Temuan BPK Terkait Dugaan Korupsi Ahok, Surat Terbuka Kepada Pimpinan KPK, Tangkap dan Adili Segera!
SANCAnews.id – Sebuah surat terbuka ditulis oleh Direktur
Eksekutif Indonesia Resources Studies (Irres) yang juga deklarator Koalisi Aksi
Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Marwan Batubara kepada pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Surat berjudul “Inilah Temuan BPK Atas Dugaan Korupsi Ahok,
Tangkap dan Adili Segera!” ditulis dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi
Sedunia yang jatuh pada hari ini, Kamis (9/12).
Tulisan ini berisi dugaan-dugaan korupsi yang dilakukan
Komisaris Utama PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama saat masih menjabat
sebagai gubernur DKI Jakarta. Dugaan itu didasari pada temuan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Berikut petikan suratnya:
Dengan Hormat,
Dengan surat ini kami sampaikan bahwa pada 17 Juli 2017 yang
lalu, kami telah melaporkan kepada KPK kasus-kasus dugaan korupsi yang
dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selama menjabat sebagai Bupati
Belitung Timur dan Gubernur DKI Jakarta.
Namun hingga saat ini tidak terlihat upaya serius dari KPK untuk
menindaklanjuti laporan tersebut. Padahal dugaan korupsi tersebut jelas
melanggar hukum dan berpotensi pula merugikan negara triliunan rupiah, serta
alat-alat bukti untuk sebagian kasus tersebut telah lebih dari cukup.
Sehubungan hal di atas, dalam rangka memperingati Hari Anti
Korupsi Sedunia 2021, kami mengulang kembali laporan IRESS, khususnya terkait
tentang kasus dugaan korupsi lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW).
Apalagi, berdasarkan audit yang dilakukan Badan Pemeriksaan
Keuangan (BPK) temuan-temuan berupa pelanggaran hukum dan potensi kerugian
negara dalam kasus tersebut sudah material dan lebih dari cukup untuk diproses
di pengadilan. Hanya karena sikap Pimpinan KPK yang kami anggap sangat
menyimpang dan melindungi Ahok-lah maka kasus tersebut dihentikan.
Kami ingatkan agar Pimpinan KPK berpegang teguh pada Sumpah
Jabatan, dan tidak lagi terus-menerus mencari dalih untuk menyelamatkan Ahok
dari proses hukum. Indonesia adalah negara hukum. Setiap orang mempunyai
kedudukan yang sama dalam hukum, termasuk Ahok! Jangan sampai rakyat bertindak
sendiri untuk mengadili Ahok!
Adapun ringkasan kasus dugaan korupsi RSSW diuraikan berikut
ini. Pembelian lahan RSSW mencuat setelah BPK Perwakilan DKI Jakarta
menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Keuangan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2014 pada Sidang Paripurna DPRD Provinsi DKI Jakarta, 6 Juli
2015.
Hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta Tahun 2014, mengungkap terdapat 70 temuan senilai Rp 2,16 triliun,
yang terdiri atas temuan yang berindikasi kerugian daerah senilai Rp 442,37
miliar, potensi kerugian daerah senilai Rp 1,71 triliun, kekurangan penerimaan
daerah senilai Rp 3,23 milyar, administrasi senilai Rp 469,51 juta dan
pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. Dari temuan tersebut, terungkaplah kasus
dugaan korupsi pengadaan tanah RSSW.
Pengadaan lahan RSSW ini dilakukan melalui proses yang
melanggar berbagai undang-undang dan peraturan, sehingga terindikasi merugikan
daerah senilai Rp 191,33 milyar. BPK juga merekomendasikan untuk melakukan
upaya pembatalan pembelian tanah RSSW seluas 36.410 m2 dengan pihak Yayasan
Kesehatan Sumber Waras (YKSW). Jika pembatalan tidak dapat dilaksanakan, Pemda
direkomendasikan agar meminta pertanggungjawaban pihak YKSW sesuai ketentuan
yang berlaku.
Pada 6 Agustus 2015, KPK meminta BPK melakukan audit
investigatif atas pembelian lahan tersebut dan laporan hasil pemeriksaan audit
investigatif tersebut diserahkan kepada KPK pada 7 Desember 2015. Dalam laporan
audit tersebut, BPK menyebutkan terjadi enam penyimpangan terkait proses
pembelian lahan RSSW, yaitu penyimpangan dalam tahap perencanaan, penganggaran,
pembentukan tim, pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras, penetuan harga, dan
penyerahan hasil2.
