Latest Post


 

SANCAnews – Terdakwa kasus suap Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra, Irjen Napoleon Bonaparte, membuat surat terbuka perihal kasus tindak pidana korupsi yang menjeratnya. Dalam suratnya, Napoleon berbicara perihal akidah, dan menyatakan siap bangkit.

 

Di awal surat terbukanya, seperti yang didapat detikcom, Rabu (6/10/2021), Napoleon mengaku terbelenggu oleh seragamnya. Napoleon menyebut seragam yang dikenakan mengharuskan dia tutup mulut.

 

"Sebenarnya selama ini saya sudah mengalah dalam diam karena terbelenggu oleh seragamku.. untuk tutup mulut dan menerima nasib apapun yang mereka tentukan," tulis Napoleon.

 

Kemudian ada beberapa poin dalam surat terbuka Napoleon. Poin ketiga perihal akidah, dan poin keempat soal bangkit untuk menyatakan fakta yang sebenarnya terjadi.

 

"Namun, tirani ini memang tidak mengenal batas.. bahkan telah berani melecehkan akidahku.. melalui mulut-mulut kotor itu," begitu bunyi poin ketiga.

 

Dalam surat terbukanya, Napoleon juga menuliskan nama inisialnya, yakni Napo Batara. Selain itu, disebutkan juga bahwa ada bukti rekaman suara berikut transkripnya.

 

Seperti diketahui, Irjen Napoleon divonis 4 tahun penjara, Dia terbukti menerima suap USD 370 ribu dan SGD 200 ribu dari Djoko Tjandra berkaitan penghapusan red notice/DPO di Imigrasi.

 

Pada akhir September 2021, Irjen Napoleon ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) hasil suap penghapusan red notice Djoko Tjandra. Berdasarkan informasi yang beredar, penyidik telah menemukan aliran dana senilai Rp 2 miliar dari suap penghapusan red notice Djoko Tjandra.

 

Begini isi lengkap surat terbuka Napoleon:

Saudara-saudaraku sebangsa dan se-tanah air,

 

Sebenarnya selama ini saya sudah mengalah dalam diam karena terbelenggu oleh seragamku.. untuk tutup mulut dan menerima nasib apapun yang mereka tentukan.

 

1. Hari ini aku berteriak, 'AKU BUKAN KORUPTOR' seperti yang dibilang oleh Pengadilan sesat itu.

2. Hari ini aku tunjukkan kepadamu, bukti nyata itu,,. yaitu pengakuan orang yang telah diperalat untuk menzolimiku.. demi menutup aib mereka.

3. Namun, tirani ini memang tidak mengenal batas.. bahkan telah berani melecehkan akidahku.. melalui mulut-mulut kotor itu.

4. Ini saatnya untuk bangkit, menyatakan yang benar itu benar .. dan yang salah itu salah, apapun risikonya.

 

Semoga kita selalu dalam perlindungan Allah SWT dan menjadi bangsa yang merdeka dari perjanjian kompeni berambut hitam itu. 


Allahuakbar..!!


Hormat dan salamku,


Napoleon Bonaparte alias Napo Batara. (dtk)



SANCAnews – Said Didu teriak lantang soal malaikat maut. Proyek pembangunan kereta cepat dan KAI disebut jadi pemicunya.

 

Mantan sekretaris Kementerian BUMN itu blak-blakan menguak semua tabir. Bagi dia, proyek kereta cepat Indonesia hanya akan memperburuk perekonomian.

 

“Proyek kereta cepat menjadi beban bagi PT KAI. Jika kereta api cepat sudah masuk dan berjalan, itu lah yang akan menjadi malaikat maut untuk PT KAI,” kata Said Didu, dikutip dari YouTube MSD, Selasa 5 Oktober 2021.

 

Laporan mencatat bahwa proyek pembangunan kereta cepat menelan dana hingga Rp4,1 triliun.

 

Saat ini, PT KAI memiliki utang sekitar Rp16 triliun. Itu belum termasuk dengan biaya untuk proyek kereta cepat. Dengan fakta seperti itu, proyek ini disebut menambah beban utang Indonesia.

 

Bahkan Said Didu berani mengestimasi hampir 60 persen catatan utang PT KAI bertambah.

 

“Hampir 60 persen penambahan utang yang dimiliki PT KAI karena penugasan yang sangat tidak layak,” kata Said Didu dikutip dari YouTube MSD, Selasa 5 Oktober 2021.

