Latest Post


 

SANCAnews – Tri Artining Putri atau Puput dan Ita Khoiriyah atau Tata blak-blakan mengungkap cerita pelecehan seksual yang terjadi dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dua wanita ini masuk dalam 57 pegawai KPK yang kini resmi dipecat dari KPK, 30 September 2021, Kamis kemarin.

 

Dalam wawancara eksklusif dengan Suara.com, pada Jumat (24/9/2021), Puput pun mengulas lagi soal pertanyaan-pertanyaan dalam TWK yang cenderung seksis. Puput mengaku sempat dicecar oleh penguji TWK seperti soal orientasi seksual hanya karena belum menikah di umurnya yang kini beranjak 30 tahun.

 

“Terus (teman) ditanya kenapa belum nikah terus dijawab, aku enggak tahu, dia jawab apa, tapi dituduh gay, dituduh lesbi karena perempuan. Masih punya hasrat enggak? Kamu LGBT ya? Di-gituin,” kata dia.

 

Selain menyasar ke wanita, Puput pun mengaku pegawai laki-laki juga ikut merasakan adanya diskriminasi gender saat mengikuti program TWK.

 

“Bahkan, teman yang laki-laki pun ada yang ditanyain kenapa belum nikah. Terus, suka nonton video porno atau enggak. Yang kayak gitu-gitu. Apa? Terus kalau gue suka nonton video porno mau disuplai apa gimana? Iya loh, apa ya? Aku juga enggak ngerti deh maksudnya tolong lah,” tuturnya.

 

Tepatnya pada 11 Mei 2021, Puput dan teman-teman pegawai KPK mengadu ke Komnas Perempuan setelah merasa mendapatkan pelecehan seksual maupun diskriminasi gender dalam pertanyaan yang diajukan penguji TWK.

 

“Beberapa temen WhatsApp aku, aku salurkan gitu ke teman-teman dan waktu itu didampingin juga kan sama teman-teman,” ujarnya.

 

Kecewa 

Aduan memang diterima oleh Komnas Perempuan, tetapi yang membuat Puput kaget, hasil dari tindak lanjut pengaduan tersebut hanya berupa rekomendasi yang ditujukan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan KPK.

 

“Jadi, aku juga enggak ngerti tapi Komnas Perempuan tuh hasil akhirnya tuh rilis (rekomendasi) ternyata. Rilis dan bersurat ke sekjen, bersurat ke pimpinan KPK ini tentang tes wawasan kebangsaan ini,” jelasnya.

 

Puput jelas kebingungan dengan mekanisme yang dilakukan Komnas Perempuan. Padahal menurut Puput, apa yang dilakukannya bersama teman-teman pegawai KPK lainnya bukan hanya sekedar mengadu pelecehan seksual yang dialami mereka dalam proses TWK.

 

Tetapi mereka jelas melakukan pengaduan karena adanya pelecehan seksual dan ada kekerasan berbasis gender pada proses peralihan status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang melibatkan pemerintah.

 

Lagipula pengaduan yang mereka lakukan bukan semata-mata untuk melindungi para pegawai KPK yang menjadi korban TWK. Akan tetapi juga untuk memancing masyarakat lainnya untuk berani melakukan pengaduan apabila mengalami hal serupa.

 

Puput juga merasa kecewa karena tidak ada kelanjutan pasti dari Komnas Perempuan. Terlebih, ia sudah memahami kalau para pimpinan KPK akan tutup mata, tutup telinga saat menerima rekomendasi tersebut.

 

“Nah, yang mengecewakannya lagi adalah sekjen dan pimpinan kayaknya bodo amat gitu lho, ya. Karena enggak ada tindak lanjut juga. Jadi, ya sulit udah gitu. Mungkin disuruh terima saja deh,” kata dia.

 

Dibikin Nangis 

Setelah mendengar keterangan tersebut, Puput malah bertanya-tanya mengapa BKN meminta maaf kepada Komnas Perempuan bukan kepada korban.

