ISU perseteruan di tubuh Kepolisian Republik
Indonesia, bukan barang baru. Hal itu sering terjadi tidak hanya dalam penanganan
kasus kelas kakap. Akan tetapi, rumors tersebut biasanya mencuat menjelang
penentuan Tarunojoyo Satu – merujuk
istilah atau sebutan Kapolri.
Padahal,
yang menentukan siapa yang menjadi calon Kapolri adalah Presiden. Dialah yang
mengajukan calon ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), guna menjalani uji kepatutan
dan kelayakan (fit and proper test). Dia mengajukan ke DPR setelah mendapatkan
rekomendasi nama calon Kapolri dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Sering
dianggap basa-basi, namun itulah formalitas yang harus dilakukan berdasarkan
Undang-undang, walaupun hanya satu calon alias calon tunggal. Setelah itu, DPR
mengembalikan nama ke presiden, guna diangkat dan ditetapkan menjadi Kapolri.
Jadi, yang
menetapkan seseorang calon Kapolri dan kemudian menjadi Kapolri adalah
Kompolnas, presiden dan DPR, bukan dukung-mendukung, apalagi intrik-intrik,
kubu-kubuan di dalam tubuh institusi tersebut. Tentu, yang paling menentukan
adalah presiden, karena ia butuh Kapolri yang sejalan dengan visi dan misinya.
Nah, pada
saat menjelang pengajuan nama ke DPR itulah terjadi dukung-mendukung di dalam
internal polisi. Wajar saling dukung-mendukung, karena hal itu menyangkut
demokrasi di tubuh Tribarata itu. Wajar,
karena masing-masing pendukung, terutama perwira menengah dan perwira tinggi
yang sedang menduduki jabatan, dan ingin
menduduki jabatan strategis melakukan hal itu, ingin tetap di posisinya atau bergeser
ke posisi yang lebih strategis.
Yang tidak
wajar adalah jika dukung-mendukung itu harus mengorbankan sosok polisi yang
relatif bersih dan loyal ke institusi, bukan ke pribadi.
Tidak
percaya ada kubu-kubuan atau dukung-mendukung? Tidak percaya, polisi tidak
solid menjelang pencalonan Listyo Sigit Prabowo? Pun juga pencalonan Kapolri
sebelumnya?
Coba kita
baca pernyataan petinggi polisi
menjelang terpilihnya Sigit. Bukankah Idham Azis, waktu itu Kapolri
meminta agar anggotanya solid mendukung Komisaris Jenderal Listyo Sigit yang
ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai calon tunggal Kapolri. Idham mengatakan,
dukungan diperlukan agar soliditas dan kebersamaan di Korps Bhayangkara tetap
terjaga.
Anda bisa
membaca makna kalimat Idham Aziz itu. Diminta solid, berarti ada riak-riak di
tubuhPolri. Berarti, ada dukung-mendukung. Lebih parah lagi, terjadi
kubu-kubuan, yang berujung pada sikut-menyikut jabatan.
Nah, Rabu
malam, 6 Oktober 2021 FNN (Forum News Nork) menerima sebuah lampiran transkrip
rekaman pembicaraan tiga orang dalam kasus suap Djoko Tjandra. Inti dari
transkrip sepuluh halaman itu, adanya
“perseteruan” di dalam tubuh Polri, khususnya menjelang pergantian Kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).
Rekaman
tersebut tertanggal 14 Oktober 2020 pukul 20.20 WIB, di rumah tahanan cabang
Badan Reserse Kriminal Polri. Transkrip sepanjang 10 halaman tersebut merupakan
pembicaraan antara Napoleon Bonaparte (NB), Tommy Sumardi (TS) dan Prasetijo
Utomo (PU). Ketiganya adalah orang yang terlibat dalam kasus suap-menyuap red
notice Djoko Tjandra.
Apakah
salinan transkrip pembicaraan tersebut benar, masih perlu konfirmasi dari
berbagai pihak, terutama Markas Besar Polri. Akan tetapi, jika diteliti, alur
percakapannya sangat rapi, dengan kode-kode tertentu.
Misalnya, TS
menyebutkan, “Pokoknya ada lah Bang. Titip-titiplah. Gini. Pasar Minggu juga
korbanin bang.”
Kemudian NB
menyebutkan, “Ya, semua Kaba.” Diduga Kaba itu adalah Kepala Badan Reserse
Kriminal (Kabareskrim) Polri yang waktu
itu dijabat Listyo Sigit Prabowo. Saat itu, Sigit salah nama yang santer
menjadi calon Kapolri bersama beberapa nama lainnya. Sigit mulai menjabat
Kapolri 27 Januari 2021.
Inspektur
Jenderal Napoleon Bonaparte adalah mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional
Polri. Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, mantan Kepala Koordinator dan
Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Kakornas PPNS) Polri. Sedangkan Tommy
Sumardi adalah orang yang bertindak sebagai perantara suap dari Djoko Tjandra
kepada Napoleon dan Prasetijo.
Djoko
Tjandra adalah penyuap dua jenderal polisi, yaitu Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo
terkait pengurusan red notice kasus korupsi hak tagih Bank Bali. Dalam kasus
tersebut, Napoleon divonis empat tahun
penjara, Prasetijo dua tahun penjara dan Tommy Sumardi divonis 3 tahun 6 bulan
penjara. Djoko Tjandra divonis 4,5 tahun penjara.
Tentu semua
pihak masih meraba-raba maksud beredarnya transkrip rekaman tersebut. Apakah
bocornya transkrip rekaman tiga orang tersebut sengaja dilakukan oleh polisi
agar kasus suap Napoleon Bonaparte semakin terang-benderang? Sebab, jika melihat isinya, waktu dan
tempatnya, transkrip tersebut tidak sembarang dikeluarkan. Apalagi, transkrip
tersebut keluar pada saat Napoleon mulai terang-terangan menyerang institusi
yang membesarkan kariernya.
Ia mulai
melakukan perlawanan dari dalam tahanan terutama setelah kasus penganiayaan
yang dilakukannya terhadap tersangka penista agama Islam, M. Kece terungkap ke
masyarakat. Napoleon pun menulis surat terbuka. Ia telah dijadikan sebagai
tersangka dalam kasus tersebut.
Bersamaan
dengan beredarnya transkrip rekaman pembicaraan NB, TS dan PU, Napoleon pun
menulis surat terbuka terkait kasus perkara yang menjeratnya. Lewat surat
terbuka itu, ia yang menyebutkan diri dengan Napo Batara mencurahkan
kekesalannya.
Napo Batara
mengakui, selama ini sudah mengalah dan diam karena seragam institusi yang ia
kenakan, dan terpaksa menerima nasib yang sudah ditentukan. “Sebenarnya, selama
ini saya sudah mengalah, dalam diam karena terbelenggu oleh seragamku, untuk
tutup mulut dan menerima nasib apa pun yang mereka tentukan,” tulis Napolen
dalam surat terbukanya, Rabu, 6 Oktober
2021.
Ada empat
poin isi surat terbukanya itu. Surat terbuka itu juga diisi dengan catatan:
Bukti berupa rekaman suara dan transkripnya terlampir. Apakah surat terbuka itu
semata-mata bentuk kekecewaan terhadap institusinya sendiri? Ataukah hal itu
merupakan perlawanan nyata guna membuka kotak pandora di tubuh Polri?
Nah, akankah
kasus Napoleon semakin panjang dan menjerat petinggi di Kepolisian Republik
Indonesia? Kita tunggu babak selanjutnya. (fnn)