Latest Post


 

SANCAnews.id – Aksi demonstrasi akan dilakukan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (21/10).

 

Dalam pesan yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, aksi demo tersebut berkenaan dengan tujuh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak periode pertama hingga saat ini.

 

"Seruan geruduk Istana Oligarki! 7 tahun Jokowi mengkhianati rakyat," demikian seruan aksi mereka.

 

Aksi ini akan dilakukan di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, sekitar pukul 10.00 WIB.

 

"Patuhi prokes dan membawa bendera putih kecil," demikian seruan BEM SI.

 

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo hari ini justru tidak berada di Jakarta. Presiden terbang ke Provinsi Klimantan Selatan untuk meninjau vaksinasi dan beberapa agenda lain.

 

"Saya bertolak menuju Provinsi Kalimantan Selatan pagi ini untuk kunjungan kerja ke Kabupaten Tanah Bumbu dan Kota Banjarmasin. Di Tanah Bumbu, saya akan meresmikan pabrik biodiesel, dan di Banjarmasin meninjau vaksinasi dan meresmikan Jembatan Sei Alalak," demikian keterangan presiden dikutip dari akun Twiternya. (*)



 

SANCAnews.id – Kondisi bangsa dan negara Indonesia selama 2 tahun di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin mendapat apresiasi Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Meskipun tetap ada sejumlah catatan yang jadi rapor merah yang harus jadi bahan evaluasi pemerintah.

 

"Kita mengapresiasi kinerja pemerintah khususnya penanganan Covid 19 yang berhasil dikendalikan sampai saat ini dan tingkat kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan vaknisasi yang tinggi. Kemudian pemerintah juga berhasil mengendalikan ekonomi sehingga dapat tumbuh hingga 7,07% di kuartal II-2021," ucap Ketua Umum PP GMKI, Jefri Gultom, Rabu (20/10).

 

"Namun ada beberapa catatan kritis di bidang pemberantasan korupsi, penegakan hukum, peningkatan kualitas pendidikan, dan demokrasi,” imbuhnya.

 

Untuk itu GMKI menilai ada lima rapor merah dalam 2 tahun kepemimpinan Jokowi-Maruf.

 

Pertama, meskipun ekonomi tumbuh tetapi jumlah penduduk miskin dan pengangguran juga ikut meningkat sepanjang 2020-2021.

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan dari Maret 2020 - Maret 2021 mengalami peningkatan sebesar 1,12 juta orang. Dalam periode yang sama, tingkat pengangguran meningkat hingga 1,82 juta orang. Hal ini tentu tidak seiring sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diklaim cukup tinggi yakni 7,07%.

 

Menurut Jefri, peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran terjadi akibat pandemi Covid-19 yang berkelanjutan. Juga adanya paket kebijakan pemulihan ekonomi nasional yang tidak tepat sasaran, serta implementasinya mengalami masalah dan berpotensi merugikan keuangan negara.

 

Selain itu, implementasi kartu prakerja dianggap bermasalah, karena KPK menemukan hanya sebagian kecil dari sasaran pekerja yang terdampak Covid-19. Ditambah, platform digital memiliki konflik kepentingan dengan lembaga penyedia pelatihan seperti Ruang Guru yang dimiliki oleh Staf Khusus Milenial Presiden.

 

Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada 2020 ikut memperburuk situasi tenaga kerja karena hanya mementingkan kemudahan investasi bagi para pengusaha. Pada visi-misi Joko Widodo-Maruf Amin tahun 2019 menekankan reformasi ketenagakerjaan, namun faktanya pengangguran meningkat.

 

Kedua, pemberantasan korupsi memburuk. Hingga 2020 terdapat 1.298 terdakwa kasus korupsi yang membuat kerugian negara hingga Rp 56,7 triliun. Presiden mengatakan komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan ikut serta memberantas korupsi.

 

Namun faktanya, kata Jefri, dua Menteri kabinet Indonesia Maju ditangkap oleh KPK dan mencoreng wajah pemerintah. 

 

"Korupsi bantuan sosial yang dilakukan oleh Menteri Sosial merupakan pencurian hak masyarakat di era pandemi," tegas Jefri.

 

Ketiga, pola penegakan hukum Indonesia dinilai masih tebang pilih dan terkesan menunggu respons publik. Penegak hukum yang belum lepas dari pola suap masih berlanjut. Seperti kasus yang menyita perhatian publik yaitu kasus jaksa Pinangki yang menerima suap dari buronan Djoko Tjandra hingga melibatkan petinggi Mabes Polri.

