OLEH: WIDIAN VEBRIYANTO
(Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Kantor Berita Politik RMOL)
MANTAN Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok telah resmi dilaporkan sejumlah tokoh yang tergabung dalam Poros Nasional
Pemberantasan Korupsi (PNPK) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bukti dugaan korupsi Ahok yang diserahkan merupakan sebuah
dokumen yang telah dibukukan oleh Presidium PNPK, Marwan Batubara berjudul
"Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok".
Buku itu membeberkan bukti-bukti tujuh perkara yang diduga
menjerat Ahok saat menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta maupun menjabat
Gubernur DKI Jakarta. Ketujuh kasus itu adalah kasus RS Sumber Waras, kasus
lahan taman BMW, kasus lahan Cengkareng Barat, kasus dana CSR, kasus Reklamasi
Teluk Jakarta, kasus dana non-budgeter, dan kasus penggusuran brutal.
Ahok memang selalu lolos dari dugaan-dugaan yang diurai
tersebut. Alasan utamanya karena tidak adanya penerimaan aliran uang untuk
memperkaya diri sendiri dan tidak adanya itikad buruk. Kini, Ahok bahkan
kembali jumawa dengan mempersilakan masyarakat melaporkan dugaan kasusnya
kembali.
Namun yang perlu dipahami, korupsi memiliki pengertian
sebagai tindakan menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada
mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Unsur-unsurnya, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan
kewenangan, menyalahgunakan kesempatan, memperkaya diri sendiri, orang lain,
dan korporasi milik sendiri, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Kasus pembelian lahan RS Sumber Waras sempat masuk ke KPK.
Hanya saja Ketua KPK Agus Rahardjo kala itu mengurai bahwa tidak ada perbuatan
melawan hukum terkait pembelian lahan RS Sumber Waras.
"Penyidik kami tidak menerima dan tidak menemukan
perbuatan melawan hukumnya (soal kasus pembelian lahan Sumber Waras). Kalau
tidak perbuatan melawan hukumnya kan (berarti kasusnya) selesai,” ujar Agus
Raharjo di sela-sela rapat dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Selasa (14/6).
Namun begitu, publik tentu masih ingat dengan hitungan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut bahwa harga lahan yang dibeli Pemprov
DKI Jakarta jauh lebih mahal dari harga Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), sehingga
merugikan keuangan daerah Rp 191,33 miliar.
Artinya lagi, dugaan adanya unsur memperkaya diri atau orang
lain menguat dalam kasus ini. Sehingga, kasus Ahok tersebut tinggal menunggu
pembuktian perbuatan melawan hukumnya.
Singkatnya, terlibat korupsi bukan berarti dia harus menerima
uang, tapi bisa juga karena dengan jabatannya dia melawan hukum untuk
memperkaya orang lain, lalu merugikan negara.
Dan hal yang perlu diingat, Ahok termasuk pejabat yang kurang
hati-hati dalam membuat kebijakan. Sementara kekuranghati-hatian merupakan
unsur pidana terendah.
Di kasus RS Sumber Waras, ketidakhati-hatian itu tampak saat
Ahok mendisposisikan pembelian lahan kepada Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda) DKI Jakarta pada Juli 2014. Bappeda diminta untuk
mempersiapkan anggaran tanpa proses negosiasi saat beli lahan.
Untuk itu, Ahok jangan buru-buru jemawa. Sebab, unsur korupsi
melawan hukum (tidak hati hati), memperkaya orang lain, dan merugikan keuangan
negara masih berpeluang untuk digali di kasus Sumber Waras. Tidak tertutup
kemungkinan juga ada di 6 kasus lain yang dibeberkan PNPK. (*)