SANCAnews – Aktivis yang juga mantan
Sekretaris BUMN, Said Didu menyebut ada tiga pelanggaran yang mungkin terjadi
dalam kasus hilangnya diorama tokoh penumpas G30S PKI di Museum Kostrad,
Jakarta Pusat.
Pihak Kostrad mengklaim pembongkaran diorama itu atas
permintaan mantan Pangkostrad Letjen TNI (purn) Azmyn Yusri Nasution selaku penggagas
patung tersebut.
Menurut Said Didu, ada tiga potensi pelanggaran yang terjadi.
Yakni, pidana penghilangan aset negara. Pidana kelalaian menjaga aset negara,
dan pelanggaran tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance.
"Kita tidak tahu patung ini aset dari mana? Kalau dari
APBN pasti aset negara, kalau dia hilangkan itu pasti pidana," kata Said
Didu dalam dialog Catatan Demokrasi tvOne dikutip VIVA, Rabu, 29 September
2021.
Termasuk jika diorama itu dibuat dari uang sumbangan atas
nama institusi, maka judulnya tetap aset negara. Begitu juga ketika diorama itu
dari uang pribadi Letjen (purn) AY Nasution dan telah dicatat sebagai aset
museum, maka itu adalah aset negara.
"Jadi menurut saya ini harus dicari, Letjen AY Nasution
harus menjelaskan uangnya dari mana? Kalau aset negara, maka Letjen AY Nasution
tercantum pidana penghilangan aset negara," ujarnya. Sekali pun Letjen AY
Nasution yang menggagas diorama tersebut. Karena ide gagasan itu dalam
kapasitas dia sebagai pejabat negara (Pangkostrad saat itu) bukan pribadi.
Kemudian, lanjut Said Didu, Pangkostrad saat ini Letjen TNI
Dudung Abdurachman juga bisa dipidana karena dinilai lalai terhadap aset
negara. Letjen Dudung dinilai membiarkan atau mengizinkan diorama G30S PKI di
Mako Kostrad dibongkar atas permintaan purnawirawan.
"Dia (Letjen Dudung) harus melindungi, tidak boleh
(membongkar), apalagi mengizinkan, kalau terbukti benar aset negara,
Pangkostrad kena (pidana), kenapa Anda izinkan orang mengambil aset
negara," ujar Said Didu
Terakhir, pembongkaran diorama G30S PKI di Mako Kostrad itu
dinilai Said Didu, melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau
good governance. Mantan birokrat itu membayangkan keruwetan yang terjadi jika
keputusan pribadi seorang pensiunan bisa menjadi keputusan lembaga negara.
"Bayangkan pendapat pribadi pensiunan Pangkostrad
dijadikan keputusan untuk menghapuskan sesuatu. Bahwa ada pertentangan
sejarahnya boleh saja, tapi menghapuskan itu harus keputusan institusi, minimal
tingkat Angkatan Darat, kalau Museum Nasional ada di Kemendikbud, bukan
pendapat Pangkostrad pribadi," ungkap Said Didu
"Sangat bahaya kalau tafsiran pribadi jadi keputusan
lembaga pemerintah," imbuhnya
Anggota Komisi I DPR Fadli Zon menambahkan ketentuan pengelolaan
barang cagar budaya atau museum tercantum dalam UU Cagar Budaya. Sedangkan
ketentuan lebih lanjut mengenai museum diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Salah satu pasalnya mengatur bahwa barang yang ada di museum
tidak bisa sembarangan diangkat atau dikeluarkan dari museum.
"Jadi barang yang sudah masuk museum itu end collection,
itu tidak serta merta walaupun dia punya, dia hibahkan tidak bisa diambil lagi.
Itu namanya museum. Beda sama galeri itu bisa diperjualbelikan, kalau museum
barang yang sudah dihibahkan tidak bisa diambil," terang Fadli
Sebelumnya, mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot
Nurmantyo membuat kontroversi atas hilangnya diorama tokoh penumpasan Gerakan
30 September PKI atau G30S PKI di Museum Dharma Bhakti Markas Kostrad, Gambir,
Jakarta Pusat.
Tak main-main, Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut hilangnya
diorama Mayjen Soeharto dan Kolonel Sarwo Edhie di Mako Kostrad sebagai
indikasi penyusupan paham komunis di tubuh TNI.
Pihak Kostrad sendiri sudah memberikan klarifikasi atas
raibnya diorama yang menampilkan adegan Mayjen Soeharto (saat itu Pangkostrad)
sedang memberikan perintah kepada Komandan Resimen RPKAD Kolonel Sarwo Edhie
Wibowo terkait penumpasan G30S PKI.
Kepala Penerangan Kostrad Kolonel Inf Haryantana dalam siaran
persnya, di Jakarta, Senin, menyatakan Kostrad tidak pernah membongkar atau
menghilangkan patung sejarah (penumpasan G30S/PKI) Museum Dharma Bhakti di
Markas Kostrad.
"Tapi, pembongkaran patung-patung tersebut murni
permintaan Letnan Jenderal TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution sebagai pembuat ide
dan untuk ketenangan lahir dan batin," kata Haryantana. (*)