Latest Post


 

SANCAnews.id – Rencana pernikahan Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Anwar Usman dengan adik kandung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Idayati, menuai polemik di tengah masyarakat. Pasalnya, publik beranggapan bahwa pernikahan tersebut kental dengan unsur politik.

 

Namun, di sisi lain, pernikahan keduanya tersebut merupakan hak privasi yang harus dihormati seluruh masyarakat dan tidak seharusnya menjadi perbincangan publik.

 

"Pernikahan mereka selayaknya dianggap hal biasa, sebagaimana pernikahan pada umumnya,” ucap Jamiluddin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (22/3).

 

Dia menambahkan, sangatlah wajar jika masyarakat melihat pernikahan Ketua MK dengan adik kandung Jokowi sebagai pernikahan politis.

 

"Namun di lain lain, pernikahan mereka dinilai sebagai pernikahan politis. Pernikahan mereka ini dikhawatirkan akan berdampak pada indepedensi lembaga yudikatif, khususnya MK,” katanya.

 

Mantan Dekan Fakultas FIKOM IISIP ini menerangkan, independensi MK diragukan lantaran adanya pernikahan Anwar Usman dan Idayati tersebut.

 

"Kekhawatiran itu menjadi beralasan mengingat saat ini banyak kasus gugatan yang sedang berproses di MK berkaitan dengan eksekutif, khususnya Jokowi,” katanya.

 

"Dengan pernikahan tersebut dimungkinkan MK akan menghadapi konflik kepentingan. MK dikhawatirkan akan mendahulukan kepentingan eksekutif dibandingkan untuk menegakkan hukum berdasarkan keadilan,” imbuhnya.

 

Pihaknya mengatakan kepentingan eksekutif akan terjadi akibat dari pernikahan tersebut, dan MK akan kehilangan independensinya.

 

"Peluangnya semakin besar mengingat kuatnya kekerabatan kita yang menimbulkan sikap ewuh pakewuh. Kalau ini terjadi, maka MK dalam menangani kasus guggatan terkait eksekutif  aka kehilangan indepedensinya,” tutupnya. *



 

SANCAnews.id – Ratusan massa aksi yang tergabung dalam Komite Rakyat Lawan Korupsi,Kolusi dan Nepotisme (KRL KKN) dukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan laporan dugaan KKN yang melibatkan putranya Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka.

 

Hal itu merupakan tuntutan yang disampaikan oleh KRL KKN saat menggelar aksi unjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Setiabudi, Jakarta Selatan pada Selasa sore (22/3).

 

Humas KRL KKN, Edysa Girsang mengatakan, setelah 23 tahun lebih reformasi, praktik KKN saat ini semakin merajalela.

 

"Bahkan Presiden Jokowi menyebutnya sudah menjadi extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Kejahatan Korupsi saat ini tumbuh subur seiring dengan tumbuh suburnya praktek Kolusi dan Nepotisme diantara elit politik Istana dengan para oligarki," ujar Edysa Girsang dalam keterangannya.

 

Edysa menyebut bahwa praktik KKN saat ini dilakukan secata vulgar dipertontonkan dengan mengabaikan amanat TAP MPR nomor XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dan TAP MPR Nomor VIII/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.

 

"Praktik KKN itu terjadi di tengah kemiskinan rakyat yang terus bertambah," kata Edysa.

 

Edysa menjelaskan, berdasarkan data angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, bahwa jumlah penduduk miskin mencapai 26,50 juta orang dengan jumlah pengangguran 9,10 juta orang.

 

Di saat yang sama, politisi mempertontonkan secara vulgar praktek korupsi. Sementara berdasarkan data penelitian KPK, bahwa sebesar 95,4 persen calon kepala daerah atau politisi parlemen akan balas budi pada donatur atau oligarki dan 90,7 persen donatur politik atau oligarki akan meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan dalam hal pengadaan barang dan jasa.

 

Selain itu masih berdasarkan data KPK, menunjukkan bahwa korupsi terkait politik terlihat dengan adanya fakta 33 pimpinan Kementerian dan Lembaga, 22 Gubernur, 141 Walikota /Bupati, 309 Anggota Legislatif dan 345 Pihak Swasta sebagai tersangka Korupsi.

 

"Pola KKN kini menunjukan pola-pola baru yang melibatkan oligarki dan keluarga politisi termasuk keluarga istana. KKN sama dengan oligarki musuh rakyat," tegas Edysa.

 

KRL KKN yang terdiri dari aktivis 98, akademisi, Front Milenial Jabodetabek (FMJ), Aksi Rakyat Menggugat (ARM), KSPSI, KOMJU, PPMI, GERTAK, FBK, Front Angin Timur Jakarta, HMI MPO, BEM UNJ, PAPD, SBSI 1992, dan FFMLampung ini mendukung KPK untuk segera menuntaskan laporan dari dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun.

 

Di mana, pada Januari 2022, Ubedilah melaporkan dugaan KKN dan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang diduga melibatkan anaknya Jokowi, Gibran dan Kaesang.

