Latest Post


 

SANCAnews.id – Puluhan emak-emak yang tergabung dalam Konsolidasi Perempuan Pejuang Indonesia (Koppi) mendesak KPK untuk segera menindaklanjuti dan mengusut tuntas laporan dugaan KKN dan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan oleh kedua anak Presiden Joko Widodo, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.

 

Desakan itu disampaikan langsung oleh Koppi saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat sore (5/8).

 

Pantauan Kantor Berita Politik RMOL, sekitar 26 emak-emak ini menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK dengan membawa berbagai atribut aksi.

 

Mereka membawa bendera merah putih dan empat buah spanduk berisi beragam tuntutan. Tulisannya seperti "KKN Musuh Bersama" "Usut Tuntas Kasus Dugaan KKN dan Pencucian Uang Oleh Gibran dan Kaesang", "Usut Tuntas Dugaan Korupsi Harga Test PCR LBP dan Erick Thohir".

 

Dalam orasinya, Jurubicara Koppi, Ita Pakpahan mengatakan, korupsi yang merajalela menjadi sebab mundurnya negara karena menunjukkan bahwa good government dan clean governance tidak berjalan sebagaimana mestinya.

 

"Jika korupsi masih merajalela, maka masa depan negara ini akan semakin suram," ujar Ita dalam orasinya.

 

Oleh karena itu, kata Ita, pemberantasan korupsi harus terus dilakukan tanpa pandang bulu. Untuk itu, KPK harus benar-benar bekerja secara on the track.

 

"Kami Konsolidasi Perempuan Pejuang Indonesia mencermati bahwa KPK belum bekerja sebagaimana mestinya, sebab banyak laporan masyarakat yang disampaikan ke KPK sampai saat ini belum diproses, di antaranya kasus dugaan KKN dan pencucian uang Gibran dan Kaesang, juga laporan tentang korupsi PCR, serta laporan-laporan korupsi lainnya yang dilakukan masyarakat," jelas Ita.

 

Untuk itu, Koppi mendesak KPK untuk segera menindaklanjuti laporan dugaan KKN dan TPPU yang dilakukan oleh kedua anaknya Presiden Jokowi, Gibran dan Kaesang.

 

Selain itu, Koppi juga mendesak KPK untuk segera menindaklanjuti laporan dugaan korupsi PCR Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dan Erick Thohir.

 

"Jika KPK tidak segera menindaklanjuti tuntutan kami, maka kami akan terus berjuang untuk melakukan aksi-aksi demonstrasi sampai korupsi benar-benar diberantas di republik ini demi masa depan anak-anak dan tentu masa depan Republik ini," pungkas Ita. (rmol)




SANCAnews.id – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan pengusutan kasus tewasnya Brigpol Yosua Hutabarat alias Brigadir J dibuka apa adanya. Sejujur-jujurnya sebagaimana perintah Presiden Joko Widodo.

 

Setelah mengetahui terdapat 25 personel polri yang di dalamnya terdapat tiga orang jenderal bintang satu menghambat dan merintangi proses penyidikan, Kapolri menegaskan tidak menutup kemungkinan berkembang terhadap pangkat-pangkat lainnya.

 

“Tiga Pati Polri bintang satu, dan saat ini sedang diproses. Tidak menutup kemungkinan berkembang ke nama-nama lain atau pangkat-pangkat lain,” kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis malam (4/8).

 

Namun yang jelas, Kapolri menekankan bahwa proses penyidikan kasus ini terdapat gangguan antara lain pengambilan CCTV yang ada di sekitar kediaman dinas Irjen Ferdy Sambo di Komplek Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.

 

“Kita sedang dalami, kita sudah mendapatkan bagaimana proses pengambilan dan siapa yang mengambil, siapa yang menyimpan (rekaman CCTV) juga sudah kita lakukan pemeriksaan,” ujar Kapolri.

 

Ke-25 personel yang diperiksa ini, Kapolri menegaskan akan betul-betul didalami. Selain terkait etik, jika terbukti secara sah melakukan tindak pidana maka akan diproses sesuai dengan pidana yang dimaksud.

 

“Apakah ini masuk ke dalam pelanggaran kode etik maupun pelanggaran pidana, akan kita proses,” tegasnya.

 

Adapun ke-25 personel Polri ini terdiri dari tiga orang Perwira Tinggi (Pati) berpangkat Brigjen alias bintang satu, lima orang Kombes, tiga orang AKBP, dua orang Kompol, tujuh orang Perwira Pertama (Pama) dan lima personel berpangkat tamtama dan bintara. (rmol)




SANCAnews.id – Habib Sidang Habib Bahar bin Smith berlanjut setelah sebelumnya mendapatkan tuntutan 5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada sidang kali ini, Habib Bahar bin Smith menyampaikan nota pembelaan atau pleidoi.

 

Tak hanya lewat kuasa hukum, pleidoi juga disampaikan Habib Bahar bin Smith secara langsung. Dalam pleidoi, dia menyinggung dan meragukan dasar tuntutan yang mengatasnamakan keadilan dari JPU.

 

"Saya tertawa melihat isi dakwaan untuk 'keadilan' tapi nyatanya isinya bohong. Penuh kemunafikan dan kepalsuan," kata Bahar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (4/8).

 

Dalam pleidoinya, Bahar menganggap apa yang dia alami saat ini bukan suatu keadilan. Sebab, kata dia, banyak pelaku-pelaku penista agama lain yang justru tak diproses. Dia juga menyinggung soal korupsi yang kerap terjadi di tanah air.

