Latest Post


 

SANCAnews – Kesenian Mural belakangan ini menjadi perbincangan publik setelah kasus kritik mural yang berujung penghapusan oleh pihak aparat.

 

Beberapa waktu lalu publik digemparkan dengan adanya beberapa kritikan yang diberikan masyarakat kepada pemerintah dalam bentuk kesenian mural.

 

Salah satu yang menjadi sorotan adalah mural yang bergambar wajah diduga Presiden Jokowi dengan mata tertutup bertuliskan 404: Not Found.

 

Kendati demikian, ada yang menarik setelah kejadian penghapusan mural tersebut.

 

Melansir CNN Indonesia pada Jumat, 17 September 2021, Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Polri menggelar festival lomba mural memperebutkan hadiah berupa piala Kapolri.

 

Informasi lomba mural Kapolri tersebut kemudian dibenarkan oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono.

 

Kendati wacana lomba tersebut akan diadakan, untuk waktu pelaksanaannya masih dalam pembahasan lebih lanjut.

 

“Iya (benar), tapi masalah waktu masih dirapatkan,” kata Rusdi saat dikonfirmasi, Kamis, 16 September 2021 kemarin.

 

Pada kesempatan lain, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pihaknya sudah menegur Kapolri terkait tindakan reaktif aparat terhadap pelaku mural berisi kritik ke pemerintah.

 

“Saya sudah tegur Kapolri soal ini,” ujar Jokowi dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan pada Rabu, 15 September 2021 lalu.

 

Berdasarkan pantauan terkini.id dalam unggahan akun CNN Indonesia, banyak netizen yang memberikan komentar terkait wacana lomba tersebut.

 

“Hati-hati ya yg mau ikut, bisa saja itu cara utk mengumpulkan informasi dan data siapa” aja yg kemaren membuat mural di seluruh Infonesia,” tulis fadlidj dalam kolom komentar.

 

Ada pula yang menyebut bahwa penggelaran tersebut merupakan cuci tangan pihak kepolisian.

 

“Cuci tangan, hehehe,” ucap akun yang bernama paranoid controller, seperti dilihat oleh terkini.id. (terkini)



 

SANCAnews – Aksi kritik kepada Presiden Jokowi menuai sorotan baik yang melalui mural maupun dengan membentangkan poster saat kunjungan kerja presiden. Beberapa dari mereka ditangkap polisi.

 

Jokowi mengatakan penangkapan tersebut bukan perintah dari dia. Sebab ia bukan orang yang antikritik.

 

"Saya tidak antikritik. Sudah biasa dihina. Saya dibilang macam-macam, dibilang PKI, antek asing, aseng, plonga plongo. Itu sudah makanan saya sehari-hari,” kata Jokowi saat bertemu para pemimpin redaksi media massa nasional di Istana Negara, Rabu (15/9).

 

Jokowi bahkan menegur Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo atas tindakan kepolisian yang reaktif tersebut. Kepada presiden, Sigit mengaku kebijakan itu inisiatif bawahannya.

 

"Pak Kapolri mengatakan itu bukan kebijakan kita, tapi Kapolres. Dan Kapolres juga menyatakan, itu bukan kebijakan mereka, tapi inisiatif di Polsek. Saya minta jangan terlalu berlebihan,” kata Jokowi.

 

Jokowi juga bercerita terkait aksi membentangkan poster yang dilakukan Suroto saat kunjungan kerja presiden di Blitar pada 7 September lalu. Poster tersebut berisi permintaan agar peternak bisa membeli jagung dengan harga yang wajar.

 

“Saya baca kok isi posternya. Biasa saja. Yang di Blitar itu juga hanya peternak ayam menyampaikan soal pakan. Ini tadi saya undang ke sini,” jelas Jokowi.

 

Saat di Istana Negara, Jokowi menanyakan kepada Suroto soal tindakan polisi terhadap dia. “Saya tanya dia ta. Kamu diapain saja di kantor polisi? Dia jawab, ditanya-tanya pak, terus disuruh pulang,” ujar Jokowi.

 

Jokowi bertemu para pemimpin redaksi sekitar 2 jam dari pukul 16.15 hingga 18.15 WIB. Sejumlah isu dibahas, antara lain soal penanganan COVID-19 dan vaksinasi, soal rencana ibukota negara (IKN), kasus pemecatan terhadap pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), isu reshuffle, dan juga isu pergantian Panglima TNI. Namun, sebagian besar yang dibahas dalam pertemuan itu off the record.

 

Kapolri Keluarkan Surat Perintah

 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan perintah ke jajaran agar tak reaktif terhadap aksi penyampaian pendapat saat kunjungan kerja Presiden Jokowi. Perintah itu tertuang dalam telegram nomor STR/862/IX/PAM.3/2021 pada Rabu 15 September 2021.

