Latest Post


 

SANCAnews.id – Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menyebut ada gesekan panas di dalam internal Partai Gerindra.

 

Menurutnya, percikan-percikan tersebut tampak jelas setelah Anggota DPR RI Komisi I Fadli Zon sempat menghilang selama 2 minggu dari media sosial Twitter. Ia pun melihat kondisi ini sebagai hal yang wajar terjadi di sejumlah partai.

 

“Tak terkecuali Gerindra terdapat beberapa faksi atau kubu. Dulu ada kubu Edi Prabowo yang kini telah tersingkir karena tersangkut kasus korupsi,” ujar Adib kepada Genpi.co, Selasa (30/11).

 

Ia mengatakan fenomena kubu-berkubu dalam parpol memang sudah jamak dan tidak bisa terhindarkan.

 

Bahkan, ada juga beberapa nama di dalam partai yang disebut-sebut memiliki potensi besar di kemudian hari.

 

“Ada Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua Umum (waketum) Partai Gerindra Sugiono yang sudah dianggap seperti anak angkat Prabowo,” katanya.

 

Selain itu, menurut Adib, ada pula Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo dan Fadli Zon.

 

Ia pun melihat adanya gesekan internal di Partai Gerindra yang berusaha untuk menyingkirkan Fadli Zon.

 

“Saya lihat pola gesekan di internal ini semacam cara untuk menggeser Fadli Zon dari kontestasi di internal partai tersebut,” beber Adib.

 

Terlebih lagi, menurut Adib, kini Juru Bicara Partai Gerindra Habiburokhman menjadi corong dari Dasco.

 

“Jadi memang hanya Fadli Zon ini yang tidak membentuk kelompok di internal. Saya melihat pola politiknya selalu main tunggal dan demi kepentingan elektoral pribadi,” katanya.

 

Bahkan, menurut Adib, Fadli Zon hanya mengandalkan kedekatan pribadi dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

 

“Jadi wajar kalau kesempatan ini digunakan untuk mengeser Fadli Zon dari posisi penting di Gerindra,” tandas Adib. ***



 

SANCAnews.id – Pelaku penembakan di Exit Tol Bintaro pada, Jumat (26/11/2021), terkuak. Pelaku merupakan anggota Satuan Patroli Jalan Raya (Sat PJR) Ditlantas Polda Metro Jaya, Ipda OS.

 

Saat ini, Ipda OS masih diperiksa intensif Bidang Propam Polda Metro Jaya serta Divisi Propam Mabes Polri terkait motif penembakan.

 

"Ini sudah diamankan dan dalam tahap pemeriksaan kasus ini untuk mengungkap motif daripada hal tersebut," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan, Selasa (30/11/2021).

 

Meski begitu, Zulpan menegaskan saat ini Ipda OS masih berstatus saksi, belum ditetapkan sebagai tersangka.

 

"Kenapa? Karena untuk tetapkan tersangka harus minimal dua alat bukti. Peristiwa penembakan benar terjadi, peristiwa sebabkan orang meninggal benar terjadi tapi maksud tujuan pelaporan masih didalami maka akan didalami oleh Div Propam Mabes Polri dan Bid Propam Polda Metro Jaya," ungkap Zulpan.



Sebelumnya, sebanyak dua orang menjadi korban penembakan di Exit Tol Bintaro Jakarta Selatan pada Jumat (26/11/2021) pukul 19.00 WIB.

 

Satu korbannya meninggal dunia akibat luka tembak yang dialaminya. Sedangkan satu lainnya masih menjalani perawatan intensif di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. (suara)


 

SANCAnews.id – Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya mengusut dugaan pelanggaran kode etik oleh Ipda OS, pelaku penembakan dua orang di Exit Tol Bintaro, Jakarta Selatan.

 

"Kami bersinergi dengan Ditreskrimum Polda Metro Jaya untuk memastikan apakah ada atau terjadi pelanggaran disiplin atau pelanggaran kode etik," ujar Kabid Propam Polda Metro Jaya Kombes Bhirawa Braja kepada wartawan, Selasa (30/11/2021).

