Latest Post


SANCAnews – Informasi mengenai sakitnya Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri seperti yang disampaikan Hersubeno Arief diklaim sebagai produk jurnalistik. Apa yang disampaikan Hersubeno itu pun dianggap sudah tunduk pada Undang-Undang 40/1999 tentang Pers.

 

"Konten channel Youtube Hersubeno Point merupakan produk jurnalistik dari FNN. Segala sesuatunya diatur dan tunduk pada UU 40/1999 tentang Pers," kata Pemimpin Redaksi Forum News Network (FNN), Mangarahon Dongaran dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/9).

 

Pihaknya pun memastikan konten berjudul "Ketum PDIP Megawati Dikabarkan Koma dan dirawat di RSPP" yang diunggah Kamis lalu (9/9) berdurasi 12.43 menit tidak mengandung unsur hoax seperti yang dituduhkan.

 

"Akan tetapi, menyajikan adanya informasi berita di berbagai platform percakapan (WAG), medsos dan portal media," sambung Mangarahon.

 

Dalam video tersebut, Hersubeno pun telah menyebut masih perlu diverifikasi. Artinya, kata dia, Hersubeno sudah memberi catatan bahwa berita itu belum tentu benar.

 

Apalagi, kata dia, turut ditampilkan kutipan berita dari portal Tempo.co tentang bantahan dari Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto terkait kondisi sakit Megawati.

 

"Jadi di mana hoax-nya? Jadi sekali lagi, sangat jelas tidak ada sama sekali unsur menyebar hoax, kabar bohong sebagaimana dilaporkan. Konten itu bersifat konfirmasi atas simpang siur kesehatan Megawati," tegasnya.

 

Di sisi lain, pihaknya mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak terbiasa menyimpulkan. Apalagi melaporkan sebuah berita/konten yang hanya bersifat sepotong-sepotong, atau hanya berupa kutipan dari media.

 

Apabila keberatan dengan sebuah berita/konten bisa menggunakan mekanisme hak jawab. Sebagaimana ketentuan UU 40/1999 tentang Pers, Pasal 1, 5, 11, dan Pasal 15.

 

"Media wajib menayangkan hak jawab segera setelah diterima. Bila hak jawab tidak segera dimuat, maka pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan ke Dewan Pers," tandasnya.

 

Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP DKI Jakarta sebelumnya melaporkan Hersubeno Arief atas isu Megawati kritis. Laporan tersebut diterima Setra Pelayanan Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya dengan nomor surat LP/B/4565/IX/SPKT/Polda Metro Jaya. (rmol)



 

SANCAnews – Sejumlah kritik terhadap pemerintah beberapa waktu terakhir berujung pada penangkapan oleh aparat. Sikap represif aparat ini menuai polemik di kalangan masyarakat lantaran pemerintah dianggap membungkam aspirasi masyarakat.

 

Wakil Ketua MUI Anwar Abbas menyampaikan, Indonesia merupakan negara demokrasi yang seharusnya tidak perlu ada pembungkaman terhadap kritik yang ditujukan kepada pemerintah. Terlebih pembungkaman tersebut melibatkan aparat penegak hukum.

 

"Saya terus terang saja, ini kan negara demokrasi ya kalau negara demokrasi maka pemerintah harus siap untuk diprotes dikritik. Kalau ada protes dan kritik pemerintah tidak perlu alergi dengan protes dan kritik itudan dalam menanggapi kritik dan protes itu jangan pakai pendekatan ssecurity approach,” ujar Anwar kepada Kantor Berita Politik RMOL,Kamis (16/9).

 

Anwar menyampaikan, seharusnya Jokowi melanjutkan kembali adanya Dewan Kerukunan Nasional untuk menampung aspirasi masyarakat yang kecewa terhadap pemerintah.

 

"Makanya saya sudah berkali-kali katakan, supaya ide dan gagasan Pak Jokowi di kabinet di periode pertama itu dihidupkan kembali namanya Dewan Kerukunan Nasional,” katanya.

 

Dia menambahkan, pemerintah perlu mengadakan Dewan Kerukunan Nasional, Namun demikian, pemerintah harus memastikan para anggota merupakan sosok orang yang netral.

 

Dengen pembentukan Dewan Kerukunan Nasional, apabila ada masalah penangkapan para pengkritik pemerintah bisa membahas bersama untuk mencari penyebab adanya kritikan pada pemerintah dan mencari solusi konkretnya.

 

"Adu datalah adu sudut pandang gitu kan.Tapi saya minta Dewan Kerukunan Nasional itu orang yang netral, kalau pemerintah salah disalahkan kalau pemerintah benar ya dibenarkan,” tandasnya. []



 

SANCAnews – Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap mengakui sudah mulai merapihkan barang miliknya di Gedung Merah Putih KPK. Yudi merupakan salah satu dari 57 pegawai yang dipecat pada 30 September 2021.

