Latest Post


 

SANCAnews.id – Sidang kasus tindak pidana terorisme dengan terdakwa Munarman kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu (23/2).

 

Dalam sidang kali ini, kubu Munarman mendapat kesempatan menghadirkan saksi meringankan. Salah satu yang bersaksi adalah Immanuel Ebenezer selaku Ketua Jokowi Mania (JoMan).

 

Sebelum memberi keterangan di persidangan, lelaki yang karib disapa Noel itu mengaku datang sebagai saksi atas inisiatif sendiri.

 

“Saya meminta kepada Munarman untuk menjadi saksi beliau. Saya yang minta ya, bukan Munarman yang minta,” ujar dia kepada wartawan di PN Jaktim, Rabu.

 

Dari situ kemudian Munarman sepakat dan dia pun memutuskan menjadi saksi meringankan. Noel juga mengaku punya hubungan perkawanan dengan Munarman.

 

Lanjut Noel menerangkan bahwa dalam persidangan Munarman, dia melihat adanya tuduhan sesat yang utarakan oleh jaksa penuntut umum kepada Munarman terkait kasus tersebut.

 

“Kami melihat bahwa narasi soal Munarman dihukum mati sebelum ada putusan itu juga opini yang keji juga dan sesat. Jangan juga karena ada sebuah pandangan politik kemudian orang dihukum atas sebuah fitnah yang tidak terbukti," tegas dia.

 

Noel pun meyakini Munarman sama sekali tidak terkait dalam aksi terorisme. Hal ini dapat dibuktikan ketika aksi 212 di Monas  pada 2016.

 

Dia menyebut saat itu Munarman duduk berdekatan dengan sejumlah pejabat, bahkan seorang Presiden Joko Widodo juga ada di situ.

 

"Munarman pada 2016 di Monas sebagai koordinator 212, itu berdiri dengan Presiden dan ada beberapa menteri yang strategis, satu panggung,” kata dia.

 

Noel menyebut seandainya Munarman teroris, maka eks Sekretaris Umum FPI itu punya kesempatan untuk menyerang Presiden Jokowi.

 

Dia kemudian mengungkap bukti lain yang menguatkan Munarman bukan seorang teroris.

 

Salah satunya saat Munarman mengerahkan massa FPI untuk membantu mengawal Gereja HKBP di Cinere Jakarta Selatan.

 

"Munarman juga yang memberitakan FPI untuk mengawal pembangunan gereja di Cinere. Ketiga, Munarman pernah mengutuk yang namanya pengeboman gereja di Surabaya, Jawa Timur, dan itu fakta-fakta," tegas Noel. (jpnn)



 

SANCAnews.id – Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan pengaturan terkait penggunaan pengeras suara di masjid, salah satunya bertujuan agar hubungan antarumat beragama lebih harmonis.

 

Gus Yaqut menegaskan tidak melarang rumah ibadah umat Islam untuk menggunakan toa atau pengeras suara.

 

"Surat edaran ini dikeluarkan dengan tujuan agar tidak ada umat agama lain yang terganggu. Kita tahu itu syiar agama Islam, silahkan gunakan toa, tapi tentu harus diatur. Diatur bagaimana volumenya tidak boleh keras, maksimal 100 desibel," kata Gus Yaqut di Pekanbaru, Rabu, 23 Februari 2022.

 

Menurutnya, perlu peraturan untuk mengatur waktu alat pengeras suara tersebut dapat digunakan, baik setelah atau sebelum azan dikumandangkan.

 

"Bagaimana menggunakan speaker di dalam atau luar masjid juga diatur. Tidak ada pelarangan. Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis," katanya.

 

Baginya pedoman ini bertujuan juga untuk meningkatkan manfaat dan mengurangi hal yang tidak bermanfaat, sebab di daerah di Indonesia yang mayoritas Muslim, hampir di setiap 100-200 meter terdapat masjid atau musala.

 

"Kita bayangkan, saya Muslim saya hidup di lingkungan nonmuslim, kemudian rumah ibadah mereka membunyikan toa sehari lima kali dengan keras secara bersamaan, itu rasanya bagaimana?" ucapnya.

 

"Contohnya lagi, misalkan tetangga kita kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua, misalnya menggonggong di waktu yang bersamaan, kita terganggu tidak? Artinya semua suara-suara harus kita atur agar tidak menjadi gangguan," ujarnya.

 

Yaqut menegaskan alat pengeras suara di masjid/musala dapat dipakai, namun diatur agar tidak ada yang merasa terganggu. Dan agar niat menggunakan pengeras suara sebagai sarana untuk syiar dan tepat dilaksanakan, tanpa harus mengganggu umat beragama lain.

 

"Kita harus menghargai mereka yang berbeda dengan kita. Dukungan atas ini juga banyak," katanya. Sebelumnya, Menag Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.

