Latest Post


 

SANCAnews – Sebuah tulisan bernada jeritan kepada Presiden Joko Widodo terpampang jelas di kapal nelayan yang berada di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Sebuah kapal tersebut berwarna dasar biru, terlihat tulisan menggunakan cat semprot hitam "Pak Jokowi Tolong Kami". Tak hanya tulisan, ada pula bendera "nelayan berduka" yang sempat berkibar di lokasi.

 

Dilansir RMOL, Sabtu (2/10), bahwa tulisan itu merupakan bagian dari aksi mogok para nelayan atas penolakan PP 85/2021 tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

 

Namun tulisan tersebut tak bertahan lama. Petugas gabungan dari UPT, TNI dan Polri yang ada di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman langsung bergerak menurunkan bendera dan mengghapus tulisan keluhan kepada presiden itu menggunakan cat hitam.

 

Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok, AKBP Putu Kholis Aryana mengatakan, pihaknya tak mempermasalahkan aksi tersebut asal tetap menjaga ketertiban.

 

"Imbauan kami tetap jaga ketertiban dalam menyampaikan aspirasi. Kondusivitas pelabuhan menjadi tanggung jawab bersama," kata AKBP Putu Kholis Aryana.

 

Melihat penurunan bendera dan penghapusan tulisan "Pak Jokowi Tolong Kami" dihapus, para nelayan yang menggelar aksi pun pasrah.

 

"Bendera putih 'Nelayan Berduka' bisa diturunkan dan tulisan dihapus paksa, tapi perjuangan kami akan berlanjut sampai direalisasikan Pak Jokowi mencabut PP 85/2021," tutur salah satu nelayan, Hermanto di lokasi.

 

Para nelayan berharap, ke depan Presiden Joko Widodo bisa mendengarkan aspirasi mereka dan melakukan audiensi untuk menemukan solusi terbaik, baik bagi nelayan, pelaku usaha, maupun pemerintah.

 

"Harapannya Presiden RI Joko Widodo membatalkan PP 85/2021, dan nelayan siap beraudiensi," lanjut nelayan lain bernama Pono. (*)



 

SANCAnews – Kritikan melalui medium mural yang sempat mereda kini kembali mengemuka. Kini, publik kembali dihebohkan mural kritik yang ditemukan di kawasan Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

 

Mural tersebut bertuliskan "Koruptor dirangkul rakyat kecil dipukul" yang terpampang di sebuah tembok pinggir jalan berlatar warna merah putih. Potret mural kritikan tersebut pun kini beredar luas di media sosial.

 

Merespons kemunculan mural tersebut, Koordintor Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie Massardi ikut bersuara. Adhie Massardi memaknai, mural tersebut ditujukan kepada kinerja pemerintah dalam upaya penegakan hukum.

 

"Koruptor dirangkul agar dapat sedikit cipratan hasil kejahatan. Rakyat kecil dipukul karena datang nagih janji pemilu yang tak kunjung direalisasikan, dan minta keadilan ditegakkan karena penyimpangan hukum sudah melampaui batas," kritik Adhie dikutip dari akun Twitternya, Kamis (7/10).

 

Berangkat dari kegelisahan penegakan hukum tersebut, mantan jurubicara Presiden Gus Dur ini pun meminta kepada publik membalik isi dari kritikan mural itu, "Saatnya kita balik ini mural. Koruptor dipukul...!" tutupnya. (rmol)



 

ISU  perseteruan di tubuh Kepolisian Republik Indonesia, bukan barang baru. Hal itu sering terjadi tidak hanya dalam penanganan kasus kelas kakap. Akan tetapi, rumors tersebut biasanya mencuat menjelang penentuan Tarunojoyo Satu – merujuk  istilah atau sebutan Kapolri.

 

Padahal, yang menentukan siapa yang menjadi calon Kapolri adalah Presiden. Dialah yang mengajukan calon ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), guna menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Dia mengajukan ke DPR setelah mendapatkan rekomendasi nama calon Kapolri dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

 

Sering dianggap basa-basi, namun itulah formalitas yang harus dilakukan berdasarkan Undang-undang, walaupun hanya satu calon alias calon tunggal. Setelah itu, DPR mengembalikan nama ke presiden, guna diangkat dan ditetapkan menjadi Kapolri.

 

Jadi, yang menetapkan seseorang calon Kapolri dan kemudian menjadi Kapolri adalah Kompolnas, presiden dan DPR, bukan dukung-mendukung, apalagi intrik-intrik, kubu-kubuan di dalam tubuh institusi tersebut. Tentu, yang paling menentukan adalah presiden, karena ia butuh Kapolri yang sejalan dengan visi dan misinya.

