Oleh: Ilham
Bintang
RASANYA, belum
pernah terjadi hampir seluruh rakyat Indonesia involved dan tanpa komando
serempak bersuara seperti dalam kasus "Polisi Tembak Polisi".
Sejak kasus itu
merebak tanggal 8 Juli lalu praktis sejak itulah ruang publik gemuruh. Tiada
henti menyuarakan narasi tentang kebenaran, kejujuran, dan demi keadilan sesuai
norma-norma kehidupan bermasyarakat. Suara itu muncul di saluran media
mainstream maupun di media sosial. Tidak ada yang bisa membendung.
Data Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bulan Juni lalu memang mencatat
210 juta rakyat Indonesia kini terhubung dengan internet. Bisa jadi sebanyak
pegguna internet itu yang bersuara di ruang publik menuntut pengungkapan kasus
"Polisi Tembak Polisi" yang menggegerkan itu. Terutama ketika
merespons keterangan para pejabat
terkait yang ternyata mengada-ada, mengarang-ngarang.
Seperti yang
terjadi setelah pimpinan Polri sendiri
meralat konstruksi pertama mengenai peristiwa itu yang disebutkan dipicu oleh
pelecehan seksual ajudan Brigadir J terhadap Putri Chandrawati, istri Irjen Pol
Fredy Sambo. Saya tidak akan mengurai lagi kontruksi peristiwa yang sudah
diketahui luas masyarakat sesuai versi terbaru pihak Polri.
Hasil Tim
Khusus Polri yang mengusut kasus itu kita sudah tahu. Mantan Kadiv Propam Irjen
Pol Fredy Sambo bersama dua tersangka lainnya, RR dan KM, telah ditetapkan
tersangka dalam pembunuhan berencana Brigadir Yosua (pasal 340 KUHP). Adapun
Baradha E tersangka sebagai pelaku pembunuhan sesuai pasal 338 KUHP.
Total 31
perwira Polri dari pangkat Bharada, perwira menengah hingga tiga perwira tinggi
bintang satu kini diperiksa secara intensif dalam kasus itu. Pemeriksaan
terkait pelanggaran etika dan pidana. Dari jumlah itu per hari Jumat (12/8)
anggota kepolisian yang telah diamankan di patsus (tempat khusus) saat ini
telah berjumlah 12 bertambah satu dari sebelumnya 11.
People Power
Presiden Jokowi
merespons gemuruh suara publik itu. Empat kali Presiden mengingatkan pimpinan
Polri agar kasus dibuka secara terang benderang. Jangan ada yang ditutupi.
"Supaya tidak ada keraguan di tengah masyarakat," tegasnya. Adapun
Kapolri selain mendapat tekanan dari Presiden, juga oleh “people power“ itu
sejak kasus menjadi konsumsi publik.
Dalam dua
artikel yang lalu, "Babak Baru Horor & Teror 'Kasus Polisi Tembak
Polisi’” (21 Juli 2022) dan "Terima kasih Jenderal, Telah Mengoreksi
Diri" (7 Agustus 2022), saya mencatat hampir seluruh permintaan
masyarakat, terutama keluarga korban Brigadir Yosua telah dipenuhi Kapolri.
Mulai dari autopsi ulang jenasah hingga pemakaman kembali secara dinas Polri.
Kamis (11/8)
Satgas Khusus Merah Putih yang dipimpin Ferdy Sambo juga telah dibubarkan.
Borok-borok Satgas Merah Putih -- institusi non struktural Polri yang dipimpin
Fredy Sambo -- memang kena dampak amuk
publik. Jadi bulan- bulanan di media sosial. Dianggap sumber legitimasi kejahatan oknum aparat
kepolisian.
Sejauh data
yang terungkap, kebetulan memang hampir semua yang terlibat dalam kasus
"Polisi Tembak Polisi" adalah anggota Satgas Khusus itu. Suara publik
selanjutnya menuntut agar Kapolri mengumumkan alasan pembubarannya. Mereka
menghendaki hasil audit aktivitas institusi non struktural itu dipaparkan di
depan umum.
