Latest Post


 

SANCAnews.id – Pengamat militer Sidratahta Mukhtar mengomentari aksi TNI agresif masuk di ranah hukum mengurusi Habib Bahar Smith dan eks FPI.

 

Pengamat militer ini mengingatkan, politik TNI adalah politik negara. Sesuai doktrin Panglima Besar Jenderal Soedirman.

 

"TNI karena lahir langsung dari rakyat saat perang gerilya, maka ada kondisi dmana praktek perang gerilya,yakni TNI menjangkau rakyat itu masih terjadi," kata Mukhtar, pengamat militer dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), saat dihubungi, Senin (3/1/2022).

 

Mukhtar menegaskan, kalau di negara demokrasi yang mengedepankan supremasi sipil dan supremasi hukum, tentu saja, apa yang kita saksikan di Bogor itu tak akan terjadi.

 

"Penguasa wilayah yang disebut oleh Danrem, itu konsep saat darurat militer. Tapi kalau pada masa damai, urusannya pada pemerintah daerah dan Kepolisian," ujarnya.

 

Dimasa damai, lanjutnya, TNI melakukan pembinaan teritorial. Sayangnya konsep pembinaan itu yang susah dimengerti. Sejauhmana batasnya yang diperbolehkan TNI diwilayah tertentu.

 

"Kalau guna pengumpulan data intelijen kewilayahan itu memang bagus tapi dilaporkan ke Satuan diatasnya lalu ke BAIS TNI dan lain-lain," katanya.

 

Ia mengatakan, UUD 1945 Pasal 30 upaya pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. (Sishankamrata).

 

"Penafsiran Pasal 30 tentang Sishankamrata itu yang urgen. Karena kejadian kemarin dengan Bahar Smith. Dimana kesan saya TNI menafsirkan pasal itu dengan perbolehkan TNI masuk ke ranah sipil, dengan berurusan "hukum" langsung dengan warga," bebernya.

 

Muhktar mengatakan, sejatinya diperolehkan masuk ke situ jika ada ancaman terhadap kedaulatan negara, separatisme dan lainnya. Untuk terorisme misalnya harus merupakan perbantuan pada Polri

 

"Aturan Perpresnya belum ada untuk libatkan TNI pada terorisme," tegasnya. (poskota)





 

SANCAnews.id – Analis Kebijakan Madya Bidang Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Kombes Trunoyudo W Andiko menegaskan institusi Polri bertugas di bawah presiden Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

 

“Polri dalam hal ini masih pada koridor amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Nomor 2/2002 tentang Polri,” tegasnya dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (3/1/2022).

 

Pernyataan itu disampaikan menanggapi ucapan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, yang mengusulkan agar dibentuk Dewan Keamanan Nasional dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Dengan demikian, kata Widjojo, Kementerian Keamanan Dalam Negeri akan menaungi Polri.

 

Akan tetapi, Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 2/2002 telah dengan tegas menyantumkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah presiden. Dengan demikian, hingga saat ini, institusi Polri masih beroperasi di bawah presiden dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.

 

“Polri saat ini bekerja masih berdasarkan pada amanah undang-undang. Amanah undang-undang tentunya menjadi amanah masyarakat, dan tentunya ini yang masih kami jalani,” kata dia.

 

Adapun wacana terkait menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri sudah pernah muncul pada 2014, khususnya ketika TNI sudah berada di bawah Kementerian Pertahanan. Pemisahan Kepolisian Indonesia dari ABRI –yang kemudian menjadi TNI– adalah salah satu hal yang terjadi sesudah reformasi bergulir pada 1998.

 

Kemudian, isu ini sempat kembali mencuat pada 2019 setelah Presiden Joko Widodo menunjuk mantan Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian sebagai menteri dalam negeri hingga saat ini.

 

Hingga saat ini, masih belum ada pembahasan yang mendalam terkait penempatan Kepolisian Indonesia di bawah instansi kementerian.

 

Pada masa Orde Lama, organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia secara administratif berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara dan secara operasional bertanggung jawab kepada jaksa agung.

 

Kemudian pada 1 Juli 1946 dia diubah garis tanggung jawabnya, yaitu kepada perdana menteri (kepala pemerintahan), dan tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Bhayangkara. (fajar)



 

SANCAnews.id – Sejumlah netizen kembali mempertanyakan penaganan kasus dugaan ujaran kebencian yang dilakukan oleh Denny Siregar kepada santri di Polda Jawa Barat. Hal itu muncul di saat Polda Jabar gencar menanganai kasus dugaan ujaran kebencian yang dilakukan Habib Bahar bin Smith.

 

Berdasarkan penelusuran Republika.co.id, kasus yang menimpa Bahar bin Smith dan Denny Siregar sama-sama dugaan ujaran kebencian. Namun, sasaran ujaran kebencian yang dilakukan kedua orang itu berbeda. Nama pertama diduga melakukannya kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman, meski polisi membantah keterlibatan KSAD dalam kasus itu. Sementara Denny Siregar diduga melakukannya kepada para santri di Tasikmalaya.

