Latest Post


 

SANCAnews – Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Faldo Maldini, menilai penangkapan 10 mahasiswa di Solo yang bentangkan poster saat Presiden Joko "Jokowi" Widodo melintas merupakan upaya antisipasi yang dilakukan aparat. Sebab, dikhawatirkan aksi mahasiswa dapat menimbulkan potensi bentrok dengan massa pendukung Jokowi.

 

"Kalau pendukung Pak Presiden Jokowi juga selalu bersiap di lapangan setiap kunjungan, bisa bentrok nanti, hasilnya pasti lebih buruk. Berkali-kali, kami terima informasi macam ini, kita harus hindari, ini soal bangsa, bukan soal politik. Jadi, harus saling jaga," tutur Faldo dalam keterangan tertulisnya yang dikutip idntimes.com, Selasa (14/9/2021).

 

Ia mengatakan jika terjadi bentrok bisa menimbulkan masalah lebih besar, apalagi pandemik COVID-19 belum selesai.

 

"Kita tidak mau memunculkan persoalan yang lebih besar. Pandemik sedang membaik, vaksinasi kita sudah bisa tembus satu juta sehari. Kita harus tetap siap dan waspada," lanjut dia.

 

Faldo menuturkan aparat penegak hukum memiliki standar pengamanan sendiri. Aparat, kata dia, sudah memiliki perhitungan untuk melakukan tindakan preventif.

 

"Presiden datang saja sudah berpotensi besar mengakibatkan kerumunan, apalagi ditambah aksi demonstrasi," ujar Faldo.

 

Meski begitu, Faldo mengatakan Jokowi tidak tersinggung dengan aksi dan kritik yang dilakukan mahasiswa. Sehingga, ia menegaskan penangkapan 10 mahasiswa di Solo karena aparat keamanan mempunyai pertimbang sendiri.

 

"Harusnya biasa saja, Presiden tidak akan pernah merasa tersinggung atau baper sama kritik mahasiswa. Pasti aspirasi tersebut menjadi pertimbangan dan bahan pemikiran bagi pemerintah. Ini negara demokrasi," kata Faldo.

 

Penangkapan terjadi usai 10 mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) melakukan aksi membentangkan poster di beberapa lokasi sepanjang jalan menuju pintu masuk utama kampus UNS. Poster tersebut di antaranya berbunyi "Pak tolong benahi KPK" dan "Tuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu".

 

Beberapa menit setelah Jokowi melintas, tiba-tiba sejumlah polisi tak berseragam menangkap kesepuluh mahasiswa tersebut dan dibawa ke Polresta Solo.

 

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS, Zakky Musthofa, membenarkan kejadian tersebut. Dirinya mengaku tidak berada di lokasi saat aksi pembentangan poster.

 

Namun, berdasarkan informasi yang ia terima, ada tujuh temannya yang ditangkap usai membentangkan spanduk saat Jokowi akan melintas.

 

"Informasi sementara ada 10 orang dari berbagai fakultas katanya," katanya. [ ]



 

SANCAnews – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintahan saat ini masih sangat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi oleh masyarakat. KontraS menyebut pembatasan tersebut menunjukkan bahwa negara tak lagi setia pada demokrasi, melainkan menunjukkan gejala otoritarianisme.

 

"Pemerintahan Joko Widodo masih alergi dengan kritikan-kritikan yang disampaikan oleh warganya. Hal ini kontradiktif dengan pernyataan Presiden untuk mempersilakan kritik, tapi tidak menjamin ruang dan bentuk ekspresi kritik warga negara," kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, dalam keterangan tertulis, Selasa, 14 September 2021.

 

Dari pantauan KontraS, kebebasan berekspresi baik luring maupun daring, kerap menimbulkan reaksi cepat terutama dari aparat negara, kepolisian untuk memanggil, menangkap, meminta keterangan seseorang di kantor kepolisian.

