Latest Post



SANCAnews.id – Kuasa hukum Edy Mulyadi, Juju Purwanto menyoroti Bareskrim Polri yang begitu cepat melakukan proses terhadap laporan yang dialamatkan kepada kliennya.

 

Dia menilai Polri telah tebang pilih, padahal laporan terhadap pelaku ujaran kebencian lainnya juga banyak, tetapi lambat diproses.

 

 “Kami berharap kepada para pihak yang dekat dengan rezim, yang selama ini sudah sering dilaporkan oleh masyarakat kepada Polri juga dapat diproses hukum,” ujar Juju kepada wartawan, Sabtu (29/1).

 

PR Dia lantas menyinggung sejumlah nama yang pernah dilaporkan atas dugaan ujaran kebencian, tetapi belum dilakukan proses hukum.

 

 “Contohnya seperti Arteria Dahlan, Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando, Habib Kribo, dan lainnya,” tegas Juju. Sebelumnya salah satu kuasa hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir mengatakan pihaknya sudah menerima surat panggilan kedua dari Bareskrim Polri.

 

Dia menyebut bahwa pemanggilan kedua ini telah sesuai prosedur KUHAP. “Pemanggilan yang kedua memang sudah sesuai prosedur, sesuai apa yang kami minta, tetapi yang jelas mau untuk hadir,” ujar dia ketika dikonfirmasi, Sabtu (29/1).

 

 Namun, Edy Mulyadi mangkir dan hanya mengutus kuasa hukum. Bareskrim pun langsung mengirimkan surat panggilan kedua kepada eks caleg PKS tersebut. x  Sesuai surat panggilan, Edy diminta hadir ke Bareskrim Polri pada Senin (31/1) pukul 10.00.(jpnn)



 

SANCAnews.id – Kuasa Hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir mengatakan klien menunda kedatangannya ke Dewan Pers. 

 

Penundaan dilakukan karena Edy Mulyadi bakal menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri, Senin, 31 Januari.

 

“(Rencana Dewan Pers) itu kita pending dulu, setelah pemeriksaan besok senin ya, (Jadi) liat perkembangan dari BAP dulu,” kata Herma Kadir dikonfirmasi VOI, Minggu, 30 Januari.

 

Herman menjelaskan, kliennya akan menghadiri pemeriksaan di Bareskrim Polri pada Senin, 31 Januari, pukul 10.00 WIB. Kedatangannya untuk memenuhi panggilan sebagai saksi kasus ujaran kebencian soal pernyataan Kalimantan tempat jin buang anak.

 

“Jadi semua, hari senin (31 Januari), jam 10 di Bareskrim,” kata dia.

 

Diberitakan sebelumnya, juasa hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir menyebut surat panggilan terhadap kliennya tak sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada jadwal pemeriksaan Jumat, 28 Januari. Hal itu menjadi salah satu alasan Edy Mulyadi tak hadiri dalam pemeriksaan.

 

"Jadi kan itu minimal harus 3 hari, ini baru 2 hari sudah ada pemanggilan, intinya itu sudah tidak sesuai dengan KUHAP," ujar Herman.

 

Karena itu, Herman meminta kepada penyidik untuk memperbaiki surat panggilan tersebut. Sehingga, proses pemeriksaan sesuai aturan.

 

"Kami minta itu diperbaiki lagi surat pemanggilan," kata Herman.

 

Sedangkan Bareskrim Polri sudah melayangkan surat panggilan kedua terhadap Edy Mulyadi dalam kasus dugaan ujaran kebencian soal Kalimantan tempat jin buang anak. Edy Mulyadi dijadwalkan menjalani pemeriksaan pada awal pekan depan.

 

"Penyidik menerbitkan surat panggilan kedua dan disertai surat perintah membawa untuk hadir pada tanggal 31 Januari 2022 hari Senin," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Jumat, 28 Januari.

 

Dalam jadwal pemeriksaan itu, Edy Mulyadi bakal dimintai keterangan sebagai saksi pada pukul 10.00 WIB.

 

Selain itu, Ramadhan juga menyatakan surat panggilan pemeriksaan itu telah diterima. Surat diterima oleh istri dari Edy Mulyadi.

 

"Jadi tadi surat panggilan langsung diantar ke rumah dan yang menerima adalah istri," kata Ramadhan.

 

Selain itu, Ramadhan menyatakan dalam surat panggilan pemeriksaan itu tertera perintah membawa. Bula Edy Mulyadi tak hadir maka penyidik akan mencari keberadaannya dan membawanya untuk dimintai keterangan.