 

“Yang kemaren nangis-nangis ketika diwawancarai, ya, harus dapat permintaan maaf dong, Nah ini yang kami dorong ya kalau mau ada minta maaf, minta maafnya terbuka atau minimal minta maafnya kepada para korban dong,” jelasnya.

 

Puput juga menyinggung kalau Komnas Perempuan seolah tidak peka dengan kondisi korban pasca mendapatkan pertanyaan-pertanyaan melecehkan.

 

“Enggak ada!” tegasnya.

 

Tak Menyerah 

Meski begitu, tidak ada kata menyerah dari Puput dan teman-teman pegawai KPK lainnya. Walaupun Komnas Perempuan tidak bisa menemukan solusi pasti, mereka tetap akan berjuang di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

 

“Kami fight terus. Karena memang pelanggarannya ternyata bukan cuma pelecehan seksual itu kan jelas pelanggaran HAM,” kata Puput.

 

Kekecewaan juga tidak dapat disembunyikan oleh Ita Khoiriyah atau akrab disapa Tata. Tata menjadi salah satu pegawai KPK yang turut melakukan pengaduan kepada Komnas Perempuan.

 

Ia memahami kalau Komnas HAM berdiri sebagai lembaga yang tidak memiliki kewenangan hingga ke proses penyelidikan. Akan tetapi ia menyayangkan kalau Komnas Perempuan tidak memanfatkan momentum tersebut untuk melakukan perbaikan. Padahal di balik pengaduan tersebut, Tata bersama teman-teman pegawai KPK lainnya ingin menyuarakan kritik jangan sampai ada lembaga negara lain yang bisa semena-mena dalam proses wawancara bahkan hingga menyertakan pertanyaan mengandung kekerasan seksual.

 

“Ini saja terjadi pada lembaga KPK yang mendapat sorotan publik bagaimana dengan lembaga – lembaga lain yang mungkin secara posisinya itu tidak sekuat KPK, mungkin orang-orangnya tidak se-power, tidak sepercaya diri kami melaporkan dan speak up ke publik gitu, yang kami khawatirkan itu,” kata Tata.

 

Kata Puput, pihak Komnas Perempuan menyatakan kalau BKN mengakui telah luput soal proses wawancara TWK. Mereka mengaku melakukan kesalahan dengan tidak briefing para asesor sampai akhirnya muncul pertanyaan-pertanyaan yang seksis.

 

Tata juga menyayangkan proses klarifikasi yang dilakukan Komnas Perempuan dengan BKN dilakukan secara tertutup. Itu artinya para pengadu yang juga berstatus sebagai korban tidak pernah dilibatkan.

 

Informasi itu juga ia dapatkan bukan dari pihak Komnas Perempuan langsung melainkan dari sebuah webinar yang Tata ikuti.

 

Setidaknya terdapat tiga poin yang disampaikan Komnas Perempuan kepada KPK melalui surat rekomendasi. Tiga poin yang dimaksud ialah membuka sarana pengaduan bagi para pegawai KPK yang merasa mendapat perlakuan yang tidak etis saat wawancara, kemudian yang kedua adalah mendorong KPK untuk menginformasikan hasil dari TWK kepada seluruh pegawai yang mengikuti proses tes, dan pemulihan atau rehabilitasi kepada korban – korban yang terdampak dalam proses TWK.

 

Tetapi senada dengan Puput, Tata juga meyakini kalau pihak KPK akan menggubris rekomendasi yang disampaikan Komnas Perempuan.

 

“Sayangnya tiga rekomendasi yang dikeluarkan Komnas Perempuan kepada KPK itu tidak ditanggapi, kami kemudian melaporkan kepada Komnas Perempuan sekali lagi, bahwa KPK tidak menindaklanjuti hasil rekomendasi tersebut.” (suara)



 

SANCAnews – Nama Pangkostrad, Letnan Jenderal (Letjen) Dudung Abdurrachman ikut terseret soal isu kebangkitan PKI yang belum lama ini dihembuskan oleh mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

 

Terkait hal itu, baru-baru ini muncul poster seruan berisi ajakan untuk melaporkan Jenderal Dudung Abdurrachman terkait polemik hilangnya diaroma atau patung tokoh penumpas G30S PKI dari museum Kostrad.