 

Sejak Januari 2021, mereka mencatat sedikitnya 26 kasus yang merupakan bagian dari pembatasan kebebasan berekspresi. Mulai dari penghapusan mural, perburuan pelaku dokumentasi, persekusi pembuat konten, penangkapan terkait UU ITE, penangkapan kritik kebijakan PPKM, hingga penangkapan pada beberapa orang yang membentangkan poster guna menyampaikan aspirasinya di depan presiden.

 

Sepanjang Juli – Agustus 2021, setidaknya terdapat 13 kasus persekusi kepada muralist. Lalu sepanjang Januari – Juli 2021, KontraS juga mencatat mencatat 13 kasus penangkapan sewenang-wenang yang terdiri dari 8 kasus penangkapan UU ITE terkait dengan 2 penangkapan isu kinerja institusi, 1 isu mengenai kritik institusi, 2 isu mengenai Papua, dan 3 isu mengenai kinerja pejabat.

 

Ada juga 2 kasus penangkapan sewenang-wenang terkait kritik terhadap PPKM, dan yang terakhir adalah 3 penangkapan terkait kritik kinerja kepada pejabat. Terakhir, terjadi penangkapan 10 mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang membentangkan poster berisikan kritik pada Jokowi.

 

"Hal ini menunjukkan bahwa Negara tidak memberikan ruang ekspresi kritik warga negara terhadap kondisi yang dialami atau merespons sikap negara atas kebijakan tertentu," kata Fatia.

 

Atas dasar itu, Fatia mendesak Jokowi untuk menjamin tiap bentuk ruang dan ekspresi kritik warga negara. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan arahan tegas kepada alat negara untuk tidak mudah membungkam segala bentuk ekspresi warga negara.

 

KontraS juga mendesak Kapolri untuk memerintahkan jajaran di bawahnya untuk tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dalam upaya menyikapi kebebasan berpendapat dan berekspresi oleh masyarakat. Ia meminta negara melalui Polri maupun TNI mengedepankan prinsip hukum dan HAM, menggunakan cara-cara yang bermartabat dalam merespon persoalan kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.

 

"Pendekatan keamanan, seperti penangkapan sewenang-wenang, kritik berujung UU ITE, pembungkaman, dan lain-lain justru akan semakin mencederai upaya penyampaian kritik yang dilakukan oleh masyarakat yang dapat mengakibatkan timbulnya ketidakpercayaan pada pemerintahan," kata Fatia. (tempo)



 

SANCAnews – Ekonom senior, Rizal Ramli (RR), menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) layak untuk dipolisikan karena dianggap banyak menebar berita bohong.

 

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, mengatakan, pernyataan Rizal Ramli tersebut cukup dengan hanya dimaklumi.

 

"Harap maklum saja lah," kata Jazilul saat dihubungi Suara.com lewat pesan singkat, Selasa (14/9/2021).

 

Pria yang akrab disapa Gus Jazil tersebut kemudian menilai bahwa kebohongan bukan merupakan delik pidana. Menurutnya, hal tersebut berbeda dengan penipuan.

 

"Sejak kapan kebohongan menjadi delik pidana. Kalau penipuan, penggelapan, pencurian itu baru kriminal," katanya.

 

Lebih lanjut, Gus Jazil menilai jika kebohongan banyak dilakukan juga oleh setiap individu. Menurutnya, hal itu wajar dilakukan.

 

"Bukankah setiap manusia pasti pernah berbohong?," tandasnya.

 

Jokowi Layak Dipolisikan

 

Semua bermula dari Hersubeno menjadi sorotan warganet sebab menyebut kalau Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sedang sakit kritis di rumah sakit.

 

Hal ini membuat Gardu Banteng Marhaean (GBM) meminta polisi memenjarakan Hersubeno.

 

Ekonom senior, Rizal Ramli, merespons hal itu dan mengatakan jika seandainya Hersubeno bisa dipenjara karena pernyataan tak benar, maka Presiden Jokowi layak mendapat perlakuan serupa.

 

Sebab mantan Gubernur DKI Jakarta itu kerap membohongi rakyat melalui janji dan perkataannya.

