Latest Post


 

SANCAnews – Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, angkat bicara soal pelantikan Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

 

Azyumardi berpendapat, jika BRIN ingin melakukan riset dan inovasi yang ungul, seharusnya Jokowi melantik ilmuwan atau peneliti berstandar internasional sebagai Ketua Dewan Pengarah.

 

“Seharusnya Ketua dan Anggota Dewan Pengarah BRIN adalah ilmuwan atau peneliti terkemuka berkaliber internasional,” kata Azyumardi, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/10/2021).

 

Selain itu, Azyumardi berpandangan, pelantikan Ketua Umum PDI Perjuangan sebagai Pimpinan Dewan Pengarah BRIN akan memberikan kesan politis.

 

Ia menegaskan, posisi Ketua Dewan Pengarah BRIN tidak sepatutnya diisi oleh Ketum partai politik yang tidak punya kepakaran soal riset dan inovasi.

 

“Boleh jadi BRIN menjadi alat politik,” imbuh Azyumardi.

 

Azyumardi menambahkan, Presiden Jokowi seharusnya belajar dari kasus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang memiliki Ketua Dewan Pengarah dari partai politik. Adapun, Ketua Dewan Pengarah BPIP saat ini masih dijabat oleh Megawati.

 

“Akibatnya BPIP menjadi partisan dan kehilangan trust (kepercayaan) publik. BRIN juga bakal bernasib sama seperti BPIP,” kata dia.

 

Selain itu, Azyumardi juga menilai BRIN akan sulit bersaing di masa depan dalam rangka menciptakan teknologi kekinian.

 

Apalagi, lembaga pemerintah non-kementerian seperti LIPI, BPPT, LAPAN, BATAN juga sudah dilebur dan dipimpin oleh pelaksana tugas.

 

Menurut dia, sisa masa jabatan Jokowi di periode ini tidak akan cukup untuk membuat BRIN menjadi legacy.

 

“Tidak cukup waktu sekitar 2 tahunan bagi Presiden Jokowi mengonsolidasi BRIN menjadi legacy-nya yang baik, tidak berantakan seperti sekarang,” ungkap dia.

 

Diketahui, Presiden Jokowi resmi melantik Megawati Soekarnoputri sebagai Dewan Pengarah BRIN, pada Rabu (13/10/2021), di Istana Negara.

 

Kemudian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa dilantik menjadi Wakil Ketua Dewan Pengarah.

 

Sekretaris Dewan Pengarah dijabat oleh Sudhamek Agung Waspodo Soenjoto. Selanjutnya, enam orang ditetapkan sebagai anggota, yakni Emil Salim, I Gede Wenten, Bambang Kesowo, Adi Utarini, Marsudi Wahyu Kisworo, dan Tri Mumpuni. (kompas)



 

SANCAnews – Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja melantik dan mengambil sumpah jabatan Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

 

Acara pelantikan berlangsung di Istana Negara, Jakarta, Rabu (13/10) dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Dalam pelantikan itu, ada nama Ketum PDIP yang dilantik sebagai Ketua BRIN.

 

Pelantikan Dewan Pengarah BRIN dilakukan berdasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2021 tentang Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional.

 

Mantan Rektor UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra justru mempertanyakan komposisi orang-orang yang di lantik Presiden Joko Widodo.

 

Menurut Azyumardi Azra, seharusnya Ketua dan anggota Dewan Pengarah BRIN adalah ilmuwan atau peneliti terkemuka berkaliber internasional.

 

"Itu  jika serius BRIN mau melakukan riset/inovasi unggul," tulis Azyumarda Azra di Twitter pribadinya.

 

Dijelaskan Azyumardi, tidak pada tempatnya Ketua Dewan Pengarah BRIN adala Ketum Parpol yang tidak punya kepakaran soal riset dan inovasi.

 

"Kalau seperti ini, boleh jadi BRIN menjadi alat politik," katanya.

 

Harusnya, kata Azyumardi, Presiden Jokowi belajar dari kasus BPIP yang ketua dewan pengarahnya juga Ketum Parpol. Akibatnya BPIP menjadi partisan dan kehilangan trust publik.

