Latest Post


 

SANCAnews.id – Pangi Syarwi Chaniago selaku pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa selama ini PSI hanya berani mengkritik Anies Baswedan tetapi tidak untuk pemimpin lain.

 

Ya, menurutnya PSI punya kebencian sendiri yang begitu besar kepada Gubernur DKI Jakarta itu sehingga serangan dan diskriminatif kepada Anies dinggap sebagai kritik tidak sehat.

 

Menurutnya, PSI saat ini hanya mencari kelemahan Anies Baswedan dalam memimpin DKI Jakarta.

 

“PSI saya pikir selama ini tidak fair, bukan lagi kritis tapi lebih besar DNA kebenciannya Ke Gubernur Anies,” ungkap Pangi.

 

“Tidak common sense kalau kemudian yang disorot kelemahan Anies, tapi tidak pernah menyorot keberhasilan dan mengapresiasi capaian Anies,” sambungnya, dikutip dari KBA News via Fajar, Senin, 27 Desember 2021.

 

Ia berujar bahwa PSI kerap menyerang Anies Baswedan tetapi PSI tidak pernah melihat dan mengkritik kepala daerah lain termasuk kepala negara Presiden Jokowi.

 

“Sikap kritis PSI kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sangat diskriminatif, karena hanya pada Anies mereka kritik, ke pemimpin lain tidak, juga tidak kritik Presiden Jokowi atas kebijakan-kebijakannya yang tidak pro rakyat,” paparnya.

 

Pangi mengatakan, sikap politisi seharusnya mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang tidak benar dan mengakui keberhasilannya, bukan malah menebar kebencian kepada seorang pemimpin.

 

“Politisi normal tentu saja lebih seimbang, kalau buruk silahkan dikritik, tapi kalau ada yang sukses dan dianggap berhasil mestinya tetap diapresiasi, jadi rational choice,” terangnya. (terkini)



 

SANCAnews.id – Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago menilai, Partai Solidaritas Indonesia atau PSI, punya kebencian yang begitu besar kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sehingga serangan dan diskriminatif yang kepada Anies yang dianggap sebagai kritik, sudah tidak fair.

 

PSI hanya mencari-cari kelemahan Anies Baswedan dalam memimpin DKI Jakarta. PSI tidak melihat keberhasilan Anies.

 

“PSI saya pikir selama ini tidak fair, bukan lagi kritis tapi lebih besar DNA kebenciannya Ke Gubernur Anies. Tidak common sense kalau kemudian yang disorot kelemahan Anies, tapi tidak pernah menyorot keberhasilan dan mengapresiasi capaian Anies,” kata Pangi dikutip dari KBA News, Senin (27/12/2021).

 

Pangi berpendapat, PSI kerap menyerang Anies Baswedan. Padahal Partai itu level Nasional. Tetapi PSI tidak pernah melihat dan mengkritik kepala daerah lain termasuk kepala negara Presiden Jokowi.

 

“Sikap kritis PSI kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sangat diskriminatif, karena hanya pada Anies mereka kritik, ke pemimpin lain tidak, juga tidak kritik Presiden Jokowi atas kebijakan-kebijakannya yang tidak pro rakyat,” ujarnya.

 

Pangi mengatakan, sikap politisi seharusnya mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang tidak benar dan mengakui keberhasilannya, bukan malah menebar kebencian kepada seorang pemimpin.

 

“Politisi normal tentu saja lebih seimbang, kalau buruk silahkan dikritik, tapi kalau ada yang sukses dan dianggap berhasil mestinya tetap diapresiasi, jadi rational choice,” jelasnya.

 

Bagi Pangi, pidato Ketua Umum PSI Giring Ganesha yang sering menuding Anies sebagai pembohong hanya sebuah dagelan dan lelucon dari seorang ketua partai level nasional.

 

“Terakhir kemarin dagelan lelucon Ketum PSI yang level nasional menyerang karakter yang ditujukan ke Anies yang pernah di pecat Jokowi soal pemimpin pembohong. DNA kebenciannya terlihat besar sekali,” pungkasnya. (fajar)



 

SANCAnews.id – Pengamat politik Tony Rosyid berpandangan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tidak akan pernah berhenti menyerang Anies Baswedan. Sebab, menurutnya, menyerang Anies adalah bagian dari pilihan strategi branding PSI untuk mendongkrak elektoral.

