Latest Post


 

SANCAnews.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semestinya menyambut baik laporan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M. Massardi terkait dugaan korupsi yang diduga dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

 

KPK, diminta membuka mata lebar-lebar bahwa Ahok acap kali terseret sejumlah persoalan yang kontroversial di ruang publik. Namun hingga kini belum ada proses hukum yang menjeratnya.

 

"Ahok sejauh ini banyak terseret dalam sejumlah persoalan, sehingga baik bagi dirinya maupun KPK untuk sama-sama menyelesaikan persoalan itu," kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah kepada Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu di Jakarta, Kamis (30/12).

 

Menurutnya, KPK perlu peka atas laporan dari masyarakat, termasuk dugaan rasuah yang menyeret politisi PDIP yang kini menduduki kursi Komisaris Utama Pertamina tersebut.

 

"KPK perlu merespons semua laporan publik, terlebih terkait pejabat publik meskipun saat laporan disampaikan sudah bukan lagi menjabat," tandasnya.

 

Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M. Massardi melimpahkan dokumen berbagai temuan yang mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) yang patut diduga melibatkan Ahok, baik saat masih Wakil Gubernur (2012) maupun setelah ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta (2014) menggantikan Joko Widodo yang jadi presiden.

 

Adhie bahkan menegaskan bahwa dokumen berbagai skandal korupsi di Pemprov DKI sepanjang 2012 hingga 2017 yang akan dilimpahkan ke KPK tersebut sudah dalam bentuk buku resmi.

 

Dokumen dikumpulkan dan dirangkai oleh salah satu tokoh gerakan anti-korupsi dan peneliti sumber daya alam Indonesia, Marwan Batubara. Bukunya pernah dicetak pada tahun 2017. (*)



 

SANCAnews.id – Nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto masih tetap pilihan nomor satu dan menggema di Sumatera Barat (Sumbar). Hal ini sebagaimana disampaikan Ketua DPD Partai Gerindra Sumbar, Andre Rosiade yang pada pekan lalu berkeliling Sumbar.

 

Menurutnya, dari 20 titik yang didatangi, seperti di Kota Padang, Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung, dan Dharmasraya masyarakat tetap meminta Prabowo menjadi Presiden 2024.

 

Mereka siap memenangkan kembali Prabowo seperti Pilpres 2014 dan 2019. Kala itu, Prabowo menang mutlak hingga 80-an persen.

 

“Tak ada yang meragukan dukungan kepada Pak Prabowo pada Pilpres 2024 nanti. Ini tentu memicu semangat kami dalam memenangkan Pak Prabowo kembali di Sumbar, dan Indonesia umumnya,” kata Andre Rosiade kepada wartawan, Kamis (30/12).

 

Anggota DPR RI ini menegaskan bahwa masyarakat Sumbar bahkan meminta Prabowo kembali menjadi Capres 2024

 

Di Kabupaten Dharmasraya misalnya, tidak sedikit warga yang yakin Prabowo akan melebihi angka perolehan tahun 2019 sebesar 69 persen. Hal yang sama juga didapati di Kota Sawahlunto yang pada pilpres lalu suara Jokowi mencapai 82 persen.

 

“Karena, kinerja Pak Prabowo sebagai Menteri Pertahanan RI juga baik dan banyak dapat apresiasi,” urainya.

 

“Kami akan terus bergerak memastikan suara Pak Prabowo terus bertambah di Sumbar. Agar peluang menjadi Presiden semakin besar,” tutupnya. (rmol)



 

SANCAnews.id – Menteri BUMN Erick Thohir mengangkat Endang Tirtana sebagai Komisaris Independen PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Pengangkatan dilakukan pada Rabu (29/12).

 

Selain mengangkat Endang, Erick juga memberhentikan Pungky Sumadi dari jabatan Komisaris KAI. Jabatan itu diduduki Pungky sejak 2017.

 

"Adanya pemberhentian dan pengangkatan Anggota Dewan Komisaris PT Kereta Api Indonesia (Persero) diharapkan dapat berdampak positif untuk menjaga dan meningkatkan kinerja perseroan," kata Executive Vice President Corporate Secretary KAI, Asdo Artriviyanto, dalam suratnya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikutip kumparan, Kamis (30/12).

