Latest Post


 

SANCAnews.id – Bareskrim Polri telah menetapkan empat tersangka atas kasus kematian Brigadir J atau Brigpol Nofriansyah Yoshua Hutabarat, kini Kamaruddin Simanjuntak pertanyakan status tersangka Berinisial D yang diduga ancam Brigadir J sebelum tewas.

 

Kasus yang menyita perhatian publik hingga Presiden Jokowi memberi himbauan khusus kepada Kapolri agar kasus ini diusut tuntas dan dibuka secara terang benderang. Kamaruddin Simanjuntak pertanyakan status tersangka Berinisial D yang diduga ancam Brigadir J sebelum tewas.

 

Terkuak fakta-fakta penetapan Irjen Ferdy Sambo tersangka kematian Brigadir J, dari ditetapkannya Bharada E jadi tersangka penembakan, mengajukan diri jadi Justice Collaborator, hingga membuka semua skenario palsu penembakan dan motif.

 

Kamaruddin Simanjuntak, Pengacara Keluarga Brigadir J yang telah mengawal kasus ini pertama kali saat dimintai oleh keluarga yang melihat sejumlah kejanggalan atas kematian anaknya, dari luka-luka tak wajar di sekujur tubuh Brigpol Nofriansyah Yoshua Hutabarat.

 

Pengacara Keluarga Brigadir J, hadir sebagai narasumber di Program Breaking News tvOne, memberikan penyataannya soal penetapan tersangka atau aktor utama pembunuhan kliennya.

 

"Tadi siang sebelum diumumkan tersangka saya didatangi oleh beberapa televisi, menanyakan siapa seharusnya tersangka, Maka karena saya lihat ada keragu-raguan terus di pihak Bareskrim Polri, Maka saya umumkan lebih dulu,  

 

"Harusnya tersangka itu Ferdy Sambo, itu terulang ketika 2011 karena ada keraguan di Polisi, KPK sama di Jaksa untuk menetapkan tersangka, saya juga dulu umumkan di ILC yang  tersangka itu adalah Angelina Sondakh, dan saya dibully oleh Ruhut Sitompul dulu, itu terulang lagi 11 tahun kemudian,"ungkapnya Kamaruddin Simanjuntak mengaku mengumumkan terlebih dahulu jam  jam 12 siang, sebelum resmi diumumkan oleh Bapak Kapolri.

 

"Sebenarnya tanpa disidik pun, pada tanggal 8 Juli 2022, sudah harus tersangka, karena kejadian itu dirumah itu, pembunuhan terjadi di rumah itu, dengan sangat terencana dari tanggal 21 juni sampai 8 juli 2022,"ucapnya. Lebih lanjut, ketua tim Pengacara keluarga Brigadir J ini telah yakin dan menyebutkan tidak ada alasan lain untuk tidak menetapkan para tersangka yang ada di TKP dan malah terlampau lama.

 

"Jadi tidak ada alasan lain untuk tidak menjadikan mereka semua tersangka, justru ini sudah terlampau lama, kalau saya jadi penyidiknya setengah hari selesai,"pungkasnya.

 

Semua tersangka, jumlahnya 4 orang ditetapkan oleh Bareskrim Polri, tetapi belum puas karena sosok yang melakukan pengancaman terhadap Brigadir J belum diringkus dan tetapkan tersangkan.

 

"Yang tukang ancam berinsial D belum, yang ajudan melekat kepada bapak, ancaman terhadap Almarhum Brigadir J, tukang ancamnya kan belum tersangka sampai saat ini,"ungkapnya.

 

Lebih lanjut, atas segala peristiwa dan jalannya proses penyidikan, Kamaruddin Simanjuntak memberi apresiasi kepada Kapolri.

 

"Tetapi kita apresiasi karena Bapak Kapolri akhirnya merelakan untuk dijadikan tersangka, karena biar bagaimana kan Kadiv Propam atau Bapak Ferdy Sambo kan, tangan kanan beliau, ibaratnya kan melepas tangan kanan itu tidak mudah.

