Latest Post


 

SANCAnews.id – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review (JR) UU Nomor 2 Tahun 2020 justru memperkuat posisi pemerintah.

 

Keputusan majelis hakim MK itu, kata dia, membuktikan bahwa memang pemerintah tidak dapat digugat ke pengadilan pidana, perdata, bahkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait pengelolaan keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19.

 

"Bahwa intinya, kalau dengan bahasa bebas, pemerintah tidak dapat diadukan ke pengadilan. Tidak bisa digugat secara pidana, maupun perdata di dalam melaksanakan anggaran ini. Anggaran yang terkait Covid-19 ini jika dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Mahfud MD dilansir dari video yang tayang di channel YouTube Kemenko Polhukam, Sabtu (30/10/2021).

 

Dia mengatakan, frase dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku memang tidak dicantumkan pada Pasal 27 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2020. Namun, ada di pasal lain. Frase itu lalu disalin MK dan ditambahkan pada ayat 1 dan ayat 3 UU tersebut.

 

"Ini (frase itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan) sudah ada ini di UU. Tetapi di ayat 1 nya tidak dicantumkan. Oleh MK ini diambil, di-copy paste ditambahkan ke ayat 1, ditambahkan ke ayat 3. Artinya bagi kami ini memperkuat. Memperkuat posisi pandangan pemerintah tentang UU ini," ungkapnya.

 

Meski begitu, Mahfud mengatakan, pemerintah bisa digugat sepanjang dalam pengelolaan keuangan melanggar peraturan perundang-undangan dan tidak beritikad baik.

 

"Tentang apa yang "ditudingkan" sebagai hak imunitas tidak bisa digugat. Itu bisa. Kalau melanggar peraturan perundang-undangan dan beritikad tidak baik," katanya dengan penekanan tanda kutip pada frase ditudingkan.

 

Di sisi lain, Mahfud menjelaskan ketentuan bahwa pemerintah tidak bisa digugat terkait pengelolaan keuangan penangan pandemi Covod-19. Dia mengatakan dalam Pasal 50 dan 51 KUHP yang isinya sama dengan keputusan MK yakni dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Pasal 28 ayat 1 dan pasal 48 UU PPKSK atau Pencegahan dan Penanganan Krisis. Lalu ada juga di UU pengampunan pajak, UU MD3, UU Advokat, dan UU OJK.

 

"Jadi nggak usah didramatisir seakan-akan ini harus dibatalkan, harus ditambal. Lah di UU sudah banyak," katanya. (akurat)



SANCAnews.id – Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menanggapi pernyataan Ketua Umum Muhammadiyah. Dalam suatu kesempatan Haedar Nashir menyampaikan, jika fanatisme golongan terus diagungkan, Indonesia bisa bernasib seperti Uni Soviet.

 

Dalam akun Instagramnya Fadli Zon menulis, Uni Soviet bubar karena stagnasi dan kacaunya ekonomi, pemimpin lemah, dan bangkitnya etnonasionalisme.

 

"Negara adidaya saja bisa bubar dalam sekejap. Memang harus jadi pelajaran jika kita masih ingin ada RI." Tulis Fadli.

 

Fadli Zon yang juga Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) menambahkan dalam tulisannya.

 

"Jangan merasa sok kuasa atau merasa negeri ini punya nenek moyangnya sendiri."

 

Sebelumnya Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, Pecahnya negara digdaya Uni Soviet menjadi 15 negara salah satunya diakibatkan oleh egosentrisme masingmasing golongan yang enggan bersatu dan merasa dirinya lebih baik dari golongan yang lain.

 

"Maka penting bagi para elit negeri dan para warga bangsa untuk terus muhasabah, koreksi diri dan selalu rendah hati agar kita selalu bertanya apa yang sudah kita berikan secara maksimal untuk memajukan negeri ini, untuk memajukan bangsa ini, untuk memberi peran rahmatan lil alamin untuk semesta," tutur Haedar Nashir. (edisi)



 

SANCAnews.id – Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) Prof. Haedar Nashir mengingatkan publik untuk senantiasa menahan diri dan tidak mengagungkan fanatisme golongan. Fanatisme golongan yang berlebihan berpotensi membuat Indonesia tercerai berai.

 

Haedar lantas menjelaskan soal potensi Indonesia bisa bernasib seperti halnya Uni Soviet yang pecah berantakan dan jadi 15 negara. Sebuah pelajaran yang bisa diambil oleh bangsa Indonesia.

 

Menurutnya, kejatuhan Soviet ini karena mengikuti egosentrisme, fanatisme dan keengganan bersatu karena satu golongan merasa lebih baik dari golongan lainnya.

 

“Indonesia adalah milik bersama yang kita bangun, kita perjuangkan dan kita majukan bersama. Dan Insyaallah dalam spirit kebersamaan itu kita akan menjadi maju dan sebaliknya sekali ada benih pecah-belah karena satu dan sekian banyak warga dan elit bangsa merasa paling memiliki Indonesia, lupa bahwa Indonesia hadir untuk semua maka kita belajar ada negara besar Soviet yang terpecah menjadi 15 bagian ,” tuturnya dalam forum pengukuhan Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Palu, Rabu (27/10/2021), sebagaimana dikutip dari situs resmi Muhammadiyah.

