Latest Post



 

SANCAnews.id – Selain mendapat kritik, kedatangan Presiden Joko Widodo ke Toba, Sumatera Utara yang mengundang kerumunan masyarakat juga menimbulkan rasa iba kepada warga.

 

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengaku iba dengan para warga yang berkerumun tersebut lantaran bisa terpapar pandemi Covid-19 yang saat ini tingkat penularannya sangat cepat.

 

"Kasihan warga jika ada klaster karena kejadian (kerumunan Jokowi) ini. Dan khawatir akan dirujuk oleh masyarakat di daerah lain,” tegas Mardani kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (4/2).

 

Anggota Komisi II DPR RI ini mengatakan, peristiwa kerumunan akibat dari kunjungan presiden ini bukan hal yang pertama. Sehingga pihaknya berkesimpulan bahwa sebenarnya yang kerap melanggar aturan adalah kalangan elit bukan masyarakat.

 

"Dan ini bukan kejadian pertama kali. Padahal pelanggaran kian dilakukan oleh elit jauh lbh berat sanksinya dibanding masyarakar awam,” tutupnya. **




 

SANCAnews.id – Baru-baru ini, viral di media sosial sebuah video yang memperlihatkan kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) disambut oleh kerumunan warga.

 

Video tersebut diunggah oleh pengguna Twitter @BuronanMabes pada Kamis, 3 Februari 2022.

 

Nampak Jokowi dengan kemeja putihnya, turun dari mobil dan langsung menyapa kerumunan warga yang berada di sekitarnya.

 

Terlihat juga beberapa personel Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang dikerahkan untuk menertibkan situasi di lokasi kejadian.

 

Diduga, kejadian itu terjadi ketika Jokowi tengah melakukan kunjungan ke Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara pada Kamis, 3 Februari 2022.

 

Pada kesempatan tersebut, Jokowi menyerahkan Surat Keputusan (SK) Hutan Sosial dan SK Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) secara langsung kepada masyarakat.

 

Video dengan durasi 2 menit 20 detik itu telah ditonton sebanyak 7.500 kali pengguna Twitter, dan menuai beragam komentar dari warganet.

 

Tak sedikit warganet yang berkomentar negatif terhadap kejadian tersebut karena telah memicu kerumunan yang berpotensi dapat menularkan Covid-19.

 

“Perilaku aneh pejabat, dia yang bikin aturan PPKM dia bikin aturan sangksi terhadap pelanggaran, dia juga yang mengundang kerumunan, mesti nya murni presiden kepala negara, bukan petugas partai,” ucap salah satu warganet.

 

“Kenapa gk di tangkap tuh buat kerumunan,” kicau lainnya.

 

“Bikin kerumunan nih..,” sahut warganet lainnya.

 

“Maaf pak ini bukan kerumunan loh hanya orang banyak dalam satu tempat yang sempit,” ujar pengguna Twitter. (gelora)

 



 

SANCAnews.id – Mabes TNI memastikan tidak akan tinggal diam terkait pelaporan koalisi ulama terhadap KSAD Jenderal Dudung Abdurachman. Laporan terhadap Jenderal Dudung itu terkait pernyataan ucapan ‘Tuhan bukan orang Arab’.

 

Bahkan, Mabes TNI juga memastikan tengah melakukan proses hukum terkait laporan terhadap Jenderal Dudung itu.

 

Kepastian itu disampaikan langsung oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dalam wawancara di Kompas TV, Jumat (4/2/2022).

 

Jenderal Andika menyampaikan, bahwa TNI tidak boleh mengacuhkan laporan dimaksud, ”Kami punya kewajiban menindaklanjuti laporan tersebut dan kita sudah mulai Senin kemarin,” tegas Jenderal Andika dalam wawancara tersebut.

 

Malah, beber Jenderal Andika, Puspomad juga sudah menggelar rapat khusus membahas laporan koalisi ulama terhadap Jenderal Dudung.

 

“Senin kemarin sudah rapatkan langkah-langkahnya akan dijadwalkan pemeriksaan dari pelapor sehingga kita tahu persis,” bebernya.

 

Selanjutnya, Puspomad juga berencana akan melakukan pemanggilan terhadap sejumlah pihak.

 

Mulai dari permintaan keterangan dari pelapor, sampai sejumlah pihak yang perlu untuk dikonfirmasi.

 

“Termasuk menghadirkan beberapa saksi ahli untuk memastikan kami pahami konten tuntutan maupun yang diucapkan Jenderal Dudung,” terangnya.

 

Kendati demikian, TNI masih belum bisa memastikan apakah ada pelanggaran atau tidak sebagaimana dalam pelaporan.

 

Namun, Jenderal Andika Perkasa memastikan bahwa pihaknya akan melakukan proses sebagaimana mekanisme yang berlalu.

