Latest Post



OLEH: ILHAM BINTANG 

(Penulis adalah wartawan senior) 


BELUM seumur jagung masa jabatan Prof Azyumardi Azra di Dewan Pers (dikukuhkan 18 Mei 2022). Tapi, Cendekiawan Muslim itu sudah langsung "on" menghadapi ancaman kemerdekaan pers dari dua arah sekaligus: internal maupun eksternal.

 

Dari internal, salah satu datang dari sekelompok wartawan yang menggugat Dewan Pers karena meratifikasi perusahaan pers dan menetapkan kompetensi wartawan. Penggugat tampaknya tidak paham.

 

Dua hal itu merupakan kehendak masyarakat pers yang dideklarasikan pada Hari Pers Nasional (HPN) di Palembang 2010. Dalam konteks ini, Dewan Pers hanya memberikan legalitas formal sesuai fungsinya.

 

Sedangkan ancaman yang bersifat  eksternal  datang dari pemerintah dan parlemen yang saat ini membahas Rancangan UU KUHP yang baru. Beberapa pasal dalam RUU KUHP itu dinilai mereduksi hak-hak pers yang sebelumnya diatur dalam UU Pers 40/1999.

 

Hari-hari ini Prof Azyumardi disibukkan  wawancara dan  berdebat di televisi, seperti yang kita saksikan Sabtu (16/7) di CNN dan Minggu (17/7) pagi di MetroTV.

 

Kriminalisasi Pers 

Dewan Pers menyoroti revisi UU (RUU) Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis. Karya jurnalistik berpotensi dipidanakan jika draft RUU KUHP terbaru disahkan.

 

Padahal permasalahan terkait karya jurnalistik seharusnya diselesaikan terlebih dahulu melalui prosedur dan mekanisme yang tercantum di dalam UU 40/1999 tentang Pers.

 

Azyumardi Azra menilai delapan usulan Dewan Pers dalam draft final RUU KUHP diabaikan begitu saja. Tindakan tersebut dianggap Azra tak mencerminkan adanya "meaningful participation" atau partisipasi yang dilakukan secara bermakna.

 

“Pengambilan keputusan penetapan RUU KUHP menjadi undang-undang, hendaknya terlebih dahulu mendengar pendapat publik secara luas,” Azyumardi dalam keterangan resmi pada Jumat (15/7).

 

Dewan Pers mengusulkan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghapus beberapa pasal yang ada. Alasannya, sejumlah pasal dianggap karet atau tak jelas maknanya serta tumpang tindih dengan undang-undang yang telah ada.

 

Beberapa pasal yang dinilai karet adalah Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah serta Pasal 246 dan 248 tentang Penghasutan untuk Melawan Penguasa Umum.

 

Tidak Pernah Merdeka 

Berkaca pada sejarah, sejak Proklamasi RI, kemerdekaan pers sebenarnya tidak pernah terbebas dari ancaman. Rezim pemerintahan Presiden RI pertama Bung Karno dan Presiden RI kedua Pak Harto yang lebih setengah abad memerintah adalah  masa  paling suram  dalam kehidupan pers Nasional. Dua rezim itu memberangus surat kabar dan memenjarakan wartawan tanpa proses pengadilan.

 

Ketika duduk sebagai Ketua Pembelaan Wartawan di PWI Jaya dan di PWI Pusat saya membuat kategorisasi ancaman pers. Ancaman itu sebagai berikut:

 

1. Ancaman penguasa /pemerintah

2. Ancaman dari preman dan tukang pukul

3. Ancaman pemilik modal

4. Ancaman profesi.

 

Pada masa Orde Lama dan Orde Baru ancaman didominasi oleh pemerintah. Saya menjadi pengurus PWI di dua rezim: Orde Baru dan Masa Reformasi.

 

Di masa Orde Baru sumber hukum pers adalah UU 21/1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966. Namun UU itu dengan mudah dikooptasi penguasa lewat Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Penerangan. Melalui dua perangkat peraturan itu pemerintah betul- betul berlaku seperti " Tuhan" menentukan nasib media pers dan wartawan di masa itu.

