Latest Post


 

SANCAnews.id – Rachel Vennya dkk divonis 4 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan. Rachel Vennya dkk tidak ditahan.

 

Majelis hakim PN Tangerang menyatakan Rachel Vennya bersalah telah melanggar protokol kesehatan karantina kesehatan. Vonis ini berlaku untuk Rachel dan juga Salim Nauderer serta Maulida Khairunnisa.

 

"Mengadili, menyatakan terdakwa Rachel Vennya Ronald, Salim Nauderer, Maulida Khairunnisa telah terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana terkait karantina kesehatan," kata hakim saat membacakan vonis oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Jumat (10/12/2021).

 

"Dijatuhi pidana masing-masing selama 4 bulan dengan ketentuan hukuman tersebut tidak perlu dijalani, kecuali apabila di kemudian hari dengan putusan hakim diberikan perintah lain atas alasan terpidana sebelum waktu percobaan selama 8 bulan berakhir telah bersalah melakukan suatu tindakan pidana, dan denda masing-masing-masing denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan," lanjut hakim.

 

Hakim menilai Rachel terus terang mengakui perbuatannya dan tidak berbelit-belit dalam memberi keterangan. Rachel juga ketika di tes COVID-19 hasilnya negatif.

 

"Hal yang meringankan terdakwa mengakui terus terang perbuatannya, terdakwa tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan, terdakwa bersikap sopan di persidangan, hasil tes para terdakwa pada saat kejadian negatif sehingga kecil kemungkinan akan menularkan penyakit kepada masyarakat lainnya," tutur hakim.

 

Namun, yang memberatkannya sehingga hakim menyatakan Rachel bersalah adalah Rachel merupakan public figure. Perbuatan Rachel dinilai bisa memberikan contoh buruk.

 

"Yang memberatkan, terdakwa merupakan public figure yang seharusnya menjadi contoh bagi para pengikutnya atau kepada masyarakat," tegas hakim. (dtk)



 

SANCAnews.id – Munarman kini menghadapi sejumlah ancaman, mulai dari hukuman maksimal seumur hidup, atau bahkan mati. Munarman sendiri belakangan ditahan usai dugaan keterlibatannya pada kasus terorisme.

 

Terkait ancaman hukuman yang diberikan pada Munarman, termasuk ancaman mati, pakar hukum tata negara Refly Harun angkat bicara. Refly Harun mempertanyakan tafsir dari istilah terorisme yang melibatkan Munarman.

 

Dia menduga ada pihak-pihak yang pro pada pemerintah Presiden Joko Widodo dan berharap tuduhan kepada Munarman dapat terbukti. “Biasanya, katakanlah orang-orang yang pro kekuasaan biasanya menari-nari di balik tuduhan ini dan memang berharap tuduhan itu terbukti,” kata Refly Harun dikutip saluran Youtube-nya, Kamis 9 Desember 2021.

 

Sementara orang yang mendukung Munarman, berharap agar tuduhan-tuduhan itu tidak terbukti. Apalagi disebutkan bahwa Munarman seolah sesangar dan seseram yang dibayangkan.

 

“Seperti dibait dan sebagainya. Ada dua hal yang saya tahu, baik komentar apapun soal HRS, Munarman, Laskar FPI termasuk soal pembubarannya. Itu sepertinya siap-siap saja ada pihak yang mau nimpe,” katanya.

 

Pro kontra hukuman mati Munarman

Kata Refly Harun, dakwaan yang disangkakan kepada Munarman akan memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, “Ini kegiatan yang dilakukan kira-kira 5 tahun, 6 tahun lalu,” kata Refly Harun. (hops)




 

SANCAnews.id – Proyek infrastruktur garapan pemerintahan Presiden Joko Widodo kian disorot publik. Proyek pembangunan yang selama ini menjadi semangat pemerintahan Jokowi justru menunjukkan sisi negatif, mulai dari minim pemasukan, hingga adanya kecelakaan kerja yang baru-baru ini terungkap dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

 

Begawan ekonomi Rizal Ramli secara khusus menyoroti perkembangan proyek infrastruktur yang selama ini dibanggakan pemerintahan. Pada dasarnya, kata RR, sapaan Rizal Ramli, proyek infrastruktur penting bagi bangsa asalkan dijalankan dengan benar dan sesuai studi.