 

"BRIN juga bakal bernasib sama seperti BPIP," ujar Azyumardi.

 

Azyumardi meprediksi BRIN sulit bersaing. Sementara LPNK (LIPI, BPPT, LAPAN, BATAN) sudah dilebur menjadi OR (organisasi riset) yang semua dipimpin PLT.

 

"Tidak cukup waktu sekitar 2 tahun-an bagi Presiden Jokowi mengkonsolidasi BRIN menjadi legacy-nya yang baik--tidak berantakan seperti sekarang," katanya.

 

"Kekacauan yang diakibatkan BRIN merupakan malapetaka riset dan inovasi Indonesia ber-tahun-tahun, sekarang dan ke depan," tutup.

 

Diketahui nama-nama para Dewan Pengarah BRIN yang dilantik Presiden Jokowi adalah; Dr. (H.C.) Megawati Soekarnoputri sebagai (Ketua), Menteri Keuangan sebagai wakil ketua, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai wakil ketua, Dr. (H.C.) Drs. Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto, S.H.,  sebagai sekretaris, Prof. Emil Salim, M.A., Ph.D., sebagai anggota; Prof. Ir. I Gede Wenten, M.Sc., Ph.D., sebagai anggota, Bambang Kesowo, S.H., LL.M., sebagai anggota, Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH, Ph.D., sebagai anggota, Prof. Dr. Ir. Marsudi Wahyu Kisworo, IPU, sebagai anggota, dan Ir. Tri Mumpuni sebagai anggota.

 

Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional ini akan mengemban tugas selama lima tahun sejak dilantik. Acara pelantikan kemudian diakhiri dengan pemberian ucapan selamat dari Jokowi untuk kemudian diikuti oleh sejumlah tamu undangan terbatas lainnya.

 

Turut hadir dalam acara pelantikan tersebut adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko. (rmol)

 



SANCAnews – Presidium Aliansi Dosen Universitas Negeri Jakarta menolak rencana pemberian gelar doktor honoris causa kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir oleh senat universitas.

 

Anggota aliansi dosen UNJ, Ubedilah Badrun, mengatakan upaya pemberian gelar doktor honoris causa pada pejabat sudah ditolak pada September 2020. “Kini upaya pemberian gelar tersebut muncul kembali, dan kami konsisten tetap menolak,” kata Ubedilah dalam keterangannya, Rabu, 13 Oktober 2021.

 

Ubedilah mengatakan ada empat alasan pihaknya menolak upaya tersebut. Pertama, aliansi dosen menilai pemberian gelar doktor honoris causa pada tokoh yang sedang berkuasa dan memegang jabatan publik berpotensi mengancam otonomi perguruan tinggi dan kebebasan akademik. Sebab, bisa merusak moral akademik universitas.

 

Menurut Ubedilah, hal ini diatur jelas dalam Pedoman Penganugerahan Doktor Kehormatan UNJ tahun 2021, bab tentang Persyaratan pada ayat 3 diatur bahwa penganugerahan gelar doktor honoris causa tidak diberikan oleh UNJ kepada siapapun yang sedang menjabat dalam pemerintahan sebagai cara untuk menjaga moral akademik UNJ.

 

“Berbahaya jika rektor dan para profesor yang terhormat sebagai anggota senat universitas melanggar kode etik pedoman yang dibuatnya sendiri,” kata dia.

 

Kedua, usulan pemberian gelar kepada pejabat negara kontraproduktif terhadap upaya pemulihan nama baik institusi UNJ. Ubedilah menjelaskan, beberapa kali UNJ mendapat sorotan negatif atas beberapa peristiwa yang dinilai mencederai kehormatan kampus karena relasinya dengan sejumlah pejabat.

 

Ketiga, Ubedilah mengatakan alasan pemberian gelar doktor honoris causa pada Ma’ruf Amin atas pemikirannya tentang negara kesepakatan patut dipertanyakan. Selain ide tersebut tidak orisinal karena telah dikemukakan oleh para pemikir klasik sejak abad ke-17 melalui teori kontrak sosial, Ubedilah menyebut Ma'ruf Amin memiliki catatan khusus dalam isu politik identitas di Jakarta pada 2017 yang justru bertentangan dengan teori tersebut.

