Latest Post



SANCAnews.id – Sejak beberapa pekan terakhir, publik ramai membicarakan rencana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode. Sebagian menolak wacana tersebut, namun tak sedikit yang terang-terangan menolaknya.

 

Menariknya, sebagai bentuk keseriusan, mereka yang mendukung rencana itu belakangan mulai memasang baliho 'Jokowi 3 periode' di sejumlah lokasi ramai. Salah satunya di Pekanbaru, Riau.

 

Menurut sejumlah foto yang banyak beredar di media sosial, disitat dari Suara, baliho tersebut menampilkan wajah Jokowi dengan tulisan 'Harapan rakyat Indonesia' dan hashtag #2024SetiaBersamaJokowi.

 

Kabarnya, baliho tersebut dibuat berdasarkan ide Koalisi Bersama Rakyat atau Kobar setempat. Meski belum banyak terpasang, namun hal itu seakan menjadi awal keseriusan para pendukung Jokowi menyuarakan keinginannya.

 

Diketahui, isu perpanjangan masa jabatan presiden kembali bergulir pada Maret 2021 lalu. Ini menyusul pernyataan mantan Ketua MPR Amien Rais yang menyebut bahwa ada skenario mengubah ketentuan dalam UUD 1945 soal masa jabatan presiden.

 

Jokowi pun sempat bersuara keras. Ia menegaskan tak berniat dan tak punya minat untuk menjabat selama tiga periode.

 

"Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 15 Maret 2021 lalu.

 

Sikap ini, kata dia, tidak akan pernah berubah. Sebagaimana bunyi Undang-Undang Dasar 1945, masa jabatan presiden dibatasi sebanyak dua periode. (hops)



 

SANCAnews.id – Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said ikut merespons wacana penundaan Pemilu yang disampaikan tiga ketum parpol. Menurut Sudirman Said, mengubah konstitusi adalah hal yang mudah.

 

Namun, para pejabat mulai dari Presiden hingga legislator memiliki aturan tidak tertulis yaitu moral etika. Moralitas ini lah yang menurut Sudirman sudah menurun.

 

“Jadi kalau mau-mau saja, bisa. 60 persen anggota MPR berkumpul sepakat jadilah konstitusi berubah. Nah, yang mengendalikan berbuat atau tidak berbuat aturannya adalah ethic moral. Nah, itu juga yang makin hari makin menurun,” kata Sudirman dalam sebuah diskusi daring dapur KedaiKopi, Minggu (6/3).

 

“Tidak merasa bahwa itu (jabatan) pinjaman yang harus dikembalikan, tidak merasa bahwa hidupnya ada hal lain yang mengatur yaitu etchic,” imbuh Sudirman.

 

Sekjen PMI itu mengingatkan, kekuasaan itu adalah pinjaman dari publik. Bahkan, 92 persen ongkos bernegara dibiayai oleh rakyat.

 

Artinya, para penyelenggara negara, presiden gubernur menteri anggota DPR harus merasa bahwa mereka adalah suruhannya rakyat.

 

Sudirman menjelaskan, Presiden adalah pesuruh rakyat se-Indonesia. Menteri kepala pesuruh rakyat se-kementerian. Begitu juga bupati gubernur dan seterusnya.

 

“Kesadaran itu kelihatannya mulai turun, setelah duduk (kekuasaan) harus dipegang erat-erat, selama-lamanya kalau bisa dibagi ke keluarganya. Nah, membedakan privat dan public domain itu merupakan bagian dari kita menjaga kehormatan sebagai bangsa sebagai orang yang terus menerus mengangkat derajatnya menjadi bangsa bermartabat," jelas Sudirman.

 

"Yang di pemerintahan: eh, anda itu dipinjamin, sementara. Reguler election yang memungkinkan sirkulasi kekuasaan sehingga terus menerus ada penyegaran,” tutup mantan Menteri ESDM ini. (kumpara)



 

SANCAnews.id – Usulan penundaan Pemilu 2024 yang didengungkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) adalah masalah yang fundamental. Usulan ini bahkan merupakan pelanggaran konstitusi terhadap 3 hal.

 

Begitu tegas pemerhati demokrasi Titi Anggraeni dalam diskusi virtual yang digelar lembaga survei KedaiKOPI bertajuk “Kata Pakar Bila Pemilu Ditunda”, Minggu (6/3).

 

Turut hadir sebagai pembicara alam acara ini pelaku komunikasi internasional, Teguh Santosa, Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, budayawan Dedy Miing Gumelar, Gurubesar FEB Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda, dan analis komunikasi politik Hendri Satrio. Acara dimoderatori oleh Chacha Annissa.

 

Titi Anggraeni mengurai bahwa yang pertama adalah pelanggaran konstitusi terhadap asas kedaulatan rakyat. Di mana asas itu selama ini selalu dipraktikkan melalui penyelenggaraan pemilu yang bebas dan aktif.

 

“Menunda pemilu dengan alasan yang tidak logis, tidak lazim, dan tidak ada presedennya dalam praktik pemilu dunia, yaitu mempertimbangkan stabilitas ekonomi membuat kemudian daulat rakyat tidak bisa diaplikasikan,” tegasnya.

