Tujuh Dugaan Korupsi Ahok Dilaporkan PNPK ke KPK
SANCAnews.id – Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok telah resmi dilaporkan sejumlah tokoh yang tergabung dalam
Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK) ke Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Presidium PNPK, Marwan Batubara mengatakan, pihaknya telah
melaporkan dugaan korupsi yang melibatkan Ahok ke KPK.
"Ini tadi tanda terimanya ya. Ini surat kita kepimpinan
KPK," ujar Marwan kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan
Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis siang (6/1).
Bukti dugaan korupsi Ahok yang diserahkan merupakan sebuah
dokumen yang telah dibukukan oleh Marwan yang berjudul "Usut Tuntas Dugaan
Korupsi Ahok".
"Intinya kita mengingatkan bahwa kasus dugaan korupsi
Ahok ini sudah pernah kita sampaikan, tapi oleh pimpinan lama itu tidak
dituntaskan, malah ada yang dilindungi Ahoknya oleh pimpinan," kata
Marwan.
Sehingga, dengan pimpinan KPK di era Firli Bahuri dkk ini,
PNPK berharap bisa mengusut tuntas beberapa dugaan korupsi yang menjerat Ahok.
"Nah dengan pimpinan baru ini sebetulnya kita berharap
ini dilanjutkan lagi. Pimpinan baru harapan kita semangat baru, sehingga Ahok
itu benar-benar di proses secara hukum, karena alat bukti sudah lebih dari
cukup," tegas Marwan.
Dalam buku tersebut kata Marwan, dibeberkan bukti-bukti tujuh
perkara yang menjerat Ahok saat menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta
maupun menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Tujuh kasus tersebut yaitu:
Kasus RS Sumber Waras
Menurut PNPK, telah terjadi berbagai pelanggaran hukum dan
potensi kerugian negara yang dilakukan oleh Ahok dalam pembelian Rumah Sakit
(RS) Sumber Waras.
Pimpinan KPK sebelum era Firli Bahuri disebut telah
melindungi Ahok dengan menyatakan bahwa Ahok tidak mempunyai niat jahat.
Ahok disebut merubah nomenklatur RAPBD 2014 tanpa persetujuan
DPRD DKI dan memanipulasi dokumen pendukung pembelian lahan dengan modus
backdate.
Ahok juga dianggap mengabaikan rekomendasi Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) untuk membatalkan pembelian lahan RS Sumber Waras yang melanggar
Pasal 20 Ayat 1 UU 15/2004.
Dari pembelian lahan RS Sumber Waras ini berpotensi merugikan
negara sebesar Rp 191 miliar. Hal tersebut melanggar Pasal 13 UU 2/2012 dan
Pasal 2 Perpres 71/2012.
Selain itu, juga berpotensi tambahan kerugian negara Rp 400
miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak
sebesar Rp 755 miliar, sisanya digelapkan.
Selanjutnya, berpotensi tambahan kerugian negara miliaran
rupiah dari sewa lahan, dan bertentangan dengan Pasal 6 Permendagri 17/2007, PP
27/2014 dan UU 17/2003.
Kasus Lahan Taman BMW
Diduga Ahok terlibat tindak pidana korupsi dalam kasus Taman
BMW dan berpotensi merugikan negara puluhan miliar rupiah.
Di mana, tanah BMW yang diklaim Agung Podomoro (AP) akan
diserahkan kepada Pemda DKI sebagai kewajiban, ternyata bukanlah milik AP;
lahan berstatus bodong, tidak ada satu dokumen yang secara hukum sah kalau
lahan BMW menjadi milik Pemda DKI.
Selanjutnya, telah terjadi pemalsuan tandatangan dalam proses
pemilikan lahan oleh AP; Pemda DKI telah membuat sertifikat sebagian lahan BMW
dengan melanggar hukum, dan telah berperan menjalankan tugas yang harusnya
dilakukan oleh AP, yang melanggar PP 24/1997 dan PMNA 3/1997.
Kasus Lahan Cengkareng Barat
Terdapat beberapa pelanggaran yang diduga dilakukan Ahok
yaitu, sesuai audit BPK, Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik Pemda sendiri
di Cengkareng Barat dari Toeti Noezlar Soekarno. Negara berpotensi dirugikan Rp
668 miliar.