 

"Makanya waktu itu saya bilang, biar tidak berlarut-larut permasalahan ini mendera institusi Polri, karena di Polri ada 427 ribu lebih polisi, kita selamatkan Polri ini."ucapnya.

 

Pada kesempatan beberapa waktu lalu, kuasa hukum keluarga Brigadir J yang bernama Martin Lukas Simanjuntak menyampaikan mengenai saksi kunci untuk kasus kematian dari kliennya saat hadir di Program TvOne Apa Kabar Indonesia Malam yang ditanyai apa peranan dari saksi kunci tersebut.

 

"Peranan saksi kunci ini adalah menerima informasi langsung dari Almarhum, mulai dari tanggal 19 juni, lalu di tanggal 1 juli, lalu di tanggal 7 juli dan terakhir di 8 juli. tentunya ini adalah rangkaian informasi yang disampaikan secara langsung, baik melalui percakapan WhatsApp maupun telpon,"ucapnya.

 

"Yang isinya mengungkap menjelang akhir-akhir hayatnya Brigadir Yoshua ini sudah pernah menyampaikan bahwa ada ancaman yang ditujukan kepada beliau semasa hidupnya, sebelum terjadinya peristiwa yang mengenaskan ini, dari lingkarannya atau bisa dibilang skuad ya, yang mengatakan bahwa akan dihabisi apabila dia akan naik ke atas, ini terjadi pada saat tanggal 1  atau 2 juli ketika rombongan ini sudah berada di Magelang. begitu informasinya yang kami terima dari saksi kunci,"lanjut ucapan kuasa hukum kelarga Brigadir J.

 

Sementara itu, Sugent Teguh Santosa selaku Ketua IPW (Indonesia Police Watch) saat hadir di Apa kabar Indonesia Pagi, ditanyakan soal masih ada satu lagi yang diduga terlibat dalam kasus kematian Brigadir J yang melakukan pengancaman dari jauh-jauh hari. "

 

Kepada D yah, ini adalah kasus pembunuhan yang terjadi di TKP, dan apabila dia (D) tidak ada di TKP, menurut saya dia tidak bisa disangkakan pasal pembunuhan, kecuali D ini atasan lebih tinggi dari Ferdy Sambo, ini kan dia bawahan, kepada D hanya bisa dikenakan pengancaman kalau memang ada,"ucapnya. Selanjutnya, pernyataan dari D adalah jadi petunjuk bahwa benar adanya kasus pembunuhan berencana ini."ungkapnya. (TvOne)



SANCAnews.id – Keluarga Brigadir Noffiansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J sejak awal curiga bahwa Yoshua dibunuh. Kecurigaan awal muncul saat proses penyerahan jenazah kepada keluarga yang dinilai tak profesional.

"Dari awal kami sudah curiga, dari ketika kami harus jemput jenazah anak kami sendiri ke bandara, lalu peti jenazah anak kami yang tidak boleh dibuka, itu yang membuat kami sudah mulai curiga," kata tante Brigadir J, Rohani Simanjuntak kepada detikSumut, Selasa (9/8/2022).

Jenazah Brigadir J sendiri tiba di Jambi pada Sabtu (9/7) lalu. Sehari kemudian dimakamkan. Kasus ini kemudian terekspos ke publik pada 11 Juli.

Rohani mengatakan, berulang kali beberapa petugas polisi datang ke rumah keluarga di Sungai Bahar, Muaro Jambi untuk mempengaruhi keluarga. Dia menyebut ada polisi berpangkat brigjen, kombes dan lainnya datang seperti ingin menutup-nutupi kasus itu.

"Gimana kami tidak curiga kan, dari datangnya jenderal bintang satu itu ke Jambi lalu sekelas kombes itu juga, dan sampaikan pendapatnya yang kemudian terbantahkan dengan temuan luka yang kami dapatkan," ujar Rohani.

