Latest Post


 

SANCAnews.id – Ketua Umum DPP PSI Giring Ganesha jadi ‘bulan-bulanan’ netizen usai menyambangi calon sirkuit Formula E di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Rabu (6/1/2022).

 

Giring menyebut bahwa mustahil di bulan Juni lokasi tersebut bisa dipakai dengan layak. Mantan vokalis band Nidji itu mengatakan bahwa lokasi tersebut sangat belum siap karena hanya tanah kosong dan lumpur yang bakal “mengisap” kaki yang menginjak.

 

“Segerombolan kambing asyik merumput. Tak terlihat para pekerja atau alat berat. Tumpukan akar bakau juga terlihat di beberapa titik,” kata Giring.

 

“Ini menyangkut uang rakyat, ratusan miliar. Penentuan lokasi sirkuit juga belum dilengkapi feasibility study. Kami ingin mendengar penjelasan dari mereka. Harus ada pertanggung jawaban yang jelas,” kata Giring.

 

Namun, usaha Giring melakukan sidak untuk menceritakan tidak adanya progres pembangunan Sirkuit Formula E langsung mendapat balasan telak oleh netizen.

 

Faktanya pengerjaan Sirkuit Formula E dimulai pada Februari mendatang. Hal itu karena tender proyek pengerjaan sirkuit ajang Formula E di kawasan Ancol, Jakarta Utara, baru dimulai.

 

Aktivis sekaligus pegiat media sosial, Nicho Silalahi mempertanyakan kapasitas Giring saat melakukan sidak.

 

“Ya Elah kok bloonnya tambah lagi sih ? Emang siapa Lo yang melakukan SIDAK?” kata Nicho Silalahi di akun Twitternya, Kamis (6/1/2022).

 

“Apa Lo udah jadi pejabat negara yang bertanggung jawab atas pengawasan proyek itu ?” tanya dia.

 

Nicho lantas menyindir pendidikan Giring yang hingga kini belum menamatkan S-1 karena sebelumnya pernah di-drop out (DO) dari Universitas Paramadina yang pernah dipimpin Gubernur DKI Anies Baswedan sebagai rektor.

 

“Makanya kuliah yang benar biar ga bego, jadi ngerti cara kerja ornop untuk melakukan “Investigasi Lapangan”. ia ga sih?” tutup Nicho. (fajar)



 

SANCAnews.id – Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Prof Henry Subiakto turut angkat bicara terkait Ferdinand Hutahaean yang dilaporkan ke polisi karena cuitannya yang kontroversial dan dinilai berbau SARA.

 

Dalam cuitan di akun Twitternya, Henry Subiakto menyebut bahwa berbicara atau berpendapat tentang SARA bukanlah tindak pidana.

 

"Bicara dan berpendapat tentang SARA itu bukan pidana sekalipun pendapat itu berbeda dengan keyakinan orang banyak," tulis Henri Subiakto dalam cuitannya, dikutip Suara.com, Kamis (6/1/2022).

 

Henry Subiakto bahkan menyebutkebebasan berpendapat itu dijamin UUD. Ia menekankan bahwa yang dilarang oleh hukum ialah tindakan mengajak untuk membenci atau memusuhi orang yang berbeda dalam hal SARA.

 

"Itu hak yang dijamin UUD. Yang dilarang hukum itu mengajak membenci atau memusuhi orang karena berbeda SARA. Menyebar kabar bohong agar terjadi Keonaran SARA, itu yang diancam pidana," lanjutnya.

 

Lebih lanjut, Dosen Univeritas Airlangga itu menyebut bahwa pidana tak boleh didasarkan pada perasaan orang. Ia menilai pidana harus jelas ukurannya, bukan didasarkan pada tekanan massa.

 

"Pidana tidak boleh didasarkan pada perasaan orang, walau itu perasaan orang banyak. Pidana itu harus clear, jelas ukurannya, dan unsur-unsurnya. Bukan berdasar tekanan massa. Rusak jika hukum nurut suara massa," tulisnya lagi.

 

Diberitakan sebelumnya, Ferdinand Hutahaean telah dilaporkan ke polisi akibar cuitannya yang menyinggung banyak pihak.