 

Sampai kemudian gerakan reformasi di berbagai bidang  terjadi tahun 1998. Yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru, sekaligus penderitaan pers Indonesia. Lahirlah lahirlah UU Pers 40 /1999 sebagai anak kandung reformasi. Karena merupakan  perwujudan kehendak bangsa untuk mengawal kemerdekaan pers, insan pers pun seperti menemukan oase di tengah padang pasir. Saya mencatat ancaman terhadap pers mengalami pergeseran, tinggal berikut ini:

 

1. Ancaman dari preman dan tukang pukul

2. Ancaman pemilik modal

3. Ancaman profesi.

 

Di awal-awal reformasi aksi preman dan ormas bersimaharajalela menggeruduk kantor media pers.

 

Aksi pemerintah tiada lagi, entah melalui jalan "belakang". Roh UU Pers 40/1999 memang menutup akses langsung bagi pemerintah untuk campur tangan mengatur kehidupan pers.

 

Namun, siapa menyangka bulan madu kemerdekaan pers Indonesia hanya berlangsung singkat. Secara formal Pemerintah memang tampak tidak campur tangan lagi secara langsung.

 

Tetapi melalui cabang kekuasaan yang lain, pemerintah dan parlemen terus memproduksi jerat hukum yang mengancam kemerdekaan pers. UU ITE, salah satunya. Sekarang menyusul  RUU KUHP yang sedang digodog di parlemen yang membuat Prof Azyumardi harus terjaga siang malam.

 

Tanpa ancaman jerat hukum itu saja pun pers sekarang sudah seperti kehabisan nafas menghadapi pemilik modal yang amat dominan mengancam keberlangsungan fungsinya. Tidak ada halangan bagi mereka (pemilik media) kapan saja mau memberhentikan pemimpin redaksi atau penangggung jawab redaksi yang tidak menguntungkan korporasinya maupun kolaborasinya dengan pemerintah.

 

Bukan cerita isapan jempol, tengah malam boss terganggu, tidak enak hati, dia  bisa memberhentikan penanggung jawab media sebelum ayam berkokok, esok paginya. Dari aspek  ini berbanding  terbalik dengan di masa Orde Baru, yang untuk mengangkat dan memberhentikan pemimpin redaksi bisa menelan waktu bertahun-tahun mengurusnya.

 

Kini, pemilik modal menempati urutan pertama sebagai ancaman kemerdekaan pers. Peringkat kedua, ancaman profesi, dari kalangan wartawan sendiri. Ketiga, ancaman ormas maupun preman yang mulai mengendur.

 

Saya kira dibandingkan perjuangan melawan penguasa dan preman, Prof Azyumardi akan menghadapi perkara rumit dalam mengatasi ancaman profesi ini. Ancaman itu banyak bersumber karena kekurangpahaman; karena sikap mental petualang, dan mental mengejar keuntungan sendiri.

 

Golongan terakhir ini bisa jadi berpengetahuan cukup, mengerti dan memahami peraturan perundang-undangan, namun pengetahuannya dimanfaatkan untuk mencari celah demi kepentingan dan keuntungan golongannya sendiri.

 

Golongan ini menyebar di institusi resmi pers dan media, yang sering lancang  menafsir-nafsir aturan untuk jadi "tambangnya". Yang dalam prakteknya mencatut atasnama rakyat untuk mengebiri pers.

 

Saya mencatat pada tahun 2017 muncul dengan produknya berupa larangan kepada  wartawan meliput aksi 212 serta menyiarkan secara langsung sidang putusan Basuki Tjahaja Purnama di Pengadilan. Padahal, setelah reformasi segala larangan yang membatasi aktifitas publik sah jika diputuskan pengadilan.

 

Saya ingat argumentasi yang digunakan melarang, yang isinya karangan semata mencatut stabilitas. Pertimbangan itu bukan wewenang institusi pers, mau Dewan Pers, KPI apalagi organisasi. Pers. Pertimbangan seperti itu mestinya lahir dari institusi keamanan. Menggunakan alasan stabilitas institusi pers itu malah melecehkan kemampuan profesional aparat keamanan, dan mengintervensi wewenang hakim di pengadilan.

 

Azyumardi belum seumur jagung menjadi Ketua Dewan Pers. Namun, minggu lalu sudah mengalami sendiri dari dalam institusinya keluar fatwa yang menyerukan kepada wartawan agar hanya menyiarkan berita terkait kasus " Polisi Tembak Polisi" dari sumber resmi, secara eksplisit sumber dari.