 

Selain itu, kata Bhirawa, Propam Polda Metro Jaya juga berkoordinasi dengan Divisi Propam Mabes Polri untuk mengusut tuntas kasus penembakan tersebut.

 

"Kami tak bisa sumir, tapi harus betul-betul menemukan fakta hukum di sana. Apakah ada pelanggaran disiplin dan kode etik," kaya Bhirawa.

 

"Dan apakah ada prosedur yang dilanggar dalam kepemilikan senjata dan sebagainya akan kami dalami, bekerjasama dengan Biro Paminal Divisi Propam Polri," pungkasnya.

 

Sebelumnya, Kepolisian mengungkap kasus penembakan di Tol Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road/JORR), tepatnya di pintu keluar Bintaro, Jakarta Selatan.

 

Pelaku penembakan adalah polisi lalu lintas yang bertugas di unit patroli jalan raya (PJR) Polda Metro Jaya, Ipda OS.

 

Polda Metro Jaya menyebut Ipda OS diduga menembak kedua korban, Jumat (26/11/2021) malam, karena mendapatkan laporan dari masyarakat yang merasa dibuntuti di jalan tol.

 

Warga yang tidak diungkapkan identitas itu merasa diikuti oleh mobil korban sejak berangkat dari salah satu hotel di kawasan Sentul, Kabupaten Bogor. 

 

"Berdasarkan hasil pemeriksaan saksi, saat ini peristiwa dilatarbelakangi laporan warga yang merasa dirinya terancam," ujar Tubagus.

 

Ipda OS yang mendapatkan laporan langsung mengarahkan warga tersebut untuk bergerak ke arah wilayah Hukum Polda Metro Jaya, tepatnya di depan kantor PJR Jaya IV di Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

 

Di lokasi tersebut, kata Tubagus, terjadi keributan antara Ipda OS dengan kedua korban berinisial PP dan MA yang berujung pada penembakan.

 

"Keterangan saksi terjadi peristiwa ribut di situ dan mendengar dua tembakan oleh yang mengakui polisi. Dari keterangan saksi (pelaku) mau ditabrak," ungkap Tubagus.

 

Tubagus tidak menjelaskan rinci pemicu keributan antara pelaku dan korban di lokasi kejadian.

 

Dia hanya mengatakan bahwa dua tembakan mengenai kedua korban. Seorang tewas dan seorang lain dirawat di RS Polri.

 

"Akibat dari penembakan tersebut, kedua korban saat itu alami luka tembak dan dibawa ke RS Pelni. Kemudian dipindahkan ke RS Kramat Jati. Selang satu hari kemudian, satu korban PP meninggal dunia," pungkasnya.

 

Saat ini, Ipda OS sudah ditahan dan masih diperiksa lebih lanjut oleh penyidik bersama Propam Polda Metro Jaya dan Mabes Polri. (kompas)



 

SANCAnews.id – Anggota PJR Ditlantas Polda Metro Jaya sebelum menembak dua orang di Tol Bintaro, Jakarta Selatan sempat mendapat laporan dari warga yang mengaku dibuntuti dari Sentul, Bogor hingga sampai di TKP. Lantas, siapa sosok pelapor yang melaporkan dugaan penguntitan ini?

 

Dari informasi yang tersebar, pelapor sendiri merupakan staf dari salah satu pejabat di DKI Jakarta. Sayangnya Polda Metro Jaya belum mengamini informasi tersebut.

 

Mengenai hal ini, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol E Zulpan menyebut pihaknya masih melakukan pendalaman berkaitan dengan hal tersebut.


"Masih didalami dulu," kata Zulpan dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (30/11/2021).

 

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Tubagus Ade Hidayat hanya mengungkap inisial dari pelapor. Dia juga membeberkan pekerjaan pelapor namun tidak secara detail.

 

"Siapakah orang itu? Inisialnya O, pekerjaan swasta," beber Tubagus.

 

Seperti diketahui, aksi penembakan terjadi di Exit Tol Bintaro pada Jumat, 26 November 2021 malam. Ada dua korban yang tertembak pada bagian perut.