 

Ia dilaporkan oleh Brigade Muslim Indonesia (BMI) Sulawesi Selatan yang merupakan lembaga gerakan Islam di Makassar.

 

"Kami sengaja melaporkan Ferdinand ini karena postingannya diduga mengandung unsur ujaran kebencian yang bermuatan SARA," ujar Ketua BMI Sulsel, Muhammad Zulkifli, dikutip Terkini.id--jaringan Suara.com.

 

Diketahui, Ferdinand Hutahaean menjadi sorotan usai membuat sebuah cuitan yang menyebut 'Allahmu lemah'.

 

Menanggapi, pelaporan dirinya, Ferdinand tampak santai. Ia mengaku menghormati laporan tersebut dan mengingatkan agar hukum tidak dipaksakan sesuai keinginan masing-masing individu. (suara)



 

SANCAnews.id – Slot kursi wakil menteri (wamen) di Kabinet Indonesia Maju kembali ditambah Presiden Joko Widodo. Kali ini, slot wamen diberikan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

 

Keputusan Jokowi menyediakan kursi Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) dituangkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) 114/2021 Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, "Dalam memimpin Kementerian Dalam Negeri, Menteri dapat dibantu oleh Wakil Menteri sesuai dengan penunjukan Presiden".

 

Dengan penambahan tersebut, total kursi wamen di periode kedua pemerintahan Jokowi ada 17 kursi. Namun, baru 7 kursi saja yang telah diisi.

 

Sementara, 10 kursi wamen lainnya hingga hari ini masih kosong. Yaitu Wamen PAN-RB, Wamendikbudristek, Wamen Investasi, Wamen PPN, Wamen ESDM, Wamensos, Wamen Koperasi dan UMKM, Wamen Perindustrian, Wamen Ketenagakerjaan, dan Wamendagri.

 

Alhasil, keputusan Jokowi ini dikritik oleh Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, yang memandang penambahan kursi wamen sebagai satu tanda dari kualitas kerja kabinet Jokowi.

 

"Tanda menteri tak mampu mengemban tugas-tugasnya," ujar Jerry kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (6/1).

 

Jerry kemudian membandingkan struktur kabinet yang ada di era Jokowi dengan era sebelum reformasi, atau pada masa pemerintahan Presiden kedua RI, Soeharto.

 

"Zaman Soeharto menteri-menteri semua berkualitas. Kalau era Jokowi hanya 30 persen yang menguasai bidang," tuturnya.

 

Ditambahkan Jerry, pada eranya, Soeharto tidak membuka slot wamen sebagai sarana kaum muda untuk memberikan kontribusinya kepada negara.

 

"Pola Soeharto ada 6 menteri muda, bukan 17 wakil menteri. Paling parah, public and goverment policy saat ini amburadul," demikian Jerry. (*)



 

SANCAnews.id – Perwakilan Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK) mendatangi Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melaporkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok pada Kamis (6/1/2022).

 

Presidium PNPK Adhie M. Massardi menyebut alasan melaporkan Ahok ke KPK dengan dugaan keterlibatannya dalam sejumlah perkara korupsi ketika masih menjabat orang nomor 1 di DKI. Di mana saat itu pernah dilaporkan ke lembaga antirasuah.

 

"Kasus-kasus telah diselidiki KPK di bawah pimpinan sebelumnya, namun tidak jelas kelanjutannya," ujar Adhie di lobi Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (6/1/2022).

 

Adhie pun merinci kasus-kasus yang diduga melibatkan Ahok. Ada sekitar tujuh kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ahok.

 

Adhie menyebut di antaranya, Lahan BMW; Lahan Cengkareng: Rumah Sakit Sumber Waras; Reklamasi Teluk Jakarta; Dana non-budgeter; dan penggusuran.

 

Klaim Adhie Massardi bahwa untuk mengusut kasus Ahok tidak cukup sulit.

 

"Kasus korupsinya Ahok ini sudah di sini (KPK). Paling gampang. Kenapa paling gampang? Karena dari teman-teman di KPK tuh tinggal mengeluarkan dari freezer kemudian ditaruh microwave 5-10 menit sudah bisa disantap. Jadi sudah siap saji," ujar Adhie.

