Latest Post



SANCAnews.id – Irjen Pol (Purn) Seno Sukarto (84) selaku Ketua RT 05/01 Komplek Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan (Jaksel) mengaku kecewa pada pihak kepolisian yang secara sepihak mengganti decoder kamera CCTV yang berada di pos satpam komplek.

 

Ia mengatakan, decorder CCTV di Pos Satpam komplek tersebut diganti pihak kepolisian sehari usai insiden adu tembak di kediaman Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo.

 

"Decorder CCTV diganti Hari Sabtu (9/7/2022), dari mereka (polisi) yang datang enggak pakai seragam. Saya tersinggung juga. Terang-terangan saja saya, enggak ada laporan, memerintahkan satpam seenaknya saja tanpa ada laporan RT," katanya saat ditemui di kediamannya yang berjarak sekira satu kilometer dari lokasi kejadian, Rabu (13/7/2022).

 

Seno menjelaskan di permukiman itu terdapat sejumlah kamera CCTV yang terpasang pada Pos Satpam. Ia juga menegaskan bahwa alat decorder sejumlah kamera CCTV yang ada di permukiman itu bersumber di Pos Satpam setempat "Pusat CCTV di Pos semua. Yang ganti dari mereka (polisi), saya tahunya hari Senin (11/7/2022)," ungkapnya.

 

Seno mengatakan saat kejadian yang berlangsung pada Jumat (8/7/2022) itu, tak ada satupun warga maupun satpam yang mengetahui adanya insiden adu tembak tersebut. 

 

Menurutnya para warga dan satpam mengaku sempat mendengar suara letusan dari kediaman Irjen Fredy Sambo. Namun, warga dan satpam mengira suara ledakan tersebut bersumber dari ledakan petasan.

 

 "Jadi semuanya pada saat itu menyadari, mereka menganggap petasan bukan tembakan sehingga tidak ada tindak lanjut setelah mendengar itu biasa-biasa saja," ungkapnya.

 

Sementara pantauan tvonenews di lokasi, pihak kepolisian hingga kini masih menjaga ketat kediaman Irjen Fredy Sambo.  Sedangkan dua unit mobil Inafis Polri tak lagi berada di lokasi insiden adu tembak Brigadir J dan Bharada E. (tvOne)



SANCAnews.id – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumpulkan empat Komisaris Jenderal (Komjen) Polri, Selasa (13/7). Namun tak terlihat Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo saat konfersi pers digelar.

 

Seperti diberitakan PojokSatu (Jawa Pos Group), Kapolri mengumpulkan empat Komjen atau jenderal-jenderal ini demi membahas kasus baku tembak di rumah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Jenderal-jenderal penting itu juga tampak mendampingi Kapolri saat memberikan keterangan pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (12/7).

 

Adapun para komjen yang hadir antara lain Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto, dan Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri.

 

Empat komjen itu tampak berdiri tegap di belakang Kapolri. Kemudian, ada Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo yang turut hadir. Namun, sosok Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo tidak ada di lokasi. Ketidakhadian Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo ini jelas bukan sesuatu yang wajar.

 

Dihadiri Kabareskrim, Olah TKP di Rumah Kadiv Propam Digelar Tengah Malam dan Tertutup Sebab, selama ini, Ferdy Sambo selalu ada di samping Kapolri dalam setiap kegiatan. Tak jarang, wajah Ferdy Sambo tertangkap kamera wartawan saat sedang berada di dekat Kapolri. Namun, Polri belum memberikan klarifikasi soal di mana keberadaan Ferdy Sambo.

 

Padahal, insiden penembakan ini ada di kediamannya dan yang personel Polri yang tewas merupakan sopir pribadi istrinya, Putri Ferdy Sambo.

 

Sementara itu Kapolri Jenderal Listyo Sigit sudah membentuk tim khusus mengusut kasus baku tembak Brigadir Nopryansah Hutabarat dengan Bharada E di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di Perumahan Polri Duren Tiga Jakarta Selatan.

 

Tim ini dipimpin Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono. Selain itu, perwira tinggi yang masuk di dalam tim khusus ini antara lain Irwasum Polri Komjen Agung Budi Maryoto, Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto, Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri, hingga As SDM Polri Irjen Wahyu Widada

 

“Kita ingin semuanya ini bisa tertangani dengan baik. Oleh karena itu, saya telah membentuk tim khusus yang dipimpin Pak Wakapolri, Pak Irwasum, Pak Kabareskrim, Kabik (Kabaintelkam), juga ada As SDM, termasuk juga fungsi dari Provos dan Paminal,” ungkap Jenderal Sigit di Mabes Polri, Selasa (12/7/2022).

 

Dalam hal ini, Jenderal Sigit mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan Komnas HAM serta Kompolnas.

