Latest Post



SANCAnews.id – Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan mendorong intimidasi kepada wartawan peliput kasus adu tembak anak buah untuk diusut tuntas. Ia menyayangkan masih ada anggota polisi yang melakukan intimidasi terhadap wartawan.

 

"Tentu kita sayangkan. Apapun wartawan kan mata dan telinga masyarakat. Ya harus diusut," ujar Trimedya kepada wartawan, dikutip Sabtu (16/7).

 

"Yang kaya-kaya begitu yang mengusut Propam. Kan kalau ada soal perilaku polisi kan Propam. Nah ini bagaimana mau ngusulin ke Propam kan. Gitu lho kaitannya. Kalau ada polisi nakal, itu ke Propam," kata Trimedya.

 

Polri diminta lebih mengedepankan langkah persuasif. Bila memang ada larangan tidak boleh ambil gambar saat meliput, sebaiknya dikomunikasikan. "Gitu kan soal komunikasi, persuasif," sambungnya.

 

Lebih lagi, kinerja Humas Polri disorot Trimedya. Sebabnya tidak jelas memberikan informasi kepada publik.

 

"Agak lemah nih Humas yang kali ini. Itu perlu direformasi oleh Kapolri tuh humasnya. Ya kita lihat aja ngomongnya blepetan kan," tegasnya.

 

Sebelumnya, Dua jurnalis mengalami intimidasi saat meliput di sekitaran Rumah Dinas Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo. Orang tidak dikenal (OTK) memaksa menghapus bahan liputan berupa video dan foto.

 

Kejadian itu menimpa Jurnalis CNNIndonesia.com dan 20Detik pada Kamis (14/7). Mulanya, mereka berdua menyambangi kediaman Ketua RT 05 RW 01, Irjen Pol (Purnawirawan) Seno Sukarto. Namun, yang menemui adalah istri dari Ketua RT.

 

"Pertama ke rumah Pak RT kan, di datenginnya sama Ibunya yang keluar, nanya-nanya kan, katanya bapaknya itu enggak mau ngomong lagi. Karena udah tuh yang kemarin udah cukup itu, nggak ada yang baru lagi," kata salah satu korban, dalam keterangannya, Kamis (14/7/2022) malam.

 

Kedua jurnalis lantas meninggalkan rumah Ketua RT. Mereka berkeliling mencari narasumber lain. Ada satu orang yang dicari bernama Mang Asep, yang bekerja sebagai tukang sapu di kompleks perumahan.

 

"Ketemu lah Pak Asep lah di pertigaan tuh di pinggir jalan," katanya.

 

Jurnalis bertemu dengan Asep. Mereka melakukan wawancara sambil merekam menggunakan kamera telepon genggam. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Asep. Namun, tak ditanggapi.

 

"Sambil wawancara tuh sempat ada polisi nyamperin, manggil si Pak Asep, terus ya udah kita lanjut wawancara tuh sama Pak Asep sambil videoin segala macam," ujar dia.

 

Selang berapa lama, ada tiga orang tak dikenal menghampiri mereka bertiga. Orang tak dikenal malah meminta jurnalis menghapus seluruh rekaman video dan foto-foto yang barusan diambil. Totalnya, ada tiga file video.

 

"Pas sudah agak jauh, disamperin lagi tuh bertiga. Langsung 'sini mana handphonenya mana handphonenya.' Langsung dihapus-hapusin (videonya)," ujar dia.

 

Terkait hal ini, Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo memastikan pihaknya akan mengusut dugaan intimidasi yang menimpa dua jurnalis.

 

"Nanti akan diusut oleh Polres," singkat dia. (mdk)




SANCAnews.id – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berjanji mengusut kasus baku tembak anak buah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo yang menewaskan Brigadir J secara transparan. Namun, janji itu malah ternodai dengan aksi anak buah mengintimidasi dua jurnalis ketika meliput di rumah dinas Kadiv Propam.

 

Intimidasi tersebut dialami wartawan CNNIndonesia.com dan 20Detik. Saat itu, mereka sedang menelusuri dan menggali fakta insiden penembakan tersebut dengan mewawancarai saksi mata.

 

Dua jurnalis ini mewawancarai Asep, tukang sapu kompleks rumah dinas Polri di kawasan Duren Tiga itu. Wawancara dengan Asep dilakukan menggunakan kamera telepon genggam. Tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil Asep. Namun tak ditanggapi.

 

"Sambil wawancara tuh sempat ada polisi nyamperin, manggil si Pak Asep, terus ya udah kita lanjut wawancara tuh sama Pak Asep sambil videoin segala macam," kata salah satu korban.

 

Setelah wawancara selesai, tiga anggota kepolisian meminta wartawan menghapus dokumen video liputan tersebut. Sejumlah dokumen yang dihapus tersebut merupakan hasil peliputan kasus polisi tembak polisi di kediaman Ferdy Sambo.

 

Banjir Kecaman

Aksi intimidasi aparat ini menuai kecaman dari banyak pihak. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan LBH Pers menilai aksi intimidasi polisi terhadap jurnalis telah mencederai kebebasan pers dalam bekerja.

