Latest Post



SANCAnews – Selama dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden KH Maruf Amin, masih menyisakan sejumlah catatan.

 

Berdasarkan catatan Indonesia Political Review (IPR), aspek penegakan hukum masih compang-camping.

 

Pasalnya, selama dua tahun terkahir kepemimpinannya Jokowi-Maruf, tidak sedikit masyarakat sipil, aktivis hingga mahasiswa yang mengkritik pemerintah malah berujung bui.

 

"Penegakkan hukum masih compang-camping. Masih pilih-pilih dan tebang pilih. Hukum masih menyasar pada rakyat kecil dan mahasiswa yang kritis," kata Direktur Eksekutif IPR Ujang Komarudin saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu di Jakarta, Senin siang (18/10).

 

Atas dasar itu, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia ini meminta pemerintah untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia.

 

Jika tidak, itu akan berakibat serius bagi keberlangsungan demokrasi di tanah air yang mengalami penurunan indeks demokrasi, "Sisi penegakan hukum harus diperbaiki," pungkasnya. *



 

SANCAnews – Pemerintah memutuskan hari libur keagamaan seperti maulid Nabi yang seharusnya Selasa 19 Oktober 2021, digeser menjadi Rabu 20 Oktober 2021. Keputusan libur maulid yang digeser ini kemudian mendapat beberapa tentangan dari sejumlah pihak, karena dianggap tidak bijak dan tidak relevan.

 

Protes beberapa di antaranya datang dari salah satu pengurus Majelis Ulama Indonesia Cholil Nafis, dan tokoh dari Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nurwahid. Keduanya berpandangan kalau libur Maulid nabi digeser, maka tidak pantas dilakukan.

 

Terlebih, kasus Covid 19 sudah mulai mereda, dan banyak aktivitas masyarakat sudah mulai berjalan normal.

 

Adapun alasan pemerintah menggeser hari libur sendiri dimaksudkan untuk menghindari dampak yang terjadi dari hari libur berdasarkan pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui. Yakni selalu mengalami lonjakan kasus baru, jika hari libur digelar.

 

Libur Maulid Nabi digeser, tepatkah? 

Terkait sikap Pemerintah, ulama NU Syafiq Hasyim menyoroti langkah yang dilakukan Pemerintah. Dia sendiri mengaku tak bermasalah jika libur maulid nabi digeser dari 19 Oktober 2021 menjadi 20 Oktober 2021.

 

Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, pada dasarnya alasan Pemerintah menggeser hari libur ini masih terbilang masuk akal.

 

“Pergeseran hari besar keagamaan ini bisa disebut sebagai bagian upaya Pemerintah demi kemaslahatan publik. Sebab tugas Pemerintah memang harus memikirkan agar hal-hal buruk yang akan terjadi pada rakyatnya tak akan terjadi. Dalam Islam, tindakan atau kebijakan pemimpin pada rakyat itu didasarkan pada kebaikan dan maslahah,” kata dia, dikutip saluran Cokro TV, Senin 18 Oktober 2021.

 

Walau apa yang disorot Cholil Nafis dan Hidayat Nurwahid memang cukup masuk akal, akan tetapi, kata dia, Pemerintah sepertinya memiliki cara pandang lain. Yakni menghindari keburukan terjadi, di mana bisa jadi kegiatan hari libur ini justru akan mengembalikan keadaan yang sudah mulai membaik jadi memburuk lagi.

 

Padahal di satu sisi, maulid nabi sendiri merupakan kegiatan yang sudah mendarah daging bagi rakyat Muslim di Indonesia. Selain itu, rangkaian kegiatan itu juga tidak hanya satu hari, namun berlangsung belasan hari.

 

“Nah, Maulid ini kan sangat meriah di negeri kita. Namun yang perlu kita ingat, maulid tidak terbatas pada hari lahir, makanya Pemerintah kemudian turun mengajak dialog, agar kegiatan selama bulan Maulid ini terjaga. Apalagi Maulid ini sudah berlaku lama dan mengakar.”

 

Pemerintah diminta konsisten 

Di kesempatan itu, Syafiq juga meminta agar Pemerintah tetap konsisten pada apa yang dilakukannya. Yakni bukan hanya berhenti di hari Maulid saja, melainkan di sejumlah kesempatan momen lain, dan berlaku untuk agama lain.