 

Adhie pun melihat pada pimpinan KPK terdahulu bahwa kasus-kasus dugaan korupsi Ahok ini seperti hanya jalan ditempat.

 

Maka itu, Adhie berharap pada kepemimpinan KPK Firli Bahuri dapat kembali mengusut kasus dugaan korupsi yang diduga melibatkan Ahok.

 

"Kami berharap KPK pimpinan Pak Firli ini bisa lebih jelas melakukan pemberantasan korupsi. Kami percaya kepada KPK pimpinan Pak Firli ini," ujar Adhie.

 

Kata dia, sebagai bukti laporan yang dibawa ke KPK dalam pelaporan dugaan korupsi Ahok, diserahkan berupa buku yang ditulis oleh Marwan Batubara berjudul ' Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok'. (suara)



 

SANCAnews.id – Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah resmi dilaporkan sejumlah tokoh yang tergabung dalam Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

Presidium PNPK, Marwan Batubara mengatakan, pihaknya telah melaporkan dugaan korupsi yang melibatkan Ahok ke KPK.

 

"Ini tadi tanda terimanya ya. Ini surat kita kepimpinan KPK," ujar Marwan kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis siang (6/1).

 

Bukti dugaan korupsi Ahok yang diserahkan merupakan sebuah dokumen yang telah dibukukan oleh Marwan yang berjudul "Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok".

 

"Intinya kita mengingatkan bahwa kasus dugaan korupsi Ahok ini sudah pernah kita sampaikan, tapi oleh pimpinan lama itu tidak dituntaskan, malah ada yang dilindungi Ahoknya oleh pimpinan," kata Marwan.

 

Sehingga, dengan pimpinan KPK di era Firli Bahuri dkk ini, PNPK berharap bisa mengusut tuntas beberapa dugaan korupsi yang menjerat Ahok.

 

"Nah dengan pimpinan baru ini sebetulnya kita berharap ini dilanjutkan lagi. Pimpinan baru harapan kita semangat baru, sehingga Ahok itu benar-benar di proses secara hukum, karena alat bukti sudah lebih dari cukup," tegas Marwan.

 

Dalam buku tersebut kata Marwan, dibeberkan bukti-bukti tujuh perkara yang menjerat Ahok saat menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta maupun menjabat Gubernur DKI Jakarta.

 

Tujuh kasus tersebut yaitu:

 

Kasus RS Sumber Waras

 

Menurut PNPK, telah terjadi berbagai pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara yang dilakukan oleh Ahok dalam pembelian Rumah Sakit (RS) Sumber Waras.

 

Pimpinan KPK sebelum era Firli Bahuri disebut telah melindungi Ahok dengan menyatakan bahwa Ahok tidak mempunyai niat jahat.

 

Ahok disebut merubah nomenklatur RAPBD 2014 tanpa persetujuan DPRD DKI dan memanipulasi dokumen pendukung pembelian lahan dengan modus backdate.

 

Ahok juga dianggap mengabaikan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membatalkan pembelian lahan RS Sumber Waras yang melanggar Pasal 20 Ayat 1 UU 15/2004.

 

Dari pembelian lahan RS Sumber Waras ini berpotensi merugikan negara sebesar Rp 191 miliar. Hal tersebut melanggar Pasal 13 UU 2/2012 dan Pasal 2 Perpres 71/2012.

 

Selain itu, juga berpotensi tambahan kerugian negara Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sisanya digelapkan.

 

Selanjutnya, berpotensi tambahan kerugian negara miliaran rupiah dari sewa lahan, dan bertentangan dengan Pasal 6 Permendagri 17/2007, PP 27/2014 dan UU 17/2003.

 

Kasus Lahan Taman BMW

 

Diduga Ahok terlibat tindak pidana korupsi dalam kasus Taman BMW dan berpotensi merugikan negara puluhan miliar rupiah.

 

Di mana, tanah BMW yang diklaim Agung Podomoro (AP) akan diserahkan kepada Pemda DKI sebagai kewajiban, ternyata bukanlah milik AP; lahan berstatus bodong, tidak ada satu dokumen yang secara hukum sah kalau lahan BMW menjadi milik Pemda DKI.