 

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan, dalam perintah Kapolri itu, polisi diminta memberikan ruang agar masyarakat bisa menyampaikan aspirasinya.

 

"Untuk menyiapkan ke masyarakat kelompok menyampaikan aspirasinya agar dikelola dengan baik. Kepolisian setempat agar memberikan ruang agar bisa menyampaikan aspirasinya kita siapkan ruang itu agar bisa menyampaikan dengan baik," kata Argo. (kumparan)



 

SANCAnews – Sejumlah Guru Besar mengomentari pemecatan terhadap 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dalih tidak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan (TWK). Puluhan pegawai KPK nonaktif itu akan resmi diberhentikan pada 30 September 2021.

 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Sigit Riyanto meminta komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada komitmen pemberantasan korupsi.

 

“Presiden Jokowi punya kesempatan untuk menunjukkan komitmennya pada aspirasi publik dan menentukan sikap yang jelas bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Sigit Riyanto dalam keterangannya, Kamis (16/9).

 

Senada juga disampaikan oleh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azyumardi Azra. Dia menyebut, jika Jokowi ingin meninggalkan positive legacy dalam pemberantasan korupsi, sepatutnya mengikuti rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM dengan melantik 75 pegawai KPK menjadi ASN.

 

“Kegaduhan politik agaknya dapat berlanjut dalam masyarakat jika Presiden Jokowi mengabaikan rekomendasi kedua lembaga resmi negara itu,” cetus Azra.

 

Sementara itu, Guru Besar FH Unsoed Prof Hibnu Nugroho menegaskan, Presiden Jokowi sebagai kepala Pemerintahan di dalam menangani masalah pegawai KPK, harus mampu mengambil kebijakan tepat. Dia tak menginginkan, alih status pegawai KPK merugikan yang dijanjikan.

 

“Harus diingat bahwa para pegawai KPK ini merupakan pegawai yang memiliki integritas dalam pemberantasan korupsi yang sangat luar biasa,” tegas Hibnu.

 

Dia meminta Jokowi untuk segera mengakhiri polemik TWK yang kini justru memecat 57 pegawai KPK.

 

“Kondisi seperti sekarang harus secepatnya diakhiri untuk mencegah munculnya kegaduhan diantara institusi negara, karena hal-hal tersebut akan sangat mempengaruhi trust politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia,” cetus Hibnu.

 

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Guru Besar FH UNPAR Prof Atip Latipulhayat. Dia menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya menyangkut uji norma Undang-Undang KPK dalam menyelesaikan polemik TWK. Begitu juga putusan Mahkamah Agung (MA) hanya menyangkut uji formal dan material dari Perkom KPK.

 

Menurutnya, putusan tersebut tidak menyentuh atau terkait dengan maladministrasi sebagaimana rekomendasi dari Ombudsman RI dan juga tidak terkait dengan pelanggaran HAM sebagaimana hasil pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM. Dengan demikian, maladministrasi dan pelanggaran HAM terbukti terjadi dalam implementasi TWK, antara lain berupa pertanyaan-pertanyaan yang melanggar ranah privasi seseorang.

 

Oleh karena itu, baik rekomendasi Ombudsman maupun rekomendasi Komnas HAM harus segera ditindaklanjuti oleh Presiden selaku penanggung jawab tertinggi administrasi pemerintahan agar tercipta ketertiban dan kepastian hukum.

 

Selanjutnya, Guru Besar FH UNPAD Prof Susi Dwi Harijanti menyebut, dalam setiap negara hukum yang demokratis, setiap warga negara berhak untuk memperkarakan negara, baik dalam bentuk mengajukan keberatan ataupun bentuk-bentuk keberatan. Hal ini terjadi karena hubungan antara negara dengan individu atau warga negara dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan hubungan.

 

Dia mengutarakan, salah satu cara untuk menyeimbangkan melalui “voice”. Voice ini dapat bermacam-macam bentuknya, gugatan ke pengadilan; permohonan pengujian UU; mengajukan keberatan ke ORI, atau ke lembaga lain yang relevan, misal Komnas HAM.

 

Jika berpegang pada fungsi, tugas dan wewenang masing-masing lembaga dalam paradigma yang lebih luas, Presiden tidak perlu menunggu putusan MK dan MA. Apalagi Presiden pernah mengeluarkan pernyataan bahwa TWK tidak boleh merugikan.

 

“Persoalan TWK masuk pada ranah pelayanan publik di bidang kepegawaian. Oleh karenanya masuk pada bidang hukum administrasi negara. Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi merupakan pejabat administrasi negara tertinggi. Artinya, segala putusan dan tindakan Presiden sebagai pejabat administrasi tertinggi tunduk selain pada norma-norma hukum administrasi, juga tunduk pada asas-asas hukum administrasi negara,” harap Susi menandaskan.