 

Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu menjelaskan konsep Darul Ahdi Wa Syahadah, sebuah konsep atas kebersamaan dari semua pihak dan kesepakatan untuk hidup bersama tanpa melihat latar belakang serta identitas.

 

Konsep ini yang menurutnya membuat Indonesia tetap berdiri hingga saat ini. Perasaan hidup bersama tanpa memandang lebih besar dari yang lain.

 

“Tentu kita tidak ingin Indonesia mengalami hal yang sama karena di antara tubuh bangsa kita ada yang merasa bisa membangun bangsa kita ini sendirian,” tambahnya.

 

Haedar lantas mengingatkan untuk para elite negeri ini agar senantiasa bermuhasabah dan memperbaiki diri untuk memajukan negeri ini. 

 

“Maka penting bagi para elit negeri dan para warga bangsa untuk terus muhasabah, koreksi diri dan selalu rendah hati agar kita selalu bertanya apa yang sudah kita berikan secara maksimal untuk memajukan negeri ini, untuk memajukan bangsa ini, untuk memberi peran rahmatan lil alamin untuk semesta,” ujarnya. (kompas)



 

SANCAnews.id – Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Muhammad Said Didu menyebutkan beberapa warisan yang akan ditinggalkan Pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi.

 

Ia menyebutkan sederet masalah, mulai dari utang Pemerintah dan utang BUMN, proyek magkrak, hingga dinasti kekuasaan.

 

Selain itu, Said Didu menyebutkan masalah lain yang menurutnya akan diwariskan Presiden Jokowi, seperti beban kerugian proyek tidak layak dan beban fiscal.

 

Tak luput pula, Mantan Staf Khusus Menteri ESDM ini menyebutkan masalah kemiskinan, pengangguran, dan kualitas SDM.

 

Terakhir, ia menilai bahwa Presiden Jokowi akan mewariskan masalah ketegangan dan ketimpangan sosial.

 

“Siap-siap menerima warisan berupa: 1) utang (pemerintah dan BUMN), 2) proyek mangkrak, 3) beban kerugian proyek tidak layak, 4) beban fiskal,” kata Said Didu melalui akun Twitter pribadinya pada Sabtu, 30 Oktober 2021.

 

“5) ketegangan sosial, 6) kemiskinan, 7) pengangguran, 8) kualitas SDM, 9) ketimpangan sosial, 10) dinasti kekuasaan dan oligarki,” tambahnya.

 

Sebagaimana diketahui, dari masalah-masalah yang disebutkan Said Didu di atas, utang adalah salah satu hal yang paling sering menjadi kritikan terhadap Presiden Jokowi.

 

Dilansir dari Kompas, utang Pemerintah di era Jokowi memang terus mengalami kenaikan, baik di periode pertama maupun periode kedua pemerintahannya.

 

Dikutip dari laman APBN KiTa Setember 2021 yang dirilis Kementerian Keuangan pada Rabu, 29 September 2021, utang pemerintah per Agustus 2021 mencapai Rp6.625,43 triliun.

 

Utang tersebut naik dibandingkan sebulan sebelumnya, di mana utang per Juli 2021 adalah sebesar Rp6.570,17 triliun.

 

Dengan kata lain, dalam sebulan itu, pemerintah Presiden Jokowi sudah menambah utang baru sebesar Rp55,26 triliun.

 

Selain kenaikan utang, Kementerian Keuangan juga mencatatkan kenaikan rasio utang pemerintah pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

 

Pada Juli 2021, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat sebesar 40,51 persen. Sementara, di Agustus 2021, rasionya sudah naik menjadi 40,85 persen. (terkini)



 

SANCAnews.id – Mantan komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Peter Gontha mengungkap persoalan Garuda Indonesia yang kini nasibnya di ujung tanduk lantaran terlilit hutang triliunan.

 

Melalui pernyataan di akun Instagramnya, Peter mempertanyakan mengenai harga sewa pesawat Boeing 777 dimana harga sewa pada umumnya hanya USD750 ribu perbulan namun oleh Garuda Indonesia dibayar dua kali lipat menjadi USD1.400 perbulan.

 

Namun ternyata, pada tahun 2015, ekonom senior Rizal Ramli pernah meminta agar Garuda membatalkan kontrak pembelian dan leasing Garuda yang melaluka mark-up.

 

“RR dibantah-bantah oleh Rini Suwandi (Menteri BUMN 2014-2019) dan media-media bayaran,” tulis Rizal Ramli di akun Twitternya, Sabtu (30/10).

 

“Eh sekarang Peter buka-bukaan,” tambahnya yang mengomentari boroknya Garuda yang diungkap Peter Gontha.

 

Menurut mantan Menteri Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid ini, penyelesaian Garuda Indonesia dengan memutuskan pailit sangatlah tidak patut dilakukan. RR mengakui ada cara lain untuk menyelamatkan Garuda dari lilitan hutang selain mempailitkan maskapai plat merah itu.

 

“Kok enak aja, mau cari cara gampang Garuda mau dibangkrutkan. Sopo penjahat-penjahatnya? Ada cara lain kok selamatkan GA,” tandas RR. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.