 

Bahkan, Bahar menuding tuntutan lima tahun penjara yang dia terima dari jaksa merupakan intervensi dan bukan keinginan JPU.

 

"Saya yakin, tuntutan lima tahun bukan kemauan mereka (JPU). Tapi intervensi atasan. Makanya saya bilang jangan untuk keadilan, tapi kezaliman. Mana keadilan, saya ditangkap secepat kilat, belum diperiksa saksi sudah ditahan," tegasnya.

 

Bahar juga heran atas kasus yang menjeratnya hingga dituduh menimbulkan keonaran atas ceramah yang dilakukan di Kampung Cibisoro, Kabupaten Bandung akhir tahun lalu itu. Dia turut menyinggung pejabat yang justru kerap berbicara kebohongan namun tak diproses.

 

"Keonaran daring gara-gara saya ceramah. Beda pendapat di media sosial, apakah adil? Kenapa banyak pejabat berbohong, berdusta, ingkar janji, bukan kah itu kebohongan yang di dalamnya ada keonaran, bahkan keonaran daring, banyak rakyat susah. Apa ini disebut keadilan?" tandasnya seperti diberitakan Kantor Berita RMOLJabar. (*)




SANCAnews.id – Sidang Habib Bahar bin Smith kembali berlanjut usai dituntut 5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada sidang Kamis kemarin (4/8), Habib Bahar bin Smith menyampaikan nota pembelaan atau pleidoi.

 

Tak hanya lewat kuasa hukum, pleidoi juga disampaikan langsung Habib Bahar bin Smith. Dalam pleidoi, Bahar bin Smith menyinggung dan meragukan dasar tuntutan yang mengatasnamakan keadilan dari JPU.

 

"Saya tertawa melihat isi dakwaan untuk 'keadilan' tapi nyatanya isinya bohong. Penuh kemunafikan dan kepalsuan," kata Bahar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Kamis (4/8), seperti dikutip Kantor Berita RMOLJabar.

 

Dalam pleidoinya, Bahar menganggap apa yang dia alami saat ini bukan suatu keadilan. Sebab, banyak pelaku penistaan agama lainnya yang justru tak diproses. Dia juga menyinggung soal korupsi yang kerap terjadi di tanah air.

 

Bahkan, Bahar menuding tuntutan 5 tahun penjara dari jaksa merupakan intervensi dan bukan keinginan JPU.

 

"Saya yakin, tuntutan lima tahun bukan kemauan mereka (JPU). Tapi intervensi atasan. Makanya saya bilang jangan untuk keadilan, tapi kezaliman. Mana keadilan, saya ditangkap secepat kilat, belum diperiksa (sebagai) saksi sudah ditahan," tegasnya.

 

Bahar juga heran atas kasus yang menjerat dia hingga dituduh menimbulkan keonaran atas ceramah yang dilakukan di Kampung Cibisoro, Kabupaten Bandung akhir tahun lalu itu. Dia turut menyinggung pejabat yang justru kerap berbicara kebohongan namun tak diproses.

 

"Keonaran daring gara-gara saya ceramah. Beda pendapat di media sosial, apakah adil? Kenapa banyak pejabat berbohong, berdusta, ingkar janji, bukankah itu kebohongan yang di dalamnya ada keonaran, bahkan keonaran daring, banyak rakyat susah. Apa ini disebut keadilan?" tegas Bahar.

 

Habib Bahar bin Smith dituntut 5 tahun penjara karena dinilai JPU telah terbukti melakukan penyebaran berita bohong saat ceramah di Bandung.

 

Tuntutan diucapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Kamis lalu (28/7).

 

“Menuntut terdakwa HB Assayid Bahar bin Ali bin Smith dengan pidana penjara selama lima tahun,” ujar JPU. **




SANCAnews.id – Babak baru kasus tewasnya Brigpol Yosua Hutabarat alias Brigadir J menumbalkan tiga jenderal bintang satu yang ada di Divisi Propam. Tiga jenderal itu dimutasi lantaran kedapatan menghalangi, merintangi, mengihilangkan dan menyembunyikan barang bukti.

 

“Kita periksa terkait dengan ketidakprofesionalan dalam penanganan TKP dan juga beberapa hal yang kita anggap itu membuat proses olah TKP dan juga hambatan dalam hal penanganan TKP dan penyidikan,” kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis malam (4/8).

 

Berdasarkan Surat Telegram (TR) mutasi yang diterima redaksi Kantor Berita Politik RMOL, personel yang dimutasi ini kebanyakan anak buah Irjen Ferdy Sambo yaitu berasal dari Divisi Propam Polri.

 

Mereka adalah Karo Paminal Brigjen Hendra Kurniawan, kemudian Karo Provost Brigjen Benny Ali, lalu Kombes Gupuh Setiyono, lalu Sespro Paminal Kombes Denny Setianugaraha Nasution.

 

Kaden A Biro Paminal Kombes Agus Nurpatria. Wakaden B Ropaminal Div Propam Polri AKBP Arief Rahman Arifin. Ps Kasubbag riksa bag etika rowatprof Div Propam Kompol Baiqhuni Wibowo dan Kompol Chuck Putranto Ps kasubag audit etika rowatprof Divisi Propam Polri.

 

Mereka semua berasal dari Divisi Propam Polri dan diduga merupakan tim pertama yang datang ke TKP yaitu rumah dinas Ferdy Sambo di Komplek Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. *


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.