Latest Post


 

SANCAnews.id – Kegagalan Indonesia Battery Corporation (IBC) mengakusisi perusahaan mobil listrik asal Jerman patut disayangkan. Apalagi, Indonesia kalah cepat dari BUMN dari Singapura dalam mendapatkan perusahaan yang oleh  Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia disebut sebagai “barang bagus”.

 

Kegagalan ini diduga terjadi karena adanya kegaduhan yang sempat terjadi. Di mana beberapa waktu lalu Komisaris Utama (Komut) Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berkoar-koar mengkritik rencana langkah IBC mengakusisi mobil listrik itu.

 

Bahkan Ahok mempublikasikan kritiknya itu lewat akun YouTube pribadi.

 

Begitu duga pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu, Sabtu petang (8/1).

 

"Gara-gara koar-koar jadi batal (dapat barang bagus dari Jerman). Mungkin batal beli tersebut salah satu faktornya koar-koarnya Ahok," katanya.

 

Ujang Komarudin mengatakan bahwa perusahaan asal Jerman tersebut sudah barang tentu berpikir simpel dalam berjualan. Rumusnya sederhana, siapa yang lebih dulu memberi penawaran menarik, maka dia yang akan mendapat barang tersebut.

 

“Ya seperti penjual, siapa cepat dia dapat,” tuturnya.

 

Menteri Bahlil menyayangkan perusahaan itu tidak jadi milik Indonesia. Padahal secara kualitas terbilang cukup bagus, bahkan hingga BUMN dari Singapura tertarik.

 

“Barang itu barang bagus. Kita bilang, ini rugi lah, apa lah. Belum kerja aja sudah bilang rugi," kesalnya.

 

Bahlil juga tegas menepis isu adanya modus penggelembungan harga alias mark-up dalam rencana IBC untuk mengakuisisi perusahaan mobil listrik asal Jerman tersebut. Ia menegaskan bahwa sudah jelas-jelas sangat transparan dalam prosesnya

 

"Ada yang bilang bahwa ini terjadi mark-up, mark-up apaan, buktinya tuh transparan belinya," kata Bahlil. (rmol)



 

SANCAnews.id – Baru-baru ini viral di media sosial Twitter mengenai perbincangan mantan wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK) saat menyinggung soal buzzer.

 

Dalam kesempatan itu, Jusuf Kalla menyebut jika sumber kekacauan saat ini bukanlah para ulama yang ditudingkan selama ini.

 

Melainkan adalah kumpulan buzzer yang bertugas memebuat situasi seolah semakin memburuk.

 

Jusuf Kalla juga menyebut tugas buzzer memang lebih banyak menghasut dan melontarkan fitnah.

 

Video Jusuf Kalla tersebut mendadak jadi perbincangan usai diunggah oleh akun Twitter @Ekowboy2, Jumat 7 Januari 2022.

 

Dalam video, Jusuf Kalla menyebut jika tidak ada dai atau pendakwah yang menghasut.

 

“Siapa sih dai-dai luar yang menghasut? Gak ada. Cuma lebih banyak yang menghasut yah buzzer-buzzer itu jauh lebih banyak,” ungkap JK.

 

Lanjut Jusuf Kalla, buzzer lebih banyak melontarkan fitnah maupun caci maki dibanding ulama-ulama.

 

“Yang fitnah-fitnah itu dibanding ulama yang buzzer-buzzer itu memfitnah-fitnah, memaki-maki luar biasa,” tuturnya.

 

“Jadi tolonglah siapa yang bisa memperbaiki itu. Itu sumber segala kekacauan, buzzer-buzzer itu,” ujarnya.

 

Di sisi lain, akun Twitter bernama Eko ini juga berikan komentar menohok.

 

“Jusuf Kalla: Buzzer sumber dari kekacauan bangsa ini tukang hasut, caci maki & fitnah Bapak ini kalo ngomong suka bener,” ujar netizen Ekowboy2.

 

Warganet itu juga mengaku sangat setuju. Menurutnya memang buzzer lah yang merupakan sumber fitnah. Lantas ia juga tampak menyebutkan sejumlah nama yang tentunya sangat tak asing.

 

“Bapak ini kalo ngomong suka bener. Jika ferdinand, densi, permadi & armando tak segera dicyduk akan terjadi gelombang besar!!” ujarnya. (fin)



 

SANCAnews.id – Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan warga terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021. Alhasil, sanksi pidana bagi yang tidak mau divaksin dikuatkan MA.

 

Perpres yang diuji itu lengkapnya bernama Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

 

Di Pasal 13A ayat 2, Pasal 13A ayat 4, dan Pasal 13B yang mengatur tentang kewajiban vaksinasi bagi masyarakat serta sanksinya apabila dilanggar baik berupa sanksi administratif dan juga sanksi pidana. Aturan sanksi pidana ini di judicial review ke MA oleh Saka Murti Dwi Sutrisna dkk tapi kandas. “Tolak,” demikian bunyi putusan judicial review yang dikutip detikcom dari websiite MA, Jumat (7/1).

 

Duduk sebagai ketua majelis Prof Supandi dengan anggota Is Sudaryono dan Yodi Martono Jauzie.

 

Sebagaimana diketahui, Saka memberikan kuasa ke Abdul Hamim Jauzie. Ia menilai, ketentuan di Perpres tersebut dianggap oleh pemohon cacat secara formal dan materiil karena bertentangan dengan prosedur pembentukan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Serta tidak sejalan dengan semangat jaminan hak asasi manusia (HAM) di bidang pemenuhan kesehatan dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan, UU No 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

 

“Dan UU No 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,” ujar Saka.