 

"Pertama, serangan kepada Anies ini dianggap efektif untuk menjaga dan menaikkan popularitas PSI. Kedua, boleh jadi serangan kepada Anies dijadikan strategi untuk membidik suara dari kelompok yang selama ini kurang suka terhadap Anies,"  kata Tony. 

 

Tony mengatakan saat ini Anies sangat populer. Terutama posisinya sebagai Gubernur di Ibu kota dan calon presiden 2024. Dengan begitu, menyerang Anies akan mendapat tumpangan untuk ikut populer.

 

"Jika anda ingin populer, jalan termudah dan paling cepat adalah menyerang orang yang sudah populer. Ini teori klasik yang masih terus berlaku hingga hari ini," ujarnya.

 

Tony mengungkap PSI harus memiliki eksistensi yang tersosialisasi ke publik sebagai partai yang ingin menjadi peserta pemilu 2024. Artinya, publik harus tahu kalau PSI masih ada.

 

Mengapa tidak mengambil sikap oposisi terhadap Jokowi? Jawabannya sederhana, PSI tidak punya anggota DPR RI atau anggota legislatif di pusat. Selain ada faktor lain yang terkait "man behind the gun".

 

"Strategi yang dipilih oleh PSI adalah menjadi oposisi Anies Baswedan. Maka, menyerang Anies ini gak ada hubungan dengan perasaan like or dislike. Tapi, ini mungkin hanya soal strategi. Kalau ada keterlibatan perasaan, itu hanya efek sampingan," jelasnya.

 

Sebagai partai yang memiliki delapan anggota DPRD di DKI, PSI punya legitimasi untuk mengkritisi Anies. PSI menggunakan peran controlling anggota legislatif sebagai alasan. Namun apakah serangan PSI terhadap Anies kritik atau fitnah, publik paham soal itu.

 

"Kritik itu berbasis data. Kalau fitnah gak perlu, atau bahkan kontra data. Hanya itu bedanya," singgung Tony.

 

Tony menyebut pidato Ketum PSI Giring Ganesha Djumaryo saat momen HUT ke-7 PSI pekan lalu merupakan runutan serangan yang dilakukan para kader PSI terhadap Anies.

 

Di hadapan Jokowi, dalam pidatonya, Giring mengumbar pernyataan Indonesia akan suram jika yang terpilih menjadi presiden 2024 adalah seorang pembohong dan orang yang pernah dipecat oleh Jokowi.

 

Meski secara eksplisit tidak menyebut nama, namun secara implisit maksud pidato Giring benar-benar dimaksudkan untuk Anies.

 

Apalagi bukan pertama kali Giring menyerang Anies dengan pernyataan serupa. Pekan ketiga September 2021, Giring menyerang Anies dengan perkataan serupa dan sama sekali tidak menyinggung data dan fakta.

 

"Kenapa yang paling kritis justru ketua umum PSI dan kader di luar legislatif? Lagi-lagi, ini hanya soal strategi branding. Semakin besar reaksi terhadap pernyataan kader PSI, ini tandanya bahwa umpan mereka berhasil.

 

Giring dan juga kader PSI yang lain hanya petugas partai. Mereka hanya menjalankan tugas sesuai dengan pilihan strategi yang mungkin mereka anggap efektif," tutur Tony.

 

Meski demikian, menurut Tony, pilihan strategi tersebut tidak hanya menguntungkan PSI sebagai partai yang berupaya merangkak untuk bisa ikut berlaga di pemilu 2024. Menurutnya, berkah yang sama didapatkan Anies. Semakin banyak yang menyerang dan black campaign Anies, maka semakin besar gelombang empati, simpati dan dukungan terhadap Anies.