 

Penindakan para penyalahgunaan jabatan tidak mengalami efek jera sehingga terus berulang, reformasi penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, kata Jefri.

 

Keempat, pengelolaan pendidikan Indonesia belum mengalami perubahan yang berarti, kebijakan mengenai pendidikan online tidak efektif dan diskriminatif, masih banyak daerah belum dapat mengakses internet.

 

Sehingga para pelajar di daerah pelosok mengalami kesulitan proses belajar mengajar, kurikulum yang inkonsisten dan berubah-ubah hingga menimbulkan kegaduhan.

 

Pada visi-misi Joko Widodo-Maruf di 2019 terdapat point mengembangkan reformasi sistem pendidikan namun hingga tahun 2021 sistem pendidikan masih diskriminatif dan tidak merata. Hal ini menjadi preseden buruk bagi generasi masa depan.

 

Kelima, iklim demokrasi Indonesia pada 2 tahun terakhir mengalami penurunan. menurut laporan The Economist Intelligence Unit pada 3 Februari 2021, IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) pada 2019 adalah 6,48 dan pada 2020 menjadi 6,3. Terendah dalam 14 tahun terakhir.

 

Dua dari lima indikator penilaian mengalami penurunan yang sangat drastis, yaitu soal kebebasan berpendapat dan budaya politik sebesar 20%. Penurunan tersebut terlihat dari beberapa hal pelanggaran demokrasi seperti penangkapan aktivis, pembubaran demonstrasi, tindakan represif aparat, hingga pembungkaman masyarakat melalui peretasan media sosial.

 

Ketua Umum PP GMKI, Jefri Gultom, pun meminta Jokowi untuk mengevaluasi kinerja para pembantunya yang jauh dari visi misi presiden.

 

PP GMKI juga mengharapkan pada pemerintah agar lebih terbuka untuk mendengarkan kritikan publik, karena demokrasi menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat.

 

Ditegaskan Jefri, iklim demokrasi yang telah diperjuangkan sejak masa reformasi seharusnya dirawat dan terus diperjuangkan sehingga ada check and balances.

 

“Kami menilai dua tahun terakhir ini jadi tahun-tahun yang sulit namun tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena rakyat sudah memberikan kepercayaan dan harapan,” demikian Jefri Gultom. (rmol)



 

SANCAnews.id – Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dan BEM Seluruh Indonesia (SI) Kerakyatan akan menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat pada hari ini Kamis (21/10).

 

Aksi BEM UI dan ribuan mahasiswa dari belasan kampus ini untuk menagih janji dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Maruf Amin.

 

"Jadiz hari ini BEM UI akan aksi di Istana. Akan ada belasan kampus dari BEM SI Kerakyatan, kami gabung," ujar Ketua BEM UI, Leon Alvinda Putra kepada Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu.

 

Leon menuturkan, BEM UI dan simpul mahasiswa lainnya setidaknya membawa delapan tuntutan aksi.

 

Pertama, membatalkan seluruh upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Kedua, memastikan setiap orang bebas menyampaikan pendapat baik di muka umum maupun melalui media elektronik dengan melakukan revisi terhadap pasal-pasal bermasalah UU ITE.

 

Dalm hal kebebasan berpendapat, mahasiswa mendesak Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dicopot karena gagal memberi jaminan dan perlindungan hukum atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat serta gagal menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

 

Ketiga, mendesak percepatan transformasi dan reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memastikan terjaminnya hak kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap orang.

 

Keempat, meningkatkan target NDC Indonesia sesuai Perjanjian Paris, menargetkan Indonesia nol emisi di tahun 2045, melaksanakan perintah pengadilan terkait pencemaran udara, menghentikan proyek food estate yang memperparah deforestasi, serta deklarasikan darurat iklim.

 

Dalam hal ini, mahasiswa juga mendsak agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar dicopot dari jabatannya atas dasar degradasi lingkungan dan realita perlindungan lingkungan hidup yang melemah.

 

Mereka juga mendesak diterbitkannya Perppu untuk mencabut revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya, menghentikan proyek strategis nasional yang merusak lingkungan hidup dan merampas hak warga, serta memasifkan penggunaan energi bersih terbarukan dengan mengurangi penggunaan energi kotor batubara.

 

"Melakukan evaluasi terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan terkait kinerjanya dalam mengkoordinasikan kementerian di bawahnya untuk melakukan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup," jelasnya.