 

"Kita akan menunggu bila yang bersangkutan tidak hadir memenuhi panggilan yang kedua maka penyidik akan menjemput dan membawa yang bersangkutan ke Bareskrim Polri," kata Ramadahan. (voi)





 

OLEH: DJONO W OESMAN

BERTUBI-TUBI ujaran kebencian. Satu ditahan polisi, pelaku lain muncul lagi. Terbaru, Edy Mulyadi dengan "Jin buang anak di Kalimantan". Yang akan dijemput paksa polisi (jika ia mangkir lagi) pada Senin (31/1/22).

 

Mengapa bisa begitu marak? Apakah para pelaku sebanyak itu, atas inisiatif sendiri? Ataukah inisiatif sendiri, setelah disuruh? Kalau disuruh, berapa bayarannya?

 

Jawabnya, belum ada riset yang bisa menjawab itu. Umpama diriset, sulit mengetahui pihak yang menyuruh. Apalagi, besaran bayarannya. Paling, bisanya diinvestigasi.

 

Cuma diketahui, hampir semua bermotif politik. Dari situ muncul spekulasi, bahwa ada pihak yang menyuruh pelaku. Kalau disuruh, sangat mungkin dibayar. Bayarannya bisa uang. Langsung. Atau janji. Atau sesuatu yang menguntungkan pelaku.

 

Pedoman penyuruh atau pelaku, adalah "Kebebasan berpendapat dijamin UUD 1945."

 

Edy Mulyadi, sudah tersiar luas, melalui video yang ia unggah di YouTube, 21 Januari 2022, menolak kepindahan ibukota RI, dari Jakarta ke Panajam Paser Utara, Kalimantan Selatan.

 

Di situ, yang krusial ada dua. Mengolok Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto sebagai "Macan yang berubah mengeong". Dan, "Jin buang anak di Kalimantan".

 

Saat ia mengatakan begitu, di video tampak ada penonton. Yang bersorak.

 

Videonya pun viral. Lantas, tiga pihak melapor ke polisi. Dari Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur.

 

Dari Suku Dayak, muncul video balasan. Atas nama Panglima Tambak Baya, Titisan Panglima Burung. Mengancam Edy, diselesaikan secara adat Dayak.

 

Komisi III DPR RI menggelar audiensi dengan Aliansi Bornes Bersatu di Gedung DPR RI, Kamis, 27 Januari 2022. Ada pagelaran tarian perang Suku Dayak. Lengkap dengan Mandau dan tameng.

 

Bareskrim Polri mengambil-alih perkara ini dari laporan polisi di tiga Polda tersebut. Edy dipanggil untuk diperiksa Jumat, 28 Januari 2022. Ternyata Edy tiakda datang, dengan alasan, ada urusan lain.

 

Polri langsung mengirimkan surat panggilan kedua, hari itu juga, ke rumah Edy. Jadwal pemeriksaan Senin, 31 Januari 2022. Surat panggilan disertai catatan, jika ia tidak hadir lagi, langsung, saat itu juga, dijemput paksa. Kata polisi, surat sudah diterima isteri Edy.

 

Di interval tiga hari dari Jumat sampai Minggu, 30 Januari 2022, semua pakar hukum yang diwawancarai pers, mendukung Polri. Bahwa Polri sudah betul. Diduga, Edy mengatakan ujaran kebencian bermuatan SARA. Terbukti, menimbulkan keonaran masyarakat.

 

Pihak pendukung Edy, berdalih: "Kebebasan berpendapat dijamin UUD 1945". Selalu, ini dijadikan dalih.

 

Maka, penegak hukum dan pers, wajib mengedukasi masyarakat tentang hal ini. Bukan hanya sekali-dua. Melainkan terus-menerus. Dengan berbagai cara.

 

Dikutip dari pernyataan Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Dr Teguh Santosa, pers wajib bela negara. Teguh mengutip tujuan negara Indonesia, berdasar Alinea Keempat, Pembukaan UUD 1945. Pers Indonesia harus mengacu ke sini:

 

1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

 

2) Memajukan kesejahteraan umum.

 

3) Mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

 

Sebab, data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil sensus per akhir 2020, lama sekolah rakyat Indonesia rata-rata 8,7 tahun. Artinya, rata-rata rakyat Indonesia putus sekolah di kelas tiga setingkat SMP. Tidak sampai lulus SMP.

 

Dengan tingkat rata-rata 'makan sekolah' segitu, sulit paham tentang "kebebasan berpendapat".

 

Dikutip dari UUD 1945, Pasal 28E, Ayat 3, bunyinya demikian:

 

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."

 

Tapi, setiap orang juga wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.

 

UUD 1945, Pasal 28J ayat 2 menyatakan: 

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Di tingkat dunia, kebebasan berpendapat juga dijamin undang-undang. Disebut: Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.