 

"Mendengar statemen Giring kemarin, saya menduga Anies akan senyum-senyum saja. Dan ini jadi kebiasaan Anies, selalu senyum setiap kali diserang dan dibully. Di balik senyum Anies, ada hikmah yang besar. Anies makin lapang jalannya menuju ke Istana," demikian kata Tony Rosyid akhir pekan lalu. (akurat)




 

SANCAnews.id – Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukan jika tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi masih sangat tinggi.

 

SMRC dalam rilisnya menyebut tingkat kepuasan masyarakat terhadap Mantan Gubernur Jakarta itu mencapai 71,7 persen.

 

Secara demografi, etnis Jawa menjadi etnis yang paling puas dengan kinerja Jokowi dengan tingkat kepuasan 78%.

 

Sementara untuk etnis Sunda memiliki tingkat kepuasan hanya 63%, Madura 58%, Betawi 63% dan Bugis 64%.

 

Sedangkan untuk tingkat kepuasan tertinggi dimiliki oleh etnis Batak yang mencapai 84%. Atau yang tertinggi di Indonesia.

 

Namun Jokowi memiliki tingkat kepuasan yang sangat rendah bagi etnis Minang yang hanya memperoleh 19%.

 

“Kepuasan terhadap kinerja Presiden Jokowi lebih rendah pada pemilih etnis Minang (19%),” ucap Direktur Riset SMRC, Deni Irvani.

 

Survei SMRC ini dilakukan pada 8-16 Desember 2021 melalui tatap muka atau wawancara langsung dengan melibatkan 2420 responden terpilih secara acak (multistage random sampling) dari seluruh populasi Indonesia yang berumur minimal 17 tahun atau sudah menikah.

 

Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 2062 atau 85%. Margin of error survei diperkirakan sebesar ± 2,2 % pada tingkat kepercayaan 95%. (fajar)



 

SANCAnews.id – Keputusan Presiden Joko Widodo dengan mengalokasikan kursi Wakil Menteri (Wamen) di Kementrian Sosial menjadi sorotan.

 

Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga berpendapat, penambahan kursi Wamen dianggap tidak jelas dalam satu Kementrian.

 

“Semua tugas dan fungsi kementerian sesungguhnya sudah terbagi habis di unit eselon 1. Tugas dan fungsi eselon I juga sudah dijabarkan secara operasional oleh unit eselon II,” kata Jamiluddin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (27/12).

 

Sementara lanjutnya, semua kebijakan yang terkait dengan tugas dan fungsi di setiap Kementrian ditentukan oleh seorang Menteri. Sementara, kata Jamiluddin, Sekjen biasanya mewakili Menteri dalam kegiatan seremonial lalu Dirjen mewakili menteri dalam bidang operasional sesuai tugas dan fungsi kementeriannya.

 

Dengan demikian, menurut penulis buku Perang Bush Memburu Osama ini, tugas dan fungsi setiap Kementerian pada dasarnya sudah terbagi habis. Tidak ada lagi tugas dan fungsi kementerian yang perlu didistribusikan untuk Wamen.

 

“Karena itu, penempatan Wamen di Kementerian pada dasarnya bukanlah kebutuhan. Sebab, Kementerian yang sudah memiliki kursi wamen juga kinerjanya tidak membaik,” tekan Jamiluddin.

 

Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 110/2021 Tentang Kementerian Sosial pada 14 Desember 2021. Jokowi menambah jabatan Wakil Menteri pada Kementrian Sosial. Sehingga total saat ini 16 jabatan Wamen berada dalam pemerintahan Presiden Jokowi.

 

“Hal itu tentu tidak sejalan dengan keinginan Jokowi yang selalu ingin berhemat. Beban negara untuk 16 kursi wamen tentu tidak sedikit. Padahal negara saat ini sedang mengalami kesulitan keuangan,” sesal mantan Dekan Fikom IISIP ini.

 

Disisi lain, Jamiluddin menangkap dalam penambahan kursi Wamen hanya untuk mengakomodir orang-orang yang dinilai berjasa mengantarkan Jokowi jadi presiden. Jadi, kursi wamen hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik.

 

“Selain memang tidak berkaitan dengan peningkatan kinerja kabinet, juga tidak sejalan dengan janjinya untuk menyusun kabinet yang ramping,” demikian Jamiluddin. (*)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.