Latest Post


 

SANCAnews.id – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyambut baik acara peringatan Harlah NU ke-96 yang digelar secara hibryd oleh DPP PDI Perjuangan.

 

Apresiasi itu disampaikannya langsung Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya saat memberikan sambutan secara virtual, Sabtu (12/2).

 

"Alhamdulillah, ya namanya gayung bersambut," ucap Gus Yahya.

 

Gus Yahya lantas mengurai tema besar PBNU di bawah kepemimpinan untuk satu periode ke depan, yakni "Merawat Jagat dan Membangun Peradaban".

 

"Merawat jagat itu dengan dua dimensi yang paling mendasar. Terutama, bumi sebagai tempat kita hidup dan kita pijak bersama ini," katanya.

 

"Kedua, tatanan kehidupan di atasnya, ini harus kita rawat supaya jangan sampai kita membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi ini, apalagi melakukan penghacuran-penghancuran," sambungnya.

 

Gus Yahya mengingatkan, jika semua pihak ingin berjuang untuk meningkatkan kualitas hidup, maka jangan sampai membuat kerusakan terhadap bumi sebagai lingkungan hidup itu sendiri.

 

"Kalau ada yang belum sempurna, ada yang harus diperbaiki, mari kita perbaiki dengan strategi menyempurnakan, bukan strategi untuk merusak dan menghancurkan. Dan ini adalah prinsip yang menjadi ingin kita tegakkan dalam pergulatan Nahdlatul Ulama ke depan," imbuhnya menegaskan.

 

Adapun, jika PDIP memiliki visi misi ke arah sana sama seperti NU, kata Gus Yahya, maka PDIP bukan hanya sekadar partner, lebih jauh daripada itu.

 

"PDIP akan menjadi, bukan hanya sekedar partner, tapi akan menjadi salah satu komponen senyawa dalam perjuangan," katanya.

 

Namun begitu, menurut Gus Yahya, ke depan akan terlihat bahwa langkah yang diambil dan dijalankan oleh Nahdlatul Ulama (NU) selama kedua belah pihak (PDIP) setia kepada semangat dasar perjuangannya.

 

"Ini akan jadi sinergi yang mudah-mudahan membawa kemaslahatan yang yang lebih besar untuk bangsa, negara, dan manusia," tuturnya.

 

"Saya kira ini terima kasih Pak Hasto, terima kasih dan salam hormat untuk Ibu Megawati dan mudah-mudahan Nahdlatul Ulama bisa ikut mendapatkan pelajaran yang berharga dari acar dialog yang digelar hari ini," demikian Gus Yahya. (rmol)



 

SANCAnews.id – Aktivis Nicho Silalahi di akun Twitternya @Nicho_Silalahi, Jumat (11/2) mengkritik keras kebijakan pemerintah yang memfasilitasi turis asing.

 

Melalui Kemenparekraf, pemerintah memfasilitasi kedatangan wisatawan mancanegara atau turis asing yang datang ke Bali.

 

Dikutip dari Fajar, menurutnya, pemerintah lebih memilih mengeluarkan uang negara demi orang asing yang datang berwisata dibanding rakyat yang kesusahan karena pandemi.

 

“Lebih penting biayai orang asing berwisata ketimbang ngasih makan rakyat yang sedang kesusahan akibat Plandemik berkepanjangan ini,” kata Nicho.

 

Sebelumnya, Menparekraf Sandiaga Uno mengatakan kedatangan turis asing di Bali ternyata sebagian dibiayai oleh pemerintah dalam hal ini Kemenparekraf dan berbagai perusahaan lain.

 

Turis-turis itu diharapkan menjadi ‘corong’ untuk memperlihatkan kondisi wisata di Indonesia.

 

Sandiaga Uno menyebutkan, kedatangan turis asing yang berasal dari Jepang sebanyak 6 orang pada Kamis 3 Februari 2022 dengan penerbangan perdana GA881 NRT-DPS, merupakan kolaborasi Kemenparekraf, Garuda Indonesia, BTB, Grand Hyatt, Four Season serta dukungan Pemda Bali, Kementerian/Lembaga terkait dan TNI/Polri.

 

“Dalam pelaksanaannya, Kemenparekraf mendukung kegiatan business meeting, mengatur pertemuan ke 6 WNA Jepang yang juga merupakan travel agents di Jepang dengan industri pariwisata di Bali yang khusus banyak menangani pasar Jepang,” ujar Sandiaga.