 

“Satu sisi kami juga sudah menghubungi rekan-rekan dari luar dalam hal ini Kompolnas dan Komnas HAM terkait isu yang terjadi sehingga di satu sisi kita tentunya mengharapkan kasus ini bisa dilaksanakan pemeriksaan secara transparan, objektif,” ucapnya lagi. (jawapos)




SANCAnews.id – Satu fakta baru terungkap dalam kasus baku tembak di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Jumat, 8 Juli 2022 lalu.

 

Ketua RT 05 RW 01, Mayjen Pol (Purn) Seno Sukarto mengatakan di kompleks tersebut terpasang sejumlah CCTV. Namun, satu hari berselang usai kejadian baku tembak, CCTV yang pusatnya berada di pos satpam dekat rumah Irjen Ferdy Sambo sempat diambil polisi.

 

"Maksudnya itu bukan CCTV di rumah Pak Sambo, tapi CCTV alatnya (decoder) yang di pos. Iya (diganti polisi) hari Sabtu," kaga Seno kepada wartawan, Rabu, 13 Juni 2022.

 

Kata Seno, pengambilan alat CCTV yang dilakukan polisi itu baru diketahuinya pada Senin, 11 Juli 2022. Bahkan, sampai sekarang dirinya tidak mengetahui alasan di balik pengambilan decoder tersebut.

 

"Sampai sekarang saya ketemu aja enggak (dengan polisi), terus terang saya juga ya kesal. Saya ini dianggap apa sih, maaf saja saya ini Jenderal loh, meskipun RT. Saya tanya sama satpam, dia aja enggak tahu diganti yang baru alatnya ininya (decoder)," jelasnya.

 

Aksi penembakan terjadi di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo pada Jumat, 8 Juli 2022 lalu. Dalam insiden ini, Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat tewas karen menerima luka tembak.

 

Penembakan itu terjadi lantaran Brigadir J hendak melakukan pelecehan terhadap istri dari Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo. Selain itu, Brigadir J juga menodongkan senjata api berupa pistol ke arah kepala istri Kadiv Propam. Sontak, istri Kadiv Propam berteriak minta tolong.

 

"Peristiwa itu terjadi ketika Brigadir J memasuki kamar Pribadi Kadiv Propam, dimana saat itu istri Kadiv Propam sedang istirahat, kemudian, Brigadir J melakukan tindakan pelecehan," kata Ramadhan dalam keterangannya di Gedung DivHumas Polri, Senin 11 Juli 2022.

 

"Akibat teriakan tersebut, Brigadir J panik dan langsung lari keluar dari kamar. Mendengar teriakan itu, Bharada E menghampiri dari arah atas tangga. Kemudian bharada E bertanya ada apa, direspon dengan tembakan oleh Brigadir J. Akibat tembakan tersebur terjadilah saling tembak, dan akibatnya Brigadir J meninggal dunia," ucap Ramadhan. (viva)


 

SANCAnews.id – Misi yang dijalankan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia dianggap menuju ke jurang kegagalan karena adanya bantahan dari pihak Ukraina soal penyampaian pesan dari Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk Presiden Rusia, Vladimir Putin melalui Jokowi.

 

Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam mengatakan, bantahan yang diberikan oleh pemerintah Ukraina menunjukkan kerapuhan misi Jokowi, baik saat bertemu Zelenskyy maupun Putin.

 

"Bagaimana mungkin diplomasi internasional terdapat miss komunikasi, bisa jadi apa yang dihasilkan oleh Presiden Jokowi saat bertemu dengan Zelenskyy maupun dengan Putin penuh dengan ketidakjelasan. Sehingga apa yang dilakukan tidak sesuai dengan yang diharapkan," ujar Saiful kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (3/7).

 

Saiful menilai, dengan adanya bantahan oleh Ukraina, menunjukkan bahwa misi yang dilakukan oleh Jokowi menuju ke jurang kegagalan.

 

Seharusnya, kata Saiful, tidak mungkin ada bantahan jika memang misi yang dijalankan Jokowi untuk mendamaikan kedua negara berhasil.

 

"Dengan adanya bantahan tersebut, maka menunjukkan peran Jokowi tidak berhasil dalam mengusung perdamaian. Terlebih lagi di lapangan masih saja terjadi peperangan," pungkas Saiful. (*)



OLEH: ANTHONY BUDIAWAN

MAHKAMAH Konstitusi (MK) bukan lagi penegak konstitusi. Tetapi menjelma menjadi bagian yang melanggengkan pelanggaran konstitusi. Semua gugatan uji materi presidential threshold 20 persen dimentahkan, ditolak tanpa dasar, ditolak dengan melanggar konstitusi itu sendiri.

 

Ada dua alasan yang menjadi senjata pamungkas MK menolak semua permohonan uji materi. Pertama mengenai kedudukan hukum pemohon atau legal standing. MK akan menjaga agar pemohon tidak mempunyai legal standing, sehingga tidak bisa menggugat.

