Latest Post


 

SANCAnews – Bareskrim Polri resmi menetapkan Irjen Pol Napoleon Bonaparte sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap uang hasil suap penghapusan red notice Djoko Tjandra. Dalam perkara ini suapnya, Napoleon telah dijatuhi pidana 4 tahun penjara.

 

“Laporan hasil gelarnya demikian (ditetapkan sebagai tersangka),” kata Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto saat dikonfirmasi, Kamis (23/9).

 

Kendati demikian, Agus berlum merinci ihwal penetapan tersangka dalam kasus TPPU ini. Termasuk peruntukan uang hasil suap yang didapat Napoleon.

 

“Silakan ke penyidik (Direktorat Tindak Pidana Korupsi), menurut saya penyidik akan melakukan sesuai pasal yang diterapkan,” jelas Agus.

 

Sebelumnya, Irjen Pol Napoleon Bonaparte divonis empat tahun pidana penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Napoleon juga dijatuhkan hukuman denda senilai Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan.

 

“Mengadili, menyatakan terdakwa Irjen Polisi Napoleon Bonaparte terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 100 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti kurungan selama enam bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim, Muhammad Damis membacakan amar putusan di PN Tipikor Jakarta.

 

Hakim meyakini, Irjen Napoleon terbukti secara sah bersalah menerima suap sebesar SGD 200 ribu dan USD 370 ribu. Suap itu bertujuan untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari red notice interpol Polri, karena saat itu Djoko Tjandra masih berstatus daftar pencarian orang (DPO) dalam kasus hak tagih bank Bali.

 

Dalam menjatuhkan vonis, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Untuk hal yang memberatkan, Napoleon dinilai tidak mendukung upaya pemerintah dalam meberantas tindak pidana korupsi dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.

 

Sementara itu untuk hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan, terdakwa mengabdi sebagai anggota Polri selama 30 tahun dan terdakwa masih mempunyai tanggungan keluarga.

 

Napoleon Bonaparte divonis melanggar Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (jawapos)



 

SANCAnews – Kabar baru datang dari perkembangan kasus yang menimpa Irjen Pol Napoleon Bonaparte. Melansir dari Suara.com, Kamis (23/9/2021), Bareskrim Polri resmi memberikan status tersangka pada Napoleon terkait kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil suap penghapusan red notice Djoko Tjandra. Penetapan tersangka dilakukan berdasar hasil gelar perkara.

 

“Laporan hasil gelarnya demikian (ditetapkan tersangka),” kata Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto dikutip dari sumber yang sama.

 

Namun, rincian detail terkait aset-aset apa saja yang diduga sebagai TPPU dalam kasus tersebut masih belum diberitahukan. Menurutnya hal itu akan disampaikan secara detail oleh penyidik dari Dittipikor.

 

"Menurut saya penyidik akan melakukan sesuai pasal yang diterapkan," sambungnya.

 

Untuk diketahui Napoleon sudah divonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dengan hukuman 4 tahun penjara. Vonis itu dilayangkan karena jenderal bintang dua tersebut terbukti menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp 2.145.743.167 dan 370 ribu dolar AS atau sekitar Rp 5.148.180.000 dari terpidana kasus korupsi hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.

 

Kemudian, Napoleon mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Namun, banding tersebut ditolak. Kabar terbaru juga, yang bersangkutan pun tengah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

 

Selain terseret kasus TPPU, Napoleon kekinian juga berpotensi ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiyaan terhadap Muhammad Kece. Penganiayaan ini dilakukan yang bersangkutan di dalam Rutan Bareskrim Polri.

 

Selain itu, Irjen Napoleon juga tersandung kasus penganiayaan sesama tahanan. Ia diketahui menganiaya Muhammad Kece yang merupakan tersangka penistaan agama. (suara)



 

SANCAnews – Surat Irdam XIII/Merdeka Brigjen Junior Tumilaar kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memperpanjang urusan. Surat yang meminta Babinsa tidak perlu diperiksa di Polresta Manado itu menjadi viral di media sosial.