 

Keenam, mereka mendesak penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan mengadili pelakunya melalui pengadilan HAM secara adil dan transparan. Mencopot Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dari jabatannya atas dasar kegagalannya dalam melakukan penyelesaian terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu.

 

Massa juga meminta kebebasan akademik di lingkup kampus dan memastikan tidak ada lagi mahasiswa dan dosen disanksi dari kampus karena menyampaikan analisa, pendapat dan aspirasinya. Soal pendidikan ini, mereka meminta Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim dicopot karena gagal menciptakan jaminan kebebasan akademik di lingkungan kampus.

 

Terakhir, mahasiswa meminta pemerintah melakukan perbaikan sistem kesehatan untuk persiapan menghadapi gelombang ketiga pandemi Covid-19 dan melakukan evaluasi terhadap kinerja Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin. (*)



 

SANCAnews.id – Kegelisahan yang dirasakan selama dua tahun periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang kini didampingi Wakil Presiden Maruf Amin, disampaikan ratusan mahasiswa yang terhimpun dalam Poros Revolusi Mahasiswa Bandung (PRMB), Rabu (20/10).

 

Korlap Aksi PRMB, Ilyasa Ali Husni mengatakan, aksi kali ini merupakan upaya awal untuk menumpahruahkan gagasan, kajian, dan mengaktivasi narasi-narasi perihal kebobrokan rezim Jokowi selama dua tahun.

 

"Perjuangan hari ini tepat di dua tahun Jokowi dilantik. Hari ini dalam aksi kami yang terlibat dalam beberapa kampus yang hari ini hadir atas nama Mahasiswa Kota Bandung," kata Ilyasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (20/10).

 

Menurutnya, aksi-aksi yang dilakukan pihaknya akan bermuara pada pengaktivasian ruang perlawanan dan memberikan pemahaman kepada publik secara luas. Ia mengaku kedua hal tersebut merupakan hasil dari kajian pihak-pihak almamater.

 

"Aksi ini lebih ke edukasi dan campaign. Kemudian upaya menyatukan pemahaman kepada publik dan memberikan kabar bahwa saat Indonesia sedang tidak baik-baik saja," tuturnya, dikutip Kantor Berita RMOLJabar.

 

Dengan demikian, PRMB meminta pemerintah untuk mengevaluasi isu ekonomi, pendidikan, lahan, agraria, hukum, kebijakan, politik, dan lainnya. Isu-isu tersebut ditumpahkan dalam unjuk rasa selama dua tahun kepemimpinan rezim Jokowi.

 

Aksi tersebut merupakan langkah lanjutan dari konsolidasi akbar mahasiswa Kota Bandung pada 15 Oktober lalu. Pada konsolidasi tersebut diperoleh hasil yakni evaluasi, refleksi, dan proyeksi gerakan Mahasiswa Kota Bandung di tahun 2018, 2019, 2020, dan akhirnya proyeksi bersama untuk segera memanifestasikan perjuangan.

 

Para peserta aksi tersebut berasal dari mahasiswa UPI, Polban, STBA, Unpas, Stembi, STIA LAN, ITB, Unikom, Unibi, Unisba, Universitas Telkom, UMB, USB YPKP, dan beberapa kampus lainnya. (*)




SANCAnews.id – Kritik keras datang lagi dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) kepada pemerintah.

 

Di momen dua tahun Presiden Jokowi-Wakil Presiden Ma'ruf Amin ini, BEM UI memberikan rapor merah dengan penilaian yang jelek semua untuk banyak menteri di Kabinet Indonesia Maju.

 

BEM UI meminta Jokowi mencopot sejumlah menteri dan pejabat yang dinilai punya nilai buruk. Tak ada menteri dan pejabat setingkat menteri yang dapat nilai baik, yang ada hanya nilai E dan D. Merah semua!

 

Pernyataan sikap tertulis dan gambar-gambar terkait disampaikan Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra kepada wartawan, Rabu (20/10/2021).

 

BEM UI melakukan evaluasi terhadap jalannya pemerintahan Jokowi-Ma'ruf selama dua tahun ini. Ada banyak ranah yang mereka sorot, meliputi UU KPK yang sudah direvisi, perkara kebebasan berekspresi, revisi UU ITE, lingkungan hidup, isu food estate, energi kotor batubara, krisis iklim, pelanggaran HAM, hingga soal pendidikan. Berikut adalah desakan BEM UI.