 

Selanjutnya, telah terjadi pemalsuan tandatangan dalam proses pemilikan lahan oleh AP; Pemda DKI telah membuat sertifikat sebagian lahan BMW dengan melanggar hukum, dan telah berperan menjalankan tugas yang harusnya dilakukan oleh AP, yang melanggar PP 24/1997 dan PMNA 3/1997.

 

Kasus Lahan Cengkareng Barat

 

Terdapat beberapa pelanggaran yang diduga dilakukan Ahok yaitu, sesuai audit BPK, Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik Pemda sendiri di Cengkareng Barat dari Toeti Noezlar Soekarno. Negara berpotensi dirugikan Rp 668 miliar.

 

Selanjutnya, terjadi diduga terjadi penyalahgunaan dana APBD yang melanggar UU 20/2001, tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

 

Dalam proses pembelian lahan terdapat dugaan pelanggaran gratifikasi oknum PNS Pemprov DKI Rp 10 miliar yang melanggar Pasal 12 UU 20/2001.

 

KPK telah berperan menetralisir kasus dengan memproses dan menerima pengembalian gratifikasi Rp 10 miliar, namun menghentikan kasus korupsinya sendiri yang sebesar Rp 668 miliar.

 

Kasus Dana CSR

 

Kasus dana CSR melibatkan Ahok Centre, dipimpin dan dikelola Ahok dan tim sukses.

 

Di mana, dana CSR diperoleh dari puluhan perusahaan bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah, ternyata oleh Ahok disebut tidak dimasukkan ke dalam APBD, tetapi dikelola Ahok Centre.

 

Pengelolaan dana CSR oleh Ahok Center di luar APBD antara lain diduga melanggar UU 40/2007 tentang PT, PP 47/2012 tentang TJSL, Pemern BUMN 5/2007 tentang Kemitraan BUMN, PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.

 

Selain itu, pembangunan di Jakarta banyak menggunakan dana CSR, dan untuk itu Ahok bekerja sama dengan pengembang. Kerjasama ini dianggap sarat kepentingan dan ada motif kongkalikong yang jauh dari pantauan DPRD dan publik, sehingga rawan terhadap tindak pidana KKN.

 

Pada Februari 2016, KPK telah mengusut kasus ini, namun dinilai tak jelas kesimpulannya.

 

Kasus Reklamasi Teluk Jakarta

 

Berdasarkan fakta-fakta persidangan M. Sanusi dan Ariesman Wijaya, serta analisis sejumlah pakar, disimpulkan dugaan KKN Ahok dalam kasus reklamasi.

 

Dari kasus penggusuran Kalijodo, Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Wijaya  mengaku telah menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk menggusur rakyat. Dana diberikan atas permintaan Ahok, dengan kompensasi APL mendapatkan izin dan hak membangun sejumlah pulau reklamasi di Teluk Jakarta.

 

Ahok juga melakukan transaksi terselubung dengan para pengembang dengan suap miliaran atau puluhan miliar rupiah. Ahok telah memberikan izin-izin reklamasi, padahal pembahasan Raperda Zonasi Wilayah dengan DPRD DKI masih berlangsung.

 

Berdasarkan fakta sidang-sidang M. Sanusi, Ahok setuju menurunkan kontribusi tambahan 15 persen NJOP menjadi 5 persen NJOP. Ahok merestui langkah Sunny Tanuwijaya melobi anggota DPRD DKI agar poin kontribusi dapat direvisi.

 

Sugianto Kusuma (Aguan) telah memberikan dana Rp 220 miliar kepada Pemprov DKI. Hal ini merupakan pelanggaran gratifikasi oleh Ahok dan oknum Pemprov DKI.

 

Meskipun fakta-fakta persidangan jelas menunjukkan keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, namun KPK menghentikan proses pengadilan terhadap ketiganya.

 

Pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam proyek reklamasi meliputi, menyalahgunakan wewenang guna memperkaya diri sendiri dan orang lain, yang melanggar Pasal 12 UU 20/2001 tentang Tipikor; mendirikan bangunan tanpa Amdal, yang melanggar Pasal 22 UU 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

 

Selanjutnya, menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Zonasi, yang melanggar UU 1/2014 berupa perubahan atas UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

 

Menerbitkan izin reklamasi di luar kewenangan Pemprov DKI, dan bertentangan dengan PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; menerbitkan izin reklamasi tanpa landasan hukum, karena Kepres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP 54/2008.