 

Sebab jika tidak konsisten, maka dikhawatirkan akan ada peningkatan kasus baru. “Agar tak terjadi kesalahpahaman, Pemerintah harus bisa konsisten dan adil. Sebab hal keagamaan sangat sensitif dan potensial dipolitisasi. Maka itu, terapkan hal setara untuk hari keagamaan lain juga.”

 

“Kalau ada perbedaan pun harus ada fakta yang logis, kalau tidak maka Pemerintah akan disebut pilih kasih,” katanya. (hops)



 

SANCAnews Beberapa waktu belakangan, media sosial khususnya Twitter dihebohkan dengan cuitan 'Polisi se-Indonesia bisa diganti satpam BCA aja gaksih' oleh akun Twitter fchkautsar, Rabu (13/10).

 

Karena cuitannya itu, akun itu terus mendapatkan ancaman dari beberapa oknum. Bahkan, akun Instagram Fachrial Kautsar yang mencuit kalimat itu, kini dinonaktifkan sementara karena terus mendapatkan ancaman dari berbagai akun yang bahkan terdapat akun dengan foto profil berseragam polisi.

 

Terkait hal itu, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi NasDem Taufik Basari meminta Polri untuk menindak tegas oknum polisi yang memberikan ancaman kepada netizen.

 

"Tindakan mengancam dan intimidasi melalui online seperti kejadian tersebut sudah mengarah pada tindak pidana, semestinya para oknum itu lebih paham dan bukan malah melakukan tindak pidana" ungkap Taufik, Minggu (17/10).

 

Taufik sendiri menyayangkan tindakan anggota polisi yang seharusnya menegakkan hukum, tapi malah melakukan tindak pidana meski latar belakangnya adalah membela institusi Polri.

 

"Jika dibiarkan dan tidak ada tindakan tegas maka masyarakat akan merasa tidak aman karena masih ada oknum-oknum yang diberikan wewenang memegang senjata, memiliki diskresi dan bertugas menegakkan hukum tapi justru merasa bisa sewenang-wenang mengintimidasi dan mengancam warga hanya karena suatu cuitan di sosial media," ujar Taufik.

 

Soal oknum yang mengancam netizen itu, Taufik menyebut sudah menelusuri siapa saja oknum tersebut. Ia mengatakan ada oknum yang menggunakan nama samaran, tapi ada juga yang secara gambang menggunakan akun dari anggota Polri.

 

Karena itu, Taufik meminta agar Kadivpropam Polri segera bertindak cepat guna memproses hukum oknum itu dan memberikan jaminan perlindungan kepada netizen yang mendapatkan ancaman.

 

Di sisi lain, Mabes Polri menanggapi positif reaksi publik di dunia maya tersebut. Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan menyebutkan jika Polri tidak anti terhadap kritikan masyarakat.

 

"Polri tidak anti terhadap kritik-kritik yang disampaikan oleh masyarakat,” kata Kombes Ramadhan, Minggu (17/10). (indozone)



 

SANCAnews – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai sejumlah anggota kepolisian yang diduga melakukan intimidasi terhadap seorang pengguna Twitter, menunjukkan sikap anti-kritik.

 

Sebelumnya, seorang pengguna Twitter dengan akun @fchkautsar diintimidasi pasca mengkritisi kepolisian. Dalam postingannya,  ia meminta agar korps Bhayangkara diganti dengan satpam salah satu bank swasta.

 

“Dari reaktifnya anggota kepolisian di media sosial atas keluhan, sindiran, kritikan publik menunjukkan anggota kepolisian tak siap dengan hal itu. Respons institusi mestinya harus dibedakan dengan respons personal,” kata Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar saat dihubungi Suara.com, Senin (18/10/2021).

 


Menurut KontaS, seharusnya kritikan itu dapat dijadikan sebagai masukan untuk perbaikan kepolisian di Tanah Air. Bukan membalasnya dengan intimidasi, sehingga semakin menunjukkan sikap tidak profesional.

 

“Ketika anggota kepolisian merespons secara personal dengan atribut kelembagaan justru yang terlihat malah tidak profesional ketika harus mengeluarkan ancaman atau intimidasi nonverbal lainnya. Mestinya dipandang sebagai bentuk koreksi terhadap bentuk pelayanan, bukan ejekan terhadap institusi,” ungkap Rivanlee.

 

Para anggota kepolisian pun diminta agar dapat membedakan kritikan dengan penghinaan, serta tidak melakukan tindakan yang personal.

 

“Polri harus memahami bahwa kritik dalam bentuk aksi massa sampai dengan keluhan/sindiran di media sosial adalah varian kritik yang terus tumbuh karena generasi serta variabel lain (seperti, teknologi informasi) terus muncul. Tidak bisa serta merta sepihak subjektif lalu bersikap sewenang-wenang mengancam dan sebagainya,” kata Rivanlee.