 

Secara substansial, kata Saka, Pasal 13 dan Pasal 15 UU Nomor 12/2011 mengatur materi muatan perpres seharusnya dapat mengakomodasi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Serta yang tidak kalah pentingnya tidak boleh mengatur ketentuan pidana.

 

“Dengan diaturnya ketentuan pidana dalam Pasal 13B Perpres 14/2021 tersebut, maka sudah sepatutnya tidak dibenarkan,” kata tim pengacara yang terdiri dari Audaraziq Ismail, Bitra Mouren Ashilah, Mohammad Faisol Soleh, Rhendra Kusuma, dan Sandi Yudha Prayoga itu.

 

Meskipun disandingkan ketentuan pidana dalam UU No 4/1984, menurut Saka dkk, sama sekali tidak beralasan. Sebab, ketentuan pidana dalam UU tersebut hanya mengatur dua bentuk tindak pidana dan sama sekali tidak mengakomodir ketentuan mengenai pelanggaran kewajiban vaksinasi.

 

Persoalan lain yang juga ditentang adalah masalah bentuk pemberian label ‘wajib’ bagi masyarakat untuk vaksinasi. Padahal jelas vaksinasi merupakan bagian dari ‘hak’ atas kesehatan yang dijamin oleh konstitusi serta aturan penerjemahnya, yaitu UU No 36/2009, UU No 4/1984, dan UU No 11/2005.

 

"Justru sebaliknya, label 'wajib' merupakan domain yang seharusnya disematkan pada Negara melalui Pemerintah dan bukan berada pada masyarakat," pungkas Saka. Tapi apa daya, argumen Saka dkk kandas. MA menguatkan Perpres itu. (*)



 

SANCAnews.id – Pakar kesehatan masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono menegaskan penanganan pandemi COVID-19 di tanah air sudah membaik. Bahkan, Pandu menyebutnya dalam transisi yang terkendali.

 

“Lockdown bukan solusi tetapi buying time, setelah Agustus penurunan luar biasa dan sampai sekarang ndak ada lonjakan,” kata Pandu dalam sebuah diskusi daring rilis survei, Minggu (9/1).

 

“Dunia bertanya kenapa Indonesia bisa seperti itu, bukan karena keajaiban juga karena penduduk Indonesia akhirnya punya kekebalan baik dari vaksinasi maupun pernah terinfeksi,” tambah Pandu.

 

Dicontohkan Pandu, hampir 50 persen penduduk DKI sudah punya kekebalan. Sebagian besar sudah dilakukan vaksinasi oleh pemerintah.

 

“Saya pernah bilang kita beruntung sebagai bangsa sebagian penduduk Indonesia divaksinasi oleh Tuhan kemudian dibooster oleh Pemerintah, (oleh) Jokowi,” seloroh Pandu.

 

Lebih lanjut, bagi Pandu, giat vaksinasi Jokowi dan semua menteri ikut mencari vaksin layak diapresiasi. Sebab, dampaknya saat ini bisa dirasakan.

 

“Pada saat natal saya sudah membaca itu kenapa pemerintah mau melakukan PPKM level 3, saya bilang enggak perlu. Saya protes keras. Semua epidemiolog mengatakan ada gelombang ketiga, tidak ada saya bilang. Kenapa kok begitu, karena saya yakin dengan data yang saya miliki di DKI dan itu berlaku di seluruh Indonesia angkanya ndak jauh beda,” tegas Pandu.

 

Diberitakan sebelumnya, perubahan kebijakan PPKM level 3 di seluruh RI ini diklaim sebagai langkah mencegah lonjakan kasus COVID-19 seperti di Akhir tahun 2020 lalu. Namun, pemerintah akhirnya membatalkan kebijakan tersebut, sejumlah daerah bahkan menuai kerumunan, mobilitas warga tak terbendung. (kumparan)



 

SANCAnews.id – Epidemiolog Pandu Riono tak sepakat dengan usulan penundaan Pemilu yang seharusnya digelar pada tahun 2024 dimundurkan jadi tahun 2027. Meskipun usulan tersebut disetujui oleh pelaku usaha.

 

Hal ini ditegaskan Pandu saat menjadi narasumber diskusi paparan hasil survei Indikator Politik: Pemulihan Ekonomi Pasca-Covid, Pandemic Fatigue, dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu 2024, Minggu (9/1).

 

Menurut Pandu, jika Presiden Joko Widodo ditambah masa jabatannya hingga 2027 maka pandemi Covid-19 di Indonesia tidak akan selesai.

 

"Kalau mau mundur, pandemi akan mundur, pilih mana? Enggak akan selesai-selesai. Ini masalah fatigue juga,” kata Pandu.

 

Dalam diskusi sekaligus memaparkan hasil survei ini, selain Pandu Riono, hadir juga Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia.

 

Pandu menegaskan bahwa yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah memberikan warisan terbaik untuk masyarakat luas salah satunya dalam upaya pengentasan pandemi Covid-19 bukan malah menambah jabatan.

 

"Jadi kalau misalnya saya harus berhenti tahun 2024, saya akan berusaha tahun pandemi selesai sehingga sisanya bisa memberikan legacy yang luar biasa,” katanya.

 

Pandu mengatakan jika pemerintah mampu mengatasi permasalah Covid-19 dengan baik. Maka, pemerintah akan dikenal rakyat dengan baik di masa jabatannya nanti.

 

"Pandemi bisa diselesaikan ekonomi bisa diselesaikan, tapi kalau mundur, saya akan katakan pandemi akan mundur. Rakyat akan makin menderita. Jadi tergantung pemimpinnya juga. Karena untuk mengatasi pandemi ini butuh niat politik yang luar biasa,” tegas Pandu Riono menutup. (rmol)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.