Latest Post


 

SANCAnews.id – Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso angkat bicara mengenai cepatnya proses hukum terhadap Bahar bin Smith.

 

Habib Bahar telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penyebaran berita bohong atau hoaks oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat.

 

Dalam kasus yang dilaporkan seorang warga berinisial TNA, Bahar diduga menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian melalui sebuah video ceramah di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

 

Kini pimpinan Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin itu langsung ditahan di Rutan Polda Jabar dalam 20 hari ke depan.

 

IPW pun  meminta agar Polda Jabar tidak tebang pilih dalam menangani kasus ujaran kebencian.

 

Jangan terkesan polisi hanya tegas kepada pihak yang dianggap oposisi namun penanganan bagi orang yang disebut pendukung pemerintah malah kebal hukum.

 

"Polda Jabar harus menunjukkan sikap profesional dan adil dalam memproses kasus-kasus pidana yang ditangani penyidik Polda," tegas Sugeng di Jakarta, Selasa (4/1/2022).

 

Sugeng juga menyoroti cepatnya penyidikan laporan terhadap Bahar bila dibandingkan laporan polisi yang dialamatkan kepada mereka yang mendukung pemerintah.

 

Ia membandingkannya dengan laporan ujaran kebencian kepada pegiat media sosial Denny Siregar yang diduga menghina santri di sebuah Pondok Pesantren Tasikmalaya dengan sebutan teroris.

 

Sugeng mempertanyakan penanganan kasus itu sebab cenderung tidak jelas progresnya padahal sudah hampir 2 tahun berjalan.

 

"Bila dibandingkan dengan kasus Denny Siregar yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan menyebut santri calon teroris sangat lambat tindak lanjutnya. Itu sudah berjalan hampir 2 tahun tapi tak ada kejelasan," papar Sugeng.

 

Menurut Sugeng, IPW juga mencatat ada dua laporan warga Bogor yang dianiaya oleh personel Brimob DD alias Nando. Hingga kini laporan tersebut juga tak menemui kejelasan.

 

Kasus yang dilaporkan di Polda Jabar itu juga belum mendapat titik kejelasan mengenai penyelidikan atas tindak penganiayaan oleh oknum Brimob itu.

 

"Oleh karena itu kapolda (Jabar) harus memberi atensi dan sikap transparan pada kasus-kasus yang dipertanyakan publik bahkan kalau perlu mencopot penyidik kasus-kasus yang mangkrak," kata Sugeng.

 

Sugeng menegaskan agar tidak timbul ketidakpercayaan pelapor kasus-kasus pidana maka penyidik wajib bersikap transparan.

 

Salah satunya harus mengirimkan SP2HP atau surat pemberitahuan pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan atau penyidikan pada pelapor.

 

Jika tidak ada, kata dia, maka muncul kesan tebang pilih penanganan kasus  yang makin melekat di benak masyarakat.

 

Menurut dia, masyarakat cenderung akan menilai penegakan hukum dilakukan adil, tidak memihak golongan tertentu.

 

"Kalau terkesan cepat kepada mereka yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah itu fatal. Dalam tiap kasus perlu ada SP2HP yang dikirim kepada pelapor agar penyidik dalam menjalankan tugas profesional dan transparan," tutup Sugeng.

 

Laporan Denny Siregar 2020 Lalu 

Diberitakan Tribun Jabar pada Jumat 3 Juli 2020, Polresta Tasikmalaya saat itu menegaskan segera menindaklanjuti laporan warga Kota Tasikmalaya terkait status Denny Siregar di media sosial yang dianggap menghina santri Kota Tasikmalaya.

 

"Terkait pelaporan perwakilan warga kota kemarin, akan kami proses sesuai tahapan-tahapannya. Langkah pertama kami akan mencari bukti-bukti kasus tersebut," kata Kapolresta Tasikmalaya, AKBP Anom Karibianto, Jumat (3/7/2020).

 

Sehari sebelumnya ratusan warga mengatasnamakan Forum Mujahid Tasikmalaya (FMT) mendatangi Mapolresta.

 

Selain beraksi unjuk rasa, warga pun melaporkan Denny Siregar karena dianggap menghina santri.

 

Koordinator aksi FMT, Nanang Nurjamil, menyerahkan berkas pelaporan kasus postingan Denny Siregar ke Kapolresta, AKBP Anom Karibianto, di lobi Mapolresta, Kamis (2/7/2020).

 

Menurut Koordintor FMT, Nanang Nurjamil, Denny menulis status melalui akun Facebook miliknya, 27 Juni 2020, dengan judul "Adek2ku Calon Teroris yg Abang Sayang".