 

Fatwa ini jelas dungu, justru karena informasi resmi dari kepolisian itulah yang digugat masyarakat.Ini jelas ngawur dan blunder. Tidak ada pasal dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik yang membenarkan fatwa itu. Malah, UU Pers itu menyediakan ancaman hukuman bagi pihak yang menghalang-halangi pers, tindak penyensoran, apalagi pembreidelan.

 

Beruntung segera diketahui oleh Ketua Dewan Pers yang hari Sabtu membuat joint statement dengan Ketua DK- PWI. Isinya, justru mendorong seluruh wartawan  melakukan investigative reporting (liputan mendalam) untuk menyingkap fakta peristiwa dan duduk perkara kasus yang menjadi sorotan masyarakat saat ini.

 

Tampaknya "pembuat fatwa lupa" Kapolri sendiri pun membuka akses pihak di luar institusinya untuk menyelidiki tuntas kasus "Polisi Tembak Polisi" yang mencederai citra lembaga negara itu.

 

Lupa pada sikap Kapolri tahun lalu yang segera membatalkan Telegramnya ketika tahu itu merampas kemerdekaan pers dan berpotensi melanggar UU Pers 40/1999. Telegram Kapolri semula melarang wartawan untuk menyiarkan aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi dalam melaksanakan tugas.

 

Kapolri cepat memahami bahwa itu lebih urusan internalnya. Maka, Kapolri langsung mencabut  Surat Telegram ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 tertangal 6 April 2021 yang ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri. Kapolri juga meminta maaf kepada jajaran pers.

 

Yuyun, wartawati Elshinta yang mewancarai saya Sabtu (16/7) pagi bertanya, sebaiknya apa yang dilakukan oleh pers untuk aman melaksanakan tugas memberitakan kasus seperti "Polisi Tembak Polisi" itu.

 

Jawaban saya simpel saja. Kebetulan materinya menjadi siaran pers resmi Dewan Kehormatan PWI Pusat hari Sabtu itu. Agar wartawan bekerja menurut prinsip kerja jurnalistik secara profesional. Yaitu mentaati UU Pers 40/99 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

 

UU itu anak kandung reformasi, kehendak seluruh bangsa, yang berarti seluruh bangsa lebih-lebih aparat pengamanan harus mengawal dan menjaga itu diamalkan oleh seluruh pers Indonesia.

 

Di dalam UU Pers 40/1999 memang tidak ada pembatasan bagi wartawan untuk mengumpulkan informasi sebanyak- banyak dari manapun demi mencari kebenaran. Yang penting, semua informasi melalui proses verifikasi atau cek dan ricek sebelum disiarkan.

 

Dalam Pasal 2 butir "H" di  KEJ, penggunaan cara-cara tertentu pun dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

 

Namun, wartawan diminta menghormati hak privasi;menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara; dan menyajikan berita secara berimbang.

 

Dengan peliputan secara mendalam dan menyeluruh seperti itu wartawan dapat berperan besar membantu pihak berwajib mengungkap peristiwa yang menjadi sorotan masyarakat luas.

 

Mari kita doakan Prof Azyumardi bisa cepat menyelesaikan remah- remah di internalnya sendiri, sebab itu akan menjadi tolok ukur untuk menjagah kemerdekaan pers dari rongrongan berbagai pihak dan kepentingan. (*)




SANCAnews.id – Insiden baku tembak antar anggota polisi di kediaman dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo masih menjadi sorotan banyak kalangan, salah satunya dari kalangan anggota DPR.

 

Kejadian itu telah menewaskan Brigadir J atau Nopriansah Yosua Hutabarat akibat ditembak oleh Bharada E.

 

Anggota Komisi III DPR RI Siti Nurizka Puteri Jaya mengaku sangat prihatin dengan insiden tersebut.

 

Atas dasar hal itu, Rizka meminta pihak kepolisian memberikan penjelasan yang transparan terkait baku tembak yang menewaskan seorang polisi. Kata Rizka, transparansi sangat penting agar bisa meredam kegaduhan publik.

