Latest Post


 

SANCAnews.id – Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) mendukung Polda Jabar melakukan penahanan terhadap Habib Bahar Bin Smith dalam kasus dugaan penyebaran berita bohong.

 

Hal tersebut disampaikan Ketua Umum DPP IMM Abdul Musawir Yahya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (4/1).

 

Pria yang akrab disapa AMY ini mengatakan, langkah penahanan yang dilakukan oleh Polda Jabar sudah semestinya dilakukan guna menjaga ketertiban hukum di Indonesia.

 

​“Kami DPP IMM mendukung langkah Polda Jabar menahan Habib Bahar Bin Smith karena penahanan tersebut patut dilakukan guna kepentingan penyidikan. Apapun status hukum yang ditetapkan kepada Habib Bahar Bin Smith nantinya, baik sebagai saksi ataupun tersangka, Polda Jabar yang berada dibawah naungan Polri perlu menjaga ketertiban hukum di Indonesia demi kondusifitas masyarakat. Sebab, menurut kami, kasus yang menjerat Habib Bahar Bin Smith ini bukan pertama kali terjadi dan pastinya selalu viral di Indonesia, maka untuk menjaga kondusifitas NKRI, penahanan ini sudah tepat dilakukan," kata AMY.

 

​AMY menganjurkan bagi para pendakwah diseluruh tanah air untuk bijak dalam menyampaikan isi ceramah. Menurutnya, dakwah yang dilakukan itu harus dengan rasionalitas, kesantunan serta mampu membuat pendengarnya tergerak untuk selalu melakukan hal yang baik kepada seluruh umat manusia.

 

Selain itu, materi ceramah yang disampaikan jangan sampai mengarah kepada ujaran kebencian bahkan berita bohong guna menunjukan kepada publik bahwa islam adalah agama yang rasional dalam hal kebaikan serta tidak anarkis dalam melakukan aktivitas dakwahnya.

 

​“Kembalinya Habib Bahar Bin Smith berurusan dengan pihak penyidik mengisyaratkan bagi seluruh pendakwah di Indonesia untuk rasional dan bijak dalam menyampaikan materi ceramah. Dakwah dalam islam itu subtansinya harus rasional dan tujuannya untuk memanggil atau mengajak pendengarnya melakukan hal yang baik, bukan justru sebaliknya,” tukasnya. (rmol)



 

SANCAnews.id – Usai penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Jawa Barat menetapkan Habib Bahar bin Smith sebagai tersangka dan langsung ditahan dalam kasus dugaan ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong, puluhan ulama di Tasikmalaya bergerak mendatangi Mapolres Tasikmalaya.

 

Dalam sebuah video yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (4/1), puluhan ulama, tokoh masyarakat dan santri itu melakukan audiensi dengan Kapolres Tasikmalaya guna menyampaikan keresahan masyarakat atas tindakan aparat yang dinilai diskriminasi dalam menegakkan hukum terhadap Bahar Smith.

 

“Yang isinya adalah kami menyampaikan keresahan kaum muslimin di Kabupaten Tasikmalaya atas diskriminasi yang menimpa habibana Bahar bin Smith,” kata seorang pria bersorban di depan Mapolres Tasikmalaya. 

 

Dalam video itu, pria bersorban menyampaikan agar aparat penegak hukum dalam hal ini Polri berlaku adil dalam melakukan penegakan hukum dengan tidak diskriminatif.

 

“Kalau seandainya ulama, habaib yang melalukan kritikan untuk perbaikan daripada negeri ini kemudian dilaporkan oleh salah satu pihak ditangani begitu cepat, maka kami pun menuntut mereka-mereka yang melakukan penistaan agama itu segera diusut tuntas,” seru pria itu.

 

“Seperti cepatnya pengusutan terhadap ulama, takbir,” seru dia lagi diiringi takbir. (rmol)



 

Oleh: Abdul Chair Ramadhan

(Ahli Hukum Pidana)

PENETAPAN status tersangka atas Habib Bahar Smith yang diikuti dengan penangkapan patut dipertanyakan. Dikatakan demikian oleh karena selain proses hukumnya sangat cepat, juga penerapan salah satu deliknya adalah sama dengan Habib Rizieq Syihab pada RS UMMI yakni Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

 

Delik yang dikenal dengan “berita bohong” (hoaks) dalam banyak perkara mengandung kepentingan politis ketimbang yuridis. Demikian itu menjadikannya cenderung subjektif dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan dalam rumusan undang-undang.

 

Dapat disebutkan disini unsur “keonaran di kalangan rakyat” dipahami secara menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang. Keonaran yang tidak lain adalah suatu kondisi fisik seperti huru hara atau kerusuhan di kalangan rakyat telah diperluas pengertiannya mencakup kegaduhan di dunia maya (media sosial).