 

Di status itu ada foto sejumlah santri Tahfidz Alquran Daarul Ilmi Kota Tasikmalaya saat aksi 212.

 

"Status tersebut saat ini telah dihapus yang bersangkutan. Namun karena sempat menyebar, kami selaku warga Kota Tasikmalaya merasa ikut prihatin dengan postingan tersebut, dan melaporkan," kata Nandang.

 

Kapolresta mengatakan, berdasarkan laporan yang diterima polisi, Denny Siregar dianggap melanggar UU ITE karena telah menyebarkan konten yang bersifat memecah belah melalui akun media sosial.

 

"Jadi akan diproses sesuai laporan dari warga. Saat ini kami masih mengumpulkan bukti-bukti. Warga mohon bersabar," ujar Anom.

 

Ia minta warga mempercayakan penyelesaian kasus tersebut kepada pihak kepolisian, "Karena itu saya mengimbau warga tidak perlu melakukan aksi terkait kasus itu. Terlebih masih ada pandemi Covid-19," kata Kapolresta. (wartakota)



 

SANCAnews.id – Polda Jabar akhirnya menetapkan Habib Bahar bin Smith menjadi tersangka dalam kasus dugaan ujaran kebencian. Penetapan tersangka diumumkan pada Senin (3/1) malam atau setelah Bahar menjalani pemeriksaan di Polda Jabar.

 

Selain itu, Polda Jabar juga menetapkan pengunggah video ceramah Bahar di YouTube berinisial TR sebagai tersangka karena dinilai telah menyebarkan berita bohong.

 

"Penyidik telah mendapatkan setidaknya dua alat bukti yang sah sesuai dengan pasal 184 KUHP serta didukung barang bukti yang dijadikan dasar untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka," kata Dirreskrimsus Polda Jabar Kombes Arif Rachman di Mapolda Jabar, Senin (3/1).

 

Keduanya ditetapkan jadi tersangka usai diperiksa sejak pukul 12.15 WIB. Penetapan tersangka dilakukan berdasarkan dua alat bukti yang sah.

 

"Maka penyidik telah meningkatkan status hukum saudara BS (Bahar Smith) dan TR sebagai tersangka," ucap Arif.

 

Sebelumnya, selain Bahar, TR yang merupakan pengunggah konten video di YouTube pun turut diperiksa oleh polisi.

 

Polisi sempat memeriksa sekitar 50 saksi dan menyita sejumlah barang bukti seperti flashdisk dan ponsel dalam perkara tersebut.

 

Bahar harus kembali berurusan dengan hukum. Dia dilaporkan terkait ceramahnya di Kabupaten Bandung atas dugaan ujaran kebencian. Kasusnya bahkan sudah naik penyidikan.

 

Polda Jawa Barat belum membeberkan secara detail kasus tersebut. Habib Bahar dijerat dugaan tindak pidana menyebar informasi untuk menimbulkan rasa kebencian dan atau permusuhan individu dan atau kelompok berdasarkan SARA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU RI nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. (kumparannews)



 

SANCAnews.id – Pendukung Habib Bahar bin Smith masih bertahan di depan markas Polda Jabar. Hingga pukul 22.44 WIB, Habib Bahar masih diperiksa tim penyidik gabungan dari Direktorat Reserse Kriminal Umum dan Khusus Polda Jabar.

 

Artinya, hampir 11 jam Habib Bahar berada di Markas Polda Jabar untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus ujaran kebencian.

 

Dilansir jabar.jpnn.com, pendukung Bahar Smith tampak memadati trotoar pembatas jalan. Mereka menyanyikan selawat nabi dengan suara lantang. Polisi pun tampak berjaga di depan gerbang masuk markas Polda Jabar.

 

Meski begitu arus lalu lintas terpantau lancar dan kendaraan masih bisa melaju tanpa hambatan.

 

Sebelumnya diberitakan, Habib Bahar memenuhi panggilan penyidik Polda Jabar untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus ujaran kebencian, Senin (3/1). Dia tiba di Markas Polda Jabar di Bandung didampingi kuasa hukumnya.

 

Pemilik sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin Bogor itu menegaskan kehadirannya memenuhi panggilan penyidik Polda Jabar merupakan sikap kooperatif yang selalu ditunjukkan olehnya sebagai warga negara yang baik.

 

"Saya datang atas panggilan pihak Polda Jabar, maka saya datang kemari," kata Habib Bahar.