 

Garuda Indonesia memberikan dukungan berupa tiket PP Business Class (Narita-Denpasar) dan (Denpasar-Haneda) via CGK.

 

Bali Tourism Board menyediakan dukungan berupa Bus Golden Bird yang merupakan salah satu perusahaan transportasi yang telah ditetapkan sebagai penyedia transportasi transfer Airport DPS ke hotel bubble untuk mengikuti aktivitas Bali Warm Up Vacation, dengan pengawalan dan prokes yang telah dituangkan dalam SE Satgas Covid-19 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Luar Negeri.

 

Hotel Grand Hyatt Nusa Dua memberikan keringanan harga paket Bali Warm Up Vacation bagi ke 6 WNA Jepang yang mengikuti program kolaborasi penerbangan perdana GA 881 NRT-DPS selama 5 hari termasuk aktivitas selama di Hotel. (radartegal)



 

SANCAnews.id – Pelabelan hoax terhadap peristiwa di Desa Wadas, Purworejo, oleh pemerintah disayangkan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).

 

Ketua Umum AJI, Sasmito menjelaskan, label hoax disematkan sejumlah kepala instansi pemerintahan atas pemberitaan dan atau informasi yang beredar di media sosial terkait gejolak di Wadas.

 

"Hal tersebut setidaknya tergambar dalam konferensi pers yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD di Jakarta pada Rabu (9/2)," ujar Sasmito dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (12/2).

 

Sasmito menuturkan, Mahfud menyebut semua informasi dan pemberitaan yang menggambarkan suasana mencekam di Desa Wadas tidak terjadi seperti yang digambarkan, terutama di media sosial.

 

"Ia mengklaim situasi di Desa Wadas dalam keadaan tenang dan meminta warga tidak terprovokasi," imbuhnya.

 

Selain Mahfud MD, Sasmito juga melihat label hoax yang diberikan Polri melalui unggahannnya di laman humas.polri.go.id yang berjudul "Ulama Purworejo Serukan Warga Menolak Hoax Tentang Situasi Wadas, Polda Jateng Warning Akun Tukang Provokasi" pada Kamis (10/2).

 

"Dalam unggahan tersebut, Polri juga menegaskan menindak pengelola akun-akun yang dinilai provokatif melalui jalur hukum. Faktanya warga hanya menyampaikan informasi melalui media sosial terkait peristiwa yang terjadi di Desa Wadas," tuturnya.

 

Polri, lanjut Sasmito, juga menyematkan stempel hoax terhadap konten milik Wadas Melawan. Polisi membuat narasi bahwa ada warga yang membawa senjata tajam dan kemudian diamankan polisi. Padahal fakta yang didapat jurnalis di lapangan, sejata tajam yang dibawa warga merupakan alat mencari rumput pakan ternak.

 

Maka dari itu, Sasmito menyatakan bahwa label hoax yang diberikan pemerintah pada peristiwa yang terjadi di Wadas jauh dari fakta yang terjadi di lapangan.

 

"AJI menyerukan agar pemerintah menghentikan pelabelan hoax peristiwa di Wadas yang sewenang-wenang dan berdasarkan klaim yang dianggap sesuai dengan narasi yang diharapkan aparat," harapnya.

 

Lebih lanjut, Sasmito menegaskan bahwa berdasarkan Jaringan Pengecekan Fakta Internasional, pengecekan fakta harus mengacu prinsip-prinsip seperti komitmen nonpartisan dan keadilan, komitmen transparansi atas sumber, transparansi metodologi, serta komitmen atas koreksi yang terbuka dan jujur.

 

"Pers nasional agar menjalankan fungsi kontrol sosial seperti diamanatkan UU Pers. Termasuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti pembangunan proyek Bendungan Bener yang berdampak kepada warga Wadas," tandasnya. (rmol)



 

SANCAnews.id – Kepemimpinan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah dinilai mirip dengan penguasa zaman Multatuli.

 

Hal tersebut disampaikan pemerhati sejarah, Arief Gunawan dalam melihat gejolak yang terjadi di Desa Wadas, kawasan yang masih di bawah pemerintahan Ganjar Pranowo.

 

Menurut Arief, Ganjar seperti Demang Parungkujang dan Adipati Lebak dalam kisah Max Havelaar yang ditulis oleh Edward Douwes Dekker atau dikenal juga sebagai Multatuli.