 

Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan, pemecatan terhadap 57 pegawai KPK dilakukan, karena asesmen TWK telah dinyatakan sah dan tidak melanggar hukum berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26 Tahun 2021 dinyatakan tidak diskriminatif dan konstitusional. Selain itu, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tatacara Alih Pegawai KPK menjadi ASN berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 34 Tahun 2021 dinyatakan bahwa Perkom tersebut konstitusional dan sah.

 

Mantan Kapolda Sumatera Selatan ini pun membantah, pihaknya mempercepat pemecatan terhadap Novel Baswedan Cs yang seharusnya pada 1 November 2021, kini maju pada 30 September 2021. Dia mengutarakan, pemecatan boleh dilakukan sebelum batas maksimal proses alih status rampung berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

 

Oleh karena itu, Firli menegaskan pihaknya akan kembali menindaklanjuti asesmen TWK yang merupakan syarat alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

 

“KPK akan melanjutkan proses peralihan pegawai KPK jadi ASN. Karena masih ada hal-hal yang harus ditindaklanjuti sebagaimana mandat UU dan PP turunannya,” pungkas Firli. (jawapos)


SANCAnews – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bosowa, Prof Marwan Mas, tidak yakin Presiden Joko Widodo akan menjalankan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman terkait 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam alih status menjadi ASN.

 

“Tak ada harapan, berharap kepada Presiden Jokowi untuk mendorongnya mengikuti Rekomendasi Ombudsman dan Rekomendasi Komnas HAM, termasuk mengangkat 51 dan 24 lainnya Pegawai KPK itu menjadi ASN di KP,” tegas Marwan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/9/2021).

 

Menurutnya penyelamatan KPK dan pegawainya yang didepak hanya akan terjadi degan pergantian presiden dan wakil presiden.

 

Itu pun kata Marwan, bisa terjadi dengan tidak memilih presiden dan wakil presiden yang partai politiknya tidak berafiliasi dengan Jokowi.

 

“Sekali lagi saya tekankan harus mengganti Presiden/Wakil Presiden dan tidak memilih atau memenangkan Partai Politik yang berkoalisi dengan Presiden Jokowi," kata Marwan.

 

"Apabila hal itu berhasil, saya percaya eksistensi KPK seperti saat dibentuk mulai dari KPK Jilid-1 sampai KPK Jilid-4 akan berkumandang kembali dalam pemberantasan korupsi secara berintegritas, profesional, dan berani melaksanakan tugas dan kewajibannya," tandasnya.

 

Diberhentikan Dengan Hormat

 

Sebelumnya KPK resmi mengumumkan memberhentikan 57 pegawai KPK tak lulus dalam TWK dengan hormat pada 30 September 2021.

 

Adapun sebanyak enam pegawai KPK yang sempat diberi kesempatan untuk ikut pelatihan bela negara akan pula diberhentikan bersama 51 pegawai KPK yang dinyatakan telah memiliki rapor merah karena tidak lulus TWK.

 

"Terhadap 6 orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dan diberi kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara serta wawasan kebangsaan, namun tidak mengikutinya. Maka tidak bisa diangkat menjadi aparatur sipil negara dan akan diberhentikan dengan hormat per tanggal 30 september 2021," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.

 

"Memberhentikan dengan hormat kepada 51 orang pegawai kpk yang dinyatakan tidak memenuhi syarat per tanggal 30 September 2021," tambahnya.

 

Pengumuman pemberhentian 57 pegawai ini dipercepat oleh KPK. Sepatutnya para pegawai KPK yang tidak lulus TWK akan selesai masa baktinya sebagai pegawai KPK pada 1 November 2021. (suara)




SANCAnews – Politisi Partai Demokrat, Yan Harahap mengingatkan pemerintah untuk serius menangani pelanggaran kedaulatan negara oleh China di Laut Natuna Utara.

 

Terlebih adanya kapal milik China, mulai dari kapal coast guard hingga kapal perang, yang berkeliaran di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Tepatnya di Laut Natuna Utara.

 

Bahkan kehadiran kapal-kapal China tersebut membuat takut nelayan Indonesia untuk melaut.

 

Anak buah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu pun memberikan sindiran atas peristiwa tersebut.

 

“Semoga, cuma numpang lewat, bukan mau nagih utang,” tulis Deputi Strategi dan Kebijakan Balitbang DPP Partai Demokrat itu di akun Twitternya, Jumat (17/9/2021).

 

Sebelumnya, Badan Keamanan Laut (Bakamla) baru-baru ini melaporkan, ada ribuan kapal asing berada di Laut Natuna Utara.Bukan hanya kapal coast guard dan kapal perang China, tapi juga kapal-kapal Vietnam yang berusaha mengambil ikan dari perairan Indonesia.

 

Hanya saja, baik Bakamla maupun TNI tak bisa banyak mengambil langkah. Hal ini karena kurangnya armada pertahanan serta keterbatasan bahan bakar kapal. (fajar)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.