 

Ceramah yang diduga berisikan ujaran kebencian yang dilakukan oleh Habib Bahar bin Smith berlangsung di sebuah tempat di Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung pada 11 Desember lalu. Tak sampai satu bulan, Polda Jabar langsung melayangkan surat pemanggilan. Sementara untuk kasus serupa yang menimpa Denny Siregar, hingga saat ini belum juga ada kejelasan.

 

Kasus ujaran kebencian yang diduga dilakukan Denny Siregar dilaporkan langsung oleh pimpinan Pesantren Tahfidz Quran Daarul Ilmi Tasikmalaya, Ustaz Ahmad Ruslan Abdul Gani ke Polresta Tasikmalaya pada 2 Juli 2020. Namun, kasus itu disebut tak jelas penanganannya hingga saat ini.

 

"Pertama, sebagai pelapor, saya kecewa dengan kasus Denny Siregar yang tidak diproses, bahkan tidak ada kabar dari Polda," kata dia, saat dihubungi Republika, Ahad (2/12).

 

Ia mengaku, terakhir kali mendapat kabar dari kepolisian, kasus itu telah dilimpahkan ke Mabes Polri. Namun, menurut dia, hingga saat ini tak ada laporan terkait perkembangan kasus itu. "Terakhir dapat dari Polda (Jabar). Biasanya kan ada surat perkembangan penyelidikan," kata dia.

 

Sejak awal, Ustaz Ruslan memang sudah dapat menduga, kasus yang dilaporkannya akan berhenti. Kecuali, lanjut dia, pihaknya terus melakukan pergerakan. Namun, pergerakan yang dilakukan nyatanya tak semasif sebelumnya. Alhasil, kasus itu tak jelas perkembangannya.

 

"Saya sebenarnya maju saja kalau yang lain juga bergerak, tapi mungkin yang lain juga dapat tekanan. Karena sampai saat ini tak ada pergerakan lagi," ujar Ustaz Ruslan.

 

Ihwal perbedaan penanganan antara kasus Denny Siregar dan Bahar bin Smith, Ustaz Ruslan menilai, itu menunjukkan aparat penegak hukum memiliki standar ganda. Menurut dia, dua kasus kasus itu sama-sama ujaran kebencian. Namun, penanganan yang dilakukan jauh berbeda.

 

"Giliran itu (kasus Bahar bin Smith), langsung didatangi oknum TNI. Sementara kasus yang dilaporkan oleh pesantren terkait denny siregar, tak ada kabar. Ini menunjukkan ketidakadilan dalam proses hukum," kata dia.

 

Kasus dugaan ujaran kebencian itu bermula dari tulisan singkat Denny Siregar melalui akun Facebook miliknya. Denny Siregar menulis tulisan dengan judul "ADEK2KU CALON TERORIS YG ABANG SAYANG" disertai unggahan foto santri yang memakai atribut tauhid. Belakangan diketahui, foto itu menampilkan santri Pesantren Tahfidz Quran Daarul Ilmi Tasikmalaya yang sedang membaca Alquran saat aksi 313 di Jakarta pada 2017 silam.

 

Pada Maret 2021, Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri dan Polda Jawa Barat saling lempar penanganan kasus pegiat sosial Denny Siregar. Pada Senin (15/3), Bareskrim Polri menyatakan belum ada pelimpahan kasus dugaan penghinaan dan ujaran kebencian terhadap santri Tasilkmalaya tersebut dari Polda Jabar. Hal itu membatah pernyataan Polda Jabar sebelumnya. **


 

SANCAnews.id – Panel Survei Indonesia (PSI) melakukan survei mengenai elektabilitas atau tingkat keterpilihan partai politik.

 

Melansir Wartaekonomi.co.id, hasil survei memperlihatkan bahwa Partai Solidaritas Indonesia (PSI) termasuk partai yang tidak akan lolos Senayan karena perolehan suaranya tak mampu menyentuh 4 persen ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.

 

"Partai-partai yang diprediksi tidak bakal lolos ke Senayan yaitu PSI (dengan) meraih elektabilitas 1,3 persen," kata Direktur Eksekutif Panel Survei Indonesia, Andri Gunawan, dikutip Senin (3/1/2021).

 

Rendahnya preferensi politik masyarakat terhadap Partai Solidaritas Indonesia yang pada Pemilu 2019 memperoleh 1,89 persen suara nasional tergambar dari survei Panel Survei Indonesia yang dilakukan pada 14 sampai dengan 29 Desember 2021.

 

Andri menjelaskan survei dilakukan dengan mengambil representasi sampel sejumlah 1.820 responden, pengambilan sampel menggunakan teknik multistage random sampling atau pengambilan sampel bertingkat di 34 provinsi, metode survei memiliki pengukuran kesalahan (sampling error) 2,3 persen, dan tingkat kepercayaan 95 persen.