 

Satu dari dua korban ini akhirnya dinyatakan tewas. Belakangan diketahui pelaku penembakan merupakan anggota PJR Ditlantas Polda Metro Jaya berinisial Ipda OS.

 

Penembakan ini bermula dari adanya laporan polisi dari warga yang mengaku diikuti oleh sejumlah mobil dari Sentul, Bogor. Polisi mengarahkan mobil pelapor menuju ke arah kantor PJR di Tol Bintaro.

 

Setelah tiba di TKP, polisi nyaris ditabrak oleh korban hingga polisi melepas tembakan dan mengenai kedua korban. (indozone)



 

SANCAnews.id – Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Endang Sri Melani mengatakan, saksi di sekitar rest area KM 50 diminta untuk mundur dan tidak mendekat ke tempat kejadian perkara (TKP). Alasannya, kata dia polisi sedang melakukan penangkapan terkait kasus teroris dan narkotika.

 

Hal itu disampaikan Endang saat duduk sebagai saksi dalam sidang lanjutan Unlawful Killing Laskar FPI atas dua terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella. Sidang itu berlangsung di ruang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (30/11/2021).

 

Keterangan para saksi di lokasi kejadian itu diperoleh Komnas HAM saat sedang melakukan proses penyelidikan. Kepada Komnas HAM, saksi yang merupakan pedagang di rest area KM. 50 mengaku tidak boleh mendekat ke TKP.

 

"Saksi mendengar polisi meminta pengunjung dan pedagang di rest area km 50 untuk mundur dan tidak mendekat ke TKP dengan alasan ada penangkapan teroris dan alasan penangkapan narkoba," kata Endang.

 

Sejumlah saksi itu, kata Endang, juga mengaku dilarang pihak kepolisian untuk tidak merekam kejadian tersebut. Saat itu, empat anggota Laskar FPI digelandang keluar daro mobil jenis Chevoret yang telah mengalami kempes ban.

 

"Sejumlah saksi mengaku dilarang mengambil foto," sambungnya.

 

Tidak hanya itu, para saksi yang berada di lokasi juga menjalani serangkaian pemeriksaan ponsel genggam. Kata Endang, ada pedagang yang diminta untuk menghapus foto dan rekaman video.

 

"Dan dilakukan pemeriksaan terhadap sejumlah telepon genggam pedagang dan pengunjung dan diminta menghapus foto dan rekaman video," jelas Endang.

 

Henry Yosodiningrat selaku kuasa hukum dua terdakwa mengajukan interupsi kepada majelis hakim terkait keterangan yang disampaikan oleh Endang. Dia menyebut bahwa apa yang disampaikan Endang semuanya berdasarkan keterangan orang lain.

 

Menurut Henry, saksi yang menyampaikan keterangan kepada Endang harus disebutkan identitasnya. Hal itu diminta agar tidak timbul fitnah dan seolah-olah kepolisian menekan masyarakat dengan cara menghapus foto dan video.

 

"Ini harus harus, siapa identitas orang yang dimintai keterangan soal diminta hapus foto dan rekaman. Kita hadirkan di sini agar tidak terjadi fitnah, seakan-akan kepolisian negara RI, Polda Metro Jaya menekan warga masyarakat," sela Henry.

 

Hakim ketua M. Arif Nuryanta langsung bertanya kepada Endang, apakah saksi tersebut boleh disebutkan identitasnya atau tidak. Sontak, Endang membalas jika saksi mengalami ketakutan dan berharap namanya tidak disebutkan.

 

"Karena itu memang informasi yang kami peroleh, masyarakat sudah cukup ketakutan saat itu dan berharap tidak disebutkan namanya. Tapi dia adalah orang yang mengetahui dan melihat pada saat kejadian," papar Endang.

 

Lagi-lagi Henry merespons pernyataan Endang. Menurut dia, sudah ada lembaga yang bisa memberikan perlindungan kepada saksi, yakni LPSK.