 

"Pembangunan infrastuktur itu perlu. Tapi proyek-proyek infrastruktur ‘komando boss’, tanpa feasibility study, jadi bancakan, dibiayai utang dan buntutnya hanya jadi beban APBN," kata Rizal Ramli dikutip dari akun Twitternya, Kamis (9/12).

 

Selain karena minim studi kelayakan, kegagalan atas proyek infrastruktur juga tak lepas dari adanya praktik main anggaran. Tak sedikit megaproyek yang dijalankan justru di-markup demi kepentingan kantong pribadi.

 

"Seperti Monorail Palembang, Bandara Kertajati dan lain-lain. Proyek-proyek ‘komando’ sering terjadi dengan markup 130 sampai 150 persen," kritiknya.

 

Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan pembongkaran tiang pancang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) garapan PT Kereta Cepat Indo-China (KCIC). Pembongkaran dilakukan karena tiang pancang atau pier yang dipasang tidak sesuai koordinat.

 

Pembongkaran ini menjadi viral di media sosial lantaran beberapa tiang pancang sudah berdiri tegak namun dirobohkan karena masalah teknis.

 

"Tim Quality PT KCIC dan Konsultan Supervisi CDJO menemukan pergeseran alignment pekerjaan pier di DK46 dan menginstruksikan Kontraktor melakukan rework dan membongkarnya untuk dibangun kembali sesuai spesifikasi teknis yang sudah ditetapkan," ujar Presiden Director PT KCIC, Dwiyana Slamet Riyadi mengklarifikasi, Rabu (8/12).

 

Belum lagi sejumlah bandara milik Angkasa Pura I yang minim pemasukan. PT Angkasa Pura I melaporkan pandemi yang melanda sejak 2020 berdampak terhadap penurunan penumpang secara drastis di 15 bandara Angkasa Pura Airports.

 

Ada beberapa catatan bandara yang menjadi sepi penumpang setelah dioperasikan. Salah satunya Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

 

Bandara yang dibangun dengan anggaran Rp 12 triliun masih jauh dari target pemasukan sejak beroperasi pada Agustus 2020 lalu.

 

Belum lagi Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, Majalengka, Jawa Barat. Saat ini, bandara tersebut mengalihkan sementara penerbangan komersial ke Bandara Husein Sastranegara, Bandung. (rmol)



 

SANCAnews.id – Pembongkaran tiang pancang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menunjukkan klaim kinerja Presiden Joko Widodo selama ini tidak efisien.

 

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah merespons pembongkaran tiang pancang atau pier proyek KCJB yang viral di media sosial, Rabu kemarin (8/12).

 

"Kejadian ini menegaskan jika klaim kerja kerja kerja yang digaungkan Presiden Joko Widodo tidak terbukti efisien," kata Dedi kepada Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu di Jakarta, Kamis (9/12).

 

Selain itu, aksi turun ke jalan yang kerap dilakukan Presiden Jokowi untuk meninjau pembangunan juga seakan terciderai dengan insiden pembongkaran pier KCJB yang terjadi di Karawang, Jawa Barat itu.

 

"Aktivitas presiden yang selama ini giat turun langsung pun tak terbukti memperbaiki iklim kerja di tingkat bawah," imbuhnya.

 

Menurutnya, klarifikasi pihak PT Kereta Cepat Indo-China (KCIC) yang menyebut pembongkaran dilakukan lantaran pier yang dipasang tidak sesuai koordinat semakin membuktikan bahwa pembangunan tanpa perencanaan yang baik.

 

"Ada kesan menihilkan kajian yang presisi, ini akan semakin menurunkan kepercayaan publik pada proyek KCIC yang memang sejauh ini banyak kritik," sesalnya.

 

Dedi juga menyesalkan Insiden tersebut seolah menganggap enteng anggaran negara yang telah digelontorkan untuk pembangunan KCIB.

 

"Pembengkakan anggaran, perubahan sumber anggaran, hingga urgensi proyek secara umum, dan kini muncul keteledoran luar biasa yang tentu berdampak banyak," katanya.

 

Atas dasar itu, Dedi meminta pemerintah tanggung jawab atas kelalaian proyek pembangunan KCIB. Jika demikian, sudah seharusnya proyek KCIB dihentikan untuk sementara waktu hingga pertangungjawaban atas kelalaian dalam insiden tersebut dilakukan.