 

Kedua, Titi Anggraeni menilai terjadi pelanggaran konstitusi terhadap kewajiban untuk menyelenggarakan pemilu secara periodik.

 

Pada pasal 22 e ayat 1 UUD 1945 telah disebutkan bahwa pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil) setiap lima tahun sekali, merupakan kewajiban dalam menyelenggarakan pemilu secara berkala atau periodik.

 

Pasal ini, sambung Titi, jelas-jelas telah dilanggar oleh narasi penundaan pemilu.

 

Sementara pelanggaran ketiga adalah adanya upaya untuk menerabas atau melanggar pembatasan masa jabatan yang diatur di dalam pasal 7 UUD 1945.

 

“Memang konstitusi bisa diganti, bisa diamandemen, tetapi sekali lagi semangat konstitusionalisme berdemokrasi itu komitmen bernegara kita, yang kemudian mewarnai penyusunan konstitusi kita UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tutupnya. (rmol)



 

SANCAnews.id – Covid-19 dijadikan kambing hitam elit politik sebagai alasan untuk menunda pemilu 2024. Hal ini dinilai tidak logis, lantaran sejauh ini penanganan pandemi di Indonesia diapresiasi masyarakat bahkan dunia.

 

Selain itu, faktor ekonomi juga dirasa kurang etis dijadikan alasan. Karena, dalam kurun waktu dua tahun dihantam pandemi saat ini, ekonomi nasional dilaporkan stabil dibandingkan negara-negara lain.

 

“Karena alasannya itu loh ekonomi. Yang benar aja, tahun 2020 Pilkada itu dijadikan sebagai salah satu hal yang bisa meningkatkan atau memicu dari ekonomi,” tegas penggagas lembaga survei KedaiKOPI Hendri Satrio dalam acara diskusi virtual KedaiKOPI bertemakan “Kata Pakar Bila Pemilu Ditunda” Minggu (6/3).

 

Hensat melihat justru pemerintah mendapatkan tepuk tangan dari dunia. Hal ini dinilai sangat kontradiktif antara fakta dengan wacana yang digulirkan untuk menunda pemilu dengan alasan Covid-19.

 

“Katanya pemerintah ini paling berhasil penanggulangan Covid-nya. Tapi giliran begini-begini Covid-19 dijadikan alasan. Dan lagi pula dari hasil survei kedai kopi, penanggulangan Covid-19 oleh pemerintah itu salah satu hal yang diapresiasi oleh masyarakat,” tandas Hensat.

 

Jika Covid jadi kambing hitam untuk menunda pemilu maka, menurut Hendri, orang yang mendukung dan mengapresiasi penanggulangan Covid bakal sakit hati.

 

“Itu pasti yang jawab puas penanggulangan Covid jadi marah semua karena kepuasan mereka terhadap penanggulangan Covid-19 itu dijadikan alasan untuk penundaan pemilu,” tutupnya. (rmol)



 

SANCAnews.id – Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai bahwa penundaan Pemilu 2024 merupakan usul yang "tidak mungkin dapat dilaksanakan".

 

Penundaan pemilu menabrak Pasal 22E ayat (1) UUD 45 yang memerintahkan agar pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.

 

Di samping itu, secara politik, penundaan pemilu ini bakal berdampak serius yakni kevakuman kekuasaan di mana-mana.

 

"Konsekuensi dari penundaan itu, jabatan-jabatan kenegaraan yang harus diisi dengan pemilu juga berakhir," kata Yusril melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (6/3/2022).

 

"Begitu jabatan berakhir setelah lima tahun, para pejabat tersebut, mulai dari presiden sampai anggota DPRD telah menjadi mantan pejabat, alias tidak dapat melakukan tindakan jabatan apapun atas nama jabatannya," jelasnya.

 

Dalam keadaan kevakuman kekuasaan itu, warga berhak membangkang pada pejabat-pejabat yang memaksa bertindak sebagai seolah-olah pejabat yang sah.

 

"Jika keadaan seperti itu terjadi, maka akan terjadilah anarki, semua orang merasa dapat berbuat apa saja yang diinginkannya," ungkap Yusril.

 

"Negara akan berantakan karenanya. Tertib hukum lenyap samasekali," kata dia.

 

Satu-satunya jalan menunda Pemilu 2024 adalah merevisi landasan konstitusionalnya, dalam hal ini melakukan amandemen UUD 1945.

 

"Tanpa amandemen, maka penundaan pemilu adalah pelanggaran nyata terhadap UUD 1945. Risiko pelanggaran terhadap UUD 1945 adalah masalah serius," ujar Yusril.

 

Sebelumnya, tiga ketua umum partai politik yaitu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyampaikan wacana penundaan pemilu dan perpajangan masa jabatan presiden.

 

Wacana ini diawali oleh Muhaimin yang mengusulkan Pemilu 2024 diundur dengan dalih khawatir mengganggu stabilitas ekonomi Tanah Air pada tahun tersebut. *


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.