 

Sementara pemikiran Erick Thohir atau karya besarnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Ubedilah mengaku tidak menemukannya. Padahal, dalam syarat pemberian gelar harus memiliki karya luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemanusiaan dan peradaban.

 

Alasan keempat, Ubedilah menilai mekanisme pemberian gelar doktor honoris causa juga diabaikan. Ia menduga usulan tersebut bukan dari program studi S3 UNJ yang berakreditasi A, tetapi dari atas. “Karenanya kami menolak pemberian gelar Dr. HC kepada pejabat tersebut dan mendesak senat UNJ agar upaya pemberian gelar kepada pejabat betul-betul dibatalkan demi marwah Universitas,” ujar Ubedilah. (tempo)



 

SANCAnews – Untuk ke sekian kalinya Menteri Sosial, Tri Rismaharini, memperlihatkan sifat tempramennya di muka umum. Dalam kunjungan kerjanya ke Lombok Timur siang tadi, Rabu (13/10), dirinya memarahi seorang warga  yang protes mengenai distribusi bantuan sosial (bansos).

 

Kejadian ini terekam dalam video yang diperoleh Kantor Berita Politik RMOL yang viral di media sosial (medsos). Di dalamnya, terlihat Risma menunjuk-nunjuk seorang pria sembari berbicara lantang.

 

Terdengar dalam video itu Risma menyela penjelasan warga yang menuntut keadilan distribusi bansos. "Hei sebentar, dengerin! kamu jangan banyak ngomong, saya juga berhak ngomong," tegas Risma ke lelaki tersebut.

 

Protes terkait distribusi Bansos tersebut disampaikan aktivis mahasiswa setempat, yang sempat memicu kericuhan namun akhirnya berhasil diredam saat aparat keamanan dengan Risma menemui mereka.

 

Akan tetapi, dalam pertemuan tersebut sempat terjadi adu mulut antara mahasiswa dengan Risma yang kala itu tengah menyambangi Desa Tet Batu Selatan, Kecamatan Sikur, Lombok Timur.

 

Dalam video tersebut Risma nampak geram, hingga akhirnya menantang seorang yang adu mulut degannya untuk menyampaikan data warga yang seharusnya mendapatkan Bansos tapi justru sebaliknya.

 

"Kalau saya tidak niat baik ngapain saya ke sini. Dan yang kedua saya tidak tau ini supplier atau tidak. Saya menteri,tidak mengurusi itu," ucap Risma.

 

"Yang ketiga, kalau anda mau memperjuangkan silakan, data saya terima, sekarang. Saya tunggu," tantang Risma dijawab siap oleh seorang pria yang adu mulut dengannya. (*)



 

SANCAnews – Prabowo Subianto disarankan untuk tidak kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden di Pilpres 2024, lebih baik mengusung Anies Baswedan yang lebih realistis.

 

Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi mengatakan, hal itu harus dilakukan Prabowo maupun Partai Gerindra karena melihat hasil survei yang kerap kali elektabilitas Prabowo turun meskipun tetap berada di posisi teratas.

 

"Prabowo tidak perlu capres lagi. Sebaiknya Gerindra dukung saja Anies sebagai Capres yang elektabilitasnya bagus," ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (12/10).

 

Karena kata Muslim, jika Gerindra tetap ngotot mencapreskan Prabowo, maka bukan tidak mungkin elektabilitas Gerindra akan anjlok menjelang Pilpres 2024.

 

"Kalau Gerindra tetap Capreskan Prabowo, pasti berpengaruh pada elektabilitas partainya. Gerindra mesti realistis," pungkas Muslim.

 

Temuan survei terbaru yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), elektabilitas pada simulasi tertutup tiga nama, Prabowo Subianto sedikit turun pada Mei 2021 elektabilitas tercatat 34,1 persen dan pada September 2021 turun ke 30,8 persen.

 

Sedangkan, ada tren positif jika melihat elektabiliras Gubernur DKI Jakarya Anies Baswedan yang naik dari 23,5 persen ke 25 persen. (*)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.