Latest Post



SANCAnews.id – Tim khusus bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ternyata sudah memeriksa Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo terkait insiden berdarah yang menewaskan Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat. Pemeriksaan pun sudah dua kali dilakukan.

 

"Pak Sambo sudah diperiksa kok dua kali oleh tim yang dibentuk Pak Kapolri," ujar kuasa hukum keluarga Ferdy Sambo, Arman Hanis kepada wartawan, Senin, 18 Juli.

 

Dua kali pemeriksaan itu berlangsung pada Kamis, 14 Juli 2022 dan Jumat, 15 Juli 2022.

 

Namun, saat disinggung mengenai materi pemeriksaan, Arman enggan merinci. Sebab, mengenai hal itu disebut bukan kewenangannya.

 

"Sudah diperiksa. Kamis malam sama jumat malam, setahu saya seperti itu," ungkapnya.

 

Terlepas hal itu, Arman juga menyatakan kliennya akan hadir apabila Komnas HAM membutuhkan keterangan jenderal bintang dua tersebut. Sebab, Irjen Ferdy Sambo akan kooperatif mengikuti proses hukum yang berlaku.

 

"Enggak ada masalah, pasti Pak Sambo akan hadir apabila dibutuhkan keterangannya oleh Komnas HAM," kata Arman.

 

Brigadir J alias Nopryansah Yosua Hutabara tewas karena terlibat baku tembak Bharada E, pada Jumat, 8 Juli.

 

Aksi penembakan disebut terjadi di rumah singgah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.

 

Hasil penyelidikan sementara, baku tembak diawali dengan teriakan istri Irjen Ferdy Sambo yang akan dilecehkan Brigadir J. Di mana, suara itu didengar Bharada RE.

 

Namun, di balik itu muncul isu miring. Semisal, Brigadir J sempat disika hingga pemicunya yakni motif perselingkuhan. (voi)




SANCAnews.id – WhatsApp (WA) milik Brigadir Joshua Hutabarat atau Brigadir J ternyata sempat aktif lima menit setelah ia tewas pada Jumat (8/7). Siapa yang menyimpan HP Brigadir Nopryansah ini?

 

Inilah percakapan keluarga dengan Brigadir J atau Brigadir Nopryansah dari Tanggal 2 hingga 8 Juli Pukul 13.02 WIB atau beberapa jam sebelum Brigadir J tewas.

                               

Namun WhatsApp milik Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J ternyata sempat aktif lima menit setelah ia tewas.

 

Hal ini kini menjadi tanda tanya besar bagi keluarga besar Brigadir Joshua Hutabarat, tentang siapa sosok yang membuka WhatsApp Brigadir J.

 

WhatsApp Yosua Hutabarat terakhir aktif pada pukul 17.05 pada Jumat 8 Juli 2022.

 

Berikut adalah transkrip percakapan terakhir Brigadir J di grup WhatsApp keluarga jelang hari kematiannya.

 

Brigadir J semasa hidup, dan cuplikan chattingnya di WhatsApp. Terlihat aktif terakhir pukul 17.05 pada Jumat (8/7/2022).

 

Percakapan Tanggal 8 Juli 2022

 

Anggota keluarga inisial Y mengirimkan foto keluarga di Grup WA sedang berada di pemandian air panas Sipoholon, Tarutung.

 

Pemandian tersebut pernah menjadi tempat mereka main sewaktu kecil.

 

Lalu pukul 12.58: Y kirim foto ibu di grup WhastApp.

 

Pukul 13.02: Yosua membaca pesan foto tersebut, namun tidak ada balasan.

 

Pukul 17.05: Riwayat WhatsApp aktif terakhir.

 

Pukul 19.34: Y kirim foto lagi di grup WhatsApp. Brigpol Yosua tidak membaca.

 

Pukul 21.34: RH telah berada di RS Bhayangkara Jakarta mengabarkan Brigpol Yosua meninggal dunia.

 

RH adalah adik sepupu Yosua, hadir pada saat proses autopsi berjalan.