Bahkan, keluarga juga merasa janggal sejak awal adanya kasus tembak menembak maupun tindakan dugaan pelecehan yang dilakukan Yoshua kepada istri Irjen Ferdy Sambo dari luka yang ada di tubuh anaknya itu.

"Mana mungkin anak kami tewas kalau luka-lukanya seperti itu disebut tembak menembak. Makanya dari awal kami sudah curiga semua yang disampaikan atas kematian anak kami ini," sebut Rohani.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut ada sejumlah dugaan tindakan tidak profesional dari personel Polri terkait kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Salah satunya saat menyerahkan jenazah Brigadir Yoshua kepada keluarganya di Jambi.

Hal itu disampaikan oleh Kapolri Jenderal Sigit dalam konferensi pers penetapan tersangka terhadap Irjen Ferdy Sambo di kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua.

Selain saat penyerahan jenazah, tindakan tidak profesional diduga terjadi saat penanganan dan olah TKP awal di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo.

"Tindakan yang tidak profesional pada saat penanganan dan olah TKP serta tindakan-tindakan tidak profesional lain pada saat penyerahan jenazah almarhum J di Jambi," ujar Sigit di Mabes Polri, Selasa dikutip dari detikNews (9/8/2022). (dtk)



SANCAnews.id –Peristiwa penembakan yang menewaskan 6 laskar FPI kembali menyeruak di media sosial.

Netizen menganggap banyak kejanggalan pada kasus KM50, seperti halnya kasus penembakan Brigadir J yang awalnya penuh kejanggalan.

Di media sosial Twitter ramai ramai netizen berharap agar kasus KM 50 dapat diusut dan dibuka kembali.

KM50 adalah kasus penembakan yang menewaskan 6 laskar FPI, karena 6 orang korban tersebut dianggap melawan petugas kepolisian.

Ramai diberitakan bahwa saat itu yang menjadi pimpinan dari kepolisian untuk menyelidiki kasus tersebut adalah Ferdi Sambo yang saat itu menduduki jabatan Dirtipidum Bareskrim Polri.

Peristiwa penembakan tersebut terkenal dengan kasus KM50, karena lokasi kejadian perkaranya berada di KM50 jalan tol Jakarta Cikampek.

Peristiwa KM50 dan menewaskan 6 laskar FPI tersebut terjadi pada 7 Desember 2020 lalu.

Kasus tersebut telah masuk ke ranah pengadilan, namun banyak netizen yang meragukan kebenaran investigasi saat itu oleh aparat kepolisian dan juga Kompolnas.

Beberapa netizen menuliskan cuitannya di Twitter, seperti salah satunya Refrizal, dalam akunnya @refrizalskb.

"Semoga Pembunuhan di KM 50 juga TERBONGKAR dalangnya Aamiin Ya Rabb KM 50," cuitnya.

Kemudian Hidayat Nur Wahid wakil ketua MPR RI pun mengapresiasi pengusutan kasus Brigadir J.

Menurut petinggi PKS tersebut bahwa demi keadilan hukum, usut tuntas juga kasus KM 50.

"Sudah selayaknya bila Kasus KM 50 terkait gugurnya beberapa Laskar FPI, juga dibuka kembali, dan diusut secara serius, jujur dan tuntas." tulis akunnya @hnurwahid.

"Melihat "keterlibatan" Sambo pada kasus terbunuhnya Brigadir J, kok saya merasa kasus terbakarnya Kejaksaan Agung dan pembunuhan KM 50 sangat layak dibuka kembali," tulis akun @hipohan.

"Pintu Kasus KM 50 mulai terbuka..?!
suarakan kebenaran sampai kemuka penguasa Dzolim..!," ujar akun @AkunRecehPeduli.