 

"Pemerintah seharusnya menghentikan proyek ini sementara waktu, lakukan audit sebelum mengalami kerugian dan persoalan lebih jauh. Dan tentu, harus ada yang bertanggung jawab atas kelalaian merugikan ini," tandasnya. (*)


Tonton video viralnya




 

SANCAnews.id – Sebuah surat terbuka ditulis oleh Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Irres) yang juga deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Marwan Batubara kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

Surat berjudul “Inilah Temuan BPK Atas Dugaan Korupsi Ahok, Tangkap dan Adili Segera!” ditulis dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Sedunia yang jatuh pada hari ini, Kamis (9/12).

 

Tulisan ini berisi dugaan-dugaan korupsi yang dilakukan Komisaris Utama PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama saat masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Dugaan itu didasari pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berikut petikan suratnya: 

 

Dengan Hormat,

 

Dengan surat ini kami sampaikan bahwa pada 17 Juli 2017 yang lalu, kami telah melaporkan kepada KPK kasus-kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selama menjabat sebagai Bupati Belitung Timur dan Gubernur DKI Jakarta.

 

Namun hingga saat ini tidak terlihat upaya serius dari KPK untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Padahal dugaan korupsi tersebut jelas melanggar hukum dan berpotensi pula merugikan negara triliunan rupiah, serta alat-alat bukti untuk sebagian kasus tersebut telah lebih dari cukup.

 

Sehubungan hal di atas, dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia 2021, kami mengulang kembali laporan IRESS, khususnya terkait tentang kasus dugaan korupsi lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW).

 

Apalagi, berdasarkan audit yang dilakukan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) temuan-temuan berupa pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara dalam kasus tersebut sudah material dan lebih dari cukup untuk diproses di pengadilan. Hanya karena sikap Pimpinan KPK yang kami anggap sangat menyimpang dan melindungi Ahok-lah maka kasus tersebut dihentikan.

 

Kami ingatkan agar Pimpinan KPK berpegang teguh pada Sumpah Jabatan, dan tidak lagi terus-menerus mencari dalih untuk menyelamatkan Ahok dari proses hukum. Indonesia adalah negara hukum. Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum, termasuk Ahok! Jangan sampai rakyat bertindak sendiri untuk mengadili Ahok!

 

Adapun ringkasan kasus dugaan korupsi RSSW diuraikan berikut ini. Pembelian lahan RSSW mencuat setelah BPK Perwakilan DKI Jakarta menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 pada Sidang Paripurna DPRD Provinsi DKI Jakarta, 6 Juli 2015.

 

Hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014, mengungkap terdapat 70 temuan senilai Rp 2,16 triliun, yang terdiri atas temuan yang berindikasi kerugian daerah senilai Rp 442,37 miliar, potensi kerugian daerah senilai Rp 1,71 triliun, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23 milyar, administrasi senilai Rp 469,51 juta dan pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. Dari temuan tersebut, terungkaplah kasus dugaan korupsi pengadaan tanah RSSW.

 

Pengadaan lahan RSSW ini dilakukan melalui proses yang melanggar berbagai undang-undang dan peraturan, sehingga terindikasi merugikan daerah senilai Rp 191,33 milyar. BPK juga merekomendasikan untuk melakukan upaya pembatalan pembelian tanah RSSW seluas 36.410 m2 dengan pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW). Jika pembatalan tidak dapat dilaksanakan, Pemda direkomendasikan agar meminta pertanggungjawaban pihak YKSW sesuai ketentuan yang berlaku.

 

Pada 6 Agustus 2015, KPK meminta BPK melakukan audit investigatif atas pembelian lahan tersebut dan laporan hasil pemeriksaan audit investigatif tersebut diserahkan kepada KPK pada 7 Desember 2015. Dalam laporan audit tersebut, BPK menyebutkan terjadi enam penyimpangan terkait proses pembelian lahan RSSW, yaitu penyimpangan dalam tahap perencanaan, penganggaran, pembentukan tim, pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras, penetuan harga, dan penyerahan hasil2.

