Latest Post


 

SANCAnews – Laporan bertajuk 'Banking on the Belt and Road: Insights from a new global dataset of 13,427 Chinese Development Projects' menyampaikan negara-negara yang mendapatkan aliran utang tersembunyi dari China.

 

Indonesia masuk dalam salah satu daftar tersebut. Dikutip dari laporan itu, China memang memiliki tujuan untuk membangun jalur sutera dengan Belt and Road Initiative (BRI) yang selama ini dilakukan di banyak negara.

 

Untuk penyaluran dana dengan skema Official Development Assistance (ODA) Indonesia mendapatkan dana US$ 4,42 miliar atau setara Rp 62,7 triliun (kurs Rp 14.200). Sementara untuk skema Other Official Flows (OOF) sebesar US$ 29,96 miliar atau sekitar Rp 425,4 triliun.

 

Dana ini diterima sejak tahun 2000 hingga 2017. Jika ditotal mencapai US$ 34,38 miliar atau sekitar Rp 488 triliun. Skema OOF ini sebenarnya tak cuma diberikan China untuk Indonesia.

 

Ada banyak negara yang mendapatkan dengan skema tersebut, misalnya Rusia yang menduduki peringkat pertama dengan total nilai US$ 125 miliar.

 

Utang ini melalui perusahaan BUMN di Rusia untuk sektor minyak dan gas dengan bunga mengacu LIBOR atau EURIBOR, ditambah margin dan hasil penjualan minyak dan gas ke China.

 

Menanggapi hal tersebut Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan secara detail terkait utang tersembunyi tersebut.

 

Dia menjelaskan, utang tersembunyi versi AidData tidak dimaksudkan sebagai utang yang tak dilaporkan atau disembunyikan. Melainkan utang non pemerintah, tapi jika ada wanprestasi berisiko menyenggol pemerintah.

 

"Jadi di titik ini kita sepakat, ini bukan isu transparansi. Utang itu dihasilkan dari skema Business to Business (B-to-B) yang dilakukan dengan BUMN, bank BUMN, special purpose vehicle, perusahaan patungan dan swasta. Utang BUMN tidak tercatat sebagai utang pemerintah dan bukan bagian dari utang yang dikelola pemerintah," jelas dia dikutip dari akun @prastow, Jumat (15/10/2021).

 

Menurut dia jika pihak tersebut mendapat pinjaman akan menjadi tanggung jawab mereka. Sedangkan untuk Utang Luar Negeri (ULN) yang dilakukan pemerintah, BUMN dan swasta tercatat dalam Statistik ULN Indonesia. SULNI ini rutin dipublikasikan oleh BI dan Kementerian Keuangan.

 

Jadi konteks Indonesia tidak tepat jika ada ULN termasuk pinjaman China dikategorikan sebagai utang tersembunyi. Semua ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI dan bisa diakses oleh publik. (dtk)



 

SANCAnews – Lembaga riset Amerika Serikat, Aiddata, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara penerima utang terselubung (hidden debt) terbesar dari China. Pada rentang 2000-2017, nilainya mencapai USD 34,38 miliar atau dengan kurs saat ini setara Rp 488,9 triliun.

 

Dalam laporan riset berjudul 'Banking on the Belt and Road: Insights from a new global dataset of 13,427 Chinese Development Projects' itu, Aiddata menjelaskan dana tersebut masuk melalui pembiayaan sejumlah proyek infrastruktur. Termasuk investasi dalam skema Belt and Road Initiative (BRI).

 

"Utang sebesar itu bagian dari strategi China untuk merealisasikan keinginannya mewujudkan jalur sutera baru atau yang dikenal dengan Belt and Road Initiative (BRI)," tulis laporan tersebut, dikutip Jumat (15/10).

 

Dari laporan setebal 166 halaman itu, disebutkan Indonesia menerima 71 proyek infrastruktur dalam skema BRI dengan nilai sebesar USD 20,3 miliar. Dari jumlah proyek infrastruktur, Indonesia merupakan negara penerima ketiga terbanyak di bawah Kamboja (82 proyek) dan Pakistan (71 proyek). Sedangkan dari nilai dananya, Indonesia ada di posisi kedua di bawah Pakistan (USD 27,3 miliar).

 

Ekonom Universitas Islam Indonesia (UII), Zulfikar Rakhmat, menilai pendanaan proyek-proyek dalam skema BRI sejatinya memang utang.

 

"Sebenarnya tuh kalau saya lihat memang sebenarnya dari awal itu utang yang ditutup rapi atau dibungkus dengan investasi. Sebenarnya itu utang," kata Direktur Institute for Global and Strategic Studies UII, kepada kumparan, Jumat (15/10).

 

Doktor dari The University of Manchester itu, menjadikan implementasi BRI sebagai penelitian untuk disertasinya. Fokus penelitiannya saat itu soal proyek Belt and Road Initiative di Indonesia dan Timur Tengah.

 

Menurutnya, secara internal China menetapkan pembiayaan proyek-proyek BRI sebagai loan (pinjaman/utang). "Dari awal, kalimat yang digunakan itu loan. Jadi saya enggak kaget dengan hasil riset Aiddata itu," ujarnya. []




SANCAnews – Pakar hukum tata negara Refly Harun turut mengomentari dilantiknya Megawati Soekarnoputri alias Mega sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurut dia, kalangan internasional pasti akan tertawa jika Indonesia maju memperkenalkan inovasi dan risetnya ketika tahu siapa di balik BRIN sebenarnya.