 

Pasal 19, berbunyi: 

"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat, tanpa mendapat gangguan. Dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat, dengan cara apa pun, dan tidak memandang batas-batas." (The Universal Declaration on Human Rights, The UN General Assembly, 10 Desember 1948)

 

Deklarasi Universal itu diimbangi aturan lain: Tidak ada kebebasan absolut (mutlak). Tidak ada kebebasan sekemauan orang. Sebab, bisa menimbulkan kekacauan.

 

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), menyebutkan, kebebasan berpendapat dilarang merugikan orang lain. Juga dilarang mengganggu national security (keamanan nasional).

 

Soal keamanan nasional, di Indonesia diatur di Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, wajib menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

 

Jadi, seandainya ada orang bicara sebebas-bebasnya, lantas menimbulkan keonaran, sehingga memecah kesatuan dan persatuan bangsa, tapi dibiarkan aparat hukum, maka bisa bubar negeri ini. Merugikan seluruh anak bangsa.

 

Tapi, apalah artinya? Bagi pihak atau orang, atau orang yang menyuruh orang, soal aturan-aturan itu?

 

Pelanggar tidak peduli. Walaupun paham undang-undang. Buktinya, terduga Edy Mulyadi. Yang mengaku wartawan, dan minta kasus "Jin Buang Anak" diselesaikan secara jurnalistik. Ke Dewan Pers. Bukan ke Polisi.

 

Seandainya penegak hukum kelak bisa membukti Edy bersalah, itu bakal jadi bukti, bahwa orang mengerti Undang-undang sengaja melanggarnya.

 

Pelanggar lain, dengan aturan yang sama (tentang kebebasan berpendapat) yang kini sudah dihukum, juga sama: Mereka paham undang-undang.

 

Terus, mengapa mereka melanggar? Mengapa mereka mau pasang badan? Demi apa?

Apakah ini terkait dengan tingkat pendidikan rakyat yang (data BPS) 8,7 tahun 'makan sekolah'? Yang, dengan begitu gampang digoreng hoaks? Yang, dengan begitu menguntungkan kepentingan pihak pelanggar?

 

Jawabnya, hanya para pelanggar yang tahu persis.

 

(Penulis adalah wartawan senior)



 

SANCAnews.id – Polri memerintahkan untuk membawa Edy Mulyadi pada panggilan kedua. Edy Mulyadi sebelumnya tidak memenuhi panggilan Polri, terkait dugaan ujaran kebencian Kalimantan pada Jumat, 28 Januari 2022.

 

Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto memerintahkan untuk membawa Edy Mulyadi, pada panggilan kedua.

 

Menurut Agus Andrianto, panggilan kedua Edy Mulyadi bisa disertakan dengan perintah membawa berdasarkan hasil koordinasi bersama Direktorat Tindak Pidana Siber.

 

"Panggilan kedua, dengan perintah membawa (Edy Mulyadi)," ucap Agus Andrianto pada Jumat, 28 Januari 2022 seperti dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari ANTARA.

 

Menurut Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto, Edy Mulyadi harus menempuh jalur praperadilan jika kembali tak memenuhi panggilan.

 

Agus Andrianto mengungkapkan, penyidik Polri memiliki mekanisme serta membuat rencana penyidikan, terkait perkara dugaan ujaran kebencian Edy Mulyadi pada Kalimantan.

 

"Kalau enggak pas, silakan saja tempuh jalur praperadilan," tutur Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto.

 

Kuasa hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir menyebut pihaknya yang mewakili kliennya memenuhi panggilan pertama Polri.

 

Pihaknya mewakili Edy Mulyadi untuk menyerahkan surat penundaan panggilan Polri.

 

"Kedatangan kami, mau memasukkan surat penundaan ini dulu," ucap Herman Kadir.

 

Kliennya tak hadir karena ada halangan dan panggilan tersebut tidak sesuai dengan KUHAP.

 

"Intinya itu, sudah tidak sesuai dengan KUHAP," ucap Herman Kadir.

 

Panggilan pada Edy Mulyadi minimal dilakukan tiga hari usai perkara naik penyidikan.

 

"Kami minta itu diperbaiki lagi, surat pemanggilan," tutur Herman Kadir.

 

Sebagai informasi, Edy Mulyadi tidak memenuhi panggilan pertama Polri, dimana pihaknya masih berstatus sebagai saksi pada Jumat, 28 Januari 2022.***



 

SANCAnews.id – Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto mengatakan akan mengirim surat panggilan kedua terhadap saksi Edy Mulyadi.