 

“Ayo laporkan Dudung DKK (dan kawan-kawan),” demikian bunyi narasi dalam isi poster tersebut, seperti dilihat pada Jumat 1 Oktober 2021.

 

Adapun klaim isi poster itu yakni bahwa Dudung melakukan pencurian dan penghilangan benda museum milik negara, penyalahgunaan wewenang dan penistaan terhadap pahlawan penumpas G30S PKI.

 

“Pencurian benda museum; penghilangan benda museum; mencuri dan menghilangkan benda hak negara; penyalahgunaan wewenang; menista pahlawan pemberantas PKI,” tulis narasi poster itu.

 

Diwartakan sebelumnya, Pangkostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman menanggapi terkait hilangnya diaroma atau patung tokoh penumpasan G30S PKI yang terpajang di museum Markas Kostrad.

 

Jenderal Dudung pun menegaskan bahwa patung sejumlah tokoh yang terlibat dalam penumpasan G30S PKI itu diambil oleh pembuatnya yakni Letnan Jenderal TNI (Purn) AY Nasution.

 

Dudung menjelaskan, AY Nasution meminta langsung kepada dirinya untuk mengambil diaroma tersebut lantaran mengaku merasa berdosa karena sudah membuat patung itu.

 

Menurutnya, AY Nasution membuat patung diorama itu saat menjabat sebagai Panglima Kostrad ke-34 periode 2011-2012.

 

Namun, kata Dudung, yang bersangkutan meminta izin kepadanya untuk membawa patung diorama tersebut.

 

Jenderal Dudung sendiri mengaku menghargai keputusan AY Nasution itu. Terlebih, menurut Dudung, mantan Pangkostrad itu meminta dengan dalih merasa berdosa lantaran telah membuat patung tokoh penumpas G30S PKI tersebut.

 

“Kini patung tersebut, diambil oleh penggagasnya, Letjen TNI (Purn) AY Nasution yang meminta izin kepada saya selaku Panglima Kostrad saat ini. Saya hargai alasan pribadi Letjen TNI (Purn) AY Nasution, yang merasa berdosa membuat patung-patung tersebut menurut keyakinan agamanya. Jadi, saya tidak bisa menolak permintaan yang bersangkutan,” ujarnya. (terkini)



 

SANCAnews – Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI) menegaskan bahwa pihaknya menolak untuk menayangkan film ‘Pengkhianatan G30SPKI’. Adapun sikap penolakan tersebut diambil berdasarkan sejumlah alasan.

 

Melansir Pikiran Rakyat, Kamis, 30 September 2021, diketahui semasa Orde Baru film ‘Pengkhianatan G30 S PKI’ menjadi tayangan wajib untuk ditonton setiap tanggal 30 September tiap tahunnya.

 

Namun, Direktur Utama LPP TVRI, Iman Brotoseno mengatakan TVRI harus menjadi alat perekat sosial dan pemersatu bangsa.

 

Sehingga, atas hal itu pihaknya tidak memutar tayangan yang dinilai berpotensi menimbulkan kegaduhan dan perpecahan di antara masyarakat.

 

“Tapi kami juga memberikan pencerahan dan informasi sehat sesuai fungsi kepublikan kami, sehingga pembelajaran masa silam akan selalu kami tampilkan dengan cara interaktif dan kekinian melalui program-program di TVRI,” kata Iman.

 

Iman mengungkap bahwa program-program pembelajaran sejarah yang tayang di TVRI dimaksud antara lain Forum Fristian pada 29 September 2021 dengan topik: Rekonsiliasi ’65, Berdamai Dengan Sejarah.