 

Pemprov DKI Jakarta tidak membuat studi kelayakan lokasi dan perkiraan nilai tanah sebagaimana diatur pada pasal 6 ayat (1) huruf b dan d Perpres No.71/2012. Kelayakan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurub b, perlu dilakukan untuk menghasilkan analisis mengenai kesesuaian fisik lokasi dengan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan untuk kepentingan umum yang dituangkan dalam bentuk peta rencana lokasi pembangunan. Lokasi tanah yang dibeli Pemprov DKI Jakarta (yang akan digunakan/dibangun Rumah Sakit) ternyata tidak mempunyai akses ke jalan raya.

 

Perkiraan nilai tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d Perpres No.71/2012, dilakukan untuk menghasilkan perkiraan besarnya nilai Ganti Kerugian Objek Pengadaan Tanah. Harga tanah yang dibayar Pemprov DKI Jakarta tidak berdasarkan Penilai internal maupun Penilai Publik (appraisal). Hal ini melanggar pasal 6 ayat (1) huruf d dan pasal 6 ayat (5). BPK dalam LHP-nya juga menilai lahan yang dibeli Pemprov DKI bukan terletak di Jl. Kyai Tapa tetapi di Jl. Tomang Utara yang nilai NJOP-nya jauh lebih rendah.

 

Penyimpangan lain adalah penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) Pencairan Dana Pembelian RSSW tanpa disertai dokumen pendukung yang lengkap. Bahkan, ada sejumlah dokumen pendukung dimanipulasi dengan modus backdated. Waktu penerbitan Surat Pernyataan Tanggung Jawab dari Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati atas pelaksanaan pengadaan tanah yang ditulis tanggal 15 Desember 2014 dan Surat Penetapan Harga Pembelian Tanah YKSW Nomor 4532 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember2014 ternyata dimanipulasi.

 

Kedua dokumen itu menunjukkan baru disiapkan pada 22 Desember 2014, atau seminggu lebih lama dari tanggal yang dituliskan. Penandatanganan kedua dokumen tersebut dilakukan setelah tanggal penadatanganan Akta Pelepasan Hak, 17 Desember 2014. Hal itu diakui oleh Dien Emawati dalam pemeriksaan BPK. Bendahara Pengeluaran Dinkes DKI Bunyamin mengakui SPM pencairan duit pembelian Sumber Waras tetap diajukan, meskipun sejumlah dokumen kelengkapan belum terpenuhi pada 15 Desember 2014. Bahkan, syarat dokumen seperti SK Gubernur Nomor 2136 tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi yang tanggal terbitnya sudah dimanipulasi turut disertakan sebagai syarat penerbitan SPM.

 

Dokumen lain yang dimanipulasi adalah Daftar Nominatif yang diberi tanggal 12 Desember ternyata baru selesai diproses 22 Desember, mengacu pada temuan data properties softcopy file. Artinya, semua berkas itu secara administratif baru lengkap seminggu melewati batas waktu penyampaian SPM yang diatur dalam Instruksi Gubernur No. 152/2014, yang menetapkan semua berkas paling lambat harus masuk sebelum 15 Desember 2014 pukul 24.00.

 

Ahok pun menerbitkan Instruksi Gubernur No.167/2014 tentang Perubahan Batas Waktu Penyampaian SPM Tahun Anggaran 2014, yang isinya khusus SPM pengadaan tanah untuk kepentingan umum diperpanjang sampai 29 Desember 2014 pukul 18.00. Anehnya, Instruksi Gubernur ini berlaku pada tanggal ditetapkan 22 Desember 2014, yang kebetulan bertepatan dengan kelengkapan penyerahan berkas SPM Sumber Waras.

 

Sebenarnya banyak keanehan lain yang dapat dikategorikan sebagai manipulasi dan pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus dugaan korupsi lahan RSSW ini, dan dapat ditelusuri dengan gamblang dalam laporan BPK yang disebutkan di atas. Dengan demikian, sebenarnya cukup mudah bagi KPK untuk menuntaskan kasus ini, sepanjang ada niat baik untuk menegakkan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu.