 

Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. 

 

Menurutnya, penggunaan pengeras suara di masjid dan musala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat.

 

Pada saat yang bersamaan, masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Sehingga, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.

 

"Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat," ujar Yaqut di Jakarta, Senin, 21 Februari 2022. 

 

Menag menjelaskan, surat edaran yang terbit 18 Februari 2022 ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam, dan Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh Indonesia. 

 

Sebagai tembusan, edaran ini juga ditujukan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia. "Pedoman ini agar menjadi pedoman dalam penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola (takmir) masjid dan musala dan pihak terkait lainnya," tegasnya. (viva)




SANCAnews.id – Pegiat media sosial Permadi Arya alias Abu Janda mengeluarkan uneg-uneg dengan mengirimkan karangan bunga ke pengadilan. Dia protes bial dua anggota polisi terdakwa unlawful killing laskar FPI dituntut enam tahun penjara.

 

Dalam karangan bungan berwarna merah tersebut tertulis '2 polisi penembak teroris harusnya diberi penghargaan bukan dikriminalisasi. Permadi Arya.'

 

Foto karangan bunga ini diunggaj Abu Janda di laman Instagram miliknya @permadiaktivis2, Rabu, 23 Februari. Pada caption unggahan, Abu Janda menulis komentar dengan cukup pedas.

 

"FPI organisasi teroris. Munarman beraliran ISIS. petugas nembak teroris kok malah dituntut? bela negara kok mau dipenjara?" tegas Abu Janda.

 

Abu Janda menyebutkan, karangan bunga ini merupakan ekspresi kekecewaan dirinya, termasuk silent majority atas tuntutan terhadap dua polisi tersebut.

 

"Saya yakin papan bunga ini mewakili uneg2 banyak orang yang silent majority. KAMI MENOLAK PAHLAWAN DIKRIMINALISASI. jangan lemahkan aparat yang sedang melindungi rakyat," tegasnya.

 

Jaksa menuntut majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menghukum dua polisi yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan sewenang-wenang (unlawful killing) pidana 6 tahun penjara.

 

Tuntutan kepada dua terdakwa, yaitu Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella, dibacakan oleh jaksa secara terpisah di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa, 22 Februari.

 

Menurut Jaksa Fadjar, yang membacakan tuntutan secara virtual sebagaimana disiarkan di ruang sidang, Briptu Fikri terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

 

Dalam berkas tuntutan yang berbeda, jaksa Paris Manalu juga meyakini Ipda Yusmin melanggar ketentuan dalam pasal yang sama dengan Briptu Fikri.

 

Karena itu, dua jaksa itu meminta majelis hakim memvonis Briptu Fikri dan Ipda Yusmin hukuman 6 tahun penjara serta meminta keduanya segera ditahan.

 

Dalam dua berkas tuntutan yang berbeda, jaksa juga meminta kepada majelis hakim agar memerintahkan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin membayar biaya perkara masing-masing Rp5.000,00.

 

Terkait dengan barang bukti, jaksa meminta majelis hakim agar memerintahkan beberapa barang bukti dikembalikan ke Polda Metro Jaya, ada beberapa yang dimusnahkan, dan lainnya diminta tetap dimasukkan dalam berkas perkara.

 

Jaksa, dalam tuntutannya, juga membacakan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi dua terdakwa.

 

Jaksa Fadjar menilai hal yang memberatkan Briptu Fikri, yaitu tidak memperhatikan asas legalitas, asas nesesitas, dan asas proporsionalitas, terutama dalam menggunakan senjata api saat mengawal para korban, yaitu empat anggota FPI, dari Rest Area KM 50 Tol Cikampek ke Polda Metro Jaya.

 

Sementara itu, hal-hal yang meringankan untuk Briptu Fikri, di antaranya telah bertugas sebagai polisi selama 12 tahun. Pada masa tugasnya itu, Briptu Fikri tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

 

Hal-hal yang memberatkan dan meringankan untuk Briptu Fikri secara substansi juga berlaku untuk Ipda Yusmin.

 

Usai pembacaan tuntutan, Hakim Ketua Muhammad Arif Nuryanta pun meminta pendapat dua terdakwa.

 

Briptu Fikri dan Ipda Yusmin, yang menghadiri sidang secara virtual dari tempat penasihat hukum, pun menyerahkan keputusan itu kepada pengacaranya.

 

Koordinator Tim Penasihat Hukum Henry Yosodiningrat menyampaikan kliennya akan mengajukan pembelaan atau pledoi pada sidang berikutnya.

 

Fikri dan Yusmin menjalani persidangan kasus pembunuhan sewenang-wenang yang menewaskan empat anggota FPI saat mereka dalam perjalanan ke Polda Metro Jaya pada tanggal 7 Desember 2020.

