Latest Post


 

SANCAnews.id – Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksamana Muda (Purn) Soleman Ponto mengatakan keturunan PKI masih mungkin terkena pengaruh paham komunisme.

 

Soleman meminta Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa agar membatalkan kebijakannya menerima keturunan PKI sebagai prajurit TNI.

 

"Sebagai keturunan PKI pasti ada keterpengaruhan, nah siapa saja yang terindikasi terpengaruh pasti akan gagal, TNI punya alat ukur untuk menilai keterpengaruhan terhadap ajaran komunis," kata Soleman kepada wartawan, Ahad (3/4/2022).

 

Soleman menjelaskan, keturunan PKI yang ikut tes TNI tidak akan pernah lolos jika kebijakan yang dibuat Andika Perkasa itu hanya sebatas memperbolehkan saja.

 

Menurutnya, tidak perlu ada penyesuaian dalam seleksi prajurit TNI, tes seleksi penyaringan paham komunisme atau yang bertentangan dengan Pancasila tetap harus dipertahankan.

 

"Laksanakan saja apa yang sudah dilakukan selama ini. Yang sudah dilaksanakan selama ini sudah baik, tidak perlu diubah karena sudah dilaksanakan dengan konsisten," tutup Soleman.

 

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa sebelumnya mengubah aturan seleksi penerimaan calon prajurit TNI. Kini, institusi TNI membolehkan turunan anggota PKI untuk mendaftar sebagai calon prajurit TNI. (poskota)


 

SANCAnews.id – Pendapat masyarakat tentang Joko Widodo perlu mundur dari jabatan presiden lebih penting diajukan, persepsi mengenai kemungkinan reshuffle kabinet mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik. 

 

Begitu yang disampaikan Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi menanggapi hasil survei nasional dari Lembaga Survei Media yang menyatakan mayoritas masyarakat menganggap bahwa reshuffle kabinet tidak akan mengubah kondisi jadi lebih baik.

 

"Mestinya ada pertanyaan dari Median, kalau mayoritas anggap reshuffle tidak jamin kondisi lebih baik, lalu apa, yang dimau mayoritas publik? Pertanyaan itu perlu dimunculkan," ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (3/10).

 

Salah satu pertanyaan lanjutan yang harus dimunculkan adalah persetujuan dari masyarakat agar Jokowi mundur dari jabatan presiden.

 

"Jika dipandang sebagai solusi, apakah solusinya kinerja Jokowi bikin kecewa. Sehingga tidak perlu reshuffle kabinet, tapi Jokowi mundur sebagai langkah solusi perbaikan kondisi yang ada?" kata Muslim.

 

Pertanyaan tersebut harus diajukan kepada masyarakat untuk mengukur tingkat kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan saat ini.

 

"Pertanyaan itu perlu diajukan ke publik sebagai alat ukur atas situasi nasional dan kepemimpinan di periode kedua ini," pungkas Muslim. ***



 

SANCAnews.id – Utang negara sudah makin membengkak karena mencapai Rp 7000 triliun. Fakta capaian utang di pemerintahan Presiden Joko Widodo ini mendapat respons dari berbagai kalangan, diantaranya Himpunan Mahasiswa Al Washliyah.

 

Ketua Umum Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (PP HIMMAH), Abdul Razak Nasution kembali menegaskan bahwa dengan jumlah utang sebesar itu makin menguatkan alasan agar pembangunan proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Penajem Pasir Utara Kalimantan Timur harus dibatalkan.

 

"PP HIMMAH menolak pemindahan IKN karena pemerintah sampai hari ini terus memperbesar utang yang akan berdampak dengan rakyat," jelas Abdul razak kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (3/4).

 

Razak menambahkan,kondisi negara sudah darurat. Jumlah utang yang mencapai Rp 7000 triliun mengakibatkan krisis ekonomi makin luas dan mendalam.

 

"Harga pangan naik, pajak naik sementara kondisi masyarakat dampak pandemi covid 19 belum selesai di tambah lagi ini," demikian kritikan Razak.