"Merawat ingat, Peristiwa KM 50 dulu katanya melawan petugas, tembak menembak . Pak sambo ayo bernyanyilah yg merdu," cuit akun @cybsquad. (mskb)



SANCAnews.id – Wakil rakyat di Senayan, khususnya Komisi III DPR RI mulai bereaksi setelah disentil Menko Polhukam Mahfud MD terkait kasus kematian Brigadir J.

 

Salah satunya anggota Komisi III Fraksi Demokrat, Benny K Harman. Melalui akun Twitternya, Benny Harman turut melampirkan tangkapan layar link pemberitaan media daring berisi sentilan Mahfud MD soal sikap diam DPR RI atas kasus Brigadir J.

 

"Sikap diam DPR dalam kasus kematian Brigadir J dipertanyakan Menkopohukam," demikian kalimat awal Benny Harman dikutip dari akun Twitternya, Selasa (9/8).

 

Alih-alih menjawab sindiran Mahfud MD, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini justru menyarankan kepada menteri Kabinet Indonesia Maju ini untuk bertanya kepada kepala negara, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.

 

"Daripada sesat, sebaiknya Pak Mahfud langsung saja tanya Presiden Jokowi mengapa 'DPR' sekarang menjadi beku. Juga mohon tanya kepada presiden. Mengapa bersikap diam saja terhadap kasus ini? #RakyatMonitor#," tutup Benny Harman.

 

Dalam wawancara di salah satu stasiun televisi, Mahfud awalnya menjelaskan bahwa kasus kematian Brigadir J sebagai kasus kriminal biasa karena ada psikopolitis dan psikohierarkis.

 

Sentilan kepada DPR tertuang dalam penjelasan psikopolitis.

 

"Selama ini, misalnya, saya katakan psikopolitisnya. Semua heran kenapa kok DPR semua diam ini kan kasus besar, biasanya kan ada apa, paling ramai manggil. Ini mana, enggak ada tuh," ujar Mahfud. (rmol)


 

SANCAnews.id – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akhirnya mendatangi kediaman Putri Candrawati, istri Irjen Ferdy Sambo di Jalan Saguling 3, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa, 9 Agustus, sekitar pukul 10.30 WIB.

 

LPSK datang menggunakan sebuah mobil berwarna hitam bernopol B 1083 TQH melalui Jalan Saguling, Komplek Pertambangan, Duren Tiga. Mobil LPSK menuju kediaman rumah Irjen Ferdy Sambo.

 

Berdasarkan pantauan VOI, setelah mendatangi rumah Irjen Ferdy Sambo, petugas keamanan di depan rumah Irjen Ferdy Sambo menjaga ketat rumah tersebut. Mereka membatasi awak media yang hendak meliput di kawasan kediaman rumah Irjen Ferdy Sambo.

 

"Tolong ya, keluar tinggalkan komplek ini. Maaf ya, tolong keluar," kata salah satu petugas kemanan berpakaian bebas sambil mengusir VOI di depan rumah Irjen Ferdy Sambo, Jalan Saguling 3, Jakarta Selatan, Selasa, 9 Agustus.

 

Hingga berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari LPSK terkait kedatangan ke rumah rumah Putri Candrawati, istri Irjen Ferdy Sambo.

 

Sebelumnya dijadwalkan, Putri Candrawati, istri Irjen Ferdy Sambo menjalani pemeriksaan assesment oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

 

Juru bicara LPSK, Rully Novian mengatakan, pemeriksaan psikologis terhadap yang bersangkutan tidak hanya dilakukan 1 kali, namun perlu beberapa kali pemeriksaan.

 

"Jika yang bersangkutan masih mengalami trauma, pemeriksaan bisa dilakukan di tempat yang paling nyaman bagi korban," kata Rully kepada wartawan, Senin, 8 Agustus.

 

Rully memastikan, jika dalam proses pemeriksaan psikologis Putri Candrawati bisa mengungkapkan, maka dapat melanjutkan pemeriksaan di kantor LPSK.

 

"Jika kita memungkinkan di kantor, maka kita akan meminta dia untuk asesmen ke kantor," ujarnya. **


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.