Selanjutnya, terjadi diduga terjadi penyalahgunaan dana APBD
yang melanggar UU 20/2001, tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang
Pemberantasan Tipikor.
Dalam proses pembelian lahan terdapat dugaan pelanggaran
gratifikasi oknum PNS Pemprov DKI Rp 10 miliar yang melanggar Pasal 12 UU
20/2001.
KPK telah berperan menetralisir kasus dengan memproses dan
menerima pengembalian gratifikasi Rp 10 miliar, namun menghentikan kasus
korupsinya sendiri yang sebesar Rp 668 miliar.
Kasus Dana CSR
Kasus dana CSR melibatkan Ahok Centre, dipimpin dan dikelola
Ahok dan tim sukses.
Di mana, dana CSR diperoleh dari puluhan perusahaan bernilai
puluhan hingga ratusan miliar rupiah, ternyata oleh Ahok disebut tidak
dimasukkan ke dalam APBD, tetapi dikelola Ahok Centre.
Pengelolaan dana CSR oleh Ahok Center di luar APBD antara
lain diduga melanggar UU 40/2007 tentang PT, PP 47/2012 tentang TJSL, Pemern
BUMN 5/2007 tentang Kemitraan BUMN, PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, dan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Selain itu, pembangunan di Jakarta banyak menggunakan dana
CSR, dan untuk itu Ahok bekerja sama dengan pengembang. Kerjasama ini dianggap
sarat kepentingan dan ada motif kongkalikong yang jauh dari pantauan DPRD dan
publik, sehingga rawan terhadap tindak pidana KKN.
Pada Februari 2016, KPK telah mengusut kasus ini, namun
dinilai tak jelas kesimpulannya.
Kasus Reklamasi Teluk Jakarta
Berdasarkan fakta-fakta persidangan M. Sanusi dan Ariesman
Wijaya, serta analisis sejumlah pakar, disimpulkan dugaan KKN Ahok dalam kasus
reklamasi.
Dari kasus penggusuran Kalijodo, Direktur PT Agung Podomoro
Land (APL), Ariesman Wijaya mengaku
telah menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk menggusur rakyat. Dana
diberikan atas permintaan Ahok, dengan kompensasi APL mendapatkan izin dan hak
membangun sejumlah pulau reklamasi di Teluk Jakarta.
Ahok juga melakukan transaksi terselubung dengan para
pengembang dengan suap miliaran atau puluhan miliar rupiah. Ahok telah
memberikan izin-izin reklamasi, padahal pembahasan Raperda Zonasi Wilayah
dengan DPRD DKI masih berlangsung.
Berdasarkan fakta sidang-sidang M. Sanusi, Ahok setuju
menurunkan kontribusi tambahan 15 persen NJOP menjadi 5 persen NJOP. Ahok
merestui langkah Sunny Tanuwijaya melobi anggota DPRD DKI agar poin kontribusi
dapat direvisi.
Sugianto Kusuma (Aguan) telah memberikan dana Rp 220 miliar
kepada Pemprov DKI. Hal ini merupakan pelanggaran gratifikasi oleh Ahok dan
oknum Pemprov DKI.
Meskipun fakta-fakta persidangan jelas menunjukkan
keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, namun KPK menghentikan proses pengadilan
terhadap ketiganya.
Pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam proyek reklamasi
meliputi, menyalahgunakan wewenang guna memperkaya diri sendiri dan orang lain,
yang melanggar Pasal 12 UU 20/2001 tentang Tipikor; mendirikan bangunan tanpa
Amdal, yang melanggar Pasal 22 UU 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda
Zonasi, yang melanggar UU 1/2014 berupa perubahan atas UU 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Menerbitkan izin reklamasi di luar kewenangan Pemprov DKI,
dan bertentangan dengan PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
menerbitkan izin reklamasi tanpa landasan hukum, karena Kepres 52/1995 tentang
Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP 54/2008.
