Oleh: Abdul Chair Ramadhan
(Ahli Hukum Pidana)
PENETAPAN status tersangka atas Habib Bahar Smith yang
diikuti dengan penangkapan patut dipertanyakan. Dikatakan demikian oleh karena
selain proses hukumnya sangat cepat, juga penerapan salah satu deliknya adalah
sama dengan Habib Rizieq Syihab pada RS UMMI yakni Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Delik yang dikenal dengan “berita bohong” (hoaks) dalam
banyak perkara mengandung kepentingan politis ketimbang yuridis. Demikian itu
menjadikannya cenderung subjektif dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana
sebagaimana yang dimaksudkan dalam rumusan undang-undang.
Dapat disebutkan disini unsur “keonaran di kalangan rakyat”
dipahami secara menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang. Keonaran yang
tidak lain adalah suatu kondisi fisik seperti huru hara atau kerusuhan di
kalangan rakyat telah diperluas pengertiannya mencakup kegaduhan di dunia maya
(media sosial).
Pertentangan pendapat antara pihak yang pro dan kontra
terhadap suatu konten berita/informasi yang disampaikan secara virtual
(youtube) dimaknai sebagai kegaduhan yang berpredikat sama dengan keonaran
fisik.
Sebagai contoh, pada perkara RS UMMI pertentangan pendapat
tersebut itulah yang kemudian menjadi dalil terpenuhinya unsur “keonaran di
kalangan rakyat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Padahal pihak yang pertama kali mempermasalahkan kondisi
kesehatan Habib Rizieq Syihab adalah para buzzer. Keberadaan buzzer-buzer
tersebut patut diduga sengaja dibentuk untuk menimbulkan kegaduhan (pro-kontra)
di media sosial, namun terhadap mereka tidak dilakukan proses hukum.
Disini dipertanyakan apakah hal yang sama akan berlaku
terhadap Habib Bahar Smith dalam kaitannya dengan pernyataan tentang peristiwa
pembuhunan keji terhadap keenam laskar FPI.
Pernyataan Habib Bahar Smith tentang pembunuhan yang
didahului dengan penyiksaan sudah menjadi pengetahuan umum. Dengan demikian
bukan hanya Habib Bahar Smith yang mengatakan hal itu. Masyarakat luas dan
didalamnya para tokoh juga menyampaikan hal yang sama, bahkan ada Tim Pengawal Peristiwa
Pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (TP3).
Dalam Buku Putih TP3 yang berjudul “Pelanggaran HAM Berat
Pembunuhan Enam Pengawal HRS”, terdapat penjelasan berbagai kondisi yang
dialami para korban.
Begitupun ketika pihak keluarga korban KM50 dan Penasehat
Hukum audiensi dengan Komisi III DPR RI dugaan terjadinya penyiksaan juga telah
disampaikan. Kesemuanya itu sudah viral terlebih dahulu sebelum Habib Bahar
Smith menyampaikannya.
Seharusnya terhadap berbagai informasi dan data-data yang
mendukung adanya sejumlah tanda-tanda penyiksaan pada tubuh beberapa korban
menjadi petunjuk terjadinya penganiayaan berat sebelum tindakan penembakan.
Adalah suatu hal yang aneh apabila Habib mengatakan adanya
penyiksaan sebab pemberitaan/informasi tersebut kemudian dirinya dikatakan
telah menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat.
Seiring dengan itu, selama ini tidak pernah ada suatu kondisi
kerusuhan atau huru hara terkait dengan pemberitaan yang viral tersebut.
Dalam hukum pidana berlaku hubungan ‘sebab-akibat’
(kausalitas) guna menentukan sebab yang paling dominan terjadinya akibat. Untuk
kemudian menjadi dalil terpenuhinya hubungan antara ‘perbuatan’ (actus reus)
dan ‘kesalahan’ (mens rea) seseorang guna dapat atau tidaknya dimintakan
pertanggungjawaban pidana.
Pada perkara Habib Bahar Smith tidak ada kausalitas antara
pernyataannya dengan timbulnya akibat berupa terjadinya keonaran fisik di
kalangan rakyat. Uraian demikian tentu panjang pembahasan teoretisnya.
Penulis singkatkan saja bahwa pernyataan yang disampaikan
tidak terkualifikasi sebagai berita illegal (melawan hukum atau tanpa hak).
Pada dirinya tidak pula ada kehendak untuk mewujudkan timbulnya akibat yang
dilarang oleh Undang-Undang Hukum Pidana (in casu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana).
Tidak ada penggunaan pikiran secara salah maupun ‘niat jahat’
(dolus malus) yang mengarahkan dirinya secara ‘dengan sengaja’ untuk mewujudkan
akibat yang dilarang.
Terlebih lagi undang-undang a quo telah dihapuskan dalam
Rancangan KUHP Tahun 2019, disebutkan dalam Pasal 626 Ayat 1 huruf a.
Penghapusan tersebut menandakan bahwa sudah tidak ada lagi sebab atau sifat
yang menjadikannya sebagai norma larangan. Singkat kata, apa yang disampaikan
bukan delik.
(Bogor, 4 Januari 2022)