 

Program Mengingat Jejak Sejarah yang tayang pada 30 September 2021 serta penayangan Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada Jumat, 1 Oktober 2021.

 

Ada beberapa hal yang mendasari pihak TVRI tidak menayangkan film ‘G 30S PKI’ antara lain bahwa sejak tahun 1998 pada masa pemerintah Presiden Habibie, film tersebut sudah tidak ditayangkan di TVRI.

 

Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan Menteri Penerangan RI saat itu Letnan Jenderal TNI (Purn) M Yunus Yosfiah bahwa pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh seperti film ‘Pengkhianatan G 30 S PKI’ hingga ‘Serangan Fajar’ tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.

 

Atas hal itulah pada 30 September 1998, TVRI dan TV swasta tidak menayangkan pemutaran film G 30 S PKI seperti yang diungkapkan Yunus Yosfiah dalam harian Kompas, 24 September 1998. (terkini)




SEJUMLAH kisah istri Bung Karno terulis dalam buku. Antara lain, Inggit, Kuantar Ke Gerbang; Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno; Haryatie, Soekarno The Hidden Story; Hartini, Biografi Hartini Soekarno; Ratna Sari Dewi, Sakura di Tengah Prahara; Yurike Sanger, Kisah Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA; Heldy Djafar, Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno.

 

Selain itu kisah istri Bung Karno juga ditulis dalam buku Bunga-Bunga di Taman Hati Soekarno, Kisah Cinta Bung Karno Dengan 9 Istrinya yang ditulis penulis Haris Priyatna. Ada pula Total Bung Karno karya Roso Daras.

 

Presiden Sukarno atau Bung Karno tercatat mempunyai 9 istri. Sembilan istri Soekarno tersebut antara lain adalah, Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Kartini Manoppo dan Heldy Djafar.

 

Dari kesembilan istri Bung Karno, enam di antaranya berakhir dengan perceraian; Siti Oetari, Inggit Garnasih, Kartini Manoppo, Haryati, Yurike Sanger dan Heldy Djafar.

 

Saat sekolah di Surabaya, Sukarno kos di rumah HOS .Cokroaminoto. Siti Oetari, adakah putri sulung HOS Tjokroaminoto. Sukarno menikahi Oetari pada 1921 pada usia 21 tahun. Sedang Oetaru berumur 16 tahun. Oetari belum lama ditinggal mati ibunya.

 

Ternyata Soekarno tidak mencintai Oetari. Oetari juga tidak mencintainya. Mereka tak saling mencintai. Pernikahan mereka hanya seumur Jagung. Soekarno akhirnya menceraikan Oetari tak lama setelah kuliah di Bandung.

 

“Bila aku perlu menikahi Oetari guna meringankan beban orang yang kupuja itu (Tjokroaminoto), itu akan kulakukan,” cetus Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.

 

Roso Daras, penulis buku Total Bung Karno mengatakan, "Istilahnya mereka menikah kawin gantung."

 

Inggit Ganarsih adalah istri kedua Bung Karno. Sukarno dan Inggit bertemu di kota Bandung. Sukarno pindah ke Bandung untuk berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung/ITB) tahun 1921.

 

Inggit usianya juga lebih tua 13 tahun, berstatus istri orang (H Sanusi, politisi Sarekat Islam). Di rumah kos di Bandung milik Inggit cinta bersemi. Mereka memutuskan menikah pada 24 Maret 1923. Sukarno menceraikan Oetari dan Inggit menceraikan H Sanusi.

 

Mereka mengarungi bahtera rumah tangga selama hampir 20 tahun, akhirnya berpisah pada tahun 1943 karena Inggit tidak mau di madu sebab tidak punya anak. Mereka bercerai dengan perjanjian perceraian, Sukarno membelikan rumah di Bandung dan memberi nafkah seumur hidup.