 

Yudi menyebut, dirinya sengaja datang pagi ke KPK agar tidak bertemu dengan teman-temannya yang lain. Biasanya, datang ke KPK karena ada operasi tangkap tangan (OTT) tetapi justru kini, diminta angkat kaki dari lembaga antirasuah.

 

“Biasanya datang pagi karena OTT nangkap koruptor, kini datang beresin meja kerja agar enggak ketemu banyak teman-teman pegawai,” kata Yudi dalam cuitan pada akun media sosial Twitter pribadinya, Kamis (16/9).

 

Penyidik nonaktif KPK ini mengaku tak sanggup menahan air mata saat merapikan barang-barangnya yang tersimpan di ruang kerja Gedung Merah Putih. Dia mengaku, banyak kenangan yang tersimpan di KPK dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi.

 

“Enggak sanggup lihat air mata berjatuhan atas suka duka kenangan memberantas korupsi belasan tahun ini, dari semalem WA dan telepon dari mereka silih berganti,” ungkap Yudi.

 

Yudi juga menyesalkan secara sepihak langkah Firli Bahuri Cs yang justru memilih memecat 57 pegawai KPK pada 30 September 2021. Dia menyebut, Firli secara nyata telah melemahkan agenda pemberantasan korupsi.

 

“Berani memberhentikan 57 pegawai KPK artinya Pimpinan KPK sudah secara nyata berani memperlemah pemberantasan korupsi. Oleh karena itu ini justru menjadi momentum kita bahwa pemberantasan korupsi sedang dibajak,” ucap Yudi.

 

Yudi mengaku belum mengambil langkah apapun setelah adanya pemecatan resmi dari Firli Bahuri Cs. Dia mengaku, akan konsolidasi terlebih dahulu untuk menentukan menyikapi keputusan nahas tersebut.

 

“Kami akan konsolidasi langkah apa yang akan kami tempuh. Sampai hari ini, kami masih menunggu dan masih setia putusan dari Presiden ketika memberikan arahan yang lalu bahwa tidak boleh diberhentikan. Kami masih menunggu arahan Presiden Joko Widodo terkait 57 pegawai KPKyang diberhentikan hari ini,” tegas Yudi.

 

Sebelumnya, Pimpinan KPK resmi memecat 57 pegawai nonaktif pada 30 September 2021. Puluhan pegawai itu merupakan para pegawai lembaga antirasuah, yang tidak memenuhi syarat asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK).

 

“Memberhentikan dengan hormat kepada pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) per tanggal 30 September 2021,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (15/9).

 

Pemecatan ini dilakukan berdasarkan hasil koordinasi antara KPK dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara (Kemenpan), Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Sementara itu, pada Rabu (14/9) hari ini, KPK juga baru melantik 18 pegawai yang sempat gagal TWK menjadi ASN.

 

“18 pegawai diberi kesempatan untuk memenuhi syarat melalui Diklat Bela Negara yang telah dilaksanakan sejak tanggal 2 Juli 2021 sampai dengan 22 Agustus 2021,” ujar Alex.

 

Alex menyebut, pemberhentian 57 pegawai KPK itu dilakukan dengan alasan tuntutan organisasi. Menurutnya, sesuai jeda waktu proses peralihan yang wajib dilaksanakan oleh KPK yaitu paling lama dua tahun, kepada pegawai KPK yang dinyatakan TMS dan tidak mengikuti pembinaan melalui Diklat Bela Negara.

 

“Diberhentikan dengan hormat dari pegawai KPK berdasarkan PP 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK pasal 18 dan 19 ayat (3) huruf d yakni tuntutan organisasi,” pungkasnya.

 

Berikut daftar nama yang dipecat oleh Firli:

 