 

Mengabaikan peraturan kepentingan publik, yang melanggar UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

 

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pelaksanaan proyek reklamasi dapat merugikan negara puluhan hingga ratusan triliun rupiah.

 

Ternyata Agus dan KPK double standard. KPK tidak melanjutkan proses hukum terhadap Ahok, Sunny dan Aguan. KPK tampaknya telah takluk.

 

Kasus Dana Non-Budgeter

 

Praktik dana non-budgeter dilakukan Ahok pada banyak kasus. Dengan dalih memiliki hak diskresi, Ahok membarter pembangunan fasilitas umum dengan penerbitan izin dan penetapan nilai kontribusi proyek reklamasi. Ahok juga memanfaatkan dana CSR secara off-budget untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

 

Berdasarkan pengakuan Ariesman Widjaja (Agung Podomoro Land, APL) pada penyidik KPK, terdapat 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan APL, yang anggarannya akan dijadikan pengurang "kontribusi tambahan" proyek reklamasi.

 

Pengurangan terjadi kalau APL membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta. Ternyata pembangunan sejumlah sarana di DKI dilakukan Ahok memanfaatkan dana non-budgeter.

 

Hal ini sering diklaim sebagai langkah inovatif dan keberhasilan. Namun dibalik klaim dan pencitraan tersebut tersembunyi berbagai tindakan berbau KKN, karena penerapan skema dana non-budgeter melanggar hukum dan prinsip good governance.

 

Ahok menjalankan skema dana non-budgeter yang berpotesi merugikan keuangan daerah DKI puluhan triliunan rupiah. Tindakan tersebut dianggap sarat KKN ini minimal melanggar ketentuan dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

 

Pengelolaan dana dan pembangunan berdasarkan skema non-budgeter termasuk kategori mega korupsi.

 

Kasus Penggusuran Brutal oleh Ahok

 

Ahok dapat dikategorikan sebagai pejabat publik penggusur paksa paling brutal sepanjang sejarah Indonesia. Ahok menggusur puluhan kampung di Jakarta dengan tiga pola sistemik berupa stigmatisasi, menyatakan tanah yang akan digusur adalah tanah negara, justifikasi menyatakan bahwa penggusuran dilakukan demi pembangunan dan kepentingan umum, dan langkah pamungkas: hancurkan, tanpa musyawarah, ganti rugi, dlll.

 

Ternyata motif dibalik sebagian besar penggusuran oleh Ahok adalah kepentingan bisnis para pengembang. Dengan pembersihan dan penguasaan kawasan kumuh oleh pengembang, maka nilai jual properti meningkat.

 

Begitu pula dengan area hasil gusuran yang dirubah menjadi hunian, ruko atau jalan akses atau taman terbuka. Jalan akses dan ruang terbuka menuju kawasan hunian, aparemen dan area reklamasi akan membuat nilai jual properti meningkat untuk dinikmati para pengembang.

 

Beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam menjalankan kebijakan penggusuran paksa rakyat adalah melanggar Pasal 28A, 28B (2), 28C (1), 28E (1), 28G (1&2) dan 28H (1) UUD 1945; melanggar berbagai ketentuan dalam UU 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya.

 

Melanggar UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM; melanggar Pasal 13 UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara dan Pasal 6 UU 34/2004 tentang TNI, yang melibatkan aparat TNI/Polri dalam menggusur rakyat; melanggar sejumlah UU dan peraturan yang terkait dengan penerapan skema dana non-budgeter seperti diuraikan sebelumnya.

 

Lain-lain

 

Selain tujuh kasus dugaan korupsi di atas, dalam buku Dugaan Korupsi Ahok termuat pula berbagai kasus lain, yakni tentang dugaan korupsi saat Ahok menjadi Bupati Belitung Timur yaitu, dukungan Presiden Jokowi kepada Ahok, dukungan pengembang kepada Jokowi-Ahok, demi Ahok peraturan dilanggar, Jokowi-Ahok saling tersandera, dan lain-lain. (rmol)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.