 

Proses autopsi yang dilakukan tidak ada pendampingan dari pihak keluarga, hanya diminta tanda tangan persetujuan. (pojoksatu)




SANCAnews.id – Kuasa Hukum keluarga Brigadir J, tidak terima dengan hasil autopsi yang sekarang. Dikarenakan, banyak kejanggalan antara bekas luka dan fakta yang ada.

 

"Kenapa tidak terima, karena ada informasi yang tidak jelas dan atau tidak mengandung kebenaran," katanya di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (18/7).

 

"Supaya transparan, karena ini kasus publik atau domain publik harus dilakukan visum et Repertum atau autopsi ulang," tambah Kamaruddin.

 

Sebelumnya, Kamaruddin bersama tim melaporkan kasus penembakan Brigadir J ke Bareskrim. Laporan tersebut pun diterima dengan nomor STTL/251/VII/2022/Bareskrim Polri.

 

Sementara untuk kasus peretasan yang dialami oleh keluarga Brigadir J belum diterima."Karena mereka (penyidik) minta untuk yang peretasan itu harus ada foto kemudian Hp yang diretas itu," ujar Jhonson.

 

Dalam laporan tersebut, juga melampirkan bukti - bukti berupa foto dan surat keterangan.

 

"Barang buktinya adalah surat permohonan visum et repertum dari Kapolres Jakarta Selatan pada tanggal 8 juli 2022 di mana dijelaskan ditemukan mayat laki2 pukul 17.00," jelasnya Kamaruddin.

 

"Kemudian barang bukti lainnya adalah adalah laki - laki umur 21 tahun dinyatakan telah menjadi jenazah dari rumah sakit Kramat Jati atau RS Polri," lanjutnya.

 

"Ditemukanlah ada beberapa sayatan, kemudian ada beberapa luka tembak, beberapa luka memar, ada pergeseran rahang, luka di bahu, ada luka sayatan di kaki, ada luka di telinga, luka sayatan di belakang, luka di jari-jari, luka membiru di perut kanan kiri atau di tulang rusuk dan sebagainya, luka menganga di sini di bahu dan pipi," tambahnya. (mdk)




SANCAnews.id – Warga Nagari Pasar Bukit Tapan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat digegerkan penemuan mayat yang sudah membusuk, sementara di duga bunuh diri, dan mayat ditemukan oleh warga setempat, Senin 18-7-2022.

 

Berawal dari kecurigaan Anwar dan Nameh warga di nagari pasar bukit Tapan, kecamatan Basa Ampek Balai Tapan karena bau mayat ini sudah di ketahuinya dari dua hari yang lalu.

 

Anwar Dan Nameh lalu mengikuti bau yang dia cium hingga sampai ke rumah kosong yang sudah lama tidak di tempati.

 

Setelah sampai ke rumah itu, lalu mereka berdua menemui mayat di dalam kamar, dalam keadaan tergantung.

 

Kemudian Anwar pulang ke rumahnya dengan kebetulan Kapolsek Tapan sedang makan lontong di warungnya dan dia langsung mengatakan  kejadian ini kepada Kapolsek, lalu Kapolsek mendatangi rumah kosong tersebut secara bersamaan.

 

"Saya sudah dua hari  yang lalu sudah curiga dengan bau bangkai yang tercium sampai ke warung saya, karena saya menjual lontong saya penasaran dan saya cari dimana bau ini, kira - kira jam 08.00 Wib pagi tadi saya dan Nameh menemukan ada orang yang gantung diri di kamar rumah kosong dan kejadian ini kami laporkan ke Kapolsek Tapan," ujar Anwar.

 

Selanjutnya dikonfirmasi dengan Kapolsek Basa Ampek Balai Tapan untuk mengetahui kronologi kejadian ini Kapolsek Tapan Iptu, Aldius. S.H mengatakan, "Benar, kejadian ini kami tidak bisa menyimpulkan apa penyebabnya, pihak medis nantinya yang bisa memastikan apa penyebabnya, namun untuk sementara kami menemukan Koban dalam keadaan gantung diri," terangnya.

 

Kemudian Kapolsek Tapan di TKP langsung menelpon Bareskrim untuk dilakukan penyelidikan dan dia juga mengubungi pihak medis, dari Puskesmas Tapan untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Pratama guna otopsi.