 

Itu kemudian yang membuat Said Didu tidak setuju dengan hadirnya proyek kereta cepat ini.

 

“Pertama yaitu kereta api cepat yang dipegang Indonesia-China, kedua LRT dari Bekasi-Bogor yang tidak selesai sampai sekarang,” katanya.

 

Belum lagi kereta bandara di berbagai tempat. Itu semua disebut menjadi beban bagi PT KAI. (fajar)



 

SANCAnews – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyebut Presiden RI Joko Widodo sebagai Bapak Infrastruktur, karena banyak membangun infrastruktur di masa kepemimpinannya yang bisa dirasakan secara nyata oleh rakyat.

 

Hal itu disampaikan langsung Said Aqil kepada Presiden, saat dirinya melaporkan rencana penyelenggaraan Muktamar Ke-34 NU kepada Presiden, di Istana Negara, Jakarta, Rabu.

 

"Saya katakan, Bapak ini Presiden Infrastruktur. Pak Jokowi ini Bapak Infrastruktur, yang kita semua nikmati keberhasilan pembangunan infrastruktur, bukan hanya di Jawa atau Indonesia Barat, tapi juga Indonesia Tengah dan Timur," ujar Said Aqil kepada wartawan seusai pertemuan, di Jakarta, Rabu.

 

Pada pertemuan tersebut Said juga menyampaikan apresiasi PBNU atas sejumlah kesuksesan pemerintahan Joko Widodo, misalnya, atas kesuksesan program vaksinasi, termasuk komitmen pemerintah melaksanakan vaksinasi di kalangan pesantren dan kepada para kiai.

 

Dia mengatakan Indonesia saat ini termasuk negara di dunia yang sukses dalam vaksinasi dan mampu mengendalikan penularan COVID-19.

 

Dia juga mengapresiasi keberhasilan pemerintah menanggulangi radikalisme dan terorisme seperti pembubaran organisasi HTI dan FPI yang sebelumnya belum pernah terjadi, serta mengapresiasi penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX di Papua yang berlangsung aman dan damai.

 

Adapun inti pertemuan Said dengan Jokowi adalah melaporkan rencana penyelenggaraan Muktamar Ke-34 NU tanggal 23-25 Desember 2021 di Lampung. Dia meminta dukungan Presiden agar penyelenggaraan Muktamar NU dapat berjalan aman dan nyaman.

 

"Bicara dengan Presiden hanya masalah penyelenggaraan Muktamar agar sukses, berhasil, mohon dukungan. Bukan dukungan calon, dukungan Muktamar agar aman, nyaman," kata Said menjelaskan. (suara)



 

SANCAnews – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengapresiasi keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi atas vonis terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) dan beberapa eks pimpinan FPI di kasus kerumunan petamburan. Ia berharap putusan MA ini berlanjut di perkara HRS lainnya.

 

Menurut Hidayat penolakan kasasi tersebut membuat pimpinan FPI seperti KH Ahmad Sabri Lubis, Habib Ali Alwi Alatas Bin Alwi Alatas, Habib Idrus Al Habsyi, Ustadz Maman Suryadi, dan Haris Ubaidillah akan segera bebas. Sebab, mereka telah menjalani vonis delapan bulan penjara dalam kasus kerumunan Petamburan tersebut. Iajuga berharap kebebasan mereka segera dieksekusi dengan tidak ada lagi manuver yang memperpanjang ketidakadilan hukum.

 

"(Saya beri) apresiasi kepada MA yang menolak kasasi Jaksa, dan memberikan putusan adil ini. Sejak awal, HRS dan mantan pimpinan FPI juga telah menerima vonis 8 bulan penjara, dan secara kesatria melaksanakan hukuman tersebut, walaupun publik merasakan ada ketidakadilan dan diskriminasi hukum," ujar Hidayat dalam keterangannya, Rabu (6/10/2021).

 

Dalam kasus HRS lainnya, yakni kerumunan Mega Mendung, Hidayat menilai majelis tingkat pertama secara tegas menyatakan adanya diskriminasi hukum. Pasalnya, ada banyak pihak, termasuk para pejabat pemerintah, yang tidak menjalankan protokol kesehatan (prokes), tetapi tidak diproses hukum apalagi sampai pidana.