 

“Itu prosedur intinya sama dengan peradilan umum, penyidiknya dari polisi militer,” tandas Jenderal Andika Perkasa.

 

Untuk diketahui, KSAD Jenderal Dudung Abdurachman dilaporkan ke Puspomad oleh koalisi ulama, habaib dan pengacara anti penodaan agama (KUHAP APA).

 

Dalam laporan atas nama A Syahrudin itu, Jenderal Dudung dilaporkan melanggar Pasal 156 KUHP, Pasal 156a KUHP, Pasal 14 dan Pasal 15 UU RI No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 16 UU nomor 40 tahun 2008 diskriminasi RAS dan etnis, Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 dan Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45a ayat 2 UU RI No 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik sebagaimana diubah UU No 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.

 

Laporan tersebut terkait pernyataan Jenderal Dudung dalam video podcast YouTube Deddy Corbuzier berjudul ‘Seram‼ Naik Darah Saya‼ Ini NKRI Bung!!’ yang dipublikasikan pada 30 November 2021. Pelapor mempersoalkan pernyataan Jenderal Dudung yang menyatakan:

 

“Makanya.. berdoa ini kalau berdoa mas.. Kalau saya berdoa setelah shalat. Berdo’a saya si simpel, Ya Tuhan.. pakai bahasa Indonesia saja, karena Tuhan kita itu bukan orang Arab.. Saya pakai bahasa Indonesia”. (pojoksatu)



 

SANCAnews.id – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi langkah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar datang ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menyampaikan permintaan maaf terkait pernyataan adanya 198 pondok pesantren yang terafiliasi jaringan terorisme.

 

“Saya mengapresiasi sikap Kepala BNPT yang meminta maaf atas pernyataan publiknya soal 198 Pondok Pesantren terafiliasi dengan terorisme. Pernyataan itu terkesan menggeneralisir, karenanya meresahkan dan menghadirkan polemik. Juga memunculkan ketakutan terhadap Pondok Pesantren, dan memberikan citra negatif kepada komunitas Pondok, khususnya dan Umat Islam pada umumnya. Permintaan maaf dan koreksi seperti ini sangat baik dilakukan, agar menjadi tradisi, supaya para pejabat tidak asal melempar wacana yang mendiskreditkan siapapun tanpa bukti yang meyakinkan. Termasuk terhadap Umat Islam. Dan agar tidak lagi dilakukan framing terhadap pondok pesantren, komunitas yang terbukti berjasa bagi Indonesia melawan penjajah Belanda dan menggagalkan kudeta PKI,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (4/2/2022).

 

Namun, karena dampak destruktif akibat pernyataan BNPT itu, dan sebagai bukti ketulusannya meminta maaf, sudah seharusnya bila BNPT bukan hanya tidak akan mengulangi laku bermasalah sejenis, tapi juga secara terbuka dan massif melakukan langkah nyata rehabilitasi untuk kembalikan nama baik Pesantren yang track recordnya adalah kontributor penting dalam perjuangan untuk mendapatkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negaranya.

 

HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengatakan sikap yang dilakukan oleh Kepala BNPT berkonsultasi dengan MUI, sudah benar. Suatu hal yang harusnya dilakukan sebelum melontarkan isu sensitif ke publik. Tetapi apapun, peristiwa kemarin itu layak diapresiasi. Ada keberanian MUI untuk menyampaikan kebenaran dan mengkritisi kesalahan, dengan cara yang benar, dan ada keberanian dari BNPT untuk mengakui adanya kesalahan dan karenanya meminta maaf.

 

“Semoga hal ini menjadi tradisi yang baik, sebagaimana tradisi pondok pesantren yang membela NKRI dan ajarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” jelasnya.

 

Tradisi yang baik dengan berkonsultasi kepada ulama kemudian mengakui adanya kesalahan dan secara terbuka meminta maaf, membuktikan bahwa tidak serta merta tuduhan yang disampaikan oleh BNPT adalah kebenaran. Apalagi, diksi yang digunakan terkesan menggeneralisir pondok pesantren.

 

“Langkah ini penting dicatat. Agar ke depan tidak ada lagi yang sembarangan asal tuduh dan asal framing terhadap komunitas Pesantren hanya dari pernyataan sepihak seperti dari BNPT. Karena Umat Islam dengan MUI, Ormas-Ormas dan Pondok Pesantren, juga menolak terorisme, radikalisme, dan intoleransi. Apalagi bila itu semua secara tidak adil dan tidak berbasiskan bukti dan kebenaran justru dituduhkan secara general kepada Umat Islam dan Pondok Pesantren,” ujarnya.