 

Edy Mulyadi mangkir dalam undangan pemeriksaan sebagai saksi oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada Jumat (28/1/2022) pukul 10.00 WIB. Ia berhalangan hadir dan meminta penjadwalan ulang pemeriksaan.

 

"Kemarin laporan penyidik, infonya bersedia hadir. Sekarang beralasan untuk menunda kehadiran, kita kirim panggilan kedua," ujar Komjen Agus dikonfirmasi, Jumat (28/1/2022).

 

Agus menegaskan apabila yang bersangkutan kembali tidak hadir memenuhi undangan maka akan disiapkan panggilan ketiga.

 

"Kalau nggak datang lagi, kita panggil ketiga dengan perintah membawa," katanya.

 

Edy Mulyadi, mantan calon legislatif Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini dilaporkan atas kasus dugaan ujaran kebencian 'tempat jin buang anak' di platform Youtube.

 

Ketua tim Kuasa Hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir, datang ke Mabes Polri untuk menyampaikan surat dari kliennya yang tidak bisa hadir.

 

Herman Kadir menilai panggilan pemeriksaan polisi ini tidak sesuai prosedur, karena tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Ia merujuk Pasal 227 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa pemanggilan untuk dilakukan pemeriksaan minimal memiliki jarak waktu tiga hari.

 

"Pemanggilan tidak sesuai dengan KUHAP. Minimal harus tiga hari, ini baru dua hari sudah ada pemanggilan. Kami minta itu diperbaiki lagi surat pemanggilan," kata Herman.

 

Ia mengatakan, kliennya akan menghadiri agenda pemeriksaan selanjutnya jika penyidik menjadwalkannya kembali.

 

"Kita sudah sepakat, pihak Mabes akan melakukan pemanggilan ulang, ya kalau memang ada, kita akan datang," ujarnya.

 

Herman menduga ada kepentingan politik dalam kasus yang saat ini melibatkan kliennya.

 

Ia meminta pihak kepolisian mengungkap siapa provokator di balik kasus ujaran kebencian yang seolah-seolah merendahkan masyarakat Kalimantan.

 

"Kami berharap Mabes Polri menyidik pelaku provokator, karena ada kepentingan politik di kasus Pak Edy ini," kata Herman.

 

Herman mengatakan, kliennya tidak pernah menyebut atau pun menyindir warga Kalimantan.

 

Ia yakin bisa memastikan itu, setelah beberapa kali memutar ulang video acara yang turut dihadiri kliennya.

 

Menurutnya, istilah 'tempat jin buang anak' untuk menunjukkan tempat yang jauh dan sepi. Istilah itu, katanya, kerap dikatakan banyak orang dan wajar diungkapkan.

 

"Tidak ada menyinggung suku adat RAS sama sekali, yang ada hanya “jin buang anak” itu saja, jin buang anak itu ditafsirkan Edy itu adalah tempat yang jauh, sepi, itu wajar, orang-orang Jakarta sudah biasa ngomong begitu," ujarnya.

 

Teror Setiap Hari 

Herman menyinggung, Edy Mulyadi yang belakangan mendapat banyak teror usai kasus ujaran kebencian perpindahan ibu kota negara.

 

Herman kembali menjelaskan, teror yang dialami kliennya itu banyak sekali, mulai dari ancaman hingga gangguan di media sosial.

 

"Bukan teror lagi, dia (yang meneror) ada video-videonya WhatsApp nya, ancamannya," kata Herman.

 

Menurutnya, kliennya menerima teror hampir setiap hari melalui perangkat smartphonenya. Untuk itu, kata Herman, kliennya juga sudah menonaktifkan dua nomor kontaknya.

 

"Sampai Pak Edy itu ada dua nomor hp-nya dimatikan. Nggak berani, setiap hari ada yang nelepon dia seribu orang," ungkapnya.

 

Saksi Bertambah 

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan menerangkan jumlah saksi kasus ini bertambah jadi 18 orang.

 

Rinciannya, sebanyak 10 orang saksi dari Kalimantan, dua saksi dari Jawa Tengah, tiga saksi dari Jakarta, serta tiga orang ahli.

 

Adapun ahli yang diperiksa dalam kasus ini, kata Ramadhan, yakni ahli Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), ahli sosiologi, ahli pidana, dan ahli bahasa.

 

Kendati begitu, Ramadhan belum memerinci lebih jauh terkait dengan hasil pemeriksaan terhadap para saksi. Saat ini tim penyidik masih melakukan pendalaman pemeriksaan.

 

"Kami sampaikan proses penanganan perkara masih berjalan, tentu perkembangan atau update selanjutnya nanti akan kami sampaikan," ujar Ramadhan. (tribun)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.