 

Pertentangan pendapat antara pihak yang pro dan kontra terhadap suatu konten berita/informasi yang disampaikan secara virtual (youtube) dimaknai sebagai kegaduhan yang berpredikat sama dengan keonaran fisik.

 

Sebagai contoh, pada perkara RS UMMI pertentangan pendapat tersebut itulah yang kemudian menjadi dalil terpenuhinya unsur “keonaran di kalangan rakyat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

 

Padahal pihak yang pertama kali mempermasalahkan kondisi kesehatan Habib Rizieq Syihab adalah para buzzer. Keberadaan buzzer-buzer tersebut patut diduga sengaja dibentuk untuk menimbulkan kegaduhan (pro-kontra) di media sosial, namun terhadap mereka tidak dilakukan proses hukum.

 

Disini dipertanyakan apakah hal yang sama akan berlaku terhadap Habib Bahar Smith dalam kaitannya dengan pernyataan tentang peristiwa pembuhunan keji terhadap keenam laskar FPI.

 

Pernyataan Habib Bahar Smith tentang pembunuhan yang didahului dengan penyiksaan sudah menjadi pengetahuan umum. Dengan demikian bukan hanya Habib Bahar Smith yang mengatakan hal itu. Masyarakat luas dan didalamnya para tokoh juga menyampaikan hal yang sama, bahkan ada Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (TP3).

 

Dalam Buku Putih TP3 yang berjudul “Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Enam Pengawal HRS”, terdapat penjelasan berbagai kondisi yang dialami para korban.

 

Begitupun ketika pihak keluarga korban KM50 dan Penasehat Hukum audiensi dengan Komisi III DPR RI dugaan terjadinya penyiksaan juga telah disampaikan. Kesemuanya itu sudah viral terlebih dahulu sebelum Habib Bahar Smith menyampaikannya.

 

Seharusnya terhadap berbagai informasi dan data-data yang mendukung adanya sejumlah tanda-tanda penyiksaan pada tubuh beberapa korban menjadi petunjuk terjadinya penganiayaan berat sebelum tindakan penembakan.

 

Adalah suatu hal yang aneh apabila Habib mengatakan adanya penyiksaan sebab pemberitaan/informasi tersebut kemudian dirinya dikatakan telah menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat.

 

Seiring dengan itu, selama ini tidak pernah ada suatu kondisi kerusuhan atau huru hara terkait dengan pemberitaan yang viral tersebut.

 

Dalam hukum pidana berlaku hubungan ‘sebab-akibat’ (kausalitas) guna menentukan sebab yang paling dominan terjadinya akibat. Untuk kemudian menjadi dalil terpenuhinya hubungan antara ‘perbuatan’ (actus reus) dan ‘kesalahan’ (mens rea) seseorang guna dapat atau tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana.

 

Pada perkara Habib Bahar Smith tidak ada kausalitas antara pernyataannya dengan timbulnya akibat berupa terjadinya keonaran fisik di kalangan rakyat. Uraian demikian tentu panjang pembahasan teoretisnya.

 

Penulis singkatkan saja bahwa pernyataan yang disampaikan tidak terkualifikasi sebagai berita illegal (melawan hukum atau tanpa hak). Pada dirinya tidak pula ada kehendak untuk mewujudkan timbulnya akibat yang dilarang oleh Undang-Undang Hukum Pidana (in casu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana).

 

Tidak ada penggunaan pikiran secara salah maupun ‘niat jahat’ (dolus malus) yang mengarahkan dirinya secara ‘dengan sengaja’ untuk mewujudkan akibat yang dilarang.

 

Terlebih lagi undang-undang a quo telah dihapuskan dalam Rancangan KUHP Tahun 2019, disebutkan dalam Pasal 626 Ayat 1 huruf a. Penghapusan tersebut menandakan bahwa sudah tidak ada lagi sebab atau sifat yang menjadikannya sebagai norma larangan. Singkat kata, apa yang disampaikan bukan delik. 

(Bogor, 4 Januari 2022)



 

SANCAnews.id – Kapolres Bogor AKBP Harun menyebutkan bahwa Satgas Penanganan COVID-19 Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sedang menyiapkan sanksi bagi penyelenggara 'Puncak Berzikir X' yang digelar pada Minggu, 2 Januari lalu.

 

"Iya (sanksi denda), kita masih menyelesaikan bersama Ketua Satgas COVID-19 masalah evaluasi kemarin itu," ungkapnya usai peresmian gedung Satlantas di area Mapolres, Cibinong, Bogor, Antara, Selasa, 4 Januari.

 

Menurut Harun, kegiatan di area parkir Masjid Atta'Awun, Cisarua, Bogor itu berlangsung tanpa mengantongi izin dari Satgas. Tim pengamanan di lokasi juga berhasil mempersingkat waktu berlangsungnya acara.