 

“(Tapi) Inggit tidak pernah sekalipun menanyakan, apalagi menuntut suatu hal yang dijanjikan Sukarno dalam surat perjanjian cerai, yang juga disaksikan dan ditandatangani oleh Moh Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan KH Mas Mansoer pada 1942,” tulis Ramadhan KH dalam Soekarno: Ku Antar ke Gerbang.

 

Setelah bercerai dari Inggit pada 1943, Bung Karno kenal dengan Fatmawati yang juga anak angkatnya saat di Bengkulu . Fatma lalu dinikahinya. Fatma merupakan gadis muda yang usianya lebih muda 22 tahun dari Bung Karno. Bung karno sudah berumur 42 tahun.

 

Fatmawati merupakan Istri soekarno yang paling terkenal, karena berjasa dengan menjahit bendera sang saka merah putih untuk pelaksanaan Proklamasi.

 

Soekarno dari Fatmawati memiliki keturunan, lima anak. Mereka adalah Guntur Soekarnoputra, Megawati, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra.

 

Istri keempat Hartini. Mereka bertemu ketika di Candi Prambanan. Mereka menikah pada tahun 1953. Hartini saat itu berumur 29 tahun dan berstatus janda dengan lima anak.

 

Dari Soekarno, Hartini dapat dua anak, yaitu Taufan Soekarnoputra dan Bayu Soekarnoputra. Hartini, wanita asal Ponorogo kelahiran tahun 1924 ini bertemu pertama dengan Bung Karno tahun 1952 di kota tempat tinggalnya, Salatiga, Jawa Tengah.

"Bapak langsung menyatakan sangat tertarik kepada diri saya." Malahan ketika diberi tahu bahwa sudah punya lima orang anak, muncul komentar spontan, "Benar, sudah lima anak dan masih tetap secantik ini?"

 

Cinta pandangan pertama tersebut muncul seketika, dan Bung Karno menyebutkan, "Aku jatuh cinta kepadanya. Dan kisah percintaan kami begitu romantis sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal tersebut."

 

Saat itu, Bung Karno masih terikat perkawinan dengan Fatmawati, sementara status Hartini, ibu rumah tangga dengan lima anak.

 

Juli 1953, Bung Karno menikah dengan Hartini di Istana Cipanas. Karena Bung Karno tidak bisa hadir, bertindak sebagai wakil nikah komandan pasukan pengawal pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo.

 

"Hartini salah satu istri Soekarno yang tetap setia hingga ajal Bung Karno tiba. Di pangkuan Hartini , Bung Karno menghembuskan napas terakhirnya di RS Gatot Subroto,"ungkap Roso.

 

Bung Karno lalu menikah dengan Haryati di Jakarta . Haryati adalah penari yang juga merupakan staf Sekretariat Negara Bidang Kesenian itu. Sukarno lantas menikahinya gadis berusia 23 tahun itu pada 21 Mei 1963 dengan hajatan sederhana.

 

Dikatakan Haryati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno; Haryatie, bahwa Bung Karno berpendapat, sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak usah diumumkan kepada masyarakat luas.

 

“Kami berdua saling mencintai, tetapi menghadapi berbagai kesulitan. Selain itu, Bapak sudah mempunyai tiga istri dan usianya sekarang 63 tahun, sedangkan saya baru 23 tahun."

 

Sukarno memilih menceraikannya pada 1966. “Perceraianku dengan engkau ialah karena kita rupanya tidak ‘cocok’ satu sama lain,” tulis Sukarno dalam surat perceraiaannya yang dikutip Reni Nuryanti dalam Perempuan dalam Hidup Sukarno.

 

Istri Bung Karno berikutnya adalah Ratnasari Dewi. Dalam buku My Friend the Dictator , ia mengungkapkan, "Saya dikenalkan kepada Bapak di Hotel Imperial Tokyo oleh para rekan bisnis dari Jepang". Pertemuan pertama tersebut membawa kesan sangat dalam. Tidak lama kemudian, Bung Karno mengundangnya ke Jakarta, untuk bertamasya selama dua minggu.