 

Menanggapi permasalahan di berbagai sektor tersebut, Aliansi BEM se-UI menyatakan sikapnya, yaitu mendesak Jokowi-Ma'ruf untuk:

 

1. Membatalkan seluruh upaya pelemahan pemberantasan korupsi dengan menerbitkan Perppu KPK serta membatalkan implikasi dari Revisi UU KPK seperti hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) BLBI. Mencopot Ketua KPK Firli Bahuri dan seluruh jajaran pimpinan KPK periode 2019--2023 dari jabatannya atas kemunduran pemberantasan korupsi di Indonesia.

 

2. Memastikan setiap orang dapat bebas menyampaikan pendapat baik di muka umum maupun melalui media elektronik dengan melakukan revisi terhadap pasal-pasal bermasalah UU ITE. Mencopot Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dari jabatannya atas kegagalannya dalam memberikan jaminan dan perlindungan hukum atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat serta dalam melakukan penyelesaian terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu.

 

3. Mendesak percepatan transformasi dan reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memastikan terjaminnya hak kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap orang

 

4. Meningkatkan target NDC Indonesia sesuai Perjanjian Paris, menargetkan Indonesia nol emisi di tahun 2045, melaksanakan perintah pengadilan terkait pencemaran udara, menghentikan proyek food estate yang memperparah deforestasi, serta deklarasikan darurat iklim. Mencopot Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dari jabatannya atas dasar degradasi lingkungan dan realita perlindungan lingkungan hidup yang melemah.

 

5. Menerbitkan Perppu untuk mencabut revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya, menghentikan proyek strategis nasional yang merusak lingkungan hidup dan merampas hak warga, serta memasifkan penggunaan energi bersih terbarukan dengan mengurangi penggunaan energi kotor batubara. Melakukan evaluasi terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan terkait kinerjanya dalam mengkoordinasikan kementerian di bawahnya untuk melakukan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

 

6. Menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan mengadili pelakunya melalui pengadilan HAM secara adil dan transparan. Mencopot Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dari jabatannya atas dasar kegagalannya dalam melakukan penyelesaian terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu.

 

7. Memastikan terciptanya kebebasan akademik di lingkup kampus dan memastikan tidak ada lagi mahasiswa dan dosen yang mendapat sanksi dari kampus karena menyampaikan analisa, pendapat dan aspirasinya. Mencopot Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang telah gagal menciptakan jaminan kebebasan akademik di lingkungan kampus.

 

8. Melakukan perbaikan sistem kesehatan untuk persiapan menghadapi gelombang ketiga pandemi Covid-19 dan melakukan evaluasi terhadap Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkait kinerjanya dalam melakukan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

 

Menteri dan pejabat yang diminta dicopot

BEM UI meminta sejumlah menteri dan pejabat dicopot saja. Nama-nama besar mereka sebut.

 

BEM UI meminta Jokowi mencopot Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-dikti) Nadiem Makarim.

 

BEM UI juga meminta Jokowi untuk mencopot Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, juga mencopot Ketua KPK Firli Bahuri.

 

Mahfud Md mendapat nilai E dan drop out, tentu saja ini menurut BEM UI. Soalnya, BEM UI menilai Mahfud gagal. Yasonna Laoly juga mendapat nilai E dan drop out, begitu juga Siti Nurbaya Bakar dan Nadiem Makarim.

 

Luhut Pandjaitan mendapat nilai D dan remedial. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga mendapat nilai D dan diberi kesempatan remedial. Begitulah isi gambar-gambar meme yang disampaikan BEM UI.

 

Jaksa Agung ST Burhanuddin mendapat nilai E dan drop out, Ketua KPK Firli Bahuri juga mendapat E dan drop out. Polri diberi BEM UI nilai D dan remedial.

 

EVALUASI 2 TAHUN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-MA'RUF AMIN

Pada tanggal 20 Oktober 2019, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019--2024. Selama masa kampanye, Jokowi dan Ma'ruf Amin pernah mengeluarkan beberapa janji kampanye, di antaranya misi untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan, penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya, perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga, dan pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya (Hasibuan, 2019). Sudah dua tahun berlalu sejak Jokowi-Ma'ruf resmi dilantik, namun masih terdapat permasalahan di berbagai sektor yang gagal diselesaikan oleh Pemerintahan JokowiMa'ruf.