 

"Kalau dulu (acaranya) bisa sampai pagi bisa sampai subuh, tapi Alhamdulillah sudah selesai di jam 10 malam," kata Harun.

 

Sebelumnya, Satgas Penanganan COVID-19 Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menolak permohonan izin dari panitia 'Puncak Berzikir X' yang akan berlangsung di Masjid Atta'Taawun.

 

"Penolakan sebagai upaya bersama dalam rangka pencegahan dan penanggulangan COVID-19 di Kabupaten Bogor," kata Ketua Harian Satgas Penanganan COVID-19 Kabupaten Bogor Burhanudin dalam surat balasannya kepada panitia pelaksana yang ditandatangani pada Jumat, 31 Desember 2021.

 

Burhan menyarankan kepada panitia pelaksana agar menunda kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan itu setelah pemberlakuan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) nomor 66 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanggulangan COVID-19 pada Natal dan Tahun Baru berakhir.

 

Menurut dia, Inmendagri yang juga telah diteruskan melalui Surat Edaran Bupati itu mengatur bahwa selama periode 24 Desember 2021 hingga 2 Januari 2022 itu masyarakat wajib mengurangi kegiatan di luar rumah, kecuali menerapkan perilaku 5M. (voi)



 

SANCAnews.id – Ada banyak kisah mualaf yang ada di negeri, bahkan dunia ini, dan tentu saja itu terjadi karena kuasa dari Allah.

 

Sebagian besar pun percaya akan adanya hidayah bagi orang-orang tertentu yang telah dipilih oleh Allah SWT.

 

Nah, begitu pula yang diakui oleh dua sosok pemuka agama non Muslim uang berakhir menjadi mualaf karena mengaku mendapatkan hidayah.

 

Mereka dulunya bahkan termasuk sebagai dua pendeta senior, yaitu Agustinus Crishtoper Kainama dan Petrus Kali.

 

Tentunya keputusan kedua pemuka agama terkemuka tersebut untuk memeluk agama Islam tidaklah mudah dan menemui jalan berliku yang membuat mereka harus mempelajari ajaran Islam lebih dalam lagi.

 

Lantas, seperti apa kisah haru dan alasan getarkan hati yang membuat mereka akhirnya memeluk Islam?

 

Berikut terkini.id telah merangkumnya, sebagaimana dilansir dari kanal YouTube Kisah Mualaf Terbaru Religi via iNews pada Selasa, 4 Januari 2022.

 

1. Agustinus Christover

 

Christover Kainama dahulu merupakan seorang pendeta. Namun, ia memutuskan memeluk agama Islam pada 26 Agustus 2009, bertepatan dengan bulan Ramadhan.

 

Christover mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Ia merupakan keturunan dari Ambon dan hidup di tengah keluarga yang taat beragama.

 

Keputusan mualaf tersebut membuat dirinya harus dikucilkan dari keluarga. Mengejutkannya, ia mengaku keyakinannya memeluk Islam ternyata bukan karena awalnya mempelajari Alquran, melainkan lantaran memperdalam Alkitab sebagai kecintaan terhadap Yesus.

 

Sebagai informasi, Christover sudah menjadi seorang pemuka agama sejak 2005. Bahkan, dirinya pernah mengunjungi tempat-tempat suci untuk menimba ilmu agamanya dahulu.

 

Menariknya, setelah mempelajari ilmu kitab, Christover menemukan bahwa sosok agung yang selama ini ia ajarkan kepada jemaat ternyata tidak sama seperti dalam kitab aslinya.

 

Sejak tahun 2000, fondasi keimanannya pun mulai runtuh. Setelah memeluk Islam, Agustinus Christover Kainama mengganti namanya menjadi Ahmad Kainama. Ia pun melepaskan jabatannya sebagai pendeta.

 

2. Petrus Kali

 

Petrus Kali merupakan mantan pendeta asal Sulawesi Tengah yang sudah bertugas selama 22 tahun lamanya. Namun, ia menyatakan memeluk agama Islam setelah mendapat hidayah dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

 

Sebelum menjadi mualaf, Petrus yang berusia 55 tahun itu rupanya sering mengalami sakit-sakitan, tapi kemudian bisa sembuh. Hal itu menurutnya terjadi karena kuasa Allah Subhanahu wa ta’ala.

 

Selama ini Petrus tinggal di dekat rumah ibadah. Setelah melantunkan dua kalimat syahadat dan resmi memeluk Islam, Petrus Kali pun mengubah namanya menjadi Ahmad Fikri.

 

Selain Petrus, sebanyak 18 pengikutnya dari 6 keluarga yang merupakan warga setempat juga memutuskan menjadi mualaf.

 

Wallahu a’lam bishawab. (terkini)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.