 

Kedua terkait alasan open legal policy. Menurut MK, DPR mempunyai wewenang konstitusional menentukan presidential threshold, berapapun, sesukanya, sepanjang disetujui DPR dan disahkan menjadi UU. Artinya, presidential threshold sebagai open legal policy sah secara konstitusi, menurut MK.

 

Kedua alasan MK tersebut sangat mengada-ada, tidak profesional, sewenang-wenang alias tirani, hanya untuk mempertahankan UU yang merampas kedaulatan rakyat dan demokrasi, bertentangan dengan kepentingan publik dan konstitusi.

 

Dalam uji legal standing (kedudukan hukum) MK menganut “kepentingan langsung” atau “direct interest”. Menurut MK, hanya pihak yang mempunyai “kepentingan langsung” yang dapat mengajukan permohonan uji materi (judicial review): menguji sebuah UU terhadap konstitusi.

 

“Kepentingan langsung” diartikan pihak pemohon mempunyai kerugian konstitusional secara langsung akibat diberlakukannya sebuah UU.

 

Terkait uji materi presidential threshold, pemohon yang mempunyai kerugian konstitusional antara lain yang mempunyai kualifikasi tidak diragukan untuk dapat diusulkan menjadi calon presiden. Artinya, rakyat biasa yang tidak mempunyai kualifikasi meyakinkan sebagai calon presiden, dianggap tidak mempunyai kerugian konstitusional, dan tidak bisa mengajukan permohonan uji materi.

 

Uji legal standing menurut direct interest seperti dijelaskan di atas sudah usang, sudah ditinggalkan. Mahkamah hampir di seluruh negara demokrasi dan negara maju dunia sudah menganut uji legal standing lebih luas, beralih dari direct interest menjadi public interest (kepentingan publik): legal standing pemohon dianggap relevan sepanjang mewakilkan kepentingan publik yang dirugikan akibat berlakunya sebuah UU.

 

Alasannya, konstitusi adalah hukum publik, dibuat untuk melindungan kepentingan publik, bukan untuk kepentingan individu semata. Artinya, hukum publik (hukum adminitratif) pada prinsipnya

bukan mengenai hak individu, melainkan tentang kesalahan publik (public wrongs) dalam menjalankan prinsip keadilan dan kewajaran hukum publik: Hal ini sebenarnya yang menjadi pokok gugatan uji materi presidential threshold.

 

Maka itu, pendapat MK bahwa hanya pihak yang mempunyai “kepentingan langsung” yang dapat mengajukan permohonan uji materi sepenuhnya salah memahami fungsi konstitusional MK. Artinya, MK tidak kompeten dan layak dibubarkan.

 

Kedua, dalam hal pemohon mempunyai legal standing, MK akan menghalangi dengan alasan presidential threshold merupakan open legal policy DPR, karena itu, menurutnya, sah secara konstitusi. Artinya, MK berpendapat bahwa DPR mempunyai wewenang konstitusional secara mutlak dalam menentukan presidential threshold: 20 persen, 30 persen atau bahkan 50 persen, semua sah menurut MK.

 

Alasan ini lebih vulgar lagi, secara terang-terangan bertentangan dengan konstitusi. Pertama, dalam konstitusi tidak boleh ada interpretasi open legal policy, karena akan menjadi sumber kekacauan hukum.

 

Konstitusi Pasal 6A ayat (2) mengatakan “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

 

Bunyi pasal tersebut sangat jelas sehingga tidak mungkin bisa ada interpretasi lain: konstitusi tidak mencantumkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold): Artinya, tidak boleh ada ambang batas pencalonan presiden. Maka itu, open legal policy yang mengatur presidential threshold, secara terang-terangan, bertentangan dengan konstitusi.

 

Kedua, DPR tidak mempunyai hak dan wewenang konstitusional apapun untuk mengubah (bunyi) konstitusi, terlebih melalui UU yang dimaksudkan sebagai open legal policy. Karena UU yang dibuat DPR secara hierarki berada di bawah konstitusi, dan tidak bisa koreksi konstitusi.

 

Selain itu, dan yang terpenting dari semuanya, lembaga tinggi negara yang mempunyai wewenang konstitusional untuk mengubah (makna) konstitusi adalah MPR, yang terdiri dari DPR dan DPD. Artinya, sekali lagi, lembaga DPR tidak mempunyai wewenang konstitusional sama sekali untuk mengubah konstitusi, termasuk melalui open legal policy.

 

Dengan mengakui open legal policy terkait presidential threshold sah menurut konstitusi berarti MK sudah merampas, mengambil secara tidak sah, hak dan wewenang konstitusional DPD yang merupakan bagian dari MPR. Tindakan ini jelas merupakan perbuatan melawan hukum. Karena itu, hakim MK layak diberhentikan, dan bertanggung jawab penuh atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.

 

Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.