 

Identitas korban diketahui setelah dilakukan olah TKP bernama Dimas Purnama (18) anak nomor 2 dari 5 bersaudara, pasangan suami istri dari ayahnya Eko Purnama dan ibunya Eka Putri berdomisili di Pasar Raya Tapan.

 

"Kami tidak ada menemukan benda-benda yang mencurigakan, kami hanya menemukan HP milik korban dan baju, tali pengikat dan sudah kami amankan, sebagai barang bukti kemudian jam empat sore tadi korban sudah kami serahkan ke keluarganya," ujar Kapolsek. (Erichan Pasnepil)




OLEH: ILHAM BINTANG 

(Penulis adalah wartawan senior) 


BELUM seumur jagung masa jabatan Prof Azyumardi Azra di Dewan Pers (dikukuhkan 18 Mei 2022). Tapi, Cendekiawan Muslim itu sudah langsung "on" menghadapi ancaman kemerdekaan pers dari dua arah sekaligus: internal maupun eksternal.

 

Dari internal, salah satu datang dari sekelompok wartawan yang menggugat Dewan Pers karena meratifikasi perusahaan pers dan menetapkan kompetensi wartawan. Penggugat tampaknya tidak paham.

 

Dua hal itu merupakan kehendak masyarakat pers yang dideklarasikan pada Hari Pers Nasional (HPN) di Palembang 2010. Dalam konteks ini, Dewan Pers hanya memberikan legalitas formal sesuai fungsinya.

 

Sedangkan ancaman yang bersifat  eksternal  datang dari pemerintah dan parlemen yang saat ini membahas Rancangan UU KUHP yang baru. Beberapa pasal dalam RUU KUHP itu dinilai mereduksi hak-hak pers yang sebelumnya diatur dalam UU Pers 40/1999.

 

Hari-hari ini Prof Azyumardi disibukkan  wawancara dan  berdebat di televisi, seperti yang kita saksikan Sabtu (16/7) di CNN dan Minggu (17/7) pagi di MetroTV.

 

Kriminalisasi Pers 

Dewan Pers menyoroti revisi UU (RUU) Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis. Karya jurnalistik berpotensi dipidanakan jika draft RUU KUHP terbaru disahkan.

 

Padahal permasalahan terkait karya jurnalistik seharusnya diselesaikan terlebih dahulu melalui prosedur dan mekanisme yang tercantum di dalam UU 40/1999 tentang Pers.

 

Azyumardi Azra menilai delapan usulan Dewan Pers dalam draft final RUU KUHP diabaikan begitu saja. Tindakan tersebut dianggap Azra tak mencerminkan adanya "meaningful participation" atau partisipasi yang dilakukan secara bermakna.

 

“Pengambilan keputusan penetapan RUU KUHP menjadi undang-undang, hendaknya terlebih dahulu mendengar pendapat publik secara luas,” Azyumardi dalam keterangan resmi pada Jumat (15/7).

 

Dewan Pers mengusulkan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghapus beberapa pasal yang ada. Alasannya, sejumlah pasal dianggap karet atau tak jelas maknanya serta tumpang tindih dengan undang-undang yang telah ada.

 

Beberapa pasal yang dinilai karet adalah Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah serta Pasal 246 dan 248 tentang Penghasutan untuk Melawan Penguasa Umum.

 

Tidak Pernah Merdeka 

Berkaca pada sejarah, sejak Proklamasi RI, kemerdekaan pers sebenarnya tidak pernah terbebas dari ancaman. Rezim pemerintahan Presiden RI pertama Bung Karno dan Presiden RI kedua Pak Harto yang lebih setengah abad memerintah adalah  masa  paling suram  dalam kehidupan pers Nasional. Dua rezim itu memberangus surat kabar dan memenjarakan wartawan tanpa proses pengadilan.

 

Ketika duduk sebagai Ketua Pembelaan Wartawan di PWI Jaya dan di PWI Pusat saya membuat kategorisasi ancaman pers. Ancaman itu sebagai berikut:

 

1. Ancaman penguasa /pemerintah

2. Ancaman dari preman dan tukang pukul

3. Ancaman pemilik modal

4. Ancaman profesi.

 

Pada masa Orde Lama dan Orde Baru ancaman didominasi oleh pemerintah. Saya menjadi pengurus PWI di dua rezim: Orde Baru dan Masa Reformasi.