 

“Mengambil, menghapus paksa, hingga melakukan penggeledahan tas dan diri jurnalis yang meliput merupakan tindakan yang seharusnya tidak pantas. Tindakan tersebut kami nilai berlebihan dan sewenang-wenang. Hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata Ketua AJI Jakarta Afwan Purwanto dalam keterangan tertulis, Jumat (15/7).

 

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menegaskan jika jurnalis bekerja untuk kepentingan publik seharusnya mendapatkan perlindungan dan rasa aman dalam meliput. Alhasil, tindakan intimidasi itu dianggap melanggar UU Pers, bisa dikenakan pasal perampasan/pengancaman dalam KUHP dan akses ilegal dalam UU ITE.

 

“Tindakan intimidasi dan penghalangan aktivitas jurnalistik ini bertolak belakang dengan niat Kapolri yang menjamin transparansi dan objektivitas dalam pengungkapan insiden tembak menembak di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdi Sambo,” ujar Ade.

 

Desakan lain juga datang dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) yang mendesak apabila tindakan itu terbukti merupakan sebuah intimidasi maka oknum yang diduga sebagai polisi tak berseragam tersebut dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Hal itu sebagaimana telah diatur dan tertuang dalam Undang-Undang Pers Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 44 tahun 1999.

 

"Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers Nomor 40/1999, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda Rp500 juta," kata Koordinator KKJ Erick Tanjung.

 

Tiga Pelaku Ditangkap

Tak berselang waktu lama, tiga polisi pelaku intimidasi wartawan ditangkap. Ketiga anggota itu langsung diproses oleh Provos Divpropam Mabes Polri berkaitan dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan mereka.

 

"Sudah 3 orang (anggota polisi diamankan)," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi, Jumat (15/7).

 

Secara terpisah, Karo Provos Divpropam Polri, Brigjen Benny Ali menyatakan bahwa pihaknya bakal melakukan tindakan disiplin terhadap anggota Polri yang melakukan tindakan intimidasi tersebut.

 

"Selanjutnya terkait dengan kejadian tersebut, kami akan melakukan tindakan disiplin terhadap anggota tersebut," kata Benny kepada wartawan.

 

Atas tindakan intimidasi kepada jurnalis, Benny pun mengucapkan permohonan maaf atas tindakan anggota polisi yang salah memahami kehadiran wartawan kala itu.

 

"Pertama-tama saya selaku karo provos mengucapkan permohonan maaf atas tindakan anggota kami yang kurang pemahaman terhadap kejadian kemarin. Memang kejadian kemarin, itu bukan di TKP," kata Benny.

 

"Tapi itu merupakan tempat yang dia tinggali. Jadi dia itu melaksanakan pengamanan terstruktur. Mungkin pemahaman anggota kami ini dengan pemberitaan-pemberitaan itu, ini sudah menyangkut privasi," tambah dia.

 

Benny pun mengamini jika tindakan- tindakan yang dilakukan anggota kala itu telah berlebihan dengan meminta rekan jurnalis kala itu menghapus semua data hasil liputan.

 

"Empati ini bagaimana kondisi psikis maupun psikologis daripada keluarga. mungkin itu yang dijaga. Sehingga anggota-anggota tersebut melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan. jadi bukan di TKP pak, sekali lagi kami memohon maaf yang sedalam -dalamnya," tuturnya. (mdk)




SANCAnews.id – Beredar pesan berantai yang menyebutkan agenda mobilisasi kepala desa dan bupati untuk deklarasi presiden tiga periode, Sabtu (16/7).

 

Dalam pesan berantai yang diterima redaksi, disebutkan acara tersebut akan dilakukan para kades untuk deklarasi dukungan agar Presiden Jokowi melanjutkan pemerintahan hingga tiga periode.

 

Bahkan acara yang disebut akan digelar di Ancol ini diklaim akan dihadiri Presiden Joko Widodo.

 

"Mereka tidak lagi mengatasnamakan Apdesi, tapi kini berganti nama jadi Apkasi: Asosiasi Pemerintah Kabupaten se-Indonesia," demikian potongan pesan yang beredar.

 

Terpisah, Sekretaris Jenderal Apdesi, Muksalmina menyesalkan pencatutan nama Apdesi. Ia pun memastikan agenda tersebut bukan berasal dari Apdesi.

 

"Kami tidak membuat acara tersebut. Yang membuat acara tersebut adalah lembaga lain, namun selalu membawa-bawa nama Apdesi," kata Muksalmina kepada Kantor Berita Politik RMOL.

 

Redaksi masih berusaha mengonfirmasi agenda tersebut kepada pihak Apkasi. Namun hingga berita ini diturunkan belum mendapat tanggapan. (*)

                                 




SANCAnews.id – Mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte, yang juga terlibat dalam kasus penganiayaan terhadap YouTuber M Kece, ikut memberikan pendapatnya terkait kasus baku tembak di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo.