 

Kabid Humas Polda Jabar Kombes Ibrahim Tompo menyampaikan mengatakan Habib Bahar yang kini tengah menjalani pemeriksaan masih berstatus sebagai saksi.

 

Meski berstatus saksi, namun proses hukum kasus tersebut sudah di tahap penyidikan, "Jadi memang pemeriksaan hari ini (Bahar) sebagai saksi," kata Kombes Ibrahim. (jpnn)



 

SANCAnews.id – Pengamat militer Sidratahta Mukhtar mengomentari aksi TNI agresif masuk di ranah hukum mengurusi Habib Bahar Smith dan eks FPI.

 

Pengamat militer ini mengingatkan, politik TNI adalah politik negara. Sesuai doktrin Panglima Besar Jenderal Soedirman.

 

"TNI karena lahir langsung dari rakyat saat perang gerilya, maka ada kondisi dmana praktek perang gerilya,yakni TNI menjangkau rakyat itu masih terjadi," kata Mukhtar, pengamat militer dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), saat dihubungi, Senin (3/1/2022).

 

Mukhtar menegaskan, kalau di negara demokrasi yang mengedepankan supremasi sipil dan supremasi hukum, tentu saja, apa yang kita saksikan di Bogor itu tak akan terjadi.

 

"Penguasa wilayah yang disebut oleh Danrem, itu konsep saat darurat militer. Tapi kalau pada masa damai, urusannya pada pemerintah daerah dan Kepolisian," ujarnya.

 

Dimasa damai, lanjutnya, TNI melakukan pembinaan teritorial. Sayangnya konsep pembinaan itu yang susah dimengerti. Sejauhmana batasnya yang diperbolehkan TNI diwilayah tertentu.

 

"Kalau guna pengumpulan data intelijen kewilayahan itu memang bagus tapi dilaporkan ke Satuan diatasnya lalu ke BAIS TNI dan lain-lain," katanya.

 

Ia mengatakan, UUD 1945 Pasal 30 upaya pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. (Sishankamrata).

 

"Penafsiran Pasal 30 tentang Sishankamrata itu yang urgen. Karena kejadian kemarin dengan Bahar Smith. Dimana kesan saya TNI menafsirkan pasal itu dengan perbolehkan TNI masuk ke ranah sipil, dengan berurusan "hukum" langsung dengan warga," bebernya.

 

Muhktar mengatakan, sejatinya diperolehkan masuk ke situ jika ada ancaman terhadap kedaulatan negara, separatisme dan lainnya. Untuk terorisme misalnya harus merupakan perbantuan pada Polri

 

"Aturan Perpresnya belum ada untuk libatkan TNI pada terorisme," tegasnya. (poskota)





 

SANCAnews.id – Analis Kebijakan Madya Bidang Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Kombes Trunoyudo W Andiko menegaskan institusi Polri bertugas di bawah presiden Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

 

“Polri dalam hal ini masih pada koridor amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Nomor 2/2002 tentang Polri,” tegasnya dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (3/1/2022).

 

Pernyataan itu disampaikan menanggapi ucapan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, yang mengusulkan agar dibentuk Dewan Keamanan Nasional dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Dengan demikian, kata Widjojo, Kementerian Keamanan Dalam Negeri akan menaungi Polri.

 

Akan tetapi, Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 2/2002 telah dengan tegas menyantumkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah presiden. Dengan demikian, hingga saat ini, institusi Polri masih beroperasi di bawah presiden dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.

 

“Polri saat ini bekerja masih berdasarkan pada amanah undang-undang. Amanah undang-undang tentunya menjadi amanah masyarakat, dan tentunya ini yang masih kami jalani,” kata dia.

 

Adapun wacana terkait menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri sudah pernah muncul pada 2014, khususnya ketika TNI sudah berada di bawah Kementerian Pertahanan. Pemisahan Kepolisian Indonesia dari ABRI –yang kemudian menjadi TNI– adalah salah satu hal yang terjadi sesudah reformasi bergulir pada 1998.

 

Kemudian, isu ini sempat kembali mencuat pada 2019 setelah Presiden Joko Widodo menunjuk mantan Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian sebagai menteri dalam negeri hingga saat ini.

 

Hingga saat ini, masih belum ada pembahasan yang mendalam terkait penempatan Kepolisian Indonesia di bawah instansi kementerian.

 

Pada masa Orde Lama, organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia secara administratif berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara dan secara operasional bertanggung jawab kepada jaksa agung.

 

Kemudian pada 1 Juli 1946 dia diubah garis tanggung jawabnya, yaitu kepada perdana menteri (kepala pemerintahan), dan tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Bhayangkara. (fajar)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.