 

Sebelum diangkat sebagai Komisaris Independen KAI, Endang merupakan Komisaris Independen di PT Semen Baturaja (Persero). Dia diangkat di BUMN semen itu pada Agustus 2020.

 

Pada 2019 lalu, Endang tercatat merupakan calon legislatif dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Daerah Pemilihan Sumatera Barat II. Namun, gagal terpilih. Pada 2014, dia juga pernah maju menjadi caleg untuk DPR pada 2014 dari Partai Hanura, namun gagal juga.

 

Mengutip dari situs Semen Baturaja, Endang kelahiran Padang Balai, 9 April 1981. Dia merupakan Sarjana di Institut Agama Islam Negeri Padang (IAIN) Jurusan Aqidah Filsafat pada 2000.



Selain menjadi Komisaris BUMN, dia juga Peneliti Senior Maarif Institute For Culture and Humanity, Direktur Media Said Aqil Sirodj Institute (2017-saat ini), dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (2010-2015). Di akun Twitter pribadinya, Endang juga menulis dirinya aktif di Direktur Indonesian Watch for Democracy.

 

Berikut Jajaran Komisaris KAI yang Baru:

Komisaris Utama/Komisaris Independen: Said Aqil Siroj

Komisaris Independen: Rochadi

Komisaris Independen: Riza Primadi

Komisaris Independen: Endang Tirtana

Komisaris: Cris Kuntadi

Komisaris: Freddy Harris

Komisaris: Diah Natalisa

Komisaris: Chairul Anwar

(**)



 

SANCAnews.id – Pengamat politik Rocky Gerung mengaku heran melihat PDIP yang memiliki elektabilitas yang tinggi akan tetapi kerap menghasilkan kader yang kedapatan koruspi.

 

Menurutnya, hasil survei yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terbaru dianggap tidak masuk akal.

 

Apalagi, tercatat bahwa partai yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri itu unggul 25% jauh dari partai lain.

 

“Survei terakhir dari SMRC bahwa PDIP tetap partai tertinggi elektabilitasnya, yang lain (parpol lain elektabilitasnya) itu 12 persen,” ujar Rocky Gerung.

 

“Kan ajaib ini partai yang isinya para koruptor tetapi masih dipilih rakyat. Ini ada yang enggak benar sebetulnya,” sambung Rocky, mengutip rmolid.

 

Hal itu disampaikan Rocky dalam diskusi virtual bertema ‘Refleksi Akhir Tahun, Selamat Datang Tahun Politik, Bagaimana Nasib Indonesia di Masa Depan?’ pada Rabu, 29 Desember 2021.

 

Potret elektabilitas PDIP ini dianggap contoh dari kesimpulan yang deadlock atas kebijakan pemerintah terhadap sejumlah variabel ekonomi, politik, dan kesejahteraaan yang absurd.

 

Selanjutnya, Rocky menuturkan bahwa PDIP seharusnya tidak berada di posisi teratas merujuk rekam jejak kader yang kerap berurusan dengan KPK.

 

Ia pun memberikan dua permisalan dalam fenomena tersebut, yakni adanya kasus suap dalam menaikkan elektabilitas atau bisa jadi masyarakat yang masih belum melek melihat situasi politik.

 

“Masa seluruh peristiwa politik sepanjang tahun ini PDIP masih tinggi. Walaupun itu (hasil survei) betul, SMRC mesti jelasin mengapa partai yang menjadi pusat korupsi masih dipilih rakyat, apakah rakyat bodoh atau ada suap-menyuap angket?” kritiknya. (terkini)



 

SANCAnews.id – Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti kasus baru Bahar bin Smith (BBS) atau Habib Bahar yang baru dinaikkan ke tahap penyidikan oleh Polda Jabar.

 

Penyidik juga telah menyerahkan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) kepada Habib Bahar di kediamannya, Bogor pada Selasa (28/12). Dalam analisisnya, Reza membandingkan perlakuan hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Habib Bahar yang sama-sama mantan narapidana.