Mulanya, Brigjen Tumilaar mengatakan Babinsa mendampingi Ari Tahiru (67), warga yang sedang berhadapan dengan masalah konflik lahan di Sulut. Dia mengatakan menaruh perhatian kepada Babinsa yang dipanggil ke kantor polisi.

 

Surat tulis tangan Brigjen Junior itu dengan tembusan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa, dan Panglima Kodam Merdeka Mayjen TNI Wanti Waranei Franky Mamahit, pengacara Ari Tahiru, serta anggota Komisi III DPR RI F-NasDem Hillary Brigitta Lasut.

 

Dia mengatakan Babinsa lalu dipanggil ke Polresta Manado. Dia juga menyoroti soal Brimob Polda Sulut yang mendatangi Babinsa saat bertugas di tanah Edwin Lomban. Brimob itu juga disebutnya dipanggil ke Polresta Manado.

 

Brigjen Tumilaar mengakui surat tersebut ditulis sendiri pada 15 September 2021. Dia berharap Kapolri merespons surat tersebut.

 

Dia mengatakan dirinya siap bertanggung jawab atas apa yang ditulis. Dia mengaku siap menghadapi risiko.

 

"Intinya itu kan surat itu bukan masalah Citraland-nya, yang pertama itu. Tapi pemanggilan Babinsa oleh Polri dalam hal ini Polresta Manado," kata Brigjen Junior saat dimintai konfirmasi detikcom, Senin (20/9).

 

Penjelasan Polda Sulut-Kodam Merdeka

Polda Sulut dan Kodam XIII/Merdeka memberi penjelasan terkait surat tersebut. Mereka juga meluruskan kabar penanganan kasus penyerobotan tanah antara PT Ciputra Internasional (Citra Land Manado) dan warga itu yang dianggap tak melalui jalur koordinasi lintas institusi.

 

Jumpa pers digelar pada Selasa (21/9/2021) di ruang Catur Prasetya Mapolda Sulut. Turut hadir Kabid Humas Polda Sulut Kombes Jules Abraham Abast, Asintel Kodam XIII/Merdeka Kolonel Kav Kapti Hertantyawan, dan Kapendam XIII/Merdeka Letkol Inf Jhonson Sitorus.

 

Kombes Jules Abraham Abast mengatakan kasus tersebut didasari empat laporan.

 

Pertama, Laporan Polisi tanggal 18 Februari 2021 dengan pelapor pihak PT Ciputra Internasional (Citra Land Manado) tentang perkara pidana perusakan panel beton milik PT Ciputra Internasional di Winangun Atas, Pineleng, Minahasa. Dalam kasus ini, pihak terlapor ialah Ari Tahiru dan Decky Israel Walewangko.

 

Kedua, Laporan Polisi tanggal 22 April 2021 tentang dugaan tindak pidana perusakan bersama-sama terhadap pagar seng dan pagar panel beton milik PT Ciputra Internasional.

 

Kombes Jules mengatakan kedua kasus ini telah ditangani Satreskrim Polresta Manado. Pihak kejaksaan meminta berkas kasus dilengkapi. Ari Tahiru ditetapkan sebagai tersangka.

 

"Dari Hasil koordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulut berkas perkara penyidikan kasus perusakan panel beton milik PT Ciputra Internasional yang berlokasi di Winangun Atas, Pineleng, Minahasa, berdasarkan petunjuk JPU Kejati Sulut (P19) bahwa Penyidik harus melengkapi dengan mengambil keterangan pihak yang menyuruh tersangka Ari Tahiru melakukan perusakan panel beton tersebut," ujar Kombes Jules. [*]



 

SANCAnews – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly sepakat untuk mencabut revisi UU Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021 pada Maret 2021 lalu.

 

Dengan adanya pencabutan itu, maka tidak ada Pilkada 2022 dan 2023. Pilkada dilakukan serentak pada tahun 2024. Hal ini sesuai dengan UU 10 Tahun 2016.

 

Sementara akan ada ratusan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) yang akan habis masa baktinya tahun 2022 dan 2023.

 

Sejumlah daerah itu akan diganti oleh pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk oleh pemerintah dengan masa bakti hingga 2024. Sementara Plt tidak bisa memutuskan hal-hal yang bersifat strategis.