 

“Kalangan internasional (dunia) pasti akan tertawa kalau sewaktu BRIN maju, apalagi kalau tahu Ketua Dewan Pengarahnya datang dari politik. Dia tak punya pengalaman riset sama sekali, bahkan maaf kata juga, lulus S1 pun tidak, walaupun belakangan akhirnya mendapat gelar doktor honoris causa dan profesor,” kata dia di saluran Youtube-nya, dikutip Hops.id, Kamis 14 Oktober 2021.

 

Refly lantas membacakan sebuah adagium yang tepat dengan fenomena Mega di BRIN. “Ada sebuah adagium, kalau urusan itu tak diserahkan pada ahlinya maka tunggulah kehancurannya.”

 

Mega kok pimpin BRIN 

Menurut dia, banyaknya orang yang mengkritik adanya Mega di BRIN terbilang masuk akal. Sebab menjadi seolah bukan sebagai tujuan utama waktu BRIN dihadirkan, yakni memiliki otonomi untuk mengembangkan inovasi dan riset nasional.

 

Yang justru terjadi kini, BRIN yang berada langsung di bawah Presiden Jokowi ini justru menyerahkan kursi terhormat kepada orang yang tak punya latar belakang keilmuan riset dan teknologi.

 

Terlebih, negara sendiri merogoh pendanaan besar untuk BRIN sampai akhirnya punya cabang di tiap daerah. Dengan demikian, kata Refly, kini Mega memangku dua jabatan penting baik di Dewan Pengarah BPIP dan BRIN.

 

“Kalau BPIP okelah itu bisa dianggap mainan politiknya Mega untuk dapatkan sebuah pengakuan dari negara seputar kedudukan tinggi di negara dengan level setingkat menteri atau lebih. Tetapi ternyata itu tidak cukup, diciptakan lah BRIN, yang secara psikologis justru juga di atas menteri.”

 

“Wakil ketuanya menteri keuangan, lalu menteri bapennas, itu artinya dia bisa lebih berkuasa dari menteri keuangan sekalipun. Makanya wajar kemudian datang kritik bertubi-tubi,” katanya.

 

Tantangan BRIN ke depan 

Kritik bahkan juga disuarakan loyalis Jokowi yang juga cendikiawan muslim Azyumardi Azra. Dia bilang, seharusnya yang menjadi ketua dewan pengarah BRIN adalah seorang peneliti andal yang juga diakui dan dihormati kalangan internasional.

 

Karena ini penting dalam kaitannya dengan kerja sama internasional ke depan. Selain itu, beberapa kalangan juga merasa tidak yakin BRIN akan mampu melakukan konsolidasi di sisa akhir pemerintahan Jokowi. Maka itu, mau tidak mau, eksistensi BRIN kemudian akan lebih banyak disandarkan pada pemerintahan Jokowi.

 

“Kalau berakhir, bisa jadi presiden yang baru kalau tidak dalam arus yang sama, rentak tari yang sama, akan banyak mengubah struktur kelembagaan yang ada. Seperti di BPIP dan BRIN, akan dilakukan perombakan besar-besaran.”

 

“Kalau sudah begini jangan harap lembaga riset ini akan mumpuni dan bisa menjadi landasan, kerangka yang kuat dalam riset dan inovasi di negeri ini,” tutup Refly. (*)




SANCAnews – Sudah mengatakan seluk beluk Istana, Mahfud MD akan membuat oposisi semakin kuat jika dicopot oleh Presiden Joko Widodo dari jabatan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).

 

Hal itu disampaikan oleh Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi menanggapi isu reshuffle yang salah satunya Mahfud akan digantikan oleh Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang akan pensiun sebagai Panglima TNI.

 

"Bisa saja Hadi Tjahjono gantikan Mahfud MD," ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (14/10).

 

Akan tetapi kata Muslim, Mahfud merupakan sosok yang mewakili KAHMI dan NU. Dengan demikian, Muslim menyarankan Jokowi harus mempertimbangkan hal tersebut sebelum mencopotnya.

 

"Karena kalau Mahfud di-reshuffle, dan Mahfud kritis ke rezim, oposisi semakin kuat. Tentunya Mahfud banyak tahu soal-soal di Istana bukan?" pungkas Muslim.  [ ]



 

SANCAnews – PT Terminal Petikemas Indonesia menetapkan Ali Mochtar Ngabalin, yang juga dikenal sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), sebagai Komisaris Independen.

 

Perusahaan yang bergerak di bidang jasa kargo itu merupakan subholding dari PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo, yang diketahui telah melakukan holding sejak 1 Oktober 2021 lalu.

 

Saat dikonfirmasi, Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengkonfirmasi soal kabar soal Ngabalin tersebut. Dia mengatakan, apa yang ditetapkan kepada Ngabalin itu sebenarnya merupakan posisi yang sebelumnya juga sudah didapuk olehnya.

 

"Beliau kan sebelumnya komisaris juga di Pelindo," kata Arya saat dihubungi VIVA, Rabu 13 Oktober 2021.

 

Saat ditanya apakah dengan ditempatkannya Ngabalin pada jabatan tersebut berarti bahwa sebenarnya tidak ada perubahan secara struktural yang terjadi, Arya pun menjelaskan mengenai hal tersebut.

 

"Mengikuti holding dan subholding Pelindo yang baru saja," ujarnya.

 

Seperti diketahui, Pelindo I, Pelindo II, Pelindo III, dan Pelindo IV, telah secara resmi bergabung dalam satu holding perusahaan, mulai 1 Oktober 2021 kemarin.

 

Di dalam subholding itu sendiri tercatat ada sejumlah perusahaan, yakni PT Pelindo Solusi Logistik, PT Pelindo Multi Terminal, PT Pelndo Jasa Maritim, dan PT Terminal Petikemas Indonesia itu sendiri. (*)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.