 

Di masa Orde Baru sumber hukum pers adalah UU 21/1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966. Namun UU itu dengan mudah dikooptasi penguasa lewat Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Penerangan. Melalui dua perangkat peraturan itu pemerintah betul- betul berlaku seperti " Tuhan" menentukan nasib media pers dan wartawan di masa itu.

 

Sampai kemudian gerakan reformasi di berbagai bidang  terjadi tahun 1998. Yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru, sekaligus penderitaan pers Indonesia. Lahirlah lahirlah UU Pers 40 /1999 sebagai anak kandung reformasi. Karena merupakan  perwujudan kehendak bangsa untuk mengawal kemerdekaan pers, insan pers pun seperti menemukan oase di tengah padang pasir. Saya mencatat ancaman terhadap pers mengalami pergeseran, tinggal berikut ini:

 

1. Ancaman dari preman dan tukang pukul

2. Ancaman pemilik modal

3. Ancaman profesi.

 

Di awal-awal reformasi aksi preman dan ormas bersimaharajalela menggeruduk kantor media pers.

 

Aksi pemerintah tiada lagi, entah melalui jalan "belakang". Roh UU Pers 40/1999 memang menutup akses langsung bagi pemerintah untuk campur tangan mengatur kehidupan pers.

 

Namun, siapa menyangka bulan madu kemerdekaan pers Indonesia hanya berlangsung singkat. Secara formal Pemerintah memang tampak tidak campur tangan lagi secara langsung.

 

Tetapi melalui cabang kekuasaan yang lain, pemerintah dan parlemen terus memproduksi jerat hukum yang mengancam kemerdekaan pers. UU ITE, salah satunya. Sekarang menyusul  RUU KUHP yang sedang digodog di parlemen yang membuat Prof Azyumardi harus terjaga siang malam.

 

Tanpa ancaman jerat hukum itu saja pun pers sekarang sudah seperti kehabisan nafas menghadapi pemilik modal yang amat dominan mengancam keberlangsungan fungsinya. Tidak ada halangan bagi mereka (pemilik media) kapan saja mau memberhentikan pemimpin redaksi atau penangggung jawab redaksi yang tidak menguntungkan korporasinya maupun kolaborasinya dengan pemerintah.

 

Bukan cerita isapan jempol, tengah malam boss terganggu, tidak enak hati, dia  bisa memberhentikan penanggung jawab media sebelum ayam berkokok, esok paginya. Dari aspek  ini berbanding  terbalik dengan di masa Orde Baru, yang untuk mengangkat dan memberhentikan pemimpin redaksi bisa menelan waktu bertahun-tahun mengurusnya.

 

Kini, pemilik modal menempati urutan pertama sebagai ancaman kemerdekaan pers. Peringkat kedua, ancaman profesi, dari kalangan wartawan sendiri. Ketiga, ancaman ormas maupun preman yang mulai mengendur.

 

Saya kira dibandingkan perjuangan melawan penguasa dan preman, Prof Azyumardi akan menghadapi perkara rumit dalam mengatasi ancaman profesi ini. Ancaman itu banyak bersumber karena kekurangpahaman; karena sikap mental petualang, dan mental mengejar keuntungan sendiri.

 

Golongan terakhir ini bisa jadi berpengetahuan cukup, mengerti dan memahami peraturan perundang-undangan, namun pengetahuannya dimanfaatkan untuk mencari celah demi kepentingan dan keuntungan golongannya sendiri.

 

Golongan ini menyebar di institusi resmi pers dan media, yang sering lancang  menafsir-nafsir aturan untuk jadi "tambangnya". Yang dalam prakteknya mencatut atasnama rakyat untuk mengebiri pers.

 

Saya mencatat pada tahun 2017 muncul dengan produknya berupa larangan kepada  wartawan meliput aksi 212 serta menyiarkan secara langsung sidang putusan Basuki Tjahaja Purnama di Pengadilan. Padahal, setelah reformasi segala larangan yang membatasi aktifitas publik sah jika diputuskan pengadilan.