 

Pertama, di sektor korupsi, janji Jokowi-Ma'ruf dalam memperkuat posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), justru kontradiktif ketika Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) disahkan. Bukan tanpa sebab, substansi revisi UU KPK yang melemahkan kinerja KPK, ditambah dengan penyusunannya yang hanya memakan waktu 13 hari dan enggannya Jokowi untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perppu) yang dapat membatalkan UU KPK kendati mendapat desakan dari berbagai elemen masyarakat, membuat pengesahan revisi UU KPK sangat problematik. Alhasil, kinerja KPK pun menurun pascarevisi UU KPK. Hal ini bisa dilihat dari menurunnya indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia, penurunan angka operasi tangkap tangan (OTT) dari tahun ke tahun, rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap KPK, adanya kewenangan KPK dalam menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), dan polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) (BEM FIA UI, 2021; Garnesia, I., 2021). Tidak hanya itu, KPK yang dipimpin oleh Firli Bahuri dan jajarannya juga tercatat beberapa kali melanggar kode etik dan hanya diganjar dengan hukuman yang ringan dari Dewan Pengawas KPK (Dewi, R., 2020). Hal ini menunjukkan kegagalan Firli Bahuri dan jajarannya dalam melakukan pemberantasan korupsi yang baik di Indonesia.

 

Kemudian, terdapat masalah terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sejatinya, hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan hak yang dijamin dan dilindungi pelaksanaannya dalam sejumlah instrumen hukum. Dalam kovenan hukum internasional melalui Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights, telah dinyatakan bahwa terdapat jaminan dan perlindungan hukum atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Selanjutnya, jaminan dan perlindungan hukum tersebut juga termaktub dalam Pasal 28E UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Negara Republik Indonesia (UUD 1945) ayat (2) dan (3). Sayangnya, jaminan dan perlindungan atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat nampak hanya tertuang pada selembar kertas. Pada kenyataannya, pembungkaman terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat masih kerap ditemukan. Fenomena penghapusan mural dan serangkaian tindakan represif yang dilakukan aparat dalam penanganan massa aksi, seperti penarikan secara paksa yang disertai pemukulan pada aksi hari buruh dan hari pendidikan 2021, menjadi bukti nyata bagaimana kebebasan berekspresi dan berpendapat dikerdilkan di negara yang berlandaskan hukum demokrasi. Tidak hanya itu, secara sistematis, pemerintah melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga seakan terus melakukan upaya pembungkaman terhadap masyarakatnya. Revisi UU ITE yang semestinya melindungi hak kebebasan berpendapat masyarakat di ruang digital, sampai dengan hari ini masih problematik karena masih juga mengandung pasal multitafsir yang rawan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban (BEM FH UI & BEM UI, 2021). Pada 15 Februari 2021 dalam rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan untuk merevisi UU ITE yang dinilai masih bermasalah (Kominfo, 2021). Namun, pada 23 Juni 2021, alih-alih melakukan revisi, pemerintah justru menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri terkait Pedoman Implementasi UU ITE. Penerbitan SKB 3 Menteri ini menjadi aktualisasi dari wacana pembentukan pedoman interpretasi UU ITE yang hanya berisikan penjelasan mengenai Pasal 27, 28, 29, dan 30 UU ITE (BEM FH UI & BEM UI, 2021). . Hal ini menunjukkan kegagalan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Prof. Yasonna Hamonangan Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D dalam memberikan jaminan dan perlindungan hukum atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Selain itu, hal ini juga menjadi suatu peringatan bagi Kepala Pimpinan Kepolisian RI Listyo Sigit untuk mempercepat transformasi dan reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi memastikan terjaminnya hak kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap orang.

 

Permasalahan lainnya dapat ditemukan dalam bidang lingkungan hidup. Janji JokowiMa'ruf dalam masa kampanyenya untuk mewujudkan prinsip hijau dan keberlanjutan dalam pengelolaan lingkungan hidup, malah bertolak belakang ketika Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) beserta peraturan turunannya yang disahkan. Pengesahan kedua produk hukum ini merupakan sebuah karpet merah untuk oligarki melalui pelonggaran dan deregulasi yang jelas merampas hak warga atas lingkungan yang bersih dan sehat sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 (BEM FH UI & BEM FMIPA UI, 2020; BEM UI & BEM FMIPA UI, 2020; BEM UI et al, 2021a). Terbukti, adanya konflik kepentingan antara oligarki, pemerintah, dan masyarakat sipil telah mengakibatkan tindakan represif dan kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan lingkungannya, seperti yang terjadi di Wadas (Wawan, 2021). Lebih lanjut, rencana pembangunan proyek food estate yang problematik menambah permasalahan seperti akan berpotensi menggantungkan nasib pangan Indonesia ke korporasi besar dan berpotensi berkurangnya daerah kawasan hutan untuk keperluan proyek food estate (BEM UI & BEM FMIPA UI, 2021). Permasalahan lingkungan selanjutnya datang dari sektor energi. Meski Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan kenaikan penggunaan energi baru terbarukan menjadi 23%, nyatanya pemerintah belum bisa berpaling dari energi kotor batubara (BEM FMIPA UI, 2020). Berikutnya, Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia terkait komitmen penurunan emisi masih dalam jalur kenaikan suhu 3-4 derajat celcius, bertentangan dengan Perjanjian Paris yang membatasi kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat celcius pada tahun 2015 silam (Climate Action Tracker, 2021; BEM UI & BEM Unpad, 2020). Komitmen Indonesia dalam target nol emisi pada tahun 2060 juga menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim. Sebagai perbandingan, kebanyakan negara lain menetapkan target nol emisi di tahun 2050, bahkan negara dengan kekuatan ekonomi di bawah Indonesia (Energy & Climate Intelligence Unit, 2021). Pemerintah juga abai dalam menjamin hak atas udara bersih warga negara. Terlihat dari

Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) yang masih jauh di bawah standar WHO.Langkah Presiden dan Menteri Lingkungan Hidup untuk mengajukan banding juga menunjukan kelalaian pemerintah dalam menjamin kualitas udara di Indonesia.a (BEM FMIPA UI et al. 2020; Meiliana, 2021). Dengan demikian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar beserta Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan sudah seharusnya bertanggung jawab atas degradasi lingkungan dan realita perlindungan lingkungan hidup yang semakin melemah selama 2 tahun berjalannya rezim Jokowi-Ma'ruf (BEM UI & BEM FMIPA UI, 2021).

 

Tidak hanya itu, kegagalan rezim Jokowi-Ma'ruf juga terjadi pada aspek hak yang paling fundamental, yaitu hak asasi manusia (HAM). Masih kental dalam ingatan kita, janji politik yang gema disuarakan pasangan calon Jokowi-Ma'ruf pada masa kampanye presiden 2019 lalu untuk memberikan perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga (Hasibuan, L. (2019). Sayangnya, hingga saat ini pemerintah seakan tutup telinga atas segala kasus pelanggaran HAM yang terjadi, baik di masa lalu, seperti Tragedi Semanggi 1 dan 2, Kasus Tanjung Priok, serta pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, ataupun pembiaran atas pelanggaran HAM, yang tercermin pada berbagai aksi massa yang terjadi hingga hari ini. Serangkaian pembiaran ini secara nyata menunjukan ketidakpedulian negara dan pemerintahannya atas rasa aman dan perlindungan terhadap warga negaranya. Bahkan, Presiden Joko Widodo tampak menganggap tindakan represif saat aksi demonstrasi sebagai hal yang wajar (CNN Indonesia, 2020). Hal ini terlihat dari respons Presiden dalam penanganan pengalaman aksi demonstrasi Omnibus Law 2020, Hari Buruh 2021, dan Hari Pendidikan Nasional 2021 dimana ditemukan banyak tindakan represif terhadap massa aksi. Alih-alih mencegah, Presiden Jokowi melakukan pembiaran terhadap tindakan-tindakan tersebut. Bahkan, pada aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law, polisi menangkap 5.918 orang dimana 167 orang dinaikkan kasusnya menjadi penyidikan (Bustomi, 2020). Belum selesai sampai disitu, pada Hari Buruh diketahui sebanyak 168 mahasiswa ditangkap bersama dengan aliansi buruh dan pemuda lainnya (BEM UI & BEM Undip, 2021). Terkait pelanggaran HAM masa lalu, hingga saat ini pun pemerintah belum juga menunjukan itikad baiknya untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu ataupun memberikan keadilan bagi keluarga korban pelanggaran HAM. Bahkan, pada 16 Januari 2020 Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyatakan bahwa Peristiwa Semanggi I dan II tidak termasuk dalam kasus pelanggaran HAM berat (KontraS, 2020). Keluarga korban juga telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Mei 2020 atas tuntutan Jaksa Agung bertindak sebagai pejabat publik yang menghalangi kepentingan keluarga korban yang telah berusaha untuk mendapatkan keadilan atas meninggalnya korban Peristiwa Semanggi I dan II (KontraS, 2020). Sayangnya, setelah menang di PTUN, Jaksa Agung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan memenangkan banding atas dasar gugatan yang dilayangkan oleh keluarga korban tidak dapat diterima karena tidak melalui banding administratif terlebih dahulu (KontraS, 2021). Serangkaian pernyataan dan kebohongan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin terkait penyikapannya dalam menangani Peristiwa Semanggi I dan II tampaknya cukup menjadi gambaran bagaimana pejabat negara mengabaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Lebih jauh, pembuatan susunan rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB) melalui mekanisme non-yudisial hanya menjadi pintu gerbang menuju pembentukan kembali Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 (Alfian, A,. 2021). Para pelaku pelanggaran HAM masa lalu seharusnya tidak diadili melalui pengadilan negeri biasa, melainkan melalui Pengadilan HAM sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Padahal, ketegasan presiden untuk segera mengadili pelaku pelanggaran HAM sangat diperlukan untuk menghindari terulang kembalinya kasus pelanggaran HAM yang dapat memperpanjang catatan merah kegagalan negara dalam melindungi warga negaranya. Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan HAM dan Jaksa Agung yang bertanggung jawab secara langsung atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM sudah semestinya berbenah diri dan melakukan evaluasi untuk kinerja yang lebih baik ke depan.

 

Selanjutnya, bidang pendidikan pun tidak luput menjadi sektor bermasalah selama dua tahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Padahal, Jokowi dengan terang menjanjikan dukungan pendidikan dalam pidato pertamanya (Agung, 2019). Pada Hari Pendidikan Nasional 2021, Jokowi bersama Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI (Mendikbudristek), juga mengutip bahwa pendidikan harus memiliki tujuan memerdekakan kehidupan bangsa (Sekretariat Negara, 2021). Nyatanya, ucapan tersebut bertolak belakang

dengan realitas yang terjadi bila melihat absennya pemerintah menanggapi serangan terhadap kebebasan akademik yang semakin marak dalam dua tahun ke belakang. Serangan-serangan ini berupa penjatuhan sanksi akademik (drop out atau skors), kriminalisasi, pembubaran diskusi mahasiswa, ancaman atau intimidasi, dan bentuk represi lainnya, seperti penghimbauan untuk tidak mengikuti demonstrasi. Pada Desember 2019, empat mahasiswa Universitas Khairun Ternate menjadi korban drop out (DO) secara sepihak karena terlibat dalam aksi demonstrasi (Fadiyah, 2020). Pemberian sanksi akademik karena menyuarakan pendapat juga terjadi kepada banyak mahasiswa universitas lainnya, antara lain (1) 28 mahasiswa UKI Paulus Makassar yang menggelar demonstrasi untuk mengkritisi kebijakan kampus terkait organisasi kemahasiswaan, (2) sembilan mahasiswa Universitas Bina Insan Lubuklinggau yang menuntut keringanan biaya uang kuliah tunggal (UKT) pada Mei 2020, (3) mahasiswa Universitas Negeri Semarang terkena sanksi akademik setelah melaporkan rektornya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi, (4) tujuh mahasiswa Universitas Nasional Jakarta yang mengkritisi kebijakan kampus terkait UKT melalui media sosial pada Juli 2020, (5) dua puluh mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Membangun yang menggelar demonstrasi penuntutan transparansi anggaran UKT pada Januari 2021, (6) tiga mahasiswa Universitas Lancang Kuning yang kerap mengkritik kebijakan rektor pada Februari 2021, (7) mahasiswa STAI Al-Amanah Jeneponto yang membuat puisi berisi kritikan kepada kampus melalui status Facebook pada Juli 2021, dan (8) pengurus Lembaga Pers Mahasiswa FISIP Universitas Sriwijaya yang diancam sanksi akademik akibat

menerbitkan karya jurnalistik berupa karikatur yang mengkritik isu UKT di kampus (Alfian, 2020; MediaPerubahan, 2020; Fernan R., 2020; CNN Indonesia, 2020a; Ari S., 2021; Detikcom, 2021; Redaksi, 2021; Arief B., 2021). Bentuk serangan intimidasi, pembubaran, dan bentuk represi lainnya pun diterima oleh (1) sebelas mahasiswa Universitas Darma Persada yang diberi ancaman skors setelah melakukan aksi damai memprotes kebijakan kampus pada November 2019, (2) mahasiswa Universitas Bunda Mulia yang dipaksa mengundurkan diri dari kampus dan menghapus segala unggahannya di media sosial mengenai transparansi dan keringanan biaya UKT pada Mei 2020, (3) diskusi mahasiswa Constitutional Law School (CLS) FH UGM pada akhir Mei 2020 yang dibatalkan karena menerima berbagai teror dan ancaman pembunuhan, (4) mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara yang menerima ancaman DO dari pihak kampus usai menggelar demonstrasi dengan mendatangi orang tua pada April 2021, (5) Ketua Majelis Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa yang diberhentikan dari jabatannya oleh rektor karena menginisiasi aksi protes mengenai UKT di tengah pandemi pada Agustus 2021, (6) kepengurusan BEM Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dibekukan oleh dekan setelah melayangkan kritik birokrasi pelayanan kampus pada Agustus 2021 (Adi B., 2019; Lokataru

Foundation, 2020; CNN Indonesia, 2020b; Ahmad A., 2021; Zukhruf, 2021; Syailendra, 2021). Menyikapi berbagai peristiwa tersebut, aliansi mahasiswa pun sudah berkali-kali melakukan demonstrasi, membuat kajian, serta policy brief sebagai upaya mendapat perhatian pemerintah. Akan tetapi, pemerintah, khususnya Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek, sama sekali tidak menggubris aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa. Dukungan pendidikan yang dijanjikan Jokowi nyatanya tidak meliputi dukungan terhadap hak atas pendidikan rakyatnya serta hak atas kebebasan berpendapat di lingkungan kampus sebagai manifestasi dari hak atas pendidikan tersebut (BEM UI et al, 2021).


Terakhir, terdapat pula berbagai permasalahan terkait penanganan pandemi Covid-19. Memang, akhir-akhir ini penanganan pandemi sudah cukup membaik dimana Indonesia menjadi negara terbaik di ASEAN dalam hal recovery index, menduduki peringkat ke-5 vaksinasi dunia, mengalami penurunan positivity rate, dan berbagai pencapaian lainnya. Namun, pemerintah tidak boleh lupa bahwa per tanggal 17 Oktober 2021, sudah tercatat ada 4.234.758 kasus terkonfirmasi positif Covid-19, 18.388 kasus aktif Covid-19, dan 142.952 meninggal dunia karena Covid-19 (Satuan Tugas Penanganan Covid-19, 2021). Angka tersebut bukanlah data semata, melainkan jiwa dan nyawa masyarakat Indonesia. Meskipun pemerintah sudah berhasil melewati gelombang kedua, respon awal dan persiapan pemerintah termasuk buruk, seperti yang dapat dilihat dari penurunan jumlah testing yang dilakukan secara sengaja, kolapsnya rumah sakit, habisnya stok tabung gas oksigen, dan tracing yang buruk. Mengingat banyak epidemiolog sudah memprediksi bahwa gelombang ketiga akan terjadi pada bulan Desember 2021, diperlukan perbaikan sistem kesehatan dan persiapan regulasi agar kejadian kolaps saat gelombang kedua tidak terulang kembali. Kemudian, meski recovery index sudah membaik dan positivity rate sudah menurun, case fatality rate (CFR) atau tingkat fatalitas kasus masih tergolong cukup tinggi (3,4%) dibandingkan negara-negara Asia Tenggara yang lain. Selain itu, masih terdapat beberapa permasalahan yang belum terselesaikan. Pembelajaran tatap muka (PTM) yang dilaksanakan di tengah kondisi rendahnya angka vaksinasi anak, 40,45% sekolah di Indonesia yang belum siap untuk menggelar PTM, dan kepatuhan serta kesadaran warga sekolah yang rendah terhadap pelaksanaan protokol kesehatan disinyalir menjadi penyebab timbulnya 1.303 sekolah yang menjadi klaster Covid-19 per 23 September 2021 (Harbani, R., 2021). Klarifikasi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang menyatakan bahwa data tersebut tidak valid mengindikasikan bahwa Kemendikbudristek RI tidak hanya gagal dalam memvalidasi data yang akan diberikan kepada publik, tetapi juga tidak melakukan pemantauan yang ketat kepada sekolah-sekolah yang rentan. Ketimpangan cakupan vaksinasi Covid-19 juga masih terjadi, seperti yang dapat dilihat dari perbandingan antara provinsi dengan cakupan dosis vaksinasi 1 tertinggi (DKI Jakarta, 130,79%) dan terendah (Papua, 23,82%) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2021). Terakhir, implementasi tracing melalui aplikasi PeduliLindungi pun masih bermasalah karena ketiadaan verifikasi pemilik kartu vaksin ataupun sertifikat elektronik maupun status kesehatannya saat memasuki ruang publik sempat menyebabkan 3.830 orang positif Covid-19 berkeliaran (Harsono, 2021). Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, masih harus melakukan banyak perbaikan dalam penanganan pandemi Covid-19 agar kolapsnya sistem kesehatan pada saat gelombang kedua tidak terulang kembali. (dtk)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.