 

Napoleon mengatakan, kasus penembakan tersebut merupakan masalah yang mudah, bahkan bisa diselidiki dan terkuak hanya dengan Polri menerjunkan penyidik biasa dalam kasus tersebut.

 

"Itu perkara yang mudah untuk disimpulkan. Penyidik biasa saja bisa menyimpulkan, enggak perlu TGPF (tim gabungan pencari fakta)," ujar Napoleon kepada awak media usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis 14 Juli 2022.

 

Napoleon mengatakan dirinya juga memantau pemberitaan terkait kasus penembakan tersebut, dimana dalam kasus tersebut masyarakat menduga adanya yang tidak beres dan ditutupi polri.

 

Napoleon berpendapat agar Polri segera melakukan pengungkapan dengan jujur dan tidak menutupi kasus ini.

 

"Mari kita kembali jujur, katakan apa adanya. Kenapa? Karena tidak ada yang bisa ditutup-tutupi dengan baik. Pasti akan terbuka," ujarnya.

 

Napoleon menjelaskan, pihak-pihak yang berbicara di publik terkait kasus itu pasti mempertaruhkan integritas dirinya. "Kalau terbukti apa yang dikatakannya itu membabi-buta membela sesuatu yang ditutup-tutupi atau sebagainya, suatu saat akan kembali kepada anda," ujarnya.

 

Diketahui kasus polisi saling adu tembak terjadi di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo. Polisi bernama Brigadir J alias Nofryansah Yosua Hutabarat tewas tertembak dengan lima peluru bersarang di tubuhnya usai terjadi kontak senjata dengan Bharada E yang mana kejadian terjadi pada Jumat 8 Juli 2022.

 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun telah membentuk tim khusus yang dibentuknya terdiri dari sejumlah lembaga, mulai dari Komnas HAM hingga Kompolnas. Tim Khusus yang dibentuk akan dipimpin oleh Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono.

 

"Tentunya kami mengharapkan kasus ini bisa dilaksanakan pemeriksaan secara transparan, objektif dan tentunya secara khusus menyangkut masalah anggota. Kami juga ingin bahwa peristiwa yang ada betul-betul menjadi terang," ujarnya. (viva)



SANCAnews.id – Diduga terdapat banyak kejanggalan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) turut menyoroti kasus adu tembak antara Brigadir J dan Bharada E.

 

Hal itu disampaikan oleh Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar, ia mengatakan pihaknya merasa ada kejanggalan pada kronologi tertembaknya brigadir J yang disampaikan oleh Polri.

 

Salah satu yang dianggap janggal adalah dimana ketua RT setempat tidak mengetahui adanya peristiwa penembakan dan proses olah TKP. Rivanlee merasa polisi terkesan menutupi fakta kasus tersebut.

 

"Kami menilai bahwa sejumlah kejanggalan tersebut merupakan indikasi penting bahwa kepolisian terkesan menutup-nutupi dan mengaburkan fakta kasus kematian Brigadir J" ujar Rivanlee pada Kamis (14/7/2022) kemarin. Tidak hanya itu, menurut Rivanlee intimidasi yang diterima warga sekitar ketika merekam peristiwa tersebut merupakan salah satu bentuk kejanggalan.

 

"Pada persidangan kasus, terbukti bahwa sejumlah warga sekitar diduga mengalami intimidasi oleh aparat untuk tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta untuk menghapus file rekaman atas peristiwa penangkapan yang terjadi," pungkasnya. S

 

kejanggalan yang terjadi dalam kasus ini dianggap tidak masuk akal terutama disparitas waktu kejadian dengan pengungkapan ke publik. "Dari beberapa kronologis yang disampaikan Polri, terdapat sejumlah kejanggalan yang sifatnya tak masuk akal," kata Rivanlee Kejanggalan yang disoroti KontraS adalah disparitas waktu yang cukup lama antara peristiwa dengan pengungkapan ke publik.

 

Peristiwa adu tembak Brigadir J dengan Bharada E terjadi pada Jumat (8/7), tetapi baru diungkap ke publik pada Senin (11/7). KontraS melalui Rivanlee juga menyoroti kronologi yang berubah-ubah disampaikan oleh pihak kepolisian.

 

Selain itu, kesaksian keluarga Brigadir J yang mengatakan terdapat luka sayatan di bagian mata, mulut, hidung dan kaki. Kejanggalan lain, keluarga Brigadir J yang dikabarkan sempat dilarang melihat jenazah dan CCTV yang rusak ketika insiden adu tembak terjadi. "CCTV dalam kondisi mati pada saat peristiwa terjadi," ucap Rivanlee.

 

Dalam keterangannya, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto mengungkapkan tidak berfungsinya kamera pengawas pada saat itu karena decoder atau DVR CCTV-nya rusak. Seperti yang diketahui, Insiden penembakan Brigadir J oleh Bharada E terjadi di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo pada Jumat (8/7) sore lalu.

 

Saat ini, kasus tersebut sedang ditangani Polri dengan membentuk tim investigasi khusus. (tvOne)

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.