 

Empat anggota FPI yang menjadi korban penembakan di dalam mobil milik kepolisian, yaitu Muhammad Reza (20), Ahmad Sofyan alias Ambon (26 tahun), Faiz Ahmad Syukur (22), dan Muhammad Suci Khadavi (21).

 

Dua anggota FPI lainnya, Luthfi Hakim (25) dan Andi Oktiawan (33) juga tewas. Akan tetapi, korban meninggal dunia di lokasi berbeda, yaitu saat baku tembak antara Laskar FPI dan polisi di Jalan Simpang Susun Karawang Barat. (voa)





 

SANCAnews.id – Berdasarkan keterangan saksi-saksi, alat bukti dan keterangan Ahli Puspom resmi menghentikan kasus dugaan tindak pidana penistaan agama yang dilakukan Kasad Jenderal TNI Dudung Abdurachman.

 

Sebelumnya Jenderal TNI Dudung dilaporkan oleh Ahmad Syahrudin tentang pernyataan Jenderal TNI Dudung Abdurachman dalam video yang dipublikasikan di podcast YouTube Deddy Corbuzier pada 30 Desember 2021 lalu.

 

Hal tersebut disampaikan Kapen Puspomad Agus Subur Mudjiono, S.H., M.A.P., saat menyampaikan hasil penyelidikan oleh tim penyelidik Puspomad terkait laporan pengaduan tersebut di Puspomad, Jakarta Pusat. Rabu, (23/2/2022).

 

Dilansir dari situs resmi TNI Angkatan Darat disampaikannya, tim penyelidik Puspomad telah melakukan penyelidikan mulai tanggal 9 s.d. 22 Februari 2022 dengan mengundang pelapor, saksi dan meminta keterangan ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga Surabaya, ahli ITE dari Kemkominfo serta dua orang ahli Bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia (UI).

 

Berdasarkan keterangan ahli hukum pidana, disimpulkan bahwa pernyataan Jenderal TNI Dudung Abdurachman dalam video yang dipublikasikan di podcast YouTube Deddy Corbuzier, tidak memenuhi unsur subyektif dan obyektif sebagaimana dimaksud Pasal 156 KUHP, Pasal 156a KUHP, Pasal 14 dan Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Diskriminasi Ras dan Etnis, serta Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 dan 28 ayat (2) Jo. Pasal 45 a ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

Lebih lanjut Kapen Puspomad juga menjelaskan hasil keterangan ahli ITE, yang menyimpulkan bahwa pernyataan Jenderal TNI Dudung Abdurachman tersebut, tidak memenuhi unsur perbuatan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 dan 28 ayat (2) Jo Pasal 45 a ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik..

 

“Demikian juga keterangan ahli Bahasa Indonesia, yang menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak bermakna mensejajarkan Tuhan dengan manusia atau makhluknya dan tidak mengandung muatan penodaan agama yang disangkakan pelapor Ahmad Syahrudin,” oleh karena itu telah dikeluarkan SP2 Lidik pungkas Kapen Puspomad. (tvonenews)



 

SANCAnews.id – Rencana untuk menyampaikan usulan penundaan pemilu 2024 kepada Presiden Jokowi membuktikan bahwa sosok Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) adalah pemimpin yang mengekor.

 

Begitu kata Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Rabu malam (23/2).

 

Jerry Massie mulanya bertanya apakah Cak Imin dalam keadaan sadar saat menyampaikan pernyataan kontroversi dan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 itu ke publik.

 

Apalagi partainya bersama anggota DPR RI lain baru saja mengesahkan anggota KPU dan Bawaslu, termasuk bersepakat soal tanggal Pemilu Serentak pada 14 Februari 2024.

 

“Saya tak paham dengan jalan pikiran pimpinan parpol tersebut. Apakah orang ini berbicara dalam ruangan kesadaran atau bukan?” tanyanya.

 

Bagi Jerry Massie, sikap Cak Imim itu membuka tabir bahwa PKB di bawah kendalinya adalah cerminan partai yang cari aman agar bisa tetap menikmati kekuasaan. Cak Imin, sambungnya, bukan sosok pemimpin yang visioner dan bijaksana.

 

“Cak Imin pemimpin mengekor dan tak punya prinsip. Beginilah model terima bersih,” sambung Jerry Massie.

 

Lebih lanjut, dia menduga bahwa PKB sedang dalam posisi di pinggir jurang. Artinya, PKB butuh waktu agar tidak tersenggol partai lain seperti Demokrat dan PKS, sehingga terjerembab gagal masuk Senayan.

 

“Saya pikir Cak Imin tidak pantas lagi mengelola PKB. Saya kira NU juga akan bertindak, setidaknya anggota dan pemilih NU cukup besar," tutupnya. *


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.