan menembak Brigadir Yosua.

 

Sementara peran Ricky dan Kuwat membantu dan ikut menyaksikan peristiwa tersebut.

 

"Bharada RE (Richard Eliezer) melakukan penembakan terhadap korban," kata Komjen Pol Agus Andrianto, Selasa (9/8/2022) malam.

 

Komjen Pol Agus Andrianto menjelaskan peran Irjen Ferdy Sambo yang memerintahkan penembakan dan merancang skenario seolah terjadi penembakan.

 

"Irjen Pol FS menyuruh melakukan dan menskenario peristiwa seolah-olah terjadi tembak menembak di rumah dinas Irjen Pol Ferdy Sambo," katanya.

 

Terkait pasal yang disangkakan kepada para tersangka, Agus mengatakan dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. (tribun)




SANCAnews.id – Komnas HAM mengantongi bukti percakapan antara Irjen Ferdy Sambo dengan istrinya, yakni Putri Chandrawathi sebelum insiden penembakan terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat terjadi. Percakapan itu berlangsung di kediaman pribadi Sambo, Jalan Saguling 3, Duren Tiga, Jakarta Selaran.

 

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan materi itu turut ditanyakan kepada Sambo saat pemeriksaan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (12/8/2022).

 

Anam menyebut percakapan antara eks Kadiv Propam Polri itu dengan sang istri berlangsung selama satu jam.

 

"Kami punya (rekaman) waktu di Sangguling itu. Ada satu peristiwa yang kalau dalam rekaman video, yang kami dapatkan dalam rekaman raw material yang kami dapatkan, kurang lebih satu jam, yang tadi kita juga tanyakan," kata Anam.

 

Anam menambahkan, komunikasi antara Sambo dan Putri turut mempengaruhi insiden selanjutnya: penembakan di rumah dinas Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan.

 

"Ternyata juga ada komunikasi antara Pak Sambo dan Bu Sambo sehingga memang sangat mempengaruhi peristiwa yang ada di TKP," kata dia.

 

Sambo Aktor Utama

Di ruang tertutup yang berada di Mako Brimob, Ferdy Sambo mengakui jika dirinya adalah aktor utama penembakan terhadap Yosua. Hal itu dia sampaikan kepada tiga perwakilan Komnas HAM yang melakukan pemeriksaan.

 

"Pertama adalah pengakuan FS bhwa dia adalah aktor utama dari peristiwa ini," kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik.

 

Sambo, kepada Komnas HAM, turut mengakui bahwa sejak awal dirinya lah yang melakukan langkah-langkah rekayasa. Sehingga, apa yang terbangun sejak awal kasus ini adalah tembak-menembak.

 

"Kedua dia mengakui sejak awal dia lah yang melakukan langkah-langkah untuk merekayasa, mengubah, mendisinfirmasi bebebrapa hal sehingga pada tahap awal yang terbangun konstruksi peristiwa tembak menembak," beber Taufan.

 

Empat Tersangka

Tim khusus bentukan Kapolri total telah menetapkan empat tersangka pembunuhan Brigadir J yang terjadi di rumah dinas Ferdy Sambo. Keempat tersangka, yakni Ferdy Sambo, Bharada E, Brigadir RR alias Ricky Rizal, dan KM alias Kuwat.

 

Kaporli Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut Ferdy Sambo ditetapkan tersangka lantaran diduga sebagai pihak yang memerintahkan Bharada E untuk menembak Brigadir J. Sedangkan, KM dan Brigadir diduga turut serta membantu.

 

Listyo juga menyebut Ferdy Sambo berupaya merekayasa kasus ini dengan menembakan senjata HS milik Brigadir J ke dinding-dinding sekitar lokasi. Hal ini agar terkesan terjadi tembak menembak.

 

"Timsus menemukan peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penembakan terhadap saudara J yang menyebabkan J meninggal dunia yang dilakukan saudara RE atas perintah saudara FS," ungkap Listyo di Gedung Rupatama, Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (9/8/2022).

 

Dalam perkara ini, penyidik menjerat Bharada E dengan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan Juncto Pasal 55 KUHP dan 56 KUHP.

 

Sedangkan, Brgadi RR, Ferdy Sambo, dan KM dijerat dengan Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana Subsider Pasal 338 Juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

 

Ketiganya mendapat ancaman hukuman lebih tinggi dari Bharada E, yakni hukuman maksimal 20 tahun penjara atau pidana mati. (suara)

 


                     

Oleh: Ilham Bintang

 

RASANYA, belum pernah terjadi hampir seluruh rakyat Indonesia involved dan tanpa komando serempak bersuara seperti dalam kasus "Polisi Tembak Polisi".

 

Sejak kasus itu merebak tanggal 8 Juli lalu praktis sejak itulah ruang publik gemuruh. Tiada henti menyuarakan narasi tentang kebenaran, kejujuran, dan demi keadilan sesuai norma-norma kehidupan bermasyarakat. Suara itu muncul di saluran media mainstream maupun di media sosial. Tidak ada yang bisa membendung.

