Latest Post



SANCAnews.id – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyoroti penetapan tersangka kasus dugaan percobaan pembunuhan berencana Brigadir J alias Yosua Hutabarat.

 

Sebelumnya, Polri diketahui telah menetapkan satu tersangka, tetapi belum merilis lengkap siapa dan perannya dalam kasus tersebut. 

 

Menurut Refly Harun, penetapan tersangka tersebut cenderung mengarah kepada anggota polisi berpangkat rendah.  "Kita belum dikasih tahu soal sosok tersangka sesungguhnya. Namun, saya rasa penetapan tersangka dimulai dari orang kecil (pangkat rendah,red) dulu," ucap Refly Harun di kanal YouTube-nya dilansir Minggu (24/7/2022). 

 

Refly Harun menjelaskan meski berawal dari pangkat terendah, pengungkapan tersangka bisa mengarah kepada sosok yang lebih tinggi.  Sebab, dia menuturkan hal itu bisa dilakukan ketika penyidik memiliki cukup bukti kuat. "Nah, kalau bicara soal tersangka lainnya, biasanya dimulai dari orang kecil dulu.

 

Jika sudah ada bukti kuat, tersangka besar bisa ditangkap," jelasnya.  Selain itu, Refly Harun mengatakan kasus Brigadir J dilaporkan terkait dugaan pembunuhan berencana sehingga pelakunya bisa lebih dari satu. 

 

Dengan demikian, dia meminta pihak kepolisian segera mengungkap kasus tewasnya Brigadir J yang telah naik ke tahap penyidikan.  "Jadi, kita lihat bagaimana profesionalitas, independensi, dan transparansi Polri dalam mengusut kasus tersebut," imbuhnya. 

 

Adapun Brigadir J alias Yosua Hutabarat diduga tewas setelah baku tembak dengan Bharada E di rumah dinas mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022). (tvOne)




SANCAnews.id – Pembebasan bersyarat yang diterima Habib Rizieq Shihab (HRS) dinilai tak lepas dari tekanan pemerintah Amerika Serikat terhadap pemerintah Indonesia.

 

Demikian disampaikan Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, dalam diskusi webinar bertajuk "Pembebasan HRS dan Masa Depan Keadilan Indonesia", yang diselenggarakan Narasi Institut di Jakarta, Jumat (22/7).

 

 Syahganda mengatakan, dugaan itu bermula dari adanya rilis HAM yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat awal tahun ini, yang meliputi kasus HRS selaku pemimpin besar umat Islam sekaligus pemimpin politik untuk umat Islam.

 

"Jadi, HRS dikeluarkan guna merespons rilis Kementerian Luar Negeri AS atas persoalan HAM dan juga sangkut paut terhadap kasus penembakan laskar FPI di KM 50," jelas Syahganda.

 

Menurut mantan aktivis ITB era '80-an yang pernah dipenjara oleh rezim Soeharto dan Jokowi itu, Indonesia dalam konteks dikeluarkannya HRS memang membutuhkan dukungan Amerika dan Barat terkait bantuan pinjaman untuk melaksanakan pembangunan.

 

Khususnya bantuan dari Amerika dan Barat serta lembaga multilateral sangat terkait dengan urusan HAM.

 

"Di mana defisit anggaran pembangunan ke depan harus bisa dipastikan diperoleh melalui pinjaman bilateral ataupun multilateral, bukan lagi intervensi Bank Indonesia," tambahnya.

 

Bagi Syahganda, kebutuhan pinjaman untuk APBN nyata tak bisa dipenuhi dengan mengandalkan penghasilan pajak yang hanya 9 persen dari PDB.

 

"Terkait soal pelanggaran HAM ini juga harus selesai sebelum diselenggarakannya acara G-20, dimana pimpinan berbagai negara akan datang ke Indonesia. Tentu pemerintah Indonesia akan sangat malu dengan pelanggaran HAM, seperti pemenjaraan HRS, bila melakukan hajatan internasional," jelas Syahganda.

 

Tak hanya itu, Syahganda juga meminta agar Jokowi melakukan rekonsiliasi nasional dalam rangka bahu-membahu membangun Indonesia ditengah situasi krisis saat ini.

 

Namun demikian, Syahganda menyarankan Jokowi menunjukkan sikap menghormati HRS lebih dulu.

 

Di bagian lain, Syahganda mengharapkan Megawati dan HRS membangun komunikasi yang baik sebagai simbolisasi dari dialektika jalan pikiran Bung Karno.

 

"Sehingga Islamisme dan sosialisme/marhaenisme mampu bersinergi," tegas Syahganda, mengakhiri.

 

Selain Syahganda, dalam webinar ini juga tampil sebagai pembicara Gurubesar IPB Prof Dr Didin S Damanhuri, pengamat ekonomi M Fadhil Hasan, Fahri Hamzah, serta pengacara HRS Azis Yanuar. (rmol)

 


 

SANCAnews.id – Penyidikan kasus kematian Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat masih terus bergulir. Tim Khusus Polri telah menyita dan sedang memeriksa DNA pada baju Brigadir J yang ia pakai terakhir kali.

 

Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, pakaian yang dikenakan Brigadir J di saat-saat terakhirnya tersebut saat ini berada di laboratorium forensik.

 

"Semua pakaian sudah disita dan sudah diperiksa oleh laboratorium forensik DNA-nya ," ujar Dedi, Jumat (23/7/2022) malam. Selain baju, Dedi mengatakan tim penyidik juga telah mendapatkan beberapa bukti lain dan sudah diperiksa pula oleh laboratorium forensik.