 

Selain PSI yang kini dipimpin Giring Ganesha, eks vokalis band Nidji, hasil survei ini memotret enam parpol lama juga tidak akan memiliki kursi di DPR RI.

 

Partai-partai tersebut ialah Perindo dengan elektabilitas 1,3 persen, Hanura 1,1 persen, Partai Bulan Bintang (PBB) 0,9 persen, Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) 0,8 persen, Berkarya 0,8 persen, kemudian Partai Garuda dengan elektabilitas 0,8 persen.

 

"Partai politik baru dan yang saat ini sedang membentuk kepengurusan untuk ikut serta dalam Pemilu 2024 hanya Partai Prima yang menjadi preferensi publik dengan tingkat elektabilitas 1,4 persen. Yang lainnya, Partai Gelora 0,7 persen, Partai Ummat 0,2 persen dan sisa yang belum memilih sebanyak 18,9 persen," tutur Andri.

 

Posisi parpol papan atas dan tengah tidak berubah. Parpol papan atas masih dikuasai PDIP, Golkar dan Gerindra.

 

Temuan survei menunjukkan preferensi masyarakat pada PDIP masih yang tertinggi dengan elektabilitas 12,7 persen disusul Golkar pada posisi kedua dengan 12,4 persen dan Partai Gerindra di urutan berikutnya dengan 11,9 persen. Kemudian di posisi keempat Partai Demokrat dengan elektabilitas 8,9 persen.

 

"Demokrat menjadi parpol di luar pemerintahan yang memiliki peningkatan elektabilitas yang sangat signifikan dibandingkan hasil Pemilu 2019 (7,77 persen)," lanjutnya.

 

Sedangkan untuk papan tengah diisi oleh PKB, Nasdem, PKS, dan PPP.

 

"PKB elektabilitas 7,1 persen, Nasdem 6,8 persen, kemudian disusul partai-partai Islam lainya yaitu PKS 6,1 persen, PAN 3,3 persen, dan PPP 2,6 persen," ujar Andi Gunawan. (suara)



 

SANCAnews.id – Habib Bahar bin Smith tak takut dipenjara. Pendakwah kontroversial ini bahkan siap mempertaruhkan nyawa jika hal itu untuk bangsa dan negara.

 

Hal tersebut tampak dalam video Habib Bahar bin Smith saat tiba di Polda Jawa Barat. Kedatangannya ini untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan ujaran kebencian.

 

Video Habib Bahar bin Smith tersebut dibagikan oleh pengguna Twitter dengan akun Bambangmulyono2, Senin 3 Januari 2021.

 

Dalam video viral di Twitter ini, Bahar bin Smith mengatakan, jika ia langsung ditahan usai pemeriksaan maka ia meminta rakyat dan para ulama untuk meneruskan perjuangannya menyampaikan kebenaran.

 

"Maka saya sampaikan jikalau saya masuk nanti tidak keluar lagi berarti saya telah ditahan, maka wahai rakyat, wahai Indonesiaku, khususnya para ulama, bukalah mata kalian bahwasannya teruslah berjuang menyampaikan kebenaran," kata Bahar bin Smith.

 

"Teruslah menyampaikan keadilan, jangan pernah tunduk kepada kezaliman dari manapun datangnya kezaliman itu," lanjutnya lagi.

 

Habib Bahar bin Smith mengaku tak pernah takut dipenjara jika hal itu demi Islam. Bahkan ia mengaku siap mempertaruhkan nyawa demi rakyat.

 

"Demi Islam, demi bangsa, demi rakyat, demi akidah, jangankan dipenjara, nyawa, jiwa saya murah harganya. NKRI harga mati. Indonesia merdeka!" ujarnya tegas.

 

Menyadur Terkini.id, Senin (3/1/2022), sebelumnya, Habib Bahar bin Smith dilaporkan ke polisi atas dugaan kasus penyebaran ujaran kebencian yang kerap disampaikan melalui ceramahnya di hadapan jamaah.

 

Kendati demikian, Polda Jawa Barat memastikan kasus dugaan ujaran kebencian yang dilakukan Bahar bin Smith tidak terkait dengan KSAD Jenderal Dudung Abdurachman.

 

“Tidak, ada kaitannya dengan permasalahan seperti itu, namun kita sedang menyelidiki dari apa yang disampaikan di suatu tempat, tentunya ini masih konsumsi penyidik ya,” kata Humas Polda Jabar, Kombes Erdi A Chaniago beberapa waktu lalu.

 

Menurut Erdi, kasus Habib Bahar yang ditangani Polda Jawa Barat itu berkaitan dengan ujaran kebencian pada ceramah di muka umum.

 

“Dari laporan polisi yang kita terima, diduga saudara Bahar Smith ini memberikan suatu pernyataan sehingga membuat ricuh di masyarakat. Namun, ini perlu kita dalami, kita dalami dulu seperti apa,” pungkasnya. (suara)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.