Pemprov DKI Jakarta tidak membuat studi kelayakan lokasi dan
perkiraan nilai tanah sebagaimana diatur pada pasal 6 ayat (1) huruf b dan d
Perpres No.71/2012. Kelayakan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurub
b, perlu dilakukan untuk menghasilkan analisis mengenai kesesuaian fisik lokasi
dengan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan untuk kepentingan umum yang
dituangkan dalam bentuk peta rencana lokasi pembangunan. Lokasi tanah yang
dibeli Pemprov DKI Jakarta (yang akan digunakan/dibangun Rumah Sakit) ternyata
tidak mempunyai akses ke jalan raya.
Perkiraan nilai tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d Perpres No.71/2012, dilakukan untuk menghasilkan perkiraan besarnya
nilai Ganti Kerugian Objek Pengadaan Tanah. Harga tanah yang dibayar Pemprov
DKI Jakarta tidak berdasarkan Penilai internal maupun Penilai Publik
(appraisal). Hal ini melanggar pasal 6 ayat (1) huruf d dan pasal 6 ayat (5).
BPK dalam LHP-nya juga menilai lahan yang dibeli Pemprov DKI bukan terletak di
Jl. Kyai Tapa tetapi di Jl. Tomang Utara yang nilai NJOP-nya jauh lebih rendah.
Penyimpangan lain adalah penerbitan Surat Perintah Membayar
(SPM) Pencairan Dana Pembelian RSSW tanpa disertai dokumen pendukung yang
lengkap. Bahkan, ada sejumlah dokumen pendukung dimanipulasi dengan modus
backdated. Waktu penerbitan Surat Pernyataan Tanggung Jawab dari Kepala Dinas
Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati atas pelaksanaan pengadaan tanah yang
ditulis tanggal 15 Desember 2014 dan Surat Penetapan Harga Pembelian Tanah YKSW
Nomor 4532 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember2014 ternyata dimanipulasi.
Kedua dokumen itu menunjukkan baru disiapkan pada 22 Desember
2014, atau seminggu lebih lama dari tanggal yang dituliskan. Penandatanganan
kedua dokumen tersebut dilakukan setelah tanggal penadatanganan Akta Pelepasan
Hak, 17 Desember 2014. Hal itu diakui oleh Dien Emawati dalam pemeriksaan BPK.
Bendahara Pengeluaran Dinkes DKI Bunyamin mengakui SPM pencairan duit pembelian
Sumber Waras tetap diajukan, meskipun sejumlah dokumen kelengkapan belum
terpenuhi pada 15 Desember 2014. Bahkan, syarat dokumen seperti SK Gubernur
Nomor 2136 tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi yang tanggal terbitnya sudah
dimanipulasi turut disertakan sebagai syarat penerbitan SPM.
Dokumen lain yang dimanipulasi adalah Daftar Nominatif yang
diberi tanggal 12 Desember ternyata baru selesai diproses 22 Desember, mengacu
pada temuan data properties softcopy file. Artinya, semua berkas itu secara
administratif baru lengkap seminggu melewati batas waktu penyampaian SPM yang
diatur dalam Instruksi Gubernur No. 152/2014, yang menetapkan semua berkas
paling lambat harus masuk sebelum 15 Desember 2014 pukul 24.00.
Ahok pun menerbitkan Instruksi Gubernur No.167/2014 tentang
Perubahan Batas Waktu Penyampaian SPM Tahun Anggaran 2014, yang isinya khusus
SPM pengadaan tanah untuk kepentingan umum diperpanjang sampai 29 Desember 2014
pukul 18.00. Anehnya, Instruksi Gubernur ini berlaku pada tanggal ditetapkan 22
Desember 2014, yang kebetulan bertepatan dengan kelengkapan penyerahan berkas
SPM Sumber Waras.
Sebenarnya banyak keanehan lain yang dapat dikategorikan
sebagai manipulasi dan pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus dugaan
korupsi lahan RSSW ini, dan dapat ditelusuri dengan gamblang dalam laporan BPK
yang disebutkan di atas. Dengan demikian, sebenarnya cukup mudah bagi KPK untuk
menuntaskan kasus ini, sepanjang ada niat baik untuk menegakkan hukum dan
keadilan tanpa pandang bulu.