1. Sujanarko (Direktur Pjkaki)

2. A. Damanik (Kasatgas Penyidik)

3. Arien Winasih (ULP Mantan Plh. Korsespim)

4. Chandra Sulistio (Karo SDM)

5. Hotman Tambunan (Kasatgas Diklat)

6. Giri Suprapdiono (Direktur Soskam Antikorupsi)

7. Harun Al Rasyid Waka (WP, Kasatgas Penyelidik)

8. Iguh Sipurba (Kasatgas Penyelidik

9. Herry Muryanto (Deputi Bidang Korsup)

10. Arba’a Achmadin Yudho Sulistyo (Kabag Umum, Mantan Pemerika)

11. Faisal Litbang, (Mantan Ketua WP)

12. Herbert Nababan (Penyidik)

13. Afief Yukian Miftach (Kasatgas Penyidik)

14. Budi Agung Nugroho (Kasatgas Penyidik)

15. Novel Baswedan (Kasatgas Penyidik)

16. Novariza Fungsional Pjkaki, (WP)

17. Sugeng Basuki (Korsup)

18. Agtaria Adriana (Penyelidik)

19. Aulia Postiera (Penyelidik)

20. M Praawad Nugraha (Penyidik)

21. March Falentino (Penyidik)

22. Marina Febriana (Penyelidik)

23. Yudi Purnomo Ketua WP, (Penyidik)

24. Yulia Anastasia Fuada (Fungsional PP LHKPN)

25. Andre Dedy Nainggolan (Kasatgas Penyidik)

26. Airien Marttanti Koesnier (Kabag Umum)

27. Juliandi Tigor Simanjuntak (Fungsional biro hukum)

28. Nurul Huda Suparman (Plt Kepala Bidang Pengelolaan Kinerja dan Risiko, Mantan pemeriksa PI)

29. Rasamala Aritonang (Kabag Hukum)

30. Farid Andhika (Dumas)

31. Andi Abdul Rachman Rachim (Fungsional Gratifikasi)

32. Nanang Priyono (Kabag SDM)

33. Qurotul Aini Mahmudah (Dit Deteksi dan Analisis Korupsi)

34. Rizka Anungnata (Kasatgas Penyidik)

35. Candra Septina (Litbang/Monitor)

36. Waldy Gagantika (Kasatgas Dit Deteksi)

37. Heryanto Pramusaji, (Biro Umum)

38. Wahyu Ahmat Dwi Haryanto Pramusaji (Biro Umum)

39. Dina Marliana (Admin Dumas)

40. Muamar Chairil Khadafi (Admin Dumas)

41. Ronald Paul (Sinyal Penyidik)

42. Arfin Puspomelistyo (Pengamanan Biro Umum)

43. Panji Prianggori (Dit. Deteksi dan Analisis Korupsi)

44. Damas Widyatmoko (Dit. Manajemen Informasi)

45. Rahmat Reza Masri (Dit. Manajemen informasi)

46. Anissa Rahmadany (Fungsional Jejaring Pendidikan)

47. Benydictus Siumlala Martin Sumarno (Fungsional Peran Serta Masyarakat)

48. Adi Prasetyo (Dit PP LHKPN)

49. Ita Khoiriyah (Biro Humas)

50. Tri Artining Putri (Fungsional humas, WP)

51. Chrietie Afriani (Fungsional PJKAKI)

52. Nita Adi Pangestuti (Dumas)

53. Rieswib Rachwell (Penyelidik)

54. Samuel Fajar Hotmanggara Tua Siahaan (Fungsional Biro SDM)

55. Wisnu Raditya Ferdian (Dit manajemen informasi)

56. Erfina Sari (Biro Humas)

57. Darko Pengamanan, (Biro Umum. (jawapos)



 

SANCAnews – Penyidik Senior KPK Novel Baswedan menanggapi soal pemecatan yang akan dilakukan oleh Firli Bahuri dkk terhadap 56 pegawai yang tidak lulus TWK. Pemecatan akan dilakukan pada 30 September 2021.

 

Novel menyatakan tak menyangka pimpinan KPK mengambil langkah tersebut. Terlebih adanya permasalahan dalam pelaksanaan TWK yang disampaikan oleh Komnas HAM dan Ombudsman RI.

Selain itu, ada juga putusan MA yang menyatakan tindak lanjut hasil TWK ada di tangan pemerintah bukan KPK.

 

Novel menyatakan pimpinan KPK telah melawan hukum demi memecat 56 pegawai yang sudah terbukti integritasnya. Padahal, kata Novel, mereka masuk KPK tujuannya adalah berjuang, melawan korupsi dengan segala risikonya.

 

"Kami adalah orang yang memilih jalan berjuang di KPK, jalan memberantas korupsi sungguh-sungguh di mana masalah korupsi kita tahu masalah yang serius masalah penting dan sensitif," kata Novel di Gedung ACLC KPK, Rabu (15/9).

 

"Kami juga sadar berantas korupsi berat, lawannya banyak. Demi bangsa dan negara maka kami ambil jalan itu. Kami akan selalu sampaikan bahwa setiap langkah yang kami lakukan kami sadar dengan segala risikonya," sambung dia.

 

Novel memang kerap dihadapkan dengan sejumlah teror saat bertugas sebagai penyidik. Bahkan ia harus kehilangan satu matanya akibat disiram oleh air keras oleh anggota kepolisian yang kini sudah dipidana.