 

Kunjungan tersebut diakhiri dengan perkawinan pada awal Maret 1962, setelah Naoko Nemoto pindah agama dan Bung Karno memilihkan nama , Ratnasari Dewi.

 

Tetapi perkawinan tersebut membawa korban. Ibu Naoko, seorang janda, kaget dan langsung meninggal mendengar putrinya menikah dengan orang asing. Disusul hanya 26 jam sesudahnya, Yaso, saudara lelaki Naoko, melakukan bunuh diri. "And I was so alone. I had lost my whole family."

 

"Mengingat situasi serba tidak menguntungkan, mengambil orang asing sebagai istri baru, maka selama beberapa waktu pernikahan kami disembunyikan. Saya merasa sangat tersiksa, harus selalu sendirian dan bersembunyi di rumah. Satu-satunya kegembiraan, Bapak sangat memperhatikan segala macam keperluan saya. Bapak menyulutkan rokok saya, Bapak dengan setia membawakan buah-buahan,"paparnya.

 

Petualangan Bung Karno belum berakhir. Ia jatuh cinta pada seorang model dan mantan pramugari. Namanya Kartini Manoppo asal Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara yang jadi salah satu model lukisan karya Basoeki Abdullah . Setelah ditanya siapa modelnya dan alamatnya, Sukarno mendekati Kartini.

 

“Kartini yang menjadi pramugari pesawat Garuda, lantas dimintanya ikut terbang setiap kali Presiden Sukarno ke luar negeri,” ungkap Peter Kasenda dalam Bung Karno: Panglima Revolusi. Rayuan maut .

 

Mereka menikah tidak secara resmi, melainkan hanya nikah siri pada 1959, “Keluarga tidak menyetujui. Pantang bagi keluarga terpandang putri kesayangannya jadi istri kelima meski dia seorang presiden. Itulah kenapa saya tidak menikah secara resmi dengan Bung Karno,” kenang Kartini di buku Bung Karno! Perginya Seorang Kekasih, Suamiku dan Kebanggaanku.

 

Namun perubahan situasi politik pasca-Tragedi 1965, Kartini diminta Sukarno “menyelamatkan” diri ke Eropa. “Kartini diminta ke Eropa demi keselamatan mereka. Bung Karno tidak mau Kartini yang sedang hamil, terjadi sesuatu di Indonesia,” kata Roso.

 

Di Nurnberg, Jerman pada 17 Agustus 1966, Kartini melahirkan seorang putra yang dinamai Bung Karno, Totok Surjawan. Dua tahun kemudian keduanya memutuskan berpisah.

 

Lalu kisah cinta Bung Karno dengan siswa SMA, Bung Karno mengenal Yurike semasa sang gadis masih tergabung di Barisan Bhinneka Tunggal Ika, di sebuah acara kenegaraan pada 1963. Ia jatuh cinta, hingga memutuskan menikah pada 6 Agustus 1964.

 

Yurike kian kesulitan bertemu suaminya pasca-Tragedi 1965. Terlebih setelah Bung Karno mulai sakit-sakitan. Pada suatu ketika Yurike bisa membesuk suaminya di Wisma Yaso, Bung Karno melayangkan permintaan yang menusuk hatinya. Yurike diminta bercerai demi masa depan Yurike sendiri. Permintaan yang awalnya ditolak sang istri muda.

 

“Dengan terpaksa kupenuhi permintaannya. Kami bercerai secara baik-baik (pada 1967). Sungguh mengharukan karena kami masih sama-sama mencintai. Kami berpisah saat kami sedang rapat bersatu,” kenang Yurike dalam Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA: Biografi Cinta Presiden Sukarno dengan Yurike Sanger karya Kadjat Adra’i.