 

"Ahok adalah mantan narapidana. Habib BBS juga pernah masuk penjara. Setelah masa hukumannya berakhir, Ahok diasumsikan 'bersih', sehingga dia diperlakukan sebagaimana warga negara lainnya yang tidak pernah berurusan dengan hukum," ucap Reza kepada JPNN.com, Kamis (30/12).

 

Reza mengatakan kalau mau konsekuen dan non-diskriminatif dengan asumsi sedemikian rupa, maka Habib Bahar pun sudah sepatutnya disikapi secara sama.

 

"Toh, masa pemidanaan Habib BBS juga sudah selesai," ucap pria yang pernah menjadi pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK) itu.

 

Namun, Reza mengajak publik maupun penegak hukum melihat kasus Habib Bahar secara lebih substantif, sekaligus lebih berempati. Dia menuturkan dari kacamata pidana, boleh jadi Habib Bahar termasuk dalam kategori individu berisiko.

 

Menurut Reza Indragiri, anggaplah tidak sedikit kalangan yang memandang Habib Bahar sebagai sosok idealis yang mengartikulasikan sikapnya dengan cara yang frontal bahkan keras.

 

Namun, katanya, andaikan dilakukan risk assessment, sikap Habib Bahar itu boleh jadi menjadikannya sebagai orang yang potensial berulang kali berhadapan dengan hukum.

 

Terhadap individu semacam itu, Reza berpendapat otoritas penegakan hukum bisa saja menerapkan langkah super represif. Akan tetapi, dalam situasi sekarang, langkah sedemikian rupa dikhawatirkan malah akan menambah ketegangan di masyarakat.

 

"Opsi lain, kepolisian bisa mengambil prakarsa yang, katakanlah, lebih dari hati ke hati. Kerja dari hati ke hati dalam menyikapi Habib BBS memiliki dua pembenaran," ujar sarjana psikologi dari UGM Yogyakarta itu.

 

Dua pembenaran yang dimaksud Reza, pertama, pendekatan soft oleh Polda Jabar sebenarnya selaras dengan agenda ketujuh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yakni problem solving dan restorative justice.

 

"Pendekatan ini sangat tepat diimplementasikan, antara lain, pada situasi atau individu yang berisiko melakukan pengulangan pidana," ucap penyandang gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia itu.

 

Reza memandang kesesuaian antara karakteristik Habib Bahar dengan problem solving dan restorative justice itulah yang tampaknya dipelajari dan dilakukan Polda Jabar terhadap pendiri Majelis Pembela Rasulullah itu.

 

"Saya mengartikan pertemuan itu sebagai kerja yang berfokus pada titik paling hulu pengendalian situasi rawan yaitu dimensi preemtif," tutur pria kelahiran Indragiri Hulu, Riau itu.

 

Dia juga menilai dieksposnya momen silaturahmi atau pertemuan penyidik Polda Jabar dengan Habib Bahar itu ke publik, makin memperlihatkan betapa Polri dalam hal ini Polda Jabar transparan dalam melaksanakan kerjanya.

 

Sekaligus, Reza berharap momentum tersebut dapat berdampak positif terhadap kelompok-kelompok masyarakat secara lebih luas.

 

Pembenaran kedua, sowan antara aparat negara dan Habib Bahar juga dapat dirasionalisasikan sebagai implementasi pemasyarakatan sebagai filosofi penghukuman di Indonesia.

 

Lebih spesifik, kata Reza, kunjungan seperti yang dilakukan Polda Jabar ke kediaman Habib Bahar, menyerupai program diversi berupa civil citation program ataupun caution and warning program.

 

Dalam kasus ini, Reza menilai polisi bekerja menunjukkan kewenangannya. Namun, alih-alih langsung represif, hukum justru dihadirkan polisi dengan paras yang lebih humanis sekaligus progresif.

 

"Progresif dalam pengertian polisi menerapkan cara yang melampaui persepsi sebagian kalangan agar Habib Bahar dikenakan perlakuan berat," ujar Reza Indragiri Amriel. (*)

 


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.