SANCAnews.id – Status Facebook yang diunggah
Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan, Kaltim, Profesor Budi
Santosa Purwokartiko tengah jadi buah bibir warganet. Alasannya, karena
unggahan itu dinilai mengandung unsur SARA.
Status itu dibuat Budi Santosa pada tanggal 27 April 2022.
Menjadi kontroversi lantaran Budi Santosa menyebut kalimat “tidak satu pun
menutup kepala ala manusia gurun”.
Setelah ramai jadi perbincangan, ITK melalui laman resminya,
itk.ac.id dan laman Twitter @itk_official_, memberi tanggapan. Mereka
menjelaskan bahwa status Budi Santosa adalah tulisan pribadi dan tidak ada
hubungannya dengan jabatan sebagai rektor ITK.
“Oleh karena itu, mohon pemberitaan dan komentar lebih lanjut
baik oleh media maupun para netizen tidak mengaitkan dengan institusi ITK, dan
awak media atau para netizen dapat langsung berkomunikasi dengan beliau.
Demikian untuk mendapatkan perhatian dari media dan para netizen,” begitu
penggalan dari tanggapan ITK seperti dikutip pada Minggu (1/5).
Baik di laman resmi maupun di Twitter, tanggapan ITK ini
banjir komentar dari netizen. Mayoritas mengungkit agar Budi Santosa diberi
sanksi
“Mau nggak mau ya terkait lah. Buktinya kalian sampai buat
klarifikasi ini, kan tanda kalian terkait. Kalau nggak mau terkait kasih
sanksi, pecat dll. Baru nggak ada kaitan apapun ucapan orang itu,” tutur akun
@zarazettirazr.
Komentar Tutur Prazz tidak jauh berbeda. Dia bahkan Budi
Santosa adalah rektor yang rasis.
“Enak bener mau cuci tangan. Si profesor rasis itukan masih
ada keterkaitan dengan ITK, kecuali kalau dia mengundurkan diri atau dipecat.
Lain soal,” tuturnya.
“Yahaha gak beran nurunin rektornya,” sambar akun @E32bmw1
Sementara akun @NisyahSyaras mewanti-wanti kepada orang tua
untuk tidak menguliahkan anak ke universitas yang dipimpin rektor Budi Santosa.
Adapun status Facebook yang ditulis oleh Prof Budi dan
menjadi kontroversi karena dinilai bermuatan SARA adalah sebagai berikut:
Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut
mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak
mendapat perhatian dari para mahasiswa.
Mereka adalah anak-anak pintar yang punya kemampuan luar
biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5 persen
sisi kanan populasi mahasiswa.
Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang
ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan
beberapa 3.8, dan 3.9.
Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5,
bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat
minimum 100). Luar biasa.
Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional),
sosial kemasyarakatan, dan asisten lab atau asisten dosen.
Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya,
minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk
masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya.
Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan
kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar,
qadarullah, dan sebagaianya.
Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi
posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta
beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara,
hanya ada dua cowok dan sisanya cewek.
Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya
wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya
benar-benar open mind.
Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea,
Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa
karya teknologi.
Saya hanya berharap mereka nanti tidak masuk dalam lingkungan
yang, membuat hal yang mudah jadisulit, bekerja dari satu rapat ke rapat
berikutnya tanpa keputusan, mementingkan kulit daripada isi, menyembah Tuhan
tapi lupa pada manusia, menerima gaji dari negara tapi merusak negaranya, Ingin
cepat masuk surga tapi sakit tetap cari dokter dan minum obat, menggunakan KPI
langit sementara urusannya masih hidup di dunia, Semoga tidak tercemar. (rmol)