 

"Masyarakat hanya ingin transparansi dalam penjelasan yang diberikan oleh Polri," kata Rizka Minggu (17/07).

 

Politisi muda Partai Gerindra itu menuturkan, pihak kepolisian harus menjelaskan rentetan insiden tersebut kepada publik.

 

Rizka juga mendesak kepada pihak kepolisian harus netral supaya polemik kasus penembakan ini bisa segera tuntas.

 

"Polri wajib menjelaskan secara transparan, jelas dan netral agar masalah ini cepat selesai," tuturnya.

 

Dengan penjelasan transparan, tambah Rizka akan mencegah kesalahpahaman masyarakat atas penanganan pihak kepolisian.

 

"Karena masyarakat pun yang akan menilai dan berspekulasi dengan sendirinya sesuai dengan apa yang Polri paparkan," tutupnya. (rmol)



SANCAnews.id – Pihak keluarga Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, berencana membuat laporan ke Bareskrim Mabea Polri. Tim kuasa hukum keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak menyatakan akan membuat laporan dugaan pembunuhan terhadap Brigadir J.

 

“Kita besok jam 09.00 WIB mau melaporkan di SPKT Bareskrim Polri. Dugaan pembunuhan, dugaan pembunuhan berencana dan dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian orang lain,” kata Kamaruddin kepada JawaPos.com, Minggu (17/7).

 

Dia mengutarakan, pihaknya akan melaporkan dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Selain itu, terkait dugaan peretasan komunikasi tanpa izin terhadap pihak keluarga almarhum Brigadir J.

 

“Bukti-buktinya sudah kuat, akan kita bawa,” ujar Kamaruddin.

 

Dia menyesalkan hingga kini belum ada pihak-pihak yang dilakukan penahanan terkait meninggalnya Brigadir J. Mengingat peristiwa itu terjadi di kediaman Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo, seharusnya pihak-pihak yang berada di rumah tersebut dilakukan penahanan untuk memudahkan proses penanganan kasus tersebut.

 

Kamaruddin pun menyebut, keterangan yang disampaikan Polri berbeda dengan kondisi tubuh korban, dalam hal ini Brigadir J. Dia pun mempertanyakan terdapat luka lebam di bagian tubuh Brigadir J, sehingga memang masih menjadi pertanyaaan.

 

“Menghasilkan tujuh lubang katanya, nah ini jenis senjata apa yang bisa menghasilkan tujuh lubang. Kemudian ditemukan fakta tubuh almarhum (Brigadir J) terdapat luka, apakah memang setelah ditembak dilakukan penganiayaan atau bagaimana?,” cetus Kamaruddin.

 

Terkait kasus ini, sebelumnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk tim khusus gabungan internal dan eksternal. Dalam hal ini, tim tersebut mengedepankan pendekatan Scientific Crime Investigation (SCI).

 

“Untuk menghindari spekulasi yang dianalogikan tanpa didukung oleh pembuktian ilmiah dan bukan orang yang expert di bidangnya justru akan memperkeruh keadaan,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo.

 

Dedi pun memaparkan, proses pembuktian ilmiah yang dilakukan oleh jajaran kepolisian. Dalam hal ini, pihak kedokteran forensik terus berupaya merampungkan hasil autopsi. Kemudian, laboratorium forensik tengah melakukan uji balistik dari proyektil, selongsong dan senjata api dalam peristiwa itu.

 

“Di tempat kejadian perkara (TKP), pihak Inafis akan melakukan olah TKP untuk menemukan sidik jari DNA, mengukur jarak dan sudut tembakan, CCTV, Handphone dan lainnya,” ujar Dedi.

 

Secara paralel, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri juga melakukan pemeriksan ke sejumlah saksi-saksi dan memberikan asistensi ke tim penyidik dari Polres Metro Jakarta Selatan.

 

Dengan keseluruhan proses pembuktian ilmiah ini, lanjut Dedi, diharapkan fakta yang sebenarnya akan terungkap. Nantinya, Polri akan menyampaikan secara objektif dan transparan kepada masyarakat terkait dengan penanganan perkara ini.