 

Nah, pada saat menjelang pengajuan nama ke DPR itulah terjadi dukung-mendukung di dalam internal polisi. Wajar saling dukung-mendukung, karena hal itu menyangkut demokrasi di tubuh  Tribarata itu. Wajar, karena masing-masing pendukung, terutama perwira menengah dan perwira tinggi yang sedang menduduki  jabatan, dan ingin menduduki jabatan strategis melakukan hal itu, ingin tetap di posisinya atau bergeser ke posisi yang lebih strategis.

 

Yang tidak wajar adalah jika dukung-mendukung itu harus mengorbankan sosok polisi yang relatif bersih dan loyal ke institusi, bukan ke pribadi.

 

Tidak percaya ada kubu-kubuan atau dukung-mendukung? Tidak percaya, polisi tidak solid menjelang pencalonan Listyo Sigit Prabowo? Pun juga pencalonan Kapolri sebelumnya?

 

Coba kita baca pernyataan petinggi polisi  menjelang terpilihnya Sigit. Bukankah Idham Azis, waktu itu Kapolri meminta agar anggotanya solid mendukung Komisaris Jenderal Listyo Sigit yang ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai calon tunggal Kapolri. Idham mengatakan, dukungan diperlukan agar soliditas dan kebersamaan di Korps Bhayangkara tetap terjaga.

 

Anda bisa membaca makna kalimat Idham Aziz itu. Diminta solid, berarti ada riak-riak di tubuhPolri. Berarti, ada dukung-mendukung. Lebih parah lagi, terjadi kubu-kubuan, yang berujung pada sikut-menyikut jabatan.

 

Nah, Rabu malam, 6 Oktober 2021 FNN (Forum News Nork) menerima sebuah lampiran transkrip rekaman pembicaraan tiga orang dalam kasus suap Djoko Tjandra. Inti dari transkrip sepuluh halaman itu,  adanya “perseteruan” di dalam tubuh Polri, khususnya menjelang pergantian Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).

 

Rekaman tersebut tertanggal 14 Oktober 2020 pukul 20.20 WIB, di rumah tahanan cabang Badan Reserse Kriminal Polri. Transkrip sepanjang 10 halaman tersebut merupakan pembicaraan antara Napoleon Bonaparte (NB), Tommy Sumardi (TS) dan Prasetijo Utomo (PU). Ketiganya adalah orang yang terlibat dalam kasus suap-menyuap red notice Djoko Tjandra.

 

Apakah salinan transkrip pembicaraan tersebut benar, masih perlu konfirmasi dari berbagai pihak, terutama Markas Besar Polri. Akan tetapi, jika diteliti, alur percakapannya sangat rapi, dengan kode-kode tertentu.

 

Misalnya, TS menyebutkan, “Pokoknya ada lah Bang. Titip-titiplah. Gini. Pasar Minggu juga korbanin bang.”

 

Kemudian NB menyebutkan, “Ya, semua Kaba.” Diduga Kaba itu adalah Kepala Badan Reserse Kriminal  (Kabareskrim) Polri yang waktu itu dijabat Listyo Sigit Prabowo. Saat itu, Sigit salah nama yang santer menjadi calon Kapolri bersama beberapa nama lainnya. Sigit mulai menjabat Kapolri 27 Januari 2021.

 

Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte adalah mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, mantan Kepala Koordinator dan Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Kakornas PPNS) Polri. Sedangkan Tommy Sumardi adalah orang yang bertindak sebagai perantara suap dari Djoko Tjandra kepada Napoleon dan Prasetijo.

 

Djoko Tjandra adalah penyuap dua jenderal polisi, yaitu  Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo terkait pengurusan red notice kasus korupsi hak tagih Bank Bali. Dalam kasus tersebut, Napoleon divonis  empat tahun penjara, Prasetijo dua tahun penjara dan Tommy Sumardi divonis 3 tahun 6 bulan penjara. Djoko Tjandra divonis 4,5 tahun penjara.

 

Tentu semua pihak masih meraba-raba maksud beredarnya transkrip rekaman tersebut. Apakah bocornya transkrip rekaman tiga orang tersebut sengaja dilakukan oleh polisi agar kasus suap Napoleon Bonaparte semakin terang-benderang?  Sebab, jika melihat isinya, waktu dan tempatnya, transkrip tersebut tidak sembarang dikeluarkan. Apalagi, transkrip tersebut keluar pada saat Napoleon mulai terang-terangan menyerang institusi yang membesarkan kariernya.