 

Terlepas dari pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah kami sebutkan di atas, secara ringkas dapat pula kami sampaikan berbagai pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara yang dilakukan oleh Ahok dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) sebagai berikut:

 

•    Merubah nomenklatur R-APBD 2014 tanpa persetujuan DPRD DKI, dan memanipulasi dokumen pendukung pembelian lahan dengan modus backdated;

 

•    Mengabaikan rekomendasi BPK untuk membatalkan pembelian lahan RSSW. Hal ini melanggar Pasal 20 Ayat 1 UU No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;

 

•    Berpotensi merugikan negara Rp 191 miliar. Hal ini melanggar Pasal 13 Undang-Undang No.2/2012 tentang Pengadaan tanah bagi Kepentingan Umum dan Pasal 2 Perpres No.71/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

 

•    Bepotensi adanya tambahan kerugian negara Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sisanya telah digelapkan, Ahok harus mempertanggungjawabkan penggelapan uang negara ini!;

 

•    Berpotensi menimbulkan tambahan kerugian negara miliaran Rp dari sewa lahan, dan hal ini bertentangan dengan Pasal 6 Permendagri No.17/2007, PP No. 27/2014 dan UU No 17/2003.

 

KPK telah berlaku tidak profesional dalam penanganan kasus-kasus dugaan korupsi, sehingga terkesan “pilih-tebang” dan membuat sejumlah kasus korupsi besar justru dihentikan. KPK dinilai abai, zolim dan sengaja melupakan kasus-kasus korupsi bernilai miliaran atau triliunan Rp, seperti skandal mega-korupsi Bank Century, Hambalang, Reklamasi Teluk Jakarta dan RSSW. Dalam penanganan kasus-kasus tersebut KPK dinilai terus mencari-cari alasan agar proses hukum dihentikan. Salah satu tujannya adalah untuk menyelamatkan Ahok dari proses hukum.

 

Di sisi lain, dalam rangka menjaga citra dan agar tetap mendapat dukungan publik guna mempertahankan eksistensi, KPK terlihat sangat aktif mengusut kasus-kasus korupsi bernilai ratusan juta Rp melalui operasi tangkap tangan (OTT). Bahkan dalam beberapa kasus, dinilai status OTT terhadap “objek” yang menjadi sasaran KPK sedikit dipaksakan, atau bahkan terindikasi bernuansa politis.

 

Sikap dan sepak terjang KPK seperti di atas tentu jauh dari harapan publik. Bahkan yang lebih penting, kebijakan dan pola kerja yang ditempuh KPK tersebut telah membuat pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan di tempat, dan tujuan awal pembentukan KPK sesuai amanat reformasi dan perintah UU KPK semakin jauh dari target yang ingin dicapai.

 

Kami tidak ingin KPK berubah peran menjadi alat politik penguasa, sehingga menimbulkan adanya “penyanderaan” atau barter kasus yang berujung pada dihentikannya proses hukum. Kami pun tidak mengharapkan bertambah atau berubahnya peran KPK menjadi bagian dari perangkat politik penguasa guna “menjinakkan” para pimpinan partai yang menjadi lawan politik penguasa.

 

Kami juga sangat khawatir KPK berubah menjadi lembaga pelindung koruptor guna mengamankan kepentingan oligarki penguasa-pengusaha. Sikap KPK ini terlihat dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan Ahok. Untuk maksud tersebut, pimpinan KPK sampai perlu membuat pernyataan “absurd” bahwa Ahok tidak memiliki niat jahat, meskipun alat bukti guna memeroses kasus sudah lebih dari cukup, seperti terjadi pada penyelidikan awal kasus RSSW.

 

Sehubungan dengan uraian diatas, kami meminta agar KPK segera melanjutkan kembali proses hukum terhadap Ahok terutama pada kasus lahan RSSW, bukan malah menghentikannya. Alat-alat bukti permulaan sudah jauh lebih dari cukup untuk memeroses Ahok ke pengadilan. Dengan demikian, KPK sekaligus dapat membuktikan diri bukan berperan sebagai lembaga pelindung koruptor, alat politik penguasa, atau bagian dari oligarki penguasa-pengusaha guna mempertahankan dominasi.

 

Dalam rangka peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia 2021, bersama seluruh rakyat Indonesia yang anti korupsi dan anti dominasi oligarki pelindung koruptor, tuntutan ini kembali kami sampaikan. Atas perhatian dan komitmen KPK untuk pemberantasan korupsi kami ucapkan terima kasih.

 

Hormat kami,

Marwan Batubara.(rmol)



SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.