 

"Jurnalis senior Hersubeno Arief dipolisikan GBM, dianggap sebar berita hoaks tentang kondisi Megawati," tulis Ekonom senior, Rizal Ramli, melansir hops.id--jaringan Suara.com, Minggu (12/09/2021).

 

"Jika itu terjadi Presiden Jokowi jauh lebih layak dipolisikan. Jokowi banyak menebar berita bohong, seperti mobil Esemka, impor dan stop uang," lanjutnya. []



 

SANCAnews – Aparat kepolisian yang berada di lapangan diminta untuk memiliki kebijaksanaan dan menghindari tindakan represif dalam menjalankan tugas.

 

Ketua Komisi III DPR, Herman Herry bahkan mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membuat instruksi demi memastikan hal tersebut benar-benar terwujud.

 

Dia mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi merupakan amanah konstitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap HAM. Meski demikian, patut digarisbawahi juga bahwa kebebasan berekspresi bukan serta merta hak yang tidak dapat dibatasi.

 

Penegasan tersebut disampaikan Herman Herry menyikapi penangkapan warga dan mahasiswa oleh aparat kepolisian saat Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Blitar dan Solo beberapa waktu lalu.

 

"Seperti contoh, pasal 19 ayat 2 UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, menyatakan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi itu dibatasi dengan 2 batasan, yaitu: untuk alasan keamanan nasional dan untuk menghormati harkat dan martabat orang lain," katanya kepada wartawan, Selasa siang (14/9).

 

Herman menuturkan, aparat kepolisian sebagai penegak hukum dan pelaksana UU sedianya memiliki wawasan kebebasan berekspresi dan keamanan nasional sebagaimana amanah konstitusi.

 

“Saya sebagai Ketua Komisi III meminta Kapolri agar menginstruksikan kepada seluruh jajarannya di lapangan agar memiliki kebijaksanaan dalam mencari keseimbangan antara jaminan atas kebebasan berekspresi dan jaminan atas keamanan nasional serta penghormatan atas harkat dan martabat orang lain," tuturnya.

 

Lebih lanjut, politikus PDI Perjuangan itu berharap, aparat kepolisian ke depan menghindari tindakan represif dan berlebihan, namun harus lebih mengedepankan upaya persuasif dan humanis dalam menjalankan tugasnya.

 

"Dan juga saya harap kepada Kapolri, untuk meminimalisir tindakan represif terhadap aksi-aksi yang serupa dengan mengedepankan upaya-upaya persuasif dan pencegahan," demikian Herman. (rmol)



 

SANCAnews – Penangkapan 10 mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) saat kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Kota Solo, Jawa Tengah, Senin (13/9), membuat yakin publik akan kemerosotan demokrasi Indonesia di kepemiminan Presiden Joko Widodo.

 

Begitu penilaian Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gde Siriana Yusuf, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (14/9).

 

"Saya kira situasi ini (penangkapan mahasiswa UNS) karena Presiden Jokowi tidak paham makna demokrasi," ujar Gde Siriana.

 

Kejadian penangkapan yang dilakukan aparat kepada 10 mahasiswa UNS saat menyampaikan aspirasinya menggunakan poster, dinilai Gde Siriana, seharusnya tidak terjadi.

 

Karena sepatutnya Kepala Negara mendengarkan dan bukan mengerahkan aparat di Jalanuntuk membuat kondusif masyarakat. Di samping itu, kejadian ini juga terulang setelah sebelumnya dialami pria peternak unggas saat Jokowi kunjungan kerja ke Blitar

 

"Ketidakpahaman demokrasi ini juga dilihat dari giant koalisi di kabinet, sehingga check and balance di DPR jadi tidak ada atau tidak efektif," tutur Gde Siriana.

 

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) ini menambahkan, kepemimpinan politik yang tidak memahami demokrasi yang berjalan di nearanya sama saja dengan kegagalan pemerintahan.

 

"Jadi enggak pernah nyambung dengan apa yang dituntut rakyat dan mahasiswa," demikin Gde Siriana Yusuf. []


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.