 

"Agenda nasional yang akan memulai proyek pembangunan Ibu Kota Negara yang dimulai tahun ini sebaiknya dibatalkan," tegasnya.

 

Ia mengaku khawatir kalau dalam kondisi seperti saat ini IKN tetap dilanjutkan maka negara semakin hancur. Ia mengaku khawatir akan terjadi gejolak sosial.

 

"Apabila terus begini, gejolak sosial akan timbul," pungkasnya.

 

Berdasarkan informasi di laman APBN KiTa Kementerian Keuangan, data terbaru atau per 28 Februari 2022, utang pemerintah sudah menembus Rp 7.014,58 triliun. (*)



 

SANCAnews.id – Utang di era Presiden Joko Widodo meroket secara tajam. Bahkan terakhir utang tercatat telah menembus Rp 7 ribu triliun.

 

Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi mengingatkan bahwa angka ini berbahaya bagi kesehatan keuangan negara dan tata kelola negara. Sekalipun jika dibandingkan dengan PDB, utang masih berkisar 40,17 persen atau angka yang masih dianggap aman oleh pemerintah.

 

“Tapi angka itu pasti merangkak naik terus mendekati 60 persen batas tertinggi yang disyaratkan oleh UU Keuangan Negara. Jika dilihat dari kinerja ekonomi pemerintah saat ini, tidak menutup kemungkinan, Jokowi akan tambah utang lagi," ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (3/4).

 

Jika terus menambah utang, maka akan menambah beban keuangan negara yang mengakibatkan negara semakin tidak berdaya dan berwibawa.

 

Muslim lantas membandingkan kinerja Joko Widodo dengan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam mengelola utang. Di mana SBY dengan tegas melunasi utang RI ke IMF lebih cepat. Sementara di era Jokowi, untuk membayar bunga utang saja diperlukan utang baru.

 

"Apakah Jokowi sudah tidak mampu kelola negara lagi selain berutang dan berutang? Tidak kah ini berbahaya bagi kelangsungan negara ini? Tidak kah negeri telah tergadai karena utang oleh Jokowi yang bikin prestasi utang?” tuturnya.

 

Terakhir, Muslim menilai bahwa Jokowi pantas untuk dijuluki sebagai bapak utang.

 

“Pantas lah kalau Jokowi disebut “Bapak Utang” dari prestasi pencapaian utangnya dibanding dengan jumlah utang presiden sebelumnya," pungkas Muslim. ***



 

SANCAnews.id – Setelah membandingkan dengan rezim pemerintahan lain di Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada rezim yang lebih brutal dalam menaikkan harga kebutuhan publik selain era pemerintahan Joko Widodo.

 

Pandangan ini disampaikan pengamat politik Dedi Kurnia Syah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (3.4).

 

Dedi kemudian mencontohkan kenaikan harga brutal yang dimaksudkan. Yakni, saat awal bulan ramadhan harga minyak goreng, akses tol, BBM Pertamax hampir bersamaan dinaikkan.

 

"Tidak ada rezim yang lebih brutal dalam menaikkan harga kebutuhan publik selain Jokowi. Kita bisa saksikan awal ramadhan ini, mulai dari minyak goreng, pajak, akses toll, Pertamax dan lainnya," demikian kata Dedi.

 

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini kemudian menjelaskan bahwa di setiap rezim pasti kenaikan harga terjadi. Meski demikian, ia menilai tidak sebrutal era Jokowi

 

Saat redaksi bertanya kasus kenaikan harga era Presiden Soeharto, Dedi menjelaskan bahwa hal itu tidak bisa disamakan. Sebab, era Soeharto saat ini Indonesia menghadapi situasi krisis global yang tidak bisa dihindari.

 

"Rezim lainnya tetap punya sejarah menaikkan harga kebutuhan publik, tetapi tidak sporadis dalam hitungan yang dapat diterima," demikian kata Dedi. ***

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.