 

Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bulan Juni lalu memang mencatat 210 juta rakyat Indonesia kini terhubung dengan internet. Bisa jadi sebanyak pegguna internet itu yang bersuara di ruang publik menuntut pengungkapan kasus "Polisi Tembak Polisi" yang menggegerkan itu. Terutama ketika merespons  keterangan para pejabat terkait yang ternyata mengada-ada, mengarang-ngarang.

 

Seperti yang terjadi  setelah pimpinan Polri sendiri meralat konstruksi pertama mengenai peristiwa itu yang disebutkan dipicu oleh pelecehan seksual ajudan Brigadir J terhadap Putri Chandrawati, istri Irjen Pol Fredy Sambo. Saya tidak akan mengurai lagi kontruksi peristiwa yang sudah diketahui luas masyarakat sesuai versi terbaru pihak Polri.

 

Hasil Tim Khusus Polri yang mengusut kasus itu kita sudah tahu. Mantan Kadiv Propam Irjen Pol Fredy Sambo bersama dua tersangka lainnya, RR dan KM, telah ditetapkan tersangka dalam pembunuhan berencana Brigadir Yosua (pasal 340 KUHP). Adapun Baradha E tersangka sebagai pelaku pembunuhan sesuai pasal 338 KUHP.

 

Total 31 perwira Polri dari pangkat Bharada, perwira menengah hingga tiga perwira tinggi bintang satu kini diperiksa secara intensif dalam kasus itu. Pemeriksaan terkait pelanggaran etika dan pidana. Dari jumlah itu per hari Jumat (12/8) anggota kepolisian yang telah diamankan di patsus (tempat khusus) saat ini telah berjumlah 12 bertambah satu dari sebelumnya 11.

 

People Power 

Presiden Jokowi merespons gemuruh suara publik itu. Empat kali Presiden mengingatkan pimpinan Polri agar kasus dibuka secara terang benderang. Jangan ada yang ditutupi. "Supaya tidak ada keraguan di tengah masyarakat," tegasnya. Adapun Kapolri selain mendapat tekanan dari Presiden, juga oleh “people power“ itu sejak kasus menjadi konsumsi publik.

 

Dalam dua artikel yang lalu, "Babak Baru Horor & Teror 'Kasus Polisi Tembak Polisi’” (21 Juli 2022) dan "Terima kasih Jenderal, Telah Mengoreksi Diri" (7 Agustus 2022), saya mencatat hampir seluruh permintaan masyarakat, terutama keluarga korban Brigadir Yosua telah dipenuhi Kapolri. Mulai dari autopsi ulang jenasah hingga pemakaman kembali secara dinas Polri.

 

Kamis (11/8) Satgas Khusus Merah Putih yang dipimpin Ferdy Sambo juga telah dibubarkan. Borok-borok Satgas Merah Putih -- institusi non struktural Polri yang dipimpin Fredy Sambo --  memang kena dampak amuk publik. Jadi bulan- bulanan di media sosial. Dianggap  sumber legitimasi kejahatan oknum aparat kepolisian.

 

Sejauh data yang terungkap, kebetulan memang hampir semua yang terlibat dalam kasus "Polisi Tembak Polisi" adalah anggota Satgas Khusus itu. Suara publik selanjutnya menuntut agar Kapolri mengumumkan alasan pembubarannya. Mereka menghendaki hasil audit aktivitas institusi non struktural itu dipaparkan di depan umum.

 

Begitulah tampaknya “people power” di era tehnologi digital. Lebih massif, lebih bising dan menyeramkan dibandingkan dengan aksi unjuk rasa fisik sebesar apapun. Gemuruh suara rakyat menembus ruang dan waktu. Menyelinap masuk rumah, kamar tidur, hingga di rumah- rumah penduduk di pelosok desa terpencil di kaki gunung.

 

Permintaan agar Kapolri mengundurkan diri mereka juga suarakan, masuk dalam list yang terbanyak dipercakapkan di media sosial. Merujuk  "fatwa" Kadiv Propam Fredy Sambo di masa jaya yang sekarang dimainkan di media sosial. Fatwa tentang pelanggaran  yang dilakukan seorang perwira Polri harus menyeret pejabat dua tingkat di atasnya ikut bertanggung jawab.

 

Memang betul, tidak semua suara yang bergema di ruang publik mengandung kebenaran. Banyak yang ngawur, berdasar karangan bebas. Juga mengandung ucaran kebencian yang kemungkinan bersumber dari rasa dendam pihak yang  pernah merasakan tindak kekerasan dari aparat polisi.Tapi banyak lucu dan menghibur. Ada pula yang pandai merangkai cerita tentang motif  pembunuhan secara ekstrim, frontal dengan motif  "pelecehan seksual" versi resmi.

 

Soal motif ini sejak awal, memang diulas netizen berseri-seri, sangat mendalam, dan banyak versi. Sejak awal masyarakat  tak mempercayai versi resmi yang sudah dibatalkan Polri. Definisi pelecehan seksual memang  janggal untuk dipakai sebagai motif untuk peristiwa itu. Tidak ada teori kelas masyarakat  bawah (ajudan) melecehkan atasan (istri jenderal) dalam relasi kuasa. Definisi pelecehan untuk golongan atasan kepada strata di bawahnya. Namun, bisa dikatakan  itulah konsekwensi dari sikap pihak Polri yang pada awalnya berusaha menutup- nutupi kejadian sebenarnya.