 

"Dasar dari laporan tersebut semata-mata demi tegaknya hukum dan pemberantasan KKN. Sebab KKN adalah musuh rakyat musuh bangsa Indonesia karena telah merugikan rakyat banyak," terang Edysa.

 

KPK menurut KRL KKN, merupakan buah dari reformasi, sehingga harus konsisten untuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu siapapun pelaku kejahatan korupsi, karena kedudukannya sama di muka hukum untuk diadili dan dihukum seadil-adilnya.

 

"Termasuk terhadap putra-putra Presiden. Ubedilah Badrun adalah aktivis 98 yang sangat organik dan terus menjaga ruh reformasi dalam melawan segala bentuk otoritearisme politik maupun KKN sejak Orde Baru hingga saat ini. Karenanya ia (Ubedilah) memiliki kedudukan hukum yang kuat untuk terus melawan segala bentuk praktek KKN," terang Edysa.

 

Bahkan kata Edysa, KPK diberi kekuatan dan keleluasaan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga, seharusnya dapat dengan cepat merespon setiap laporan dugaan korupsi, termasuk yang dilaporkan oleh Ubedilah.

 

"Keseriusan KPK dalam pemberantasan korupsi harus dinyatakan dengan jelas agar terang benderang tentang kejelasan hukum atas laporan Ubedilah Badrun tersebut," tutur Edysa.

 

"Dari data, fakta dan argumen di atas dengan sangat tegas kami menyatakan sikap, mendesak KPK segera menindaklanjuti laporan dugaan KKN dan TPPU yang dilakukan oleh Gibran dan Kaesang dan serius dalam pemberantasan Korupsi. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan masif terhadap praktik-praktik KKN di manapun berada di seluruh tanah air Indonesia," sambungnya menutup. (rmol)


 

SANCAnews.id – Haris Azhar menyinggung kerja penyidik Polda Metro Jaya (PMJ), yang terkesan janggal dalam menangani kasus dugaan pencemaran nama baik Luhut Binsar Panjaitan. Itu lantaran sampai saat ini penyidik PMJ belum pernah memeriksa LBP sebagai saksi pelapor dalam kasus tersebut.

 

”LBP hanya hadir saat melapor dan mediasi, itu pun mediasinya gagal,” kata Haris kepada JawaPos.com, Selasa (22/3). 


Haris menyebut LBP mestinya dimintai keterangan dan menyampaikan bukti atas tuduhan pencemaran nama baik tersebut. 


”Tapi nyatanya tidak pernah diambil keterangannya oleh penyidik. Kok Pak Luhut belum diperiksa?” ujarnya.

 

Kejanggalan penanganan kasus tersebut juga diungkapkan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi M. Rezaldy. 


Menurutnya, penetapan Haris dan Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka terkesan dipaksakan. Padahal, yang dilakukan Haris-Fatia merupakan bagian dari partisipasi warga negara dalam mengungkap skandal kejahatan pejabat negara.

 

Sebelumnya, Ketua Indonesia Memanggil 57+ (IM57+) Institute Praswad Nugraha juga menyinggung kinerja kepolisian yang memprioritaskan pemidanaan terhadap Haris-Fatia, ketimbang menyelidiki dugaan konflik kepentingan pejabat negara dalam bisnis pertambangan emas di Papua, khususnya Intan Jaya.

 

”Penegakan hukum yang baik seharusnya memprioritaskan kasus yang dipersoalkan publik,” ujar mantan penyidik KPK tersebut. Karena itu, dia menilai status tersangka yang disandang Haris-Fatia saat ini salah sasaran. Penyidik PMJ, kata dia, mestinya mencabut status tersangka itu.

 

Kuasa hukum Haris Azhar, Nurkholis Hidayat menambahkan, kepolisian mestinya berimbang dan fair dalam melakukan pemeriksaan. Pun, dia menyinggung Surat Keputusan Bersama (SKB) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU ITE.

 

Dalam SKB itu menyebut muatan berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau kenyataan masuk dalam kategori bukan delik pidana yang melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE. Nurkholis juga menyinggung Surat Edaran (SE) Kapolri No. SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Proaktif.

 

Dalam SE itu kapolri meminta penyidik mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara ITE. Kapolri juga meminta penyidik memprioitaskan langkah damai dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan laporan dugaan pelanggaran UU ITE. ”Saya rasa SE itu belum pernah dicabut,” kata Nurkholis.

 

Sementara itu,  menanggapi pernyataan Haris, Juru Bicara Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Jodi Mahardi, mengatakan Luhut sudah mengikuti semua proses hukum di PMJ. Termasuk menyampaikan bukti dan memberikan keterangan sebagai saksi pelapor di Polda.

 

“Yang bener komen begitu (Haris Azhar, Red)?, kalau iya berarti dia sudah terbiasa memfitnah, atau sengaja menciptakan opini sesat,” kata Jodi saat dikonfirmasi.