 

Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar mengatakan, hal ini akan meruntuhkan demokrasi. Sebab Plt itu bukan mandat dari rakyat.

 

“Akan meruntuhkan demokrasi. Mereka yang tidak dipilih dalam Pilkada ditunjuk untuk memimpin daerah tanpa mendapat mandat dari rakyat melalui Pilkada,” jelas Musni Umar, Rabu (22/9/2021).

 

Musni Umar mengatakan, penujukan Plt itu akan menguntungkan pemerintah. Sebab, pemerintah akan menunjukan kader-kader Partai pendukungnya untuk menjadi Plt.

 

“Akan sangat menguntungkan partai politik penguasa jika tidak ada Pilkada 2022, 2023 karena kader-kader mereka akan diangkat menjadi Plt Kepala Daerah di 100 daerah pemilihan lebih tanpa mengikuti Pilkada” ujarnya.

 

“Akan sangat menguntungkan penguasa dalam memenangkan kontestasi pemilu 2024 karena bisa mengangkat Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai PLT tanpa melalui Pilkada” sambungnya.

 

Selanjutnya dia mengatakan, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak bisa berdaulat pada hal sejatinya dalam demokrasi, rakyat sebagai pemilik kedaulatan memilih kepala daerah untuk memimpin mereka di daerahnya, “Bukan ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri RI,” pungkasnya. (fin)



 

SANCAnews – Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, mengkritik Presiden Joko Widodo yang tidak turun langsung terkait masalah pemecatan sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka yang dipecat lantaran tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan atau TWK.

 

Sebelumnya, saat KPK memutuskan memecat 75 pegawai, Presiden Jokowi sempat mengeluatkan imbauan agar tes TWK tidak dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai.

 

"Kemana presiden @jokowi ? Agar tegak pemberantasan korupsi yang selama ini sudah harum, kita mesti mengawal pernyataan beliau, rekomendasi Ombudsman sampai Komnas HAM bahwa tes TWK bukanlah satu-satunya alasan pemecatan para pegawai KPK tsb," kata Mardani dalam akun twitternya, yang dikutip VIVA, Kamis 23 September 2021.

 

Mardani juga menyoroti pernyataan Presiden Jokowi, yang menyebut tidak semua permasalahan harus ditanyakan ke presiden. Menurut Mardani itu keliru. Sebab Presiden adalah kepala Negara yang merupakan pemilik kewenangan tertinggi atas suatu negara.

 

"Sebenarnya keliru jika seorang presiden mengucapkan kegelisahan karena semua permasalahan mengarah pada dirinya. Memang begitu fungsi serta tugas presiden yg dititipkan oleh masayarakat. Semua persoalan, termasuk mengenai penegakan hukum," ujarnya.

 

Dia juga menyindir, jika urusan membagikan sembako saja bisa dilakukan sendiri oleh Presiden, mengapa mengenai pemecatan pegawai KPK tidak mengambil tindakan apapun.

 

"Kewenangan menyelesailan masalah tidak pernah dilakukan menjadi sebuah indikasi pembiaran. Jika membagi sembako saja bisa dibagikan langsung oleh Presiden, mengapa proses degradasi KPK malah dibiarkan? Tidak bisa seorang presiden lepas tangan begitu saja," ujarnya.

 

Diketahui, sebanyak 56 pegawai KPK yang gagal dalam TWK akan dipecat dengan hormat dalam waktu dekat. Mereka hanya bekerja sampai 30 September 2021. Salah satu yang dipecat yakni Penyidik senior Novel Baswedan.

 

KPK mengakui ada pegawai yang gagal dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) ditawarkan bekerja di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun KPK berdalih bahwa hal itu berdasarkan permintaan pegawai yang bersangkutan.

 

"Menanggapi berbagai opini yang berkembang mengenai penyaluran kerja bagi pegawai KPK, kami dapat jelaskan bahwa atas permintaan pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat diangkat menjadi ASN (aparatur sipil negara)," kata Sekretaris Jenderal (Seken) KPK Cahya Harefa kepada awak media, Selasa, 14 September 2021. [ ]


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.