Terlepas dari pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah kami
sebutkan di atas, secara ringkas dapat pula kami sampaikan berbagai pelanggaran
hukum dan potensi kerugian negara yang dilakukan oleh Ahok dalam pembelian
lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) sebagai berikut:
• Merubah
nomenklatur R-APBD 2014 tanpa persetujuan DPRD DKI, dan memanipulasi dokumen
pendukung pembelian lahan dengan modus backdated;
• Mengabaikan
rekomendasi BPK untuk membatalkan pembelian lahan RSSW. Hal ini melanggar Pasal
20 Ayat 1 UU No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara;
• Berpotensi
merugikan negara Rp 191 miliar. Hal ini melanggar Pasal 13 Undang-Undang
No.2/2012 tentang Pengadaan tanah bagi Kepentingan Umum dan Pasal 2 Perpres
No.71/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
• Bepotensi adanya
tambahan kerugian negara Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp
355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sisanya telah digelapkan,
Ahok harus mempertanggungjawabkan penggelapan uang negara ini!;
• Berpotensi
menimbulkan tambahan kerugian negara miliaran Rp dari sewa lahan, dan hal ini
bertentangan dengan Pasal 6 Permendagri No.17/2007, PP No. 27/2014 dan UU No
17/2003.
KPK telah berlaku tidak profesional dalam penanganan
kasus-kasus dugaan korupsi, sehingga terkesan “pilih-tebang” dan membuat
sejumlah kasus korupsi besar justru dihentikan. KPK dinilai abai, zolim dan
sengaja melupakan kasus-kasus korupsi bernilai miliaran atau triliunan Rp,
seperti skandal mega-korupsi Bank Century, Hambalang, Reklamasi Teluk Jakarta
dan RSSW. Dalam penanganan kasus-kasus tersebut KPK dinilai terus mencari-cari
alasan agar proses hukum dihentikan. Salah satu tujannya adalah untuk
menyelamatkan Ahok dari proses hukum.
Di sisi lain, dalam rangka menjaga citra dan agar tetap
mendapat dukungan publik guna mempertahankan eksistensi, KPK terlihat sangat
aktif mengusut kasus-kasus korupsi bernilai ratusan juta Rp melalui operasi
tangkap tangan (OTT). Bahkan dalam beberapa kasus, dinilai status OTT terhadap
“objek” yang menjadi sasaran KPK sedikit dipaksakan, atau bahkan terindikasi
bernuansa politis.
Sikap dan sepak terjang KPK seperti di atas tentu jauh dari
harapan publik. Bahkan yang lebih penting, kebijakan dan pola kerja yang
ditempuh KPK tersebut telah membuat pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan
di tempat, dan tujuan awal pembentukan KPK sesuai amanat reformasi dan perintah
UU KPK semakin jauh dari target yang ingin dicapai.
Kami tidak ingin KPK berubah peran menjadi alat politik
penguasa, sehingga menimbulkan adanya “penyanderaan” atau barter kasus yang
berujung pada dihentikannya proses hukum. Kami pun tidak mengharapkan bertambah
atau berubahnya peran KPK menjadi bagian dari perangkat politik penguasa guna
“menjinakkan” para pimpinan partai yang menjadi lawan politik penguasa.
Kami juga sangat khawatir KPK berubah menjadi lembaga
pelindung koruptor guna mengamankan kepentingan oligarki penguasa-pengusaha.
Sikap KPK ini terlihat dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan
Ahok. Untuk maksud tersebut, pimpinan KPK sampai perlu membuat pernyataan
“absurd” bahwa Ahok tidak memiliki niat jahat, meskipun alat bukti guna
memeroses kasus sudah lebih dari cukup, seperti terjadi pada penyelidikan awal
kasus RSSW.
Sehubungan dengan uraian diatas, kami meminta agar KPK segera
melanjutkan kembali proses hukum terhadap Ahok terutama pada kasus lahan RSSW,
bukan malah menghentikannya. Alat-alat bukti permulaan sudah jauh lebih dari
cukup untuk memeroses Ahok ke pengadilan. Dengan demikian, KPK sekaligus dapat
membuktikan diri bukan berperan sebagai lembaga pelindung koruptor, alat
politik penguasa, atau bagian dari oligarki penguasa-pengusaha guna
mempertahankan dominasi.
Dalam rangka peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia 2021,
bersama seluruh rakyat Indonesia yang anti korupsi dan anti dominasi oligarki
pelindung koruptor, tuntutan ini kembali kami sampaikan. Atas perhatian dan
komitmen KPK untuk pemberantasan korupsi kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Marwan Batubara.(rmol)