 

"Dua pejabat bumiputera itu merupakan antek kolonial Belanda yang tidak sudi membela rakyatnya sendiri. Mindset yang sama juga diperlihatkan oleh Ganjar Pranowo," kata Arief dalam keterangan tertulisnya, Jumat (11/2).

 

Sebagai Gubernur Jawa Tengah, Ganjar dianggap tidak mampu membela rakyat Desa Wadas, Purwerojo, Jawa Tengah, yang kini sedang tertindas karena hak atas tanah yang mereka miliki terganggu.

 

Ganjar yang belakangan ini rajin pencitraan karena ingin menjadi calon presiden di Pilpres 2024, menurut Arief, lebih memilih menjadi kaki tangan oligarki ketimbang membela rakyatnya sendiri.

 

"Sebagai elite PDI Perjuangan yang selalu mengusung dan membusungkan diri mengaku sebagai partai wong cilik, ternyata mindset Ganjar nonsense belaka," tegasnya.

 

Bahkan, Ganjar menafikan ajaran Sukarno, yakni marhaenisme yang secara filosofis dan sosiologis esensinya adalah membela hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh para petani.

 

Dalam historiografi nasional, kata dia, rakyat dan wilayah Purworejo juga memiliki peran besar dalam era Perang Diponegoro (Perang Jawa). Perang ini esensinya merupakan perlawanan rakyat terhadap praktik perampasan tanah yang dilakukan oleh kolonialis Belanda.

 

“Perang Diponegoro meletus berawal dari kegiatan ukur-mengukur tanah yang dilakukan kolonialis Belanda dan aksi-aksi KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Lege),” ujar Arief Gunawan.

 

KNIL merupakan pasukan profesional yang anggotanya terdiri dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Dengan mendirikan KNIL, Belanda ingin mengadu domba bangsa ini.

 

Ganjar juga dianggap mengingkari budaya luhur masyarakat Jawa yang secara filosofis menganggap tanah merupakan hal yang sangat sakral, yang tergambar dalam ungkapan sadhumuk bathuk sanyari bhumi, ditohi kanti pati (walaupun tidak seberapa luas tanah yang dimiliki, namun soal tanah adalah soal nyawa).

 

"Berulangnya kembali mindset Demang Parungkujang dan mindset Adipati Lebak dalam kisah Max Havelaar, dengan pemeran baru: Ganjar Pranowo," tutupnya. (rmol)



 

SANCAnews.id – Dugaan rangkap jabatan Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka di PT Wadah Masa Depan, memperkuat laporan Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

 

Begitu pendapat Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (11/2).

 

Jerry Massie melihat PT Wadah Masa Depan terkoneksi dengan PT SM yang menyuntikkan dana ke startup Gibran dan Kaesang Pangarep, seperti yang dijelaskan dalam laporan Ubedilah.

 

"Jika benar Gibran rangkap jabatan, maka genaplah sudah laporan Bang Ubed soal KKN Gibran dan Kaesang," ujarnya.

 

Selain itu, Jerry juga melihat temuan sejumlah pakar hukum dari data Ditjen AHU Kemenkumham, yakni tentang keaktifan Gibran di PT Wadah Masa Depan sebagai Komisaris Utama, sebagai bukti konkret yang seharusnya ditindaklanjuti kementerian/lembaga terkait.

 

Karena itu, Jerry mendorong agar Gibran tak hanya diberi sanksi nonaktif dari jabatannya sebagai Walikota Solo, akan tetapi langsung dipecat.

 

"Sudah jelas dia melanggar UU 23/2014. Terutama pasal 76 ayat (1) huruf c dan Pasal 77," tuturnya.

 

Adapun Pasal 76 UU 23/2014 berbunyi, "Setiap kepala daerah dilarang menjadi pengurus perusahaan swasta atau Yayasan". Sementara di pasal 77 menandaskan sanksi untuk pelanggaran ini adalah berupa pemberhentian selama tiga bulan.

 

"Rangkap jabatan Gibran berpotensi dilaporkan lagi, padahal kasusnya soal dugaan money laundering dan KKN masih di meja KPK saat dilaporkan dosen UNJ Ubedilah Badrun," kata Jerry.

 

"Untuk pejabat yang melanggar UU tak perlu ada sanksi harus dicopot Kementerian terkait," tandasnya. ***


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.