 

Dikhawatirkan,  jika anggota kepolisian tidak dapat memaham masukan dari publik  sebagai bahan koreksi, maka selamanya kritikan dianggap sebagai ancaman.

 

“Jika itu tidak dipahami, kritik publik hanya akan terus dianggap sebagai ancaman semata bukan masukan terhadap institusi Polri. Polri harus menyesuaikan responsnya dengan perkembangan serta kultur yang tumbuh.  Tidak bisa terus memaksakan penilaian subjektif karena polisi harus bisa melindungi ekspresi warga negara yang menjadi bagian dari hak asasi manusia,” ujar Rivanlee.

 

Diketahui, akun Twitter @fchkautsar menulis kritikannya ke kepolisian pada Rabu (13/10/2021) lalu.

 

“Polisi se-Indoensia bisa diganti satpam BCA aja gaksih,” tulisnya yang dikutip Suara.com pada Jumat (15/10/2021).

 

Pasca tulisan itu, dia mendapat sejumlah pesan yang dikirimkan secara personal ke akun Instagram miliknya.

 

Seperti dari akun Instagram Faisal Basril dengan nama pengguna @fslbsrl yang menuliskan, ‘Kalo laki selesaikan dengan baku hantam.’

 

Berdasarkan tangkapan layar diunggah @fchkautsar, pengirim pesan itu diduga seorang anggota korps Bhayangkara, merujuk pada foto profilnya yang menggunakan seagam polisi.

 

Selain itu, @fchkautsar juga mendapatkan pesan intimidasi lainnya, seperti  akun @cupsans27, yang mempertanyakan maksud dari tulisannya itu.

 

“Lu bikin Tweet apa bro? Mau nyuruh polisi gimana? Mental aman dek? Berani di medsos aja? Cirian sia nya kalem," tulis akun tersebut.

 

Tak berhenti di situ saja akun @cupsans27 juga mengomentari postingan Fachrial di Instagram miliknya.

 

"Ini bocah mau diajak smack keknya gaslah," tulis akun tersebut.

 

Kemudian dari akun Instagram @handykagunturagnandes yang mengirimkan pesan, "Maksud kamu apa bawa institusi polri. Kau orang mana? Kalau ada oknum yang salah, salahkan oknumnya, jangan bawa-bawa institusinya. Kalau kamuga terima, ga perlu kamu cari saya, saya yg cari kamu!. (*)



 

SANCAnews – Kinerja Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dipertanyakan lantaran tak berdaya menyikapi teguran Badan Antidoping Dunia (WADA).

 

Imbasnya, euforia kemenangan tim ganda putra bulutangkis Indonesia yang mengangkat trofi piala Thomas terciderai dengan tidak adanya bendera Merah Putih.

 

“Prestasi tim Thomas Cup 2020 tentu sangat luar biasa. Sayangnya janji Kemenpora dalam merespons ancaman sanksi WADA ternyata tak terbukti di lapangan. Akibatnya Merah Putih tak berkibar dalam peristiwa bersejarah itu,” kata Ketua Komisi XI DPR RI, Saiful Huda, Senin (18/10).

 

Menpora Zainudin Amali beberapa waktu lalu berjanji akan bergerak cepat memberikan klarifikasi kepada WADA agar terhindar dari sanksi. Saat itu, Menpora bersama Lembaga Antidoping Indonesia (LADI) akan segera memenuhi tes doping atlet Indonesia.

 

“Saat itu Pak Menpora menyatakan jika WADA bersedia menunggu sampel uji doping di PON Papua untuk memenuhi batas minimal TDP atlet Indonesia. Ternyata Indonesia resmi disanksi sehingga Merah Putih tidak berkibar meskipun Hendra Setiawan dkk berhasil mengembalikan Piala Thomas ke Tanah Air,” katanya.

 

Sebelumnya, WADA mengirim formal notice terkait status Indonesia yang dinilai tidak mengikuti standar Test Doping Plan (TDP) pada 15 September 2021. WADA memberikan kesempatan 21 hari kepada Indonesia untuk memberikan klarifikasi.

 

Jika klarifikasi tidak dilakukan maka Indonesia akan menerima sanksi  berupa pelarangan menyelenggarakan event olahraga internasional di tanah air maupun pelarangan pengibaran bendera Merah Putih di luar negeri. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.