Latest Post


 

SANCAnews.id – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyindir secara halus Ketua Umum PSI, Giring Ganesha.

 

Menurut Refly, Giring adalah orang yang hebat. Meski belum menyelesaikan pendidikan strata 1, Giring sudah menjadi ketua umum partai, dan berpidato di hadapan Presiden Joko Widodo.

 

“Hebat yah, belum S1 sudah jadi ketua umum partai, dan bisa pidato depan Presiden Jokowi,” ujar Refly sambil tertawa sebagaimana video yang diupload di YouTube pribadinya pada Selasa 28 Desember 2021.

 

Awalnya, Refly Harun menanggapi nyinyiran Giring pada Anies yang disampaikan persis di depan Presiden Joko Widodo.

 

Giring menuding Anies sebagai ‘pembohong.’ Meski tidak menyebut secara langsung nama yang dimaksud, publik meyakini bahwa itu adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

 

Refly kemudian membandingkan Anies Baswedan yang pernah menjadi Rektor di Universitas Paramadina, dan Giring Ganesha sebagai mahasiswa di kampus yang sama.

 

Meskipun berasal dari almamater yang sama, menurut Refly, Giring adalah mahasiswa yang drop out atau dikeluarkan.

 

“Giring ini, adalah mahasiswa DO dari Universitas Paramadina, sementara Anies adalah mantan rektor. Berarti rektor dan mantan mahasiswanya,” ujar Refly sambil tertawa.

 

Lebih lanjut, Refly memperlihatkan data Giring Ganesha yang terekap dalam PDDikti. Dalam keterangan tersebut tertulis, status mahasiswa Giring adalah dikeluarkan, sementara status awalnya adalah pindahan.

 

Meski begitu, Refly menegaskan bahwa tidak selamanya mahasiswa yang dikeluarkan dari universitas diukur dari kemampuan.

 

Mungkin saja, karena faktor kesibukan membangun karir, sehingga tidak sempat untuk melanjutkan kuliah lagi.

 

“Kita tahu, dikeluarkan itu belum tentu juga karena kemampuan yah, bisa saja karena terlalu sibuk menjalani karir, sehingga tidak sempat kuliah lagi,” tutur Refly. (terkini)



 

SANCAnews.id – Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagyo ikut menyayangkan masih adanya sikap sikap arogansi aparat saat bertugas melakukan pengamanan atau pengawalan tamu VVIP. Dia sendiri menyayangkan masih ada mental petugas yang sewenang-wenang seperti itu kepada warga. "Itu arogansi namanya," kata Agus kepada wartawan, Selasa (28/12).

 

Agus mengingatkan, walaupun warga tersebut dianggap salah, dalam menjalankan tugas aparat atau petugas harus menjalankan tugas sesuai aturan hukum. "Kalau ada warga yang sengaja menghalangi, misalnya, ya ada sanksi hukumnya," tegas Agus.

 

Sehingga, menurut dia, petugas atau aparat paspampres tak perlu menunjukkan sikap arogansi berlebih-lebihan. Apalagi sampai merusak spion atau fasilitas milik warga biasa, yang mudah menjadi korban kekerasan aparat. Karena kalaupun warga dituduh bersalah, menurut dia, pasti ada hukuman dan sanksi yang akan diterima warga tersebut.

 

Sebelumnya viral di media sosial sebuah video saat pengamanan tamu VVIP oleh paspampres merusak spion pengendara mobil. Pengendara yang bernama Taufan_Gilber ini seketika membagikan video pengalamannya, ketika di jalan raya kemudian lewatlah rombongan paspampres yang disusul dengan memukul kaca spion mobil miliknya.

 

Walaupun sudah ada kronologi dan ucapan permintaan maaf dari Taufan Gilbert terkait kesalahannya, dimana ia tidak memdengar seruan paspampres untuk menepi perlahan. Hal ini, tidak dilakukan dikarenakan ia sedang menggunakan handphone atau ponsel miliknya, yang seharusnya hal itu dilarang.

 

Taufan Gilbert sendiri telah mengakui kesalahannya dan membubuhkan keterangan bersalahnya di atas materai. Dan kejadian ini, juga telah dijelaskan duduk perkaranya oleh Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono. Walaupun akhirnya sikap arogansi paspampres kepada warga sipil, merusak kaca spion tersebut sangat disayangkan. (republika)




SANCAnews.id – Beredar sebuah video di media sosial memperlihatkan seorang pengemudi mobil tampak kesal karena kaca spion mobilnya pecah dipukul paspampres.

 

Si pengendara yang diduga halangi rombongan Presiden Jokowi itu lalu mengumpat. "Pak Jokowi, tolong Pak, itu rombongannya, Pak. Lewat-lewat aja Pak, enggak usah rusak spion juga kali, Pak," ucapnya.

 

Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono membenarkan insiden itu. Namun ia tak menjelaskan rinci kapan dan di mana kejadian tersebut.

 

Kepada awak media, Heru mengirimkan sebuah video dan surat pernyataan atas nama Taufan Aziz berusia 28 tahun yang meminta maaf atas kejadian itu.

 

"Silakan," ucap Heru mempersilakan media memuat keterangan pengendara mobil.




Dalam surat tanggal 27 Desember 2021 itu, ia mengakui telah menghalangi rombongan Jokowi karena mobilnya terlalu kanan, lantaran sambil memegang HP.