 

Ia mulai melakukan perlawanan dari dalam tahanan terutama setelah kasus penganiayaan yang dilakukannya terhadap tersangka penista agama Islam, M. Kece terungkap ke masyarakat. Napoleon pun menulis surat terbuka. Ia telah dijadikan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

 

Bersamaan dengan beredarnya transkrip rekaman pembicaraan NB, TS dan PU, Napoleon pun menulis surat terbuka terkait kasus perkara yang menjeratnya. Lewat surat terbuka itu, ia yang menyebutkan diri dengan Napo Batara mencurahkan kekesalannya.

 

Napo Batara mengakui, selama ini sudah mengalah dan diam karena seragam institusi yang ia kenakan, dan terpaksa menerima nasib yang sudah ditentukan. “Sebenarnya, selama ini saya sudah mengalah, dalam diam karena terbelenggu oleh seragamku, untuk tutup mulut dan menerima nasib apa pun yang mereka tentukan,” tulis Napolen dalam surat terbukanya,  Rabu, 6 Oktober 2021.

 

Ada empat poin isi surat terbukanya itu. Surat terbuka itu juga diisi dengan catatan: Bukti berupa rekaman suara dan transkripnya terlampir. Apakah surat terbuka itu semata-mata bentuk kekecewaan terhadap institusinya sendiri? Ataukah hal itu merupakan perlawanan nyata guna membuka kotak pandora di tubuh Polri?

 

Nah, akankah kasus Napoleon semakin panjang dan menjerat petinggi di Kepolisian Republik Indonesia? Kita tunggu babak selanjutnya. (fnn)



 

SANCAnews – Kritikan aktivis Natalius Pigai kepada Presiden Joko Widodo dan Ganjar Pranowo yang menggunakan diksi "Jawa Tengah" tidak menghina suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), melainkan membela.

 

Demikian pandangan Ketua Gerakan Pilihan Sunda Trah Pajajaran, Andri P Kantaprawira dalam menyikapi polemik Pigai yang kini diperkarakan ke polisi karena dituduh melakukan rasisme.

 

"Pernyataan Putra Papua Natalius Pigai tidak menghina SARA, tapi membela SARA," kata Andri P Kantaprawira dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/10).

 

Ia memaknai, tujuan yang disampaikan Pigai dengan menyebut "Jangan percaya orang Jawa Tengah Jokowi dan Ganjar” merupakan kritik kepada kebijakan pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Jokowi dan Ganjar.

 

Pigai, kata Andri, memposisikan Presiden Jokowi dan Ganjar sebagai orang Jawa Tengah yang tidak adil dalam merancang dan melaksanakan kebijakan politik, ekonomi dan sosial budaya di Tanah Papua, terutama berkait pelaksanaan otonomi khusus Papua.

 

"Jadi, Natalius Pigai membela SARA bukan menista SARA. Dan membela SARA adalah (tindakan) mulia. Saya mendukung sikap berani Pigai," tandasnya. (rmol)



 

SANCAnews – Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte menulis surat terbuka usai menyandang status tersangka penganiayaan terhadap Muhammad Kece.

 

Kali ini, Napoleon dalam surat terbuka itu mengaku siap untuk bangkit dan melakukan perlawanan atas apa yang dia terima selama ini.

 

“Sebenarnya selama ini saya sudah mengalah dalam diam karena terbelengu seragamku untuk tutup mulut dan menerima nasib apa pun yang mereka tentukan,” tulis Irjen Napoleon dalam suratnya, Rabu (6/10).

 

Ada empat poin yang disampaikan Napoleon dalam surat terbuka itu: 

1. Hari ini aku berteriak, aku bukan koruptor seperti yang dibilang pengadilan sesat itu.

 

2. Hari ini aku tunjukkan kepadamu bukti nyata itu, yaitu pengakuan orang yang diperalat untuk menzalamiku demi menutupi aib mereka.

 

3. Namun, tirani ini memang tak mengenal batas, bahkan telah berani melecehkan akidahku melalui mulut-mulut kotor itu.

 

4. Ini saatnya untuk bangkit, menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, apapun resikonya.

 

Surat itu langsung ditandatangani Irjen Napoleon Bonaparte dan dibenarkan oleh kuasa hukumnya.

 

“Benar adanya surat itu,” kata Gunawan Raka, kuasa hukum Napoleon ketika dihubungi JPNN.com, Rabu (6/10). (jpnn)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.