Mengabaikan peraturan kepentingan publik, yang melanggar UU
2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pelaksanaan proyek
reklamasi dapat merugikan negara puluhan hingga ratusan triliun rupiah.
Ternyata Agus dan KPK double standard. KPK tidak melanjutkan
proses hukum terhadap Ahok, Sunny dan Aguan. KPK tampaknya telah takluk.
Kasus Dana Non-Budgeter
Praktik dana non-budgeter dilakukan Ahok pada banyak kasus.
Dengan dalih memiliki hak diskresi, Ahok membarter pembangunan fasilitas umum
dengan penerbitan izin dan penetapan nilai kontribusi proyek reklamasi. Ahok
juga memanfaatkan dana CSR secara off-budget untuk kepentingan pribadi dan
kelompok.
Berdasarkan pengakuan Ariesman Widjaja (Agung Podomoro Land,
APL) pada penyidik KPK, terdapat 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra,
anak perusahaan APL, yang anggarannya akan dijadikan pengurang "kontribusi
tambahan" proyek reklamasi.
Pengurangan terjadi kalau APL membangun fasilitas umum untuk
DKI Jakarta. Ternyata pembangunan sejumlah sarana di DKI dilakukan Ahok
memanfaatkan dana non-budgeter.
Hal ini sering diklaim sebagai langkah inovatif dan keberhasilan.
Namun dibalik klaim dan pencitraan tersebut tersembunyi berbagai tindakan
berbau KKN, karena penerapan skema dana non-budgeter melanggar hukum dan
prinsip good governance.
Ahok menjalankan skema dana non-budgeter yang berpotesi
merugikan keuangan daerah DKI puluhan triliunan rupiah. Tindakan tersebut
dianggap sarat KKN ini minimal melanggar ketentuan dalam UU 17/2003 tentang
Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU 30/2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, dan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pengelolaan dana dan pembangunan berdasarkan skema
non-budgeter termasuk kategori mega korupsi.
Kasus Penggusuran Brutal oleh Ahok
Ahok dapat dikategorikan sebagai pejabat publik penggusur
paksa paling brutal sepanjang sejarah Indonesia. Ahok menggusur puluhan kampung
di Jakarta dengan tiga pola sistemik berupa stigmatisasi, menyatakan tanah yang
akan digusur adalah tanah negara, justifikasi menyatakan bahwa penggusuran
dilakukan demi pembangunan dan kepentingan umum, dan langkah pamungkas:
hancurkan, tanpa musyawarah, ganti rugi, dlll.
Ternyata motif dibalik sebagian besar penggusuran oleh Ahok
adalah kepentingan bisnis para pengembang. Dengan pembersihan dan penguasaan
kawasan kumuh oleh pengembang, maka nilai jual properti meningkat.
Begitu pula dengan area hasil gusuran yang dirubah menjadi
hunian, ruko atau jalan akses atau taman terbuka. Jalan akses dan ruang terbuka
menuju kawasan hunian, aparemen dan area reklamasi akan membuat nilai jual
properti meningkat untuk dinikmati para pengembang.
Beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam
menjalankan kebijakan penggusuran paksa rakyat adalah melanggar Pasal 28A, 28B
(2), 28C (1), 28E (1), 28G (1&2) dan 28H (1) UUD 1945; melanggar berbagai
ketentuan dalam UU 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya.
Melanggar UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang
Pengadilan HAM; melanggar Pasal 13 UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara dan
Pasal 6 UU 34/2004 tentang TNI, yang melibatkan aparat TNI/Polri dalam
menggusur rakyat; melanggar sejumlah UU dan peraturan yang terkait dengan
penerapan skema dana non-budgeter seperti diuraikan sebelumnya.
Lain-lain
Selain tujuh kasus dugaan korupsi di atas, dalam buku Dugaan
Korupsi Ahok termuat pula berbagai kasus lain, yakni tentang dugaan korupsi
saat Ahok menjadi Bupati Belitung Timur yaitu, dukungan Presiden Jokowi kepada
Ahok, dukungan pengembang kepada Jokowi-Ahok, demi Ahok peraturan dilanggar,
Jokowi-Ahok saling tersandera, dan lain-lain. (rmol)