 

Sebagaimana diberitakan, Haris-Fatia ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik PMJ terkait kasus dugaan pencemaran nama baik LBP. Pihak Haris-Fatia berencana melayangkan gugatan praperadilan atas penetapan kasus tersebut.

 

Mereka juga akan menyerahkan bukti tambahan dan saksi-saksi dari sembilan non-government organization (NGO) untuk membantah tuduhan pencemaran nama baik itu. Penyerahan bukti dan nama-nama saksi rencananya akan dilakukan Rabu (23/3). ***



SANCAnews.id – Lama tak terdengar, Ustadz Yahya Waloni kembali kepublik dengan pernyataan kontroversi. Kali ini Yahya Waloni kritik Menteri Agama yakni Yaqut Cholil Qoumas bandingkan suara adzan dengan anjing.

 

Bahkan Yahya Waloni memberikan nasihat ke Gus Yaqut untuk hati-hati berkomentar. Yahya Waloni yang dihukum karena kasus ujaran kebencian ini menyinggung soal kebijakan Menag Yaqut dalam satu ceramahnya.

 

Awalnya dia membahas soal seorang sahabat nabi yang menjaga keimanannya. Yahya kemudian menyinggung soal lafadz azan yang mana terdapat kalimat Allah Swt.

 

“Tolong dihargai karena semua hal yang kita sampaikan itu adalah nama Allah,” ucap Yahya dalam salah stau ceramahnya sebagaimana diupload akun youtube LOMBOK MULTIMEDIA, dikutip Selasa (22/3/22).

 

“Ini bukan hal yang mudah, hati-hati kalau orang sudah mencela tentang azan, tunggu aja, lama atau cepat insya Allah, pasti akan kena, yakin saya,” tambah Yahya.

 

Dikutip dari WartaEkonomi, Yahya Waloni menyebut beberapa keistimewaan azan salah satunya bisa juga menjadi sarana hidayah orang memeluk Islam.

 

Yahya Waloni menekankan bahwa tidak semua orang-orang Non Muslim tidak suka atau terganggu dengan adzan.

 

Yahya Waloni juga menyinggung soal bagaimana Umat Islam harusnya bisa melantunkan suara adzan dengan melakukan yang terbaik agar azan betul-betul bisa menjadi sarana hidayah yang efektif.

 

Yahya Waloni mengaku sampai saat ini belum ada yang dinamakan kedamaian atau jalan keluar yang bisa merangkul semua kepentingan.

 

“Sampai malan tadi in pun masih ribut di kementerian agama. Orang demo sana-sini minta Yaqut turun supaya dipecat dari menteri agama. Coba nanti kita berdoa supaya ada pemimpin-pemimpin baik kedepan,” tambah Yahya. (suara)



 

SANCAnews.id – Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama Ustaz Yusuf Muhammad Martak melaporkan dugaan tindak pidana ujaran kebencian yang dilakukan Saifuddin Ibrahim ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Polemik itu terkait video dugaan penodaan agama oleh Saifuddin.

 

Laporan Yusuf Martak itu diterima dengan nomor LP/B/0138/III/2022/SPKT/BARESKRIM POLRI, tanggal 22 Maret 2022. Terlapornya pemilik akun YouTube Saifuddin Ibrahim.

 

Menurut tim advokasi GNPF Ulama, M. Ichwanuddin Tuankotta, upaya Yusuf Martak merupakan langkah hukum konstitusional dalam hal dugaan penodaan agama. Dia mengingatkan Indonesia adalah negara hukum.

 

"Bahwa langkah ini juga merupakan langkah preventif untuk mencegah aksi massa atau umat yang marah terhadap pernyataan Saifuddin Ibrahim yang mengandung ujaran kebencian dan/atau penodaan agama," kata Ichwanuddin dalam keterangannya, Selasa 22 Maret 2022.

 

Dia menyebut, dengan makin banyak tindakan penodaan agama di Tanah Air, pihaknya merasa Indonesia tengah darurat penodaan agama. Maka itu, pihaknya mendukung penegak hukum khususnya kepolisian agar segera menindak tegas para pelaku penodaan agama.

 

Menurutnya, penodaan agama bisa merusak kehidupan beragama di Indonesia dan memecah belah NKRI serta menimbulkan gejolak hebat di masyarakat.

 

Pun, Ichwan menambahkan pihaknya mendukung Majelis Ulama Indonesia menegakkan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa tanggal 11 November 2021 yang menentukan kriteria penodaan agama. Ijtima Ulama saat itu merekomendasikan penegak hukum untuk menindak semua pelaku penodaan agama.

 

Dalam laporannya, terlapor pun disangkakan Pasal 45 A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 156 KUHP dan/atau Pasal 156 a KUHP.

 

"Bahwa dengan ini, kami mengimbau kepada seluruh umat untuk berperan aktif menjaga ukhuwah antar umat beragama dan melawan segala bentuk penodaan agama yang dapat menghancurkan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara," tutur Ichwan. (viva)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.