 

Apalagi, di tengah maraknya aksi teror dari separatis OPM, yang anehnya malah tidak mendapat perhatian dari BNPT. Terbukti dengan tidak adanya pernyataan apapun dari BNPT terhadap aksi-aksi teror berulang dan terbuka dari separatis bersenjata OPM yang telah menimbulkan banyak korban baik dari TNI, Polisi, Nakes, maupun sarana-sarana publik seperti Puskesmas, pasar, dan sekolah. Padahal oleh MenkopolhukaM Mahfud MD separatisme disebut lebih berbahaya dari radikalisme, dan bahkan KKB OPM disebut Menkopolhukam sebagai gerakan terorisme.

 

Sesudah permintaan maaf dari Kepala BNPT, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), itu berharap dalam mencegah dan mengatasi terorisme aparat penegak hukum harus mementingkan sikap taati semua ketentuan hukum dan keadilan. Dan melibatkan lembaga-lembaga otoritatif seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), agar tak semena-mena lemparkan wacana sensitif dan bermasalah untuk dikonsumsi publik. “Apalagi bila itu malah berlaku secara diskriminatif hanya menyasar Pesantren dan Masjid, dengan mengabaikan yang jelas-jelas melakukan teror secara radikal seperti gerakan separatis OPM itu,” tuturnya.

 

HNW berharap sikap ksatria Kepala BNPT ini dapat diikuti oleh aparat penegak hukum lainnya. Pasalnya, selain pernyataan Kepala BNPT, ada pula pernyataan Direktur Kemanaan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri Brigjen Umar Effendi yang mewacanakan akan dilakukannya pemetaan terhadap masjid untuk mencegah penyebaran paham radikalisme, suatu hal sangat ditolak oleh Jusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia dan juga oleh MUI dan Umat.

 

“Saya berharap pernyataan tentang pemetaan Masjid terkait pencegahan radikalisme, agar segera dikoreksi. Selain tidak berbasiskan bukti yang meyakinkan, juga malah meresahkan Umat dan pengelola Masjid, menimbulkan kecurigaan diantara Umat dan Masjid. Juga terkesan ada diskriminasi. Karena tidak ada pernyataan dari pihak kepolisian untuk melakukan pemetaan terhadap rumah ibadah, atau pemuka agama lain yang terbukti membantu separatis teroris radikalis OPM dengan menjual amunisi, maupun senjata,” ujarnya.

 

Demi suksesnya pencegahan dan mengatasi radikalisme, terorisme secara adil dan konprehensif, kata HNW tradisi baik yang sudah dilakukan Kepala BNPT untuk menyambangi dan berkonsultasi dengan MUI ini juga dapat dilakukan oleh pihak Kepolisian.

 

“Agar tidak ada kesan framing dan diskriminatif serta kebijakan tidak adil terhadap masjid ketika berbicara soal mencegah dan mengatasi radikalisme atau terorisme. Agar Kepolisian dan BNPT bisa menyatukan seluruh komponen Bangsa termasuk Umat Islam secara adil dan benar untuk mencegah dan mengatasi radikalisme, intoleransi dan terorisme, di seluruh wilayah hukum Indonesia. Juga demi tegaknya keadilan hukum dan terjaganya kedaulatan NKRI,” pungkasnya. (tribun)



 

SANCAnews.id – Polda Metro Jaya memutuskan menyetop kasus dugaan ujaran kebencian anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan terkait kritik soal 'bahasa Sunda'. Polisi beralasan tak bisa melanjutkan perkara itu karena tidak memenuhi unsur pidana.

 

Selain itu, sebagai anggota dewan, Arteria memiliki hak imunitas sebagaimana diatur dalam UU MD3 di mana polisi tak bisa menindak langsung tanpa rekomendasi dari sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.

 

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol E Zulpan mengatakan, keputusan menyetop kasus itu diambil usai penyidik Polda Metro Jaya berkoordinasi dengan saksi ahli pidana, bahasa dan hukum bidang ITE.

 

"Setelah berkoordinasi dengan saksi ahli, mengenai pendapat dari saudara Arteria Dahlan dalam persoalan ini tidak memenuhi unsur perbuatan menyebarkan informasi yang bermuatan ujaran kebencian berdasar SARA yang diatur dalam Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE," kata Zulpan kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (4/2/2022).

 

Zulpan menyebut, perkara yang menjerat Arteria terganjal hak imunitas sebagai anggota dewan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang MD3  Pasal 224 UU 17 tahun 2014.

 

Atas dasar itu, Arteria tidak dapat diproses pidana tanpa melewati rangkaian sidang dan putusan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

 

"Kemudian terhadap saudara Arteria Dahlan sebagai anggota DPR RI yang bersangkutan juga memiliki hak imunitas sehingga tidak dapat dipidanakan pada saat yang bersangkutan mengungkapkan pendapatnya pada saat atau dalam forum rapat resmi yang dilakukan seperti yang terjadi dalam persoalan ini," jelasnya.

 

Untuk itu, Zulpan mengimbau apabila ada kelompok masyarakat yang ingin tetap memperkarakan dugaan ujaran kebencian Arteria bisa melapor ke MKD. (tribun)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.