Begitulah
tampaknya “people power” di era tehnologi digital. Lebih massif, lebih bising
dan menyeramkan dibandingkan dengan aksi unjuk rasa fisik sebesar apapun.
Gemuruh suara rakyat menembus ruang dan waktu. Menyelinap masuk rumah, kamar
tidur, hingga di rumah- rumah penduduk di pelosok desa terpencil di kaki gunung.
Permintaan agar
Kapolri mengundurkan diri mereka juga suarakan, masuk dalam list yang terbanyak
dipercakapkan di media sosial. Merujuk
"fatwa" Kadiv Propam Fredy Sambo di masa jaya yang sekarang
dimainkan di media sosial. Fatwa tentang pelanggaran yang dilakukan seorang perwira Polri harus
menyeret pejabat dua tingkat di atasnya ikut bertanggung jawab.
Memang betul,
tidak semua suara yang bergema di ruang publik mengandung kebenaran. Banyak
yang ngawur, berdasar karangan bebas. Juga mengandung ucaran kebencian yang
kemungkinan bersumber dari rasa dendam pihak yang pernah merasakan tindak kekerasan dari aparat
polisi.Tapi banyak lucu dan menghibur. Ada pula yang pandai merangkai cerita
tentang motif pembunuhan secara ekstrim,
frontal dengan motif "pelecehan
seksual" versi resmi.
Soal motif ini
sejak awal, memang diulas netizen berseri-seri, sangat mendalam, dan banyak
versi. Sejak awal masyarakat tak
mempercayai versi resmi yang sudah dibatalkan Polri. Definisi pelecehan seksual
memang janggal untuk dipakai sebagai
motif untuk peristiwa itu. Tidak ada teori kelas masyarakat bawah (ajudan) melecehkan atasan (istri
jenderal) dalam relasi kuasa. Definisi pelecehan untuk golongan atasan kepada
strata di bawahnya. Namun, bisa dikatakan
itulah konsekwensi dari sikap pihak Polri yang pada awalnya berusaha
menutup- nutupi kejadian sebenarnya.
Motif
Pembunuhan
Pasca penahanan
Fredy Sambo dengan sangkaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, motif
pembunuhan karena "pelecehah seksual" tampaknya tetap konsisten
dipertahankan. Padahal, itu masuk dalam skenario yang telah digugurkan oleh
penyidik.
Satu paket
dengan laporan "tembak menembak" yang sudah tidak berlaku. Itu yang
menjelaskan mengapa soal motif hari-hari ini kembali memantik kegaduhan. Menkopolhukam
Mahfud MD menganggap pengungkapan motif sebenarnya, sulit dipenuhi karena hanya cocok untuk konsumsi orang dewasa.
Tapi penjelasan
itu tidak cukup untuk meredakan rasa ingin tahu publik yang sudah pernah
dibohongi. Malah membuat mereka semakin penasaran. Mahfud meyakinkan masyarakat
motif pasti akan dibuka tapi dalam persidangan. Kabareskrim pun menyatakan hal
sama. Namun, dalam persidangan kasus asusila biasanya dilakukan secara
tertutup. Artinya, kisah xxx yang diduga
memicu pembunuhan tetap tidak akan menjadi konsumsi publik. Sampai di sini
sebenarnya mestinya kita sudah paham.
Biarlah motif
pembunuhan Brigadir Yosua mengapung mencari jalannya sendiri di dalam benak
masing - masing publik. Seperti "Parang Rusak" motif batik yang
pernah diciptakan Penembahan Senopati saat bertapa di Pantai Selatan. Yang
terinspirasi dari ombak yang tidak pernah lelah menghantam karang pantai.
Dalam literatur
Jawa, dijelaskan motif itu melambangkan manusia yang secara internal melawan
kejahatan dengan mengendalikan keinginan mereka. Mudah-mudahan seperti itulah
dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Tidak pernah menyerah, ibarat ombak
laut yang tak pernah berhenti bergerak menyuarakan kebenaran dan keadilan. (*)
*) Penulis
adalah wartawan senior