 

Sedangkan untuk HRS dan mantan pimpinan FPI justru dijerat oleh Jaksa dengan pasal pidana dan dipenjara. Sehingga, dalam kasus kerumunan Mega Mendung, ia menilai hakim pengadilan negeri melihat adanya ketidakadilan hukum, sehingga 'hanya' memvonis dengan denda Rp 20 juta. Sementara upaya jaksa untuk banding atas putusan tersebut juga sudah ditolak oleh pengadilan tinggi.

 

Karena itu ia berharap dengan hadirnya vonis MA yang menolak kasasi, jaksa betul-betul mempertimbangkan substansi keadilan hukum, sehingga bisa menerima keputusan MA dan tidak mengajukan upaya hukum lainnya dalam kasus-kasus tersebut. Hal tersebut juga dinilainya sebagai bukti tegaknya hukum berkeadilan.

 

"Padahal, kalau pun itu 'kesalahan', yang dilakukan HRS bukan pelanggaran berat, dan hanya pelanggaran prokes, yang juga dilakukan pihak lain, mestinya cukup dikenakan sanksi administratif denda. Seperti yang dikenakan dan sudah dibayar lunas oleh HRS. Apalagi yang dilakukan HRS tidak menghadirkan keonaran sebagaimana dituduhkan Jaksa," imbuhnya.

 

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga berharap MA menjatuhkan vonis yang berkeadilan dalam kasus HRS lainnya seperti kasus RS UMMI di mana HRS divonis 4 tahun penjara di Pengadilan Negeri dan di Pengadilan Tinggi.

 

Ia menilai publik merasakan adanya ketidakadilan dan diskriminasi dalam kasus ini. HRS dipidana dengan delik kebohongan karena menyembunyikan kondisi kesehatannya usai tes Swab COVID-19.

 

Ia menuturkan menurut saksi ahli, yang dilakukan HRS bisa masuk kategori kesalahan tetapi bukan kejahatan kebohongan, apalagi membuat keonaran. Sementara banyak pejabat negara, termasuk menteri yang terkena COVID-19 juga tidak secara 'jujur' terbuka mengumumkannya kepada publik.

 

"Tapi tidak satu pun dari mereka yang dikenakan sanksi administratif apalagi dipidana. Semoga MA dapat memutuskan perkara ini secara objektif dan adil, dan berdampak positif untuk kokoh kuatnya NKRI. Dan karenanya hanya memutus sesuai irah-irah (kepala putusan) dalam setiap putusan hakim, yakni 'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," pungkasnya. (dtk)



 

SANCAnews – Dasar laporan polisi atas sangkaan dugaan rasisme yang dilakukan oleh aktivis Natalius Pigai dinilai tidak tepat.

 

Menurut pengamat politik Ray Rangkuti, unsur rasisme sulit ditemukan dalam kicauan Natalius Pigai di akun twitter yang menyinggung Presiden Joko Widodo dan Ganjar Pranowo.

 

"Apa yang mau diadukan? Kata 'Jawa Tengah' tidak merujuk kepada suku tertentu, tapi kepada wilayah. Penyebutan nama Jokowi dan Ganjar Pranowo di dalamnya adalah dua subjek yang merupakan warga dari wilayah tersebut," kata Ray Rangkuti dalam keterangannya yang diterima redaksi, Rabu (6/10).

 

Ray mengingatkan, berulang kali Presiden Jokowi menyatakan agar tidak mudah saling melaporkan ke pihak kepolisian. Terlebih, Presiden Jokowi juga menghendaki revisi UU ITE.

 

"Tapi, pesan penting ini seolah tidak memiliki efek kepada kalangan yang terlihat dekat dengan beliau. Setidaknya ada dua menteri yang melaporkan orang lain ke polisi dengan dasar UU ITE," sesal aktivis '98 ini.

 

"Dan umumnya selalu yang jadi objek pelaporan adalah para kritikus pemerintahan Jokowi. Mengapa?" imbuh Ray menegaskan.

 

Aktivis HAM Natalius Pigai sebelumnya dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan ucapan rasialisme terhadap Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

 

Laporan itu diduga terkait pernyataan yang disampaikan Pigai di akun Twitter. Laporan dibuat oleh Ketua Umum Barisan Relawan Nusantara (Baranusa) Adi Kurniawan, Senin (4/10) lalu.

 

"Natalius Pigai itu sudah sering terpeleset dan rasis. Apalagi sekarang lebih tajam lagi. Melakukan fitnah keji terhadap Presiden Jokowi. Menurut kami, sudah tidak bisa lagi dibiarkan," kata Adi. (rmol)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.