 

Lebih lanjut, Taufan juga menyampaikan permohonan maaf atas kejadian itu. Pria asal Bogor itu menyebut Paspampres sudah mengganti rugi spion yang pecah.

 

"Dengan adanya kejadian tersebut saya memohon maaf atas perbuatan yang saya lakukan dan tidak akan mengulangi,” tutur dia. (kumparan)





 

SANCAnews.id – Munculnya anggapan keliru atas gugatan uji materi terkait presidential threshold (preshold) 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK) disayangkan Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma.

 

Menurutnya, anggapan keliru itu bisa jadi timbul karena yang bersangkutan tidak memahami substansi masalah, atau bisa jadi karena dia tak mau membaca sejarah.

 

“Orang-orang seperti itu biasanya merasa pintar sendiri, tapi malah kebelinger,” katanya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (28/12).

 

Lieus menekankan bahwa persoalanpresidential threshold 20 persen bukan hal yang baru saja muncul jelang Pemilu 2024. Sudah sejak awal pembahasannya di DPR pun sudah muncul kontroversi.

 

“Itu dibuktikan dengan walk out-nya empat partai, yakni Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN dari ruang sidang paripurna DPR pada 21 Juli 2017,” kata Lieus.

 

Bahkan, tambah Lieus, kala itu sidang paripurna hanya dipimpin oleh Ketua DPR Setya Novanto yang didampingi Wakilnya, Fahri Hamzah.

 

“Tiga wakil ketua DPR lainnya, Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat) dan Taufik Kurniawan (PAN) melakukan aksi walk out bersama seluruh rekan satu fraksi mereka,” tutur Lieus.‎

 

Waktu itu, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN)  melakukan aksi walk out karena tidak ingin mengikuti voting terhadap opsi paket lima isu krusial RUU Pemilu. Mereka ingin ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 0 persen alias dihapuskan dalam RUU Pemilu.

 

Bahkan, tambah Lieus, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sendiri menyebut presidential threshold 20 persen merupakan lelucon politik yang menipu rakyat.

 

“Prabowo beralasan, mereka walk out karena tidak mau ikut bertanggung jawab dalam pengesahan RUU Pemilu itu. Prabowo menyebut pihaknya tidak mau ikut sesuatu yang melawan akal sehat dan logika. Seperti katanya, dia tidak mau ditertawakan oleh sejarah,” kata Lieus.

 

Jadi, tambah Lieus, penolakan atas presidential threshold 20 persen itu sudah muncul sejak sebelum UU 7/2017 disahkan.

 

“Jadi ini bukan barang baru. Sayangnya selama bertahun-tahun kita terlalu mabuk oleh ephoria kemenangan untuk dukung mendukung Capres yang diusung Parpol sehingga mengabaikan persoalan krusial yang menjadi hak konstitusional rakyat ini,” katanya.

 

Lebih lanjut Lieus mengingatkan pengurus partai-partai politik bahwa demokrasi sangat membutuhkan azas keadilan dan tidak memaksakan kehendak dengan segala cara. Rakyat juga punya hak dan aspirasinya sendiri soal siapa yang akan menjadi presidennya.

 

“Jangan hak dan aspirasi itu dibungkam oleh peraturan perundang-undangan yang tak logis,” katanya.

 

Terkait adanya petinggi Partai Gerindra yang belakangan menyatakan presidential threshold 20 persen, Lieus mengatakan bahwa sikap itu sangat bertentangan dengan apa yang pernah dinyatakan Prabowo.

 

“Pak Prabowo pernah mengatakan Gerindra menolak presidential threshold 20 persen itu. Pernyataan itu sampai sekarang belum dicabut. Jadi petinggi Gerindra hendaknya jangan plin plan soal ini,” tegas Lieus. []



 

SANCAnews.id – Politikus PDI Perjuangan Kapitra Ampera menanggapi pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD, yang mengeklaim pembubaran Front Pembela Islam (FPI) membuat masyarakat senang.

 

Kapitra mempertanyakan indikator dan tolok ukur Mahfud MD mengeluarkan pernyataan tersebut.

 

"Realitasnya apakah betul rakyat itu sekarang tidak ada masalah, nyaman, dan sebagainya? kata Kapitra kepada JPNN.com, Senin (27/12).

 

Kapitra menjelaskan permasalahan bangsa ini tidak hanya FPI saja. Banyak permasalahan lainnya di negara ini yang harus diselesaikan, dituntaskan.

 

"Saya ingin katakan problem bukan masalah FPI saja, kalau pemerintah anggap FPI itu masalah, tetapi banyak sekali, kompleksitas yah," ujar Kapitra.

 

"Jadi, kita lihatlah sesuatu dengan jernih, sehingga presiden tidak hanya mendapatkan informasi yang subjektif dan berpihak. Jangan berbeda dengan realitas kasihan, dong, presidennya," sambung Kapitra.

 

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengeklaim pembubaran FPI membuat masyarakat senang.

 

Sebab, kata mantan Ketua MK itu, iklim politik lebih stabil tanpa organisasi yang dipimpin Habib Rizieq Shihab tersebut.

 

"Sesudah itu (FPI dibubarkan, red), kan, masyarakat senang, ternyata terasa hidup nyaman sekarang. Sesudah itu dibubarkan, politik stabil," kata Mahfud dalam diskusi virtual pada Minggu (26/12). **


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.