 

Istri terakhir Bung Karno atau yang ke 9 adalah Heldy Djafar. Ia tergabung di Barisan Bhinneka Tunggal Ika, pengibar bendera pusaka. Bung karno meminangnya dan menikahinya pada 11 Juni 1966 di Istana, tepatnya di Wisma Negara.

 

Rumah tangga mereka hanya bertahan dua tahun. Selain karena sudah dimakzulkan, Bung Karno mulai sakit-sakitan. Untuk bisa bertemu harus di rumah Yurike, di Jalan Cipinang Cempedak, Polonia, Jakarta Timur.

 

Hingga suatu ketika , itu Heldy meminta izin untuk menjauh dari Sukarno. “Mas, maafkan saya, kalau saya boleh menjauh dari Mas untuk melepaskan diri. Kondisi dan suasana saat ini sangat menyakitkan hati saya. Tidak bisa begini terus. Harus ketemu di rumah orang lain,” lirihnya dalam Heldy: Cinta Terakhir Bung Karno karya Ully Hermono dan Peter Kasenda.

 

Kata-kata itu menyiratkan Heldy minta cerai. Namun ditolak Sukarno yang belum ingin berpisah. Seiring waktu, status mereka kian tak jelas. Dibilang istri sulit, cerai pun tidak. Akhirnya Heldy menerima pinangan Gusti Soeriansjah pada 19 Juni 1968. (okezone)



 

SANCAnews – Kamis (30/9/2021) kemarin, 58 pegawai KPK resmi dipecat dengan alasan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Banyak pihak menilai TWK hanyalah alat prosedural untuk menyingkirkan penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK yang berintegritas serta ditakuti para koruptor.

 

Cendekiawan Muslim Ahmad Syafii Maarif atau akrab dipanggil Buya Syafii menyebut bahwa sebenarnya keputusan untuk melakukan pemecatan terhadap Novel cs itu memang tidak beres sejak awal. Menurutnya TWK dalam hal ini hanya digunakan sebagai alasan saja.

 

"Ini adalah masalah kontroversi. Mereka kan dituduh dulu tidak pernah, tidak lulus dalam tes kebangsaan. Itu menurut saya juga dicari-cari alasan itu," kata Buya, ditemui awak media di rumahnya di kawasan Nogotirto, Gamping, Sleman, Jumat (1/10/2021).

 

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu mengaku juga mengenal beberapa pegawai KPK yang telah resmi dipecat tersebut. Salah satunya mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan.Tidak semata-mata kontroversi di awal sejak tes TWK saja, kata Buya, pemecatan puluhan pegawai KPK itu memang kental dengan nuansa dimensi politik tertentu.

 

"Sebagian saya kenal itu, Novel (Baswedan). Ada beberapa orang yang saya kenal. Ini memang masalah lain. Masalah yang terasa seperti ada dimensi politik yang lebih terasa gitu," tuturnya.

 

Kendati pemecatan itu sudah terjadi, Buya tetap berharap agar lembaga antirasuah tetap dipertahankan eksistensinya. Jangan lantas dirobohkan dengan segala ketidaksempurnaan kondisi yang ada saat ini.

 

"Tapi betapapun juga KPK harus dipertahankan. Jangan sampai dirobohkan KPK itu dengan segala kelemahannya itu masih ada juga DPR ditangkap, anggota DPRD, ada bupati dan segala macam. Ada lah walaupun memang belum maksimal," tegasnya.

 

Diketahui KPK telah resmi memberhentikan 57 pegawai KPK tak lulus dalam TWK dengan hormat pada 30 September 2021 kemarin.

 

Sebanyak enam pegawai KPK yang sempat diberi kesempatan untuk ikut pelatihan bela negara juga turut diberhentikan bersama 51 pegawai KPK yang dinyatakan memiliki rapor merah karena tidak lulus TWK.

 

Pengumuman pemberhentian 57 pegawai KPK ini dipercepat oleh KPK. Sepatutnya para pegawai KPK yang tidak lulus TWK akan selesai masa baktinya pada 1 November 2021. (suara)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.