 

Motif Pembunuhan 

Pasca penahanan Fredy Sambo dengan sangkaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, motif pembunuhan karena "pelecehah seksual" tampaknya tetap konsisten dipertahankan. Padahal, itu masuk dalam skenario yang telah digugurkan oleh penyidik.

 

Satu paket dengan laporan "tembak menembak" yang sudah tidak berlaku. Itu yang menjelaskan mengapa  soal motif  hari-hari ini kembali memantik kegaduhan. Menkopolhukam Mahfud MD menganggap pengungkapan motif sebenarnya, sulit dipenuhi karena  hanya cocok untuk konsumsi orang dewasa.

 

Tapi penjelasan itu tidak cukup untuk meredakan rasa ingin tahu publik yang sudah pernah dibohongi. Malah membuat mereka semakin penasaran. Mahfud meyakinkan masyarakat motif pasti akan dibuka tapi dalam persidangan. Kabareskrim pun menyatakan hal sama. Namun, dalam persidangan kasus asusila biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, kisah xxx  yang diduga memicu pembunuhan tetap tidak akan menjadi konsumsi publik. Sampai di sini sebenarnya mestinya kita sudah paham.

 

Biarlah motif pembunuhan Brigadir Yosua mengapung mencari jalannya sendiri di dalam benak masing - masing publik. Seperti "Parang Rusak" motif batik yang pernah diciptakan Penembahan Senopati saat bertapa di Pantai Selatan. Yang terinspirasi dari ombak yang tidak pernah lelah menghantam karang pantai.

 

Dalam literatur Jawa, dijelaskan motif itu melambangkan manusia yang secara internal melawan kejahatan dengan mengendalikan keinginan mereka. Mudah-mudahan seperti itulah dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Tidak pernah menyerah, ibarat ombak laut yang tak pernah berhenti bergerak menyuarakan  kebenaran dan keadilan. (*)

 

*) Penulis adalah wartawan senior



SANCAnews.id – Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigjen Andi Rian Djajadi mengatakan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E, tersangka kasus penembakan Brigadir J alias Nopryansah Yosua Hutabarat, mencabut kuasa Deolipa Yumara dan Muh Burhanuddin sebagai pengacaranya.

 

“Iya betul,” kata Andi Rian saat dikonfirmasi Tempo, Jumat, 12 Agustus 2022.

 

Andi Rian juga mengonfirmasi surat pencabutan kuasa hukum yang dilihat Tempo benar dibuat langsung oleh Richard. Namun, ketika ini ditulis, ia belum merespons siapa kuasa hukum pengganti Deolipa dan Burhanuddin dan hanya mengatakan penggantinya sudah ada.

 

Dalam surat ketikan yang ditandatangani oleh Richard Eliezer di atas materai Rp10.000 pada 10 Agustus 2022, Richard mencabut kuasa yang telah diberikan kepada Deolipa Yumara dan Muh Burhanuddin per 10 Agustus.

 

“Sejak tanggal surat ini di tandatangani. Dengan pencabutan surat kuasa ini maka surat kuasa tertanggal 6 Agustus 2022 sudah tidak berlaku dan tidak dapat dipergunakan lagi,” tulis surat itu.

 

Sejak berita ini ditulis, Deolipa Yumara dan Burhanuddin belum membalas pesan atau panggilan telepon Tempo untuk mengonfirmasi pencabutan kuasa hukum ini.

 

Dengan begitu, Richard telah dua kali mencabut kuasa dari pengacaranya dalam sepekan terakhir. Pada akhir pekan sebelumnya, dia juga mencabut kuasa dari pengacara Andreas Nahot Silitonga dan kemudian menunjuk Deolipa Yumara dan Muhammad Burhanuddin sebagai dua pengacara barunya.

 

Selasa lalu, Deolipa pun mengaku mendapatkan tekanan untuk mundur. Tekanan itu didapatkan setelah dia dinilai membocorkan pengakuan terbaru Richard soal peran Ferdy Sambo dalam penembakan Yosua.

 

Richard sendiri hari ini dijadwalkan menjalani pemeriksan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan selain Richard, mereka juga akan memeriksa  Ferdy Sambo.

 

“Hari ini Komnas HAM akan ke Mako Brimob untuk memeriksa Ferdy Sambo dan Bharada E,” kata Choirul Anam kepada Tempo, Jumat, 12 Agustus 2022.

 

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo juga mengonfirmasi agenda pemeriksaan Komnas HAM terhadap Ferdy Sambo dan Richard itu. Jenderal bintang dua itu menjelaskan Richard hanya akan diperiksa di Mako Brimob dan bukan pemindahan lokasi penahanan.

 

Tim Khusus bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menetapkan empat tersangka pembunuhan Brigadir J. Mereka adalah Ferdy Sambo, Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Brigadir Ricky Rizal, dan KM alias Kuat sopir dari istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawati. (tempo)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.