 

Saya ingat argumentasi yang digunakan melarang, yang isinya karangan semata mencatut stabilitas. Pertimbangan itu bukan wewenang institusi pers, mau Dewan Pers, KPI apalagi organisasi. Pers. Pertimbangan seperti itu mestinya lahir dari institusi keamanan. Menggunakan alasan stabilitas institusi pers itu malah melecehkan kemampuan profesional aparat keamanan, dan mengintervensi wewenang hakim di pengadilan.

 

Azyumardi belum seumur jagung menjadi Ketua Dewan Pers. Namun, minggu lalu sudah mengalami sendiri dari dalam institusinya keluar fatwa yang menyerukan kepada wartawan agar hanya menyiarkan berita terkait kasus " Polisi Tembak Polisi" dari sumber resmi, secara eksplisit sumber dari.

 

Fatwa ini jelas dungu, justru karena informasi resmi dari kepolisian itulah yang digugat masyarakat.Ini jelas ngawur dan blunder. Tidak ada pasal dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik yang membenarkan fatwa itu. Malah, UU Pers itu menyediakan ancaman hukuman bagi pihak yang menghalang-halangi pers, tindak penyensoran, apalagi pembreidelan.

 

Beruntung segera diketahui oleh Ketua Dewan Pers yang hari Sabtu membuat joint statement dengan Ketua DK- PWI. Isinya, justru mendorong seluruh wartawan  melakukan investigative reporting (liputan mendalam) untuk menyingkap fakta peristiwa dan duduk perkara kasus yang menjadi sorotan masyarakat saat ini.

 

Tampaknya "pembuat fatwa lupa" Kapolri sendiri pun membuka akses pihak di luar institusinya untuk menyelidiki tuntas kasus "Polisi Tembak Polisi" yang mencederai citra lembaga negara itu.

 

Lupa pada sikap Kapolri tahun lalu yang segera membatalkan Telegramnya ketika tahu itu merampas kemerdekaan pers dan berpotensi melanggar UU Pers 40/1999. Telegram Kapolri semula melarang wartawan untuk menyiarkan aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi dalam melaksanakan tugas.

 

Kapolri cepat memahami bahwa itu lebih urusan internalnya. Maka, Kapolri langsung mencabut  Surat Telegram ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 tertangal 6 April 2021 yang ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri. Kapolri juga meminta maaf kepada jajaran pers.

 

Yuyun, wartawati Elshinta yang mewancarai saya Sabtu (16/7) pagi bertanya, sebaiknya apa yang dilakukan oleh pers untuk aman melaksanakan tugas memberitakan kasus seperti "Polisi Tembak Polisi" itu.

 

Jawaban saya simpel saja. Kebetulan materinya menjadi siaran pers resmi Dewan Kehormatan PWI Pusat hari Sabtu itu. Agar wartawan bekerja menurut prinsip kerja jurnalistik secara profesional. Yaitu mentaati UU Pers 40/99 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

 

UU itu anak kandung reformasi, kehendak seluruh bangsa, yang berarti seluruh bangsa lebih-lebih aparat pengamanan harus mengawal dan menjaga itu diamalkan oleh seluruh pers Indonesia.

 

Di dalam UU Pers 40/1999 memang tidak ada pembatasan bagi wartawan untuk mengumpulkan informasi sebanyak- banyak dari manapun demi mencari kebenaran. Yang penting, semua informasi melalui proses verifikasi atau cek dan ricek sebelum disiarkan.

 

Dalam Pasal 2 butir "H" di  KEJ, penggunaan cara-cara tertentu pun dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

 

Namun, wartawan diminta menghormati hak privasi;menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara; dan menyajikan berita secara berimbang.

 

Dengan peliputan secara mendalam dan menyeluruh seperti itu wartawan dapat berperan besar membantu pihak berwajib mengungkap peristiwa yang menjadi sorotan masyarakat luas.

 

Mari kita doakan Prof Azyumardi bisa cepat menyelesaikan remah- remah di internalnya sendiri, sebab itu akan menjadi tolok ukur untuk menjagah kemerdekaan pers dari rongrongan berbagai pihak dan kepentingan. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.