 

“Mohon bersabar dulu biar tim bekerja. Jadi nanti hasilnya akan sangat jelas dan komprehensif karena bukti yang bicara secara ilmiah dan ada kesesuaian dengan hasil pemeriksaan para saksi-saksi,” pungkas Dedi. *




SANCAnews.id – Tiga oknum anggota Polri yang mengintimidasi wartawan saat tengah melakukan peliputan di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan sudah diberikan tindakan tegas.

 

“Anggota yang melakukan intimidasi kepada teman-teman jurnalis yang melaksanakan tugas sudah diketemukan dan akan ditindak tegas oleh Karo Provost Brigjen Benny Ali," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (15/7).

 

 Dedi menyesalkan peristiwa itu terjadi. Polri berkomitmen sesuai arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terbuka kepada publik, termasuk awak media.

 

"Organisasi Polri terus membangun komunikasi publik yang baik, menerima saran masukan kritik dan mendengarkan apa yang menjadi aspirasi seluruh komponen bangsa," ucap jenderal bintang dua itu.

 

Dedi berharap kasus intimidasi terhadap wartawan tak terjadi kembali. Polri memahami jurnalis hanya menjalankan tugas dan kerja jurnalistik dilindungi Undang-Undang. Tugas jurnalis, kata dia, dalam rangka memberikan informasi, literasi, edukasi kepada masyarakat tentang semua peristiwa yang terjadi di Indonesia.

 

"Oleh karenanya seluruh anggota Polri harus mampu bersinergi, berkomunikasi, dan justru melindungi teman-teman media dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik, jangan sebaliknya," kata Dedi.

 

Menurut dia, tindakan-tindakan yang mengintervensi pers ataupun tindakan-tindakan lain yang melanggar hukum bakal ditindak tegas. Hal tesebut sesuai komitmen pimpinan Polri. (rmol)




SANCAnews.id – Kasus baku tembak antar ajudan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo di rumah dinasnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Jumat sore (8/7) semakin mempertegas kejanggalan demi kejanggalan.

 

Salah satu kejanggalan itu setidaknya ditangkap oleh Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI Laksamana (Purn) Soleman B. Pontoh.

 

Pensiunan jenderal bintang dua TNI Angkatan Laut itu mempertanyakan, mengapa Bharada E yang disebut sebagai pelaku penembak Brigpol Yosua alias Brigadir J hingga tewas saat ini belum juga ditetapkan sebagai tersangka.

 

“Nah, kenapa enggak bisa jadi tersangka, ini sudah ada orang mati kok. Dan faktanya (Bharada E) menembak secara sadar itu lima peluru masuk (ke tubuh Brigadir J),” kata Soleman saat dihubungi wartawan di Jakarta, Jumat (15/7).

 

Disisi lain, ia mengaku heran dengan keterangan resmi Polri bahwa Bharada E menggunakan senjata api jenis Glock 17 yang dianggapnya tidak masuk akal. Pasalnya, Soleman mengungkapkan, senjata semi otomatis itu tidak layak dipergunakan oleh Bharada E yang masih Tamtama, apalagi magasin diisi 17 peluru.

 

“Itu enggak masuk akal. Dia itu dipegangkan Glock 17, seorang Tamtama itu masa pegang Glock, itu pegangan raja-raja, pangkat Kapten ke atas, lah ini malah dipegangkan ke Tamtama,” ujarnya.

 

Kalaupun, lanjut dia, Bharada E ditugaskan mengawal keluarga Irjen Ferdy Sambo, mestinya Bharada E hanya cukup menggunakan senjata revolver dengan 5 peluru.

 

“Dalam situasi apa Glock dipegang, standarnya 5 (pistol) revolver, lah ini malah di rumah pake Glock. Mau ada apaan pegang Glock 17 peluru, mau ada maling atau apa,” ujar dia.

 

“Ini semakin enggak masuk akal. Kalau diawali dengan berbohong, maka akan ada kebohongan selanjutnya,” pungkasnya.

 

Hingga saat ini, tim khusus pencari fakta yang dipimpin Wakapolri maupun pihak Polres Jakarta Selatan masih melakukan serangkaian penyelidikan dan belum menemukan bukti kuat guna menaikkan status Bharada E dari saksi menjadi tersangka. Atau belum ada tersangka dalam peristiwa berdarah di Duren Tiga itu. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.