 

"Semua sudah diperiksa terkait barang bukti peristiwa pidana ini semua sudah didalami oleh laboratorium forensik," lanjutnya.

 

Lebih lanjut, Dedi mengatakan penggalian makam atau ekshumasi jasad Brigadir J untuk autopsi ulang, akan dilakukan pada pekan depan. Namun, ia belum memberi tahu kapan jadwal penggalian makam itu.

 

"Secepatnya, karena kita berkejaran dengan waktu. Semakin cepat semakin baik karena kalau misalnya agak lama, proses pembusukan juga akan semakin rusak. Kalau (jasad) semakin rusak maka nanti dari dokter akan mengalami kendala," tegasnya. (tvOne)



 

SANCAnews.id – Drama kasus 'kematian sang ajudan', yakni seorang anggota polisi bernama Nofryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J terus berlanjut.

 

Kini, sebanyak 11 orang terdekat mendiang Brigadir J dengan didampingi Kuasa Hukumnya, Kamarudin Simanjuntak melakukan pemeriksaan di Polda Jambi, pada Jumat (22/7/2022). 

 

Pemeriksaan tersebut pun berjalan cukup lama sekitar hampir 10 jam. Melalui kuasa hukum keluarga Brigadir J, diketahui pemeriksaan para saksi utama dilakukan pihak kepolisian sejak pagi hingga malam.

 

"Hari ini dilakukan pemeriksaan terhadap sebelas orang saksi utama yang melihat jenazah. Termasuk ibu dan bapaknya," kata Kamarudin, Jumat (22/7/2022). 

 

Kamarudin juga menjelaskan hasil pemeriksaan yang dilakukan, bahwa ada kemungkinan untuk melakukan Autopsi ulang terhadap jenazah Brigadir J, yang rencananya dilakukan pada awal pekan depan, di lokasi pemakaman atau di rumah sakit terdekat.   "Kita lengkapi berkas administrasi terlebih dahulu. Ada kemungkinan pekan depan, Senin atau Selasa di lokasi.

 

Untuk lokasi di pemakaman, namun dicek dulu kelayakannya," ujarnya.  Ia menambahkan, pemeriksaan sebelas saksi dilakukan karena adanya temuan bukti baru oleh pihak kepolisian. Sehingga saat ini status kasus penembakan Brigadir J naik dari penyelidikan menjadi penyidikan. 

 

"Karena sudah ada cukup bukti, sehingga sudah bisa naik status dari penyelidikan ke penyidikan," kata Kamarudin.  Kamarudin juga menyampaikan bahwa adanya satu orang saat ini telah ditetapkan tersangka oleh pihak penyidik.

 

Namun, dirinya belum membuka identitas mengenai siapa yang ditetapkan tersangka tersebut.  "Ya ada satu yang saat ini ditetapkan tersangka, namun saya belum bisa memberitahu siapa yang ditetapkan tersangka, karena masih proses penyelidikan," tambahnya. (tvOne)



SANCAnews.id – Perlawanan pihak keluarga Brigadir Nofryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J melalui kuasa hukumnya terus berlanjut, Sabtu (23/7/2022). Perjuangan keluarga Brigadir J pun tak main-main, sampai saat ini, sejumlah temuan-temuan yang dianggap janggal pada kematian Brigadir J pelan-pelan mulai diungkap di publik.

 

Terbaru, pengacara keluarga Brigadir J, Kamarudin Simanjutak, membeberkan penyataan baru soal kasus tersebut. Pengacara keluarga Brigadir J,  Ia mengungkapkan bahwa akan ada tersangka baru atas kasus yang menyebabkan kematian almarhum Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

 

Hal itu disampaikan pengacara saat dampingi keluarga Brigadir J, ketika memberikan keterangan kepada Tim Penyidik Tindak Pidana Bareskrim Polri, di Mapolda Jambi.

 

 "Ya pasti dong. Karena ada orang yang ditugaskan untuk melucuti decoder CCTV di perumahan perwira polisi itu, tapi bukan Polisi," ujar Kamarudin, saat di Mapolda Jambi ketika dampingi keluarga Brigadir J, Jumat, (22/7/2022) malam hari. Dijelaskannya, orang yang terlibat melucuti decoder CCTV itu pasti disuruh oleh orang besar. Sebab, decoder CCTV itu diambil dari lingkungan perumahan Polisi.

 

"Ya pasti ada yang suruh untuk melucuti decoder itu," katanya. Sampai saat ini, hal itu menjadi sebuah pertanyaan besar bagi Kamarudin dan menjadi sebuah teka-teki di balik kasus tersebut.

 

"Nah pertanyaannya, siapa yang melucuti decoder CCTV itu. Tentulah yang menyuruh ini bukan orang biasa, melainkan orang itu petinggi dan besar," ujarnya. Namun dari keterangannya itu, ia tidak menyebutkan siapa pelaku yang melucuti decoder CCTV itu.

 

Ia hanya sekadar mengatakan adanya dugaan keterlibatan warga keturunan, yang disuruh untuk melucuti decoder CCTV itu. Namun untuk saat ini, ia tidak bisa menyebutkan siapa warga keturunan yang terlibat dalam kasus tersebut. "Saya tidak bermaksud saran.

 

Namun, ada dugaan warga keturunan," katanya. Selain itu, ia katakan, jika proses pemeriksaan yang dilakukan belum usai, dan dirinya masih menunggu dari pihak penyidik. "Nanti, pemeriksaan belum selesai. Saat ini penyidik masih istirahat makan dan salat, nanti selesai kita kasih tahu, tunggu ya," katanya. (tvOne)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.