 

"Agar tidak terjadi fitnah, toh didampingi LPSK, adakan sidang tertutup khusus untuk pemrriksaan saksi itu, supaya dihadirkan benar atau tidak keterangan orang itu," papar Henry.

 

"Nanti kami yang menilainya itu," kata hakim Arif Nuryanta.

 

Sejurus kemudian, JPU kembali meminta Endang untuk bisa membacakan ihwal temuan Komnas HAM di kawasan rest area KM. 50. Dalam lanjutannya, Endang menyatakan bahwa saksi melihat empat orang diturunkan dalam kondisi masih hidup dan kemudian ditiarapkan di badan jalan.

 

Endang melanjutkan, saksi juga melihat satu orang diturunkan dari mobil dalam kondisi luka tembak. Saksi juga melihat ada ceceran darah di lokasi kejadian.

 

Tidak hanya itu, saksi juga disebutkan meliaht satu korban dari Laskar FPI tergeletak di bagian jok kiri depan mobil. Sedangkan empat anggota Laskar FPI yang masih hidup mendapatkan perlakuan kekerasan dengan cara dipukul dan di tendang.

 

"Mendapatkan perlakuan kekerasan dengan cara dipukul dan di tendang," ucap Endang.

 

Kepada pihak Komnas HAM, saksi di lokasi juga melihat beberapa benda, dalam hal ini senjata tajam, diturunkan dari mobil. Kemudian, benda-benda itu ditaruh di sebuah kursi di depan warung milik pedagang.

 

Endang menyebut, saksi juga melihat korban yang telah tewas dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Sedangkan, empat anggota Laskar FPI yang masih hidup dimasukkan ke dalam sebuah mobil.

 

"Saksi melihat korban yang sudah meninggal dimasukkan ke dalam bagasi sebuah mobil. Saksi melihat empat orang yang masih hidup dimasukkan ke dalam sebuah mobil," papar Endang.

 

Unlawful Killing

 

Endang turut menjelaskan mengapa kasus ini dikatakan sebagai "Unlawful Killing" atau pembunuhan di luar proses hukum. Menurut dia, tewasnya empat anggota Laskar FPI di dalam mobil masih berada dalam penguasan aparat yang tanpa prosedur.

 

"Peristiwa itu terjadi tanpa adanya prosedur. Yang kami temukan, pertama, korban meninggal dunia. Kedua, korban tersebut berada dalam penguasaan resmi dari aparat negara. Ketiga, tidak ada upaya untuk meminimalisasi," kata Endang.

 

Kata Endang, aparat kepolisian yang memindahkan keempat anggota Laskar FPI ke dalam mobil tidak menerapkan prinsip waspada. Pasalnya, empat anggota Laskar FPI yang sedianya dibawa ke Mapolda Metro Jaya dari KM 50 tidak diborgol.

 

"Pada saat anggota polisi membawa empat orang tersebut ke dalam mobil, tidak mengindahkan prinsip kehati-hatian dan juga ancaman terhadap jiwa karena posisi petugas dan korban tidak seimbang," jelas Endang.

 

 

Tidak sampai situ, polisi yang bersama para anggota Laskar FPI tidak dapat merespons ekskalasi situasi secara tepat. Endang menyebut, polisi tidak melakukan upaya antisipasi terkait situasi tersebut.

 

"Kami sudah sampaikan bahwa terjadi ekskalasi sedang, rendah, ke tinggi. Dalam proses ekskalasi terdapat perubahan situasi. Nah ini tidak diantisipasi, misal dengan meminta bantuan atau peralatan dari kepolisian setempat. Ini jadi pertanyaan kenapa tidak ada upaya lain untuk meminimalisasi (peristiwa)."

 

Dakwaan Jaksa

 

Dalam surat dakwaan yang dibacakan, terdakwa Briptu Fikri dan Ipda Yusmin didakwa melakukan tindakan penganiayaan yang mengakibatkan kematian secara bersama-sama. Dalam kasus ini, total enam eks Laskar FPI tewas tertembus timah panas.

 

Atas hal itu, jaksa menyatakan, perbuatan Fikri Ramadhan dan M. Yusmin Ohorella merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (suara)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.