 

"Kami akan berbuat dengan sebaik-baiknya. Setidaknya sejarah mencatat kami berupaya berbuat yang baik kalau pun ternyata negara memilih atau pimpinan KPK dibiarkan tidak dikoreksi perilakunya yang melanggar hukum, setidak-tidaknya itu masalahnya terjadi bukan karena kami," kata dia.

 

Dia menyatakan selama menjadi penyidik di KPK sudah bergerak sungguh-sungguh memberantas korupsi. Sebuah ironi ketika ia yang begitu berkorban kini malah diberantas dengan cara dipecat.

 

"Kami berupaya berantas korupsi sungguh-sungguh, tapi justru kami malah diberantas. Tentu ini kesedihan yang serius. Dan ini saya yakin dirasakan oleh masyarakat Indonesia," kata Novel.

 

"Saya tak bisa berkata-kata lagi apabila melihat pimpinan KPK merasa berani di atas Pemerintah berani di atas hukum dan berani melanggar hukum dengan terang-terangan dan serius. Saya tak bisa berkata-kata lagi dan itu yang perlu saya sampaikan," pungkas dia.

 

Seputar TWK

 

Ada 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK sebagai alih status menjadi ASN. Satu di antaranya sudah pensiun.

 

Terdapat 18 pegawai KPK yang kemudian bersedia dibina melalui diklat. Mereka dinyatakan lulus dan kini sudah dilantik menjadi ASN. Maka tersisa 56 pegawai KPK yang akan dipecat pada 30 September 2021.

 

Mereka yang termasuk daftar ini bukan pegawai sembarangan. Yakni mulai dari pejabat struktural hingga penyelidik dan penyidik top KPK yang sedang menangani kasus korupsi besar. Misalnya Giri Suprapdiono, Novel Baswedan, Yudi Purnomo, Harun Al Rasyid, dsb.

 

Ombudsman dan Komnas HAM menyatakan bahwa TWK bermasalah. Mulai dari soal administrasi hingga adanya pelanggaran HAM.

 

Bahkan, Komnas HAM dengan tegas menyatakan bahwa TWK merupakan alat menyingkirkan pegawai tertentu yang dicap Taliban. Baik Ombudsman dan Komnas HAM menyatakan hasil TWK layak dibatalkan dan pegawai yang tak lulus tetap dilantik jadi ASN.

 

Namun, KPK tidak bergeming. Firli Bahuri dkk tetap akan memecat pegawai itu. KPK kembali berdalih bahwa keputusan ini berdasarkan rapat pada 13 September 2021. Rapat ini menindaklanjuti putusan MK dan MA terkait TWK.

 

Mereka yang hadir dalam rapat itu ialah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly serta Menteri PAN dan RB Tjahjo Kumolo, Kepala BKN, serta 5 Pimpinan KPK bersama Sekretaris Jenderal, Kepala Biro Hukum, dan Plt. Kepala Biro SDM KPK. (kumparan)



 

SANCAnews – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengomentari pemecatan terhadap 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan resmi angkat kaki pada 30 September 2021. Jokowi menyatakan, tidak semua urusan negara harus dibawa kepada dirinya.

 

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menanggapi pernyataan Jokowi tersebut. Menurut Feri, sudah sepatutnya Presiden bertanggungjawab terkait pemecatan 57 pegawai KPK.

 

“Loh bukannya secara ketatanegaraan memang kewenangan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,” kata Feri dalam keterangannya, Kamis (16/9).

 

Padahal Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komnas HAM telah memberikan rekomendasi kepada Presiden Jokowi untuk menyikapi polemik asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Sudah seharusnya, Jokowi bisa turun tangan menyikapi polemik alih status pegawai KPK.

 

“Apalagi PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS, presiden berwenang melantik dan memberhentikan PNS,” tegas Feri.

 

Dia menyesalkan, Jokowi yang justru lari dari tanggung jawab terkait pemecatan terhadap 57 pegawai KPK.

 

“Menurut saya, pembiaran presiden harus dipahami bahwa ini yang memberhentikan pegawai KPK adalah Jokowi. Sebab yang buat UU 19/2019 tentang KPK, PP alih status pegawai KPK, dan PP manajemen pegawai kan Jokowi,” cetus Feri.

 

Senada juga disampaikan oleh Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Azyumardi Azra. Dia menegaskan, tidak sepatutnya Presiden Jokowi mengelak tanggungjawab atas pemecatan 57 pegawai KPK.

 

“Sopan santunnya, Presiden sebagai pemimpin eksekutif puncak mesti menertibkan pimpinan KPK yang berlaku sewenang-wenang. Fatsunnya pula Presiden mengikuti rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM sebagai lembaga resmi negara,” harap Azra menandaskan. (jawapos)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.