SANCAnews.id – Kritik keras datang lagi dari
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) kepada pemerintah.
Di momen dua tahun Presiden Jokowi-Wakil Presiden Ma'ruf Amin
ini, BEM UI memberikan rapor merah dengan penilaian yang jelek semua untuk
banyak menteri di Kabinet Indonesia Maju.
BEM UI meminta Jokowi mencopot sejumlah menteri dan pejabat
yang dinilai punya nilai buruk. Tak ada menteri dan pejabat setingkat menteri
yang dapat nilai baik, yang ada hanya nilai E dan D. Merah semua!
Pernyataan sikap tertulis dan gambar-gambar terkait
disampaikan Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra kepada wartawan, Rabu (20/10/2021).
BEM UI melakukan evaluasi terhadap jalannya pemerintahan
Jokowi-Ma'ruf selama dua tahun ini. Ada banyak ranah yang mereka sorot,
meliputi UU KPK yang sudah direvisi, perkara kebebasan berekspresi, revisi UU
ITE, lingkungan hidup, isu food estate, energi kotor batubara, krisis iklim,
pelanggaran HAM, hingga soal pendidikan. Berikut adalah desakan BEM UI.
Menanggapi permasalahan di berbagai sektor tersebut, Aliansi
BEM se-UI menyatakan sikapnya, yaitu mendesak Jokowi-Ma'ruf untuk:
1. Membatalkan seluruh upaya pelemahan pemberantasan korupsi
dengan menerbitkan Perppu KPK serta membatalkan implikasi dari Revisi UU KPK
seperti hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan pemberian Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) BLBI. Mencopot Ketua KPK Firli Bahuri dan seluruh
jajaran pimpinan KPK periode 2019--2023 dari jabatannya atas kemunduran
pemberantasan korupsi di Indonesia.
2. Memastikan setiap orang dapat bebas menyampaikan pendapat
baik di muka umum maupun melalui media elektronik dengan melakukan revisi
terhadap pasal-pasal bermasalah UU ITE. Mencopot Menteri Hukum dan HAM Yasonna
Laoly serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD
dari jabatannya atas kegagalannya dalam memberikan jaminan dan perlindungan
hukum atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat serta dalam melakukan
penyelesaian terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu.
3. Mendesak percepatan transformasi dan reformasi Kepolisian
Negara Republik Indonesia untuk memastikan terjaminnya hak kebebasan
berekspresi dan berpendapat setiap orang
4. Meningkatkan target NDC Indonesia sesuai Perjanjian Paris,
menargetkan Indonesia nol emisi di tahun 2045, melaksanakan perintah pengadilan
terkait pencemaran udara, menghentikan proyek food estate yang memperparah
deforestasi, serta deklarasikan darurat iklim. Mencopot Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dari jabatannya atas dasar degradasi
lingkungan dan realita perlindungan lingkungan hidup yang melemah.
5. Menerbitkan Perppu untuk mencabut revisi UU Minerba dan UU
Cipta Kerja beserta aturan turunannya, menghentikan proyek strategis nasional
yang merusak lingkungan hidup dan merampas hak warga, serta memasifkan
penggunaan energi bersih terbarukan dengan mengurangi penggunaan energi kotor
batubara. Melakukan evaluasi terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman dan
Investasi Luhut Binsar Panjaitan terkait kinerjanya dalam mengkoordinasikan
kementerian di bawahnya untuk melakukan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup.
6. Menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan mengadili
pelakunya melalui pengadilan HAM secara adil dan transparan. Mencopot Jaksa
Agung Sanitiar Burhanuddin dari jabatannya atas dasar kegagalannya dalam
melakukan penyelesaian terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu.
7. Memastikan terciptanya kebebasan akademik di lingkup
kampus dan memastikan tidak ada lagi mahasiswa dan dosen yang mendapat sanksi
dari kampus karena menyampaikan analisa, pendapat dan aspirasinya. Mencopot
Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
yang telah gagal menciptakan jaminan kebebasan akademik di lingkungan kampus.
8. Melakukan perbaikan sistem kesehatan untuk persiapan
menghadapi gelombang ketiga pandemi Covid-19 dan melakukan evaluasi terhadap
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkait kinerjanya dalam melakukan
penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
Menteri dan pejabat yang diminta dicopot
BEM UI meminta sejumlah menteri dan pejabat dicopot saja.
Nama-nama besar mereka sebut.
BEM UI meminta Jokowi mencopot Menteri Koordinator Bidang
Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md, Menteri Hukum dan HAM
Yasonna Laoly, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dan
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
(Menristek-dikti) Nadiem Makarim.
BEM UI juga meminta Jokowi untuk mencopot Jaksa Agung
Sanitiar Burhanuddin, juga mencopot Ketua KPK Firli Bahuri.
Mahfud Md mendapat nilai E dan drop out, tentu saja ini
menurut BEM UI. Soalnya, BEM UI menilai Mahfud gagal. Yasonna Laoly juga
mendapat nilai E dan drop out, begitu juga Siti Nurbaya Bakar dan Nadiem
Makarim.
Luhut Pandjaitan mendapat nilai D dan remedial. Menteri
Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga mendapat nilai D dan diberi kesempatan
remedial. Begitulah isi gambar-gambar meme yang disampaikan BEM UI.
Jaksa Agung ST Burhanuddin mendapat nilai E dan drop out,
Ketua KPK Firli Bahuri juga mendapat E dan drop out. Polri diberi BEM UI nilai
D dan remedial.
EVALUASI 2 TAHUN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-MA'RUF AMIN
Pada tanggal 20 Oktober 2019, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf
Amin resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
periode 2019--2024. Selama masa kampanye, Jokowi dan Ma'ruf Amin pernah
mengeluarkan beberapa janji kampanye, di antaranya misi untuk mencapai
lingkungan hidup yang berkelanjutan, penegakan sistem hukum yang bebas korupsi,
bermartabat, dan terpercaya, perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan
rasa aman pada seluruh warga, dan pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif,
dan terpercaya (Hasibuan, 2019). Sudah dua tahun berlalu sejak Jokowi-Ma'ruf
resmi dilantik, namun masih terdapat permasalahan di berbagai sektor yang gagal
diselesaikan oleh Pemerintahan JokowiMa'ruf.
Pertama, di sektor korupsi, janji Jokowi-Ma'ruf dalam
memperkuat posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), justru kontradiktif
ketika Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU KPK) disahkan. Bukan tanpa sebab, substansi revisi UU KPK yang
melemahkan kinerja KPK, ditambah dengan penyusunannya yang hanya memakan waktu
13 hari dan enggannya Jokowi untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti
undangundang (Perppu) yang dapat membatalkan UU KPK kendati mendapat desakan
dari berbagai elemen masyarakat, membuat pengesahan revisi UU KPK sangat
problematik. Alhasil, kinerja KPK pun menurun pascarevisi UU KPK. Hal ini bisa
dilihat dari menurunnya indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia, penurunan angka
operasi tangkap tangan (OTT) dari tahun ke tahun, rendahnya tingkat kepercayaan
publik terhadap KPK, adanya kewenangan KPK dalam menerbitkan surat perintah
penghentian penyidikan (SP3), dan polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) (BEM FIA
UI, 2021; Garnesia, I., 2021). Tidak hanya itu, KPK yang dipimpin oleh Firli
Bahuri dan jajarannya juga tercatat beberapa kali melanggar kode etik dan hanya
diganjar dengan hukuman yang ringan dari Dewan Pengawas KPK (Dewi, R., 2020).
Hal ini menunjukkan kegagalan Firli Bahuri dan jajarannya dalam melakukan
pemberantasan korupsi yang baik di Indonesia.
Kemudian, terdapat masalah terkait kebebasan berekspresi dan
berpendapat. Sejatinya, hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat
merupakan hak yang dijamin dan dilindungi pelaksanaannya dalam sejumlah
instrumen hukum. Dalam kovenan hukum internasional melalui Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political
Rights, telah dinyatakan bahwa terdapat jaminan dan perlindungan hukum atas hak
kebebasan berekspresi dan berpendapat. Selanjutnya, jaminan dan perlindungan
hukum tersebut juga termaktub dalam Pasal 28E UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 Negara Republik Indonesia (UUD 1945) ayat (2) dan (3).
Sayangnya, jaminan dan perlindungan atas hak kebebasan berekspresi dan
berpendapat nampak hanya tertuang pada selembar kertas. Pada kenyataannya,
pembungkaman terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat masih
kerap ditemukan. Fenomena penghapusan mural dan serangkaian tindakan represif
yang dilakukan aparat dalam penanganan massa aksi, seperti penarikan secara paksa
yang disertai pemukulan pada aksi hari buruh dan hari pendidikan 2021, menjadi
bukti nyata bagaimana kebebasan berekspresi dan berpendapat dikerdilkan di
negara yang berlandaskan hukum demokrasi. Tidak hanya itu, secara sistematis,
pemerintah melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
juga seakan terus melakukan upaya pembungkaman terhadap masyarakatnya. Revisi
UU ITE yang semestinya melindungi hak kebebasan berpendapat masyarakat di ruang
digital, sampai dengan hari ini masih problematik karena masih juga mengandung
pasal multitafsir yang rawan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban (BEM
FH UI & BEM UI, 2021). Pada 15 Februari 2021 dalam rapat pimpinan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Presiden
Joko Widodo telah memberikan arahan untuk merevisi UU ITE yang dinilai masih
bermasalah (Kominfo, 2021). Namun, pada 23 Juni 2021, alih-alih melakukan
revisi, pemerintah justru menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri
terkait Pedoman Implementasi UU ITE. Penerbitan SKB 3 Menteri ini menjadi
aktualisasi dari wacana pembentukan pedoman interpretasi UU ITE yang hanya
berisikan penjelasan mengenai Pasal 27, 28, 29, dan 30 UU ITE (BEM FH UI &
BEM UI, 2021). . Hal ini menunjukkan kegagalan Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Prof. Yasonna Hamonangan Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D dalam memberikan jaminan dan
perlindungan hukum atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Selain itu,
hal ini juga menjadi suatu peringatan bagi Kepala Pimpinan Kepolisian RI Listyo
Sigit untuk mempercepat transformasi dan reformasi Kepolisian Negara Republik
Indonesia demi memastikan terjaminnya hak kebebasan berekspresi dan berpendapat
setiap orang.
Permasalahan lainnya dapat ditemukan dalam bidang lingkungan
hidup. Janji JokowiMa'ruf dalam masa kampanyenya untuk mewujudkan prinsip hijau
dan keberlanjutan dalam pengelolaan lingkungan hidup, malah bertolak belakang
ketika Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(UU CK) beserta peraturan turunannya yang disahkan. Pengesahan kedua produk
hukum ini merupakan sebuah karpet merah untuk oligarki melalui pelonggaran dan
deregulasi yang jelas merampas hak warga atas lingkungan yang bersih dan sehat
sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 (BEM FH UI & BEM FMIPA UI, 2020;
BEM UI & BEM FMIPA UI, 2020; BEM UI et al, 2021a). Terbukti, adanya konflik
kepentingan antara oligarki, pemerintah, dan masyarakat sipil telah
mengakibatkan tindakan represif dan kriminalisasi terhadap warga yang
memperjuangkan lingkungannya, seperti yang terjadi di Wadas (Wawan, 2021).
Lebih lanjut, rencana pembangunan proyek food estate yang problematik menambah
permasalahan seperti akan berpotensi menggantungkan nasib pangan Indonesia ke
korporasi besar dan berpotensi berkurangnya daerah kawasan hutan untuk
keperluan proyek food estate (BEM UI & BEM FMIPA UI, 2021). Permasalahan lingkungan
selanjutnya datang dari sektor energi. Meski Kebijakan Energi Nasional (KEN)
menargetkan kenaikan penggunaan energi baru terbarukan menjadi 23%, nyatanya
pemerintah belum bisa berpaling dari energi kotor batubara (BEM FMIPA UI,
2020). Berikutnya, Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia terkait
komitmen penurunan emisi masih dalam jalur kenaikan suhu 3-4 derajat celcius,
bertentangan dengan Perjanjian Paris yang membatasi kenaikan suhu sebesar 1,5
derajat celcius pada tahun 2015 silam (Climate Action Tracker, 2021; BEM UI
& BEM Unpad, 2020). Komitmen Indonesia dalam target nol emisi pada tahun
2060 juga menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim.
Sebagai perbandingan, kebanyakan negara lain menetapkan target nol emisi di
tahun 2050, bahkan negara dengan kekuatan ekonomi di bawah Indonesia (Energy
& Climate Intelligence Unit, 2021). Pemerintah juga abai dalam menjamin hak
atas udara bersih warga negara. Terlihat dari
Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) yang masih jauh di bawah
standar WHO.Langkah Presiden dan Menteri Lingkungan Hidup untuk mengajukan
banding juga menunjukan kelalaian pemerintah dalam menjamin kualitas udara di
Indonesia.a (BEM FMIPA UI et al. 2020; Meiliana, 2021). Dengan demikian,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar beserta Menteri
Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan sudah seharusnya
bertanggung jawab atas degradasi lingkungan dan realita perlindungan lingkungan
hidup yang semakin melemah selama 2 tahun berjalannya rezim Jokowi-Ma'ruf (BEM
UI & BEM FMIPA UI, 2021).
Tidak hanya itu, kegagalan rezim Jokowi-Ma'ruf juga terjadi
pada aspek hak yang paling fundamental, yaitu hak asasi manusia (HAM). Masih
kental dalam ingatan kita, janji politik yang gema disuarakan pasangan calon
Jokowi-Ma'ruf pada masa kampanye presiden 2019 lalu untuk memberikan
perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga
(Hasibuan, L. (2019). Sayangnya, hingga saat ini pemerintah seakan tutup
telinga atas segala kasus pelanggaran HAM yang terjadi, baik di masa lalu,
seperti Tragedi Semanggi 1 dan 2, Kasus Tanjung Priok, serta pembunuhan aktivis
HAM Munir Said Thalib, ataupun pembiaran atas pelanggaran HAM, yang tercermin
pada berbagai aksi massa yang terjadi hingga hari ini. Serangkaian pembiaran
ini secara nyata menunjukan ketidakpedulian negara dan pemerintahannya atas
rasa aman dan perlindungan terhadap warga negaranya. Bahkan, Presiden Joko
Widodo tampak menganggap tindakan represif saat aksi demonstrasi sebagai hal
yang wajar (CNN Indonesia, 2020). Hal ini terlihat dari respons Presiden dalam
penanganan pengalaman aksi demonstrasi Omnibus Law 2020, Hari Buruh 2021, dan
Hari Pendidikan Nasional 2021 dimana ditemukan banyak tindakan represif
terhadap massa aksi. Alih-alih mencegah, Presiden Jokowi melakukan pembiaran
terhadap tindakan-tindakan tersebut. Bahkan, pada aksi unjuk rasa tolak Omnibus
Law, polisi menangkap 5.918 orang dimana 167 orang dinaikkan kasusnya menjadi
penyidikan (Bustomi, 2020). Belum selesai sampai disitu, pada Hari Buruh
diketahui sebanyak 168 mahasiswa ditangkap bersama dengan aliansi buruh dan
pemuda lainnya (BEM UI & BEM Undip, 2021). Terkait pelanggaran HAM masa
lalu, hingga saat ini pun pemerintah belum juga menunjukan itikad baiknya untuk
segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu
ataupun memberikan keadilan bagi keluarga korban pelanggaran HAM. Bahkan, pada
16 Januari 2020 Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyatakan bahwa Peristiwa
Semanggi I dan II tidak termasuk dalam kasus pelanggaran HAM berat (KontraS,
2020). Keluarga korban juga telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Jakarta pada Mei 2020 atas tuntutan Jaksa Agung bertindak sebagai
pejabat publik yang menghalangi kepentingan keluarga korban yang telah berusaha
untuk mendapatkan keadilan atas meninggalnya korban Peristiwa Semanggi I dan II
(KontraS, 2020). Sayangnya, setelah menang di PTUN, Jaksa Agung mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan memenangkan banding
atas dasar gugatan yang dilayangkan oleh keluarga korban tidak dapat diterima
karena tidak melalui banding administratif terlebih dahulu (KontraS, 2021).
Serangkaian pernyataan dan kebohongan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin terkait
penyikapannya dalam menangani Peristiwa Semanggi I dan II tampaknya cukup
menjadi gambaran bagaimana pejabat negara mengabaikan kasus pelanggaran HAM
berat masa lalu. Lebih jauh, pembuatan susunan rancangan Peraturan Presiden
tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat (UKP-PPHB) melalui mekanisme non-yudisial hanya menjadi
pintu gerbang menuju pembentukan kembali Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 (Alfian, A,.
2021). Para pelaku pelanggaran HAM masa lalu seharusnya tidak diadili melalui
pengadilan negeri biasa, melainkan melalui Pengadilan HAM sebagaimana ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Padahal,
ketegasan presiden untuk segera mengadili pelaku pelanggaran HAM sangat
diperlukan untuk menghindari terulang kembalinya kasus pelanggaran HAM yang
dapat memperpanjang catatan merah kegagalan negara dalam melindungi warga
negaranya. Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan HAM dan Jaksa Agung yang
bertanggung jawab secara langsung atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM sudah
semestinya berbenah diri dan melakukan evaluasi untuk kinerja yang lebih baik
ke depan.
Selanjutnya, bidang pendidikan pun tidak luput menjadi sektor
bermasalah selama dua tahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Padahal, Jokowi dengan
terang menjanjikan dukungan pendidikan dalam pidato pertamanya (Agung, 2019).
Pada Hari Pendidikan Nasional 2021, Jokowi bersama Nadiem Makarim sebagai
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI (Mendikbudristek), juga
mengutip bahwa pendidikan harus memiliki tujuan memerdekakan kehidupan bangsa
(Sekretariat Negara, 2021). Nyatanya, ucapan tersebut bertolak belakang
dengan realitas yang terjadi bila melihat absennya pemerintah
menanggapi serangan terhadap kebebasan akademik yang semakin marak dalam dua
tahun ke belakang. Serangan-serangan ini berupa penjatuhan sanksi akademik
(drop out atau skors), kriminalisasi, pembubaran diskusi mahasiswa, ancaman
atau intimidasi, dan bentuk represi lainnya, seperti penghimbauan untuk tidak
mengikuti demonstrasi. Pada Desember 2019, empat mahasiswa Universitas Khairun
Ternate menjadi korban drop out (DO) secara sepihak karena terlibat dalam aksi
demonstrasi (Fadiyah, 2020). Pemberian sanksi akademik karena menyuarakan
pendapat juga terjadi kepada banyak mahasiswa universitas lainnya, antara lain
(1) 28 mahasiswa UKI Paulus Makassar yang menggelar demonstrasi untuk
mengkritisi kebijakan kampus terkait organisasi kemahasiswaan, (2) sembilan
mahasiswa Universitas Bina Insan Lubuklinggau yang menuntut keringanan biaya
uang kuliah tunggal (UKT) pada Mei 2020, (3) mahasiswa Universitas Negeri
Semarang terkena sanksi akademik setelah melaporkan rektornya ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi, (4) tujuh mahasiswa
Universitas Nasional Jakarta yang mengkritisi kebijakan kampus terkait UKT
melalui media sosial pada Juli 2020, (5) dua puluh mahasiswa Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi Indonesia Membangun yang menggelar demonstrasi penuntutan
transparansi anggaran UKT pada Januari 2021, (6) tiga mahasiswa Universitas
Lancang Kuning yang kerap mengkritik kebijakan rektor pada Februari 2021, (7)
mahasiswa STAI Al-Amanah Jeneponto yang membuat puisi berisi kritikan kepada
kampus melalui status Facebook pada Juli 2021, dan (8) pengurus Lembaga Pers
Mahasiswa FISIP Universitas Sriwijaya yang diancam sanksi akademik akibat
menerbitkan karya jurnalistik berupa karikatur yang
mengkritik isu UKT di kampus (Alfian, 2020; MediaPerubahan, 2020; Fernan R.,
2020; CNN Indonesia, 2020a; Ari S., 2021; Detikcom, 2021; Redaksi, 2021; Arief
B., 2021). Bentuk serangan intimidasi, pembubaran, dan bentuk represi lainnya
pun diterima oleh (1) sebelas mahasiswa Universitas Darma Persada yang diberi
ancaman skors setelah melakukan aksi damai memprotes kebijakan kampus pada
November 2019, (2) mahasiswa Universitas Bunda Mulia yang dipaksa mengundurkan
diri dari kampus dan menghapus segala unggahannya di media sosial mengenai
transparansi dan keringanan biaya UKT pada Mei 2020, (3) diskusi mahasiswa
Constitutional Law School (CLS) FH UGM pada akhir Mei 2020 yang dibatalkan
karena menerima berbagai teror dan ancaman pembunuhan, (4) mahasiswa
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara yang menerima ancaman DO dari pihak kampus
usai menggelar demonstrasi dengan mendatangi orang tua pada April 2021, (5)
Ketua Majelis Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa yang diberhentikan
dari jabatannya oleh rektor karena menginisiasi aksi protes mengenai UKT di
tengah pandemi pada Agustus 2021, (6) kepengurusan BEM Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu dibekukan oleh dekan setelah melayangkan kritik birokrasi
pelayanan kampus pada Agustus 2021 (Adi B., 2019; Lokataru
Foundation, 2020; CNN Indonesia, 2020b; Ahmad A., 2021;
Zukhruf, 2021; Syailendra, 2021). Menyikapi berbagai peristiwa tersebut,
aliansi mahasiswa pun sudah berkali-kali melakukan demonstrasi, membuat kajian,
serta policy brief sebagai upaya mendapat perhatian pemerintah. Akan tetapi,
pemerintah, khususnya Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek, sama sekali tidak
menggubris aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa. Dukungan pendidikan yang
dijanjikan Jokowi nyatanya tidak meliputi dukungan terhadap hak atas pendidikan
rakyatnya serta hak atas kebebasan berpendapat di lingkungan kampus sebagai
manifestasi dari hak atas pendidikan tersebut (BEM UI et al, 2021).
Terakhir, terdapat pula berbagai permasalahan terkait
penanganan pandemi Covid-19. Memang, akhir-akhir ini penanganan pandemi sudah
cukup membaik dimana Indonesia menjadi negara terbaik di ASEAN dalam hal
recovery index, menduduki peringkat ke-5 vaksinasi dunia, mengalami penurunan
positivity rate, dan berbagai pencapaian lainnya. Namun, pemerintah tidak boleh
lupa bahwa per tanggal 17 Oktober 2021, sudah tercatat ada 4.234.758 kasus
terkonfirmasi positif Covid-19, 18.388 kasus aktif Covid-19, dan 142.952
meninggal dunia karena Covid-19 (Satuan Tugas Penanganan Covid-19, 2021). Angka
tersebut bukanlah data semata, melainkan jiwa dan nyawa masyarakat Indonesia.
Meskipun pemerintah sudah berhasil melewati gelombang kedua, respon awal dan
persiapan pemerintah termasuk buruk, seperti yang dapat dilihat dari penurunan
jumlah testing yang dilakukan secara sengaja, kolapsnya rumah sakit, habisnya
stok tabung gas oksigen, dan tracing yang buruk. Mengingat banyak epidemiolog
sudah memprediksi bahwa gelombang ketiga akan terjadi pada bulan Desember 2021,
diperlukan perbaikan sistem kesehatan dan persiapan regulasi agar kejadian
kolaps saat gelombang kedua tidak terulang kembali. Kemudian, meski recovery
index sudah membaik dan positivity rate sudah menurun, case fatality rate (CFR)
atau tingkat fatalitas kasus masih tergolong cukup tinggi (3,4%) dibandingkan
negara-negara Asia Tenggara yang lain. Selain itu, masih terdapat beberapa
permasalahan yang belum terselesaikan. Pembelajaran tatap muka (PTM) yang
dilaksanakan di tengah kondisi rendahnya angka vaksinasi anak, 40,45% sekolah
di Indonesia yang belum siap untuk menggelar PTM, dan kepatuhan serta kesadaran
warga sekolah yang rendah terhadap pelaksanaan protokol kesehatan disinyalir
menjadi penyebab timbulnya 1.303 sekolah yang menjadi klaster Covid-19 per 23
September 2021 (Harbani, R., 2021). Klarifikasi dari Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang menyatakan bahwa data
tersebut tidak valid mengindikasikan bahwa Kemendikbudristek RI tidak hanya
gagal dalam memvalidasi data yang akan diberikan kepada publik, tetapi juga
tidak melakukan pemantauan yang ketat kepada sekolah-sekolah yang rentan.
Ketimpangan cakupan vaksinasi Covid-19 juga masih terjadi, seperti yang dapat
dilihat dari perbandingan antara provinsi dengan cakupan dosis vaksinasi 1
tertinggi (DKI Jakarta, 130,79%) dan terendah (Papua, 23,82%) (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2021). Terakhir, implementasi tracing melalui
aplikasi PeduliLindungi pun masih bermasalah karena ketiadaan verifikasi
pemilik kartu vaksin ataupun sertifikat elektronik maupun status kesehatannya
saat memasuki ruang publik sempat menyebabkan 3.830 orang positif Covid-19
berkeliaran (Harsono, 2021). Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, masih
harus melakukan banyak perbaikan dalam penanganan pandemi Covid-19 agar
kolapsnya